07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

300<br />

Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

menja<strong>di</strong> oportunis dan menja<strong>di</strong> rusak moralnya. 19 Sementara itu, banyak<br />

TII ber<strong>di</strong>ri <strong>di</strong> dua nokang (perahu) dalam pengertian bahwa banyak<br />

dari TII yang juga menja<strong>di</strong> anggota tentara PRRI. Tetapi, dalam<br />

beberapa hal, sebagaimana <strong>di</strong>akui oleh Gazali, ”dengan kami tetap<br />

baik, tetapi dalam hal itu berupa rahasia tak ada pertimbangan apaapa.”<br />

20<br />

Kekuatan TII terus menurun, bahkan banyak dari para pendukung<br />

dana sudah beralih ke PRRI. Hasan ATRA, misalnya, yang memiliki perusahaan<br />

angkutan bus kota yang menghubungkan kota-kota antara<br />

Kutaradja dan Medan, tak dapat meladeni Resimen VII karena ia dalam<br />

PRRI dan aktif malah tak ada jaminan apa-apa lagi darinya tentang hal<br />

keuangan karena ia sudah membangga-banggakan PRRI. 21<br />

Sementara itu TII dengan sangat bersahaja meneruskan perjuangannya.<br />

Bahkan, dari operasi pencurian dan dakwah, TII kemu<strong>di</strong>an berhasil<br />

memperoleh 180 pucuk senjata dari ”tentara Pantjasila”.<br />

Hasanoed<strong>di</strong>n membuat pernyataan bahwa segala senjata-senjata<br />

<strong>di</strong>serahkan kepada NBA-NII demikian orang-orangnya. Pada hari-hari<br />

berikutnya, dengan tanpa bantuan dan sokongan dana dari Hasan<br />

ATRA, TII mendapatkan kembali spiritnya dengan berhasilnya merampas<br />

35 pucuk senjata, 1 bren gun, dan 1 mortir. 22<br />

Perolehan ini kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>kirim kepada Resimen VII dan Batalyon<br />

175 TII. Pada 31 Januari 1959, <strong>di</strong> hadapan Amin Djalil dan Moe’in<br />

Hasjim, Wali Negara NII Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureu`eh<br />

mengingatkan kembali bahwa pekerjaan ini semata-mata untuk ibadat<br />

bukan karena yang lain, segala sesuatu oleh atasan tidak hanya dapat<br />

mendengar dari sebelah pihak. Dalam pertemuan ini saya harap<br />

supaya kepada saya dapat <strong>di</strong>berikan bahan-bahan untuk fikiran dan<br />

pertimbangan.<br />

19 Ibid., hlm. 62.<br />

20 Ibid., hlm. 62.<br />

21 Ibid., hlm. 62.<br />

22 Ibid., hlm. 63.<br />

Aceh <strong>di</strong> Awal Kemerdekaan<br />

Pada tanggal 22 Agustus 1945, <strong>di</strong> rumah Teuku Abdullah Jeunib<br />

berkumpul beberapa tokoh <strong>di</strong> antaranya: Teuku Nyak Arief, Teuku<br />

Ahmad Jeunib, Teuku Nyak Hanafiah, Teuku Abdul Hamid, dan Pak<br />

Ahmad Kepala Kantor Pos <strong>di</strong> Kutaraja. Mereka berbincang-bincang<br />

tentang seputar kemerdekaan Indonesia yang telah <strong>di</strong>proklamirkan<br />

oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.<br />

Dalam pertemuan itu para ha<strong>di</strong>rin semua tertuju pada Teuku Nyak<br />

Arief, Teuku Ahmad Jeunib berkata “Saya menyokong apa pun yang<br />

Teuku Nyak Arief putuskan, tetapi agar <strong>di</strong>perhatikan bahwa Jepang<br />

masih berkuasa penuh <strong>di</strong> sini dan Belanda serta sekutunya sekarang<br />

sudah berada dan menguasai Sabang.” Teuku Abdul Hamid, seorang<br />

yang berwibawa mengatakan, “Saya sependapat dengan Teuku<br />

Ahmad Jeunib”. “Harus kita dulu”, kata Teuku Teungoh Hanafiah<br />

dengan tegas. Jawab Teuku Nyak Arief, “Itu yang ingin saya dengar”.<br />

Maka Teuku Nyak Arief memerintahkan kepada Pak Usman Commis<br />

untuk segera membuat undangan agar besok berkumpul <strong>di</strong> Kantor<br />

Gubernur/Residen Aceh (Shu Chokan), <strong>di</strong>undanglah sebanyak 56 orang<br />

tokoh Aceh, 29 Namun dalam pertemuan itu Teungku Muhammad<br />

Daud Beureu`eh tidak ha<strong>di</strong>r.<br />

Pada pukul sembilan lewat, Teuku Nyak Arief membuka rapat. Di<br />

sampingnya ada sebuah meja <strong>di</strong> antaranya terletak sebuah Al Qur’an<br />

dan bendera Merah Putih, <strong>di</strong> samping meja ber<strong>di</strong>ri istri Teuku Nyak<br />

Arief dan Teuku Dahlan dengan sikap sempurna. Dengan langkah pasti<br />

Teuku Nyak Arief maju ke depan, beliau mengambil Al Qur’an dengan<br />

tangannya sen<strong>di</strong>ri sembari berkata, “Demi Allah, Wallah, Billah, saya<br />

akan setia untuk membela kemerdekaan Indonesia sampai titik darah<br />

saya yang terakhir.” Suara Teuku Nyak Arief lantang, tegas dan pasti<br />

serta dengan nada keras tanpa keraguan se<strong>di</strong>kit pun, Teuku Nyak Arief<br />

mundur ke tempat semula kemu<strong>di</strong>an maju mengangkat sumpah<br />

Teuku Ali Panglima Polem dan <strong>di</strong>susul kemu<strong>di</strong>an seluruh para ha<strong>di</strong>rin<br />

29 C. van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, (terj.), (Jakarta: Grafiti Pers, 1993),<br />

hlm. 132.<br />

67

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!