darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
308<br />
Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />
berbedabeda. Satu kelompok ingin semata-mata melanjutkan PRRI,<br />
bagaimana pun sudah hampir tidak ada artinya lagi akibat aksi-aksi<br />
Angkatan Darat, Kelompok lain, dengan Zulkifli Lubis dan Malu<strong>di</strong>n<br />
Simbolon sebagai wakil-wakil utamanya, menyetujui proklamasi<br />
Republik Indonesia Federal, sekalipun menentang kerja sama dengan<br />
Darul Islam. Faksi yang ketiga menyetujui bergabung dengan Darul<br />
Islam. Jurubicara utamanya adalah dua bekas perdana menteri,<br />
Mohammad Natsir dan Burhanud<strong>di</strong>n Harahap, dan politikus Indonesia<br />
yang berpengaruh, Sjafrud<strong>di</strong>n Prawiranegara. Ketiga mereka ini lari<br />
dari Jakarta untuk bergabung dengan panglima-panglima daerah yang<br />
merasa tidak puas <strong>di</strong> Sumatera pada Desember 1957. 44<br />
RPI tidak banyak harganya baik dalam arti militer atau pun arti politik.<br />
Persekutuan yang mengkhawatirkan antara orang-orang muslim<br />
seperti Daud Beureu`eh dan Kahar Muzakkar yang selama<br />
bertahuntahun telah bertempur untuk menegakkan dan<br />
mempertahankan Negara Islam Indonesia, orang-orang muslim yang<br />
terus-menerus da-lam waktu yang lama menduduki jabatan-jabatan<br />
penting <strong>di</strong> Republik Indonesia, dan panglima-panglima militer seperti<br />
Malu<strong>di</strong>n Simbolon Kawilarang, dan Warouw yang selama masa<br />
berikutnya telah memimpin aksi-aksi militer Republik Indonesia<br />
terhadap Darul Islam, dan beberapa orang dari mereka itu Kristen pula,<br />
sangatlah berbahaya. RPI mungkin mewakili, seperti yang <strong>di</strong>lukiskan<br />
Hasan Muhammad Tiro, suatu tindakan "untuk menjamin hak suci<br />
mereka untuk membentuk pemerintahan sen<strong>di</strong>ri yang <strong>di</strong>ingkari<br />
ke<strong>di</strong>ktatoran Soekarno <strong>di</strong> Jakarta yang memaksakan kolonialisme Jawa<br />
terhadap lebih dari selusin bangsa" 45, atau penolakan terhadap<br />
"kolonialisme baru, Jawa sawo matang" 46, tetapi hanya dendam<br />
44 Lihat juga C. van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan. Hlm. 229.<br />
45 Hasan Muhammad Tiro, Neo-Colonialism in Indonesia (How a New Colonialism has<br />
been established under the cover of the cry of “anti-colonialism”, Naskah Pidato pada Sidang<br />
Umum XVI PBB Oleh Wakil Republik Federasi Indonesia <strong>di</strong> PBB, (New York: 1961), hlm. 1..<br />
46 Hasan Muhammad Tiro, The Political Future of the Indonesian Archipelago, (Medan:<br />
Sumatera Berdaulat, 1965), hlm. 1.<br />
Aceh <strong>di</strong> Awal Kemerdekaan<br />
menerima keha<strong>di</strong>ran Republik Indonesia. Tentu saja, kesimpulan ini<br />
tidak bisa <strong>di</strong>terima secara mutlak. Sebab, seperti Anthony Reid 15<br />
menyatakan, sudah sejak tahun 1920, semangat nasionalisme<br />
telah tersebar <strong>di</strong> daerah Aceh. Ini terbukti dari pidato Abdoel Manap<br />
pada tahun itu <strong>di</strong> pedesaan Aceh, tentang perlunya kesatuan dan<br />
kesepakatan nasional. Daud Beureu`eh sen<strong>di</strong>ri, lewat kekuatan luar juga<br />
(dalam hal ini Pemerintah Republik ketika ia bersama para ulama menyatakan<br />
bergabung dengan Republik Indonesia yang <strong>di</strong>proklamasikan oleh<br />
Soekarno-Hatta), terpilih sebagai Gubernur Militer Aceh dan Tanah<br />
Karo. Akan tetapi juga jelas, bahwa dengan meminjam tenaga luar<br />
(dalam hal ini Darul Islam Jawa Barat), kaum ulama reformis semakin<br />
meneguhkan kekuatan dan kekuasaannya <strong>di</strong> atas golongan sosial-politik<br />
lainnya. 16 Namun, dalam kontes perebutan pengaruh dan kekuasaan<br />
apakah sehingga ia harus mengusir pengaruh Pancasila dan komunisme<br />
dengan tanpa memakai cara-cara separatis. Darul Islam bukan anti<br />
Indonesia, melainkan anti-Pancasila, anti-Marhaenisme, anti-Komunisme<br />
dan demokrasi. Untuk melihat bagaimana ideologi Darul Islam bisa<br />
compatible dengan world-view orang-orang Aceh, kita terlebih dahulu<br />
harus memahami sejarah peran kaum ulama, organisasinya (PUSA) dan<br />
perjuangan politiknya dalam mengusir Belanda, memasukkan Jepang —<br />
untuk kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>usir kembali dari Aceh. Perseteruannya dengan kaum<br />
uleebalang dan strategi politiknya dalam menolak pengaruh<br />
Muhamma<strong>di</strong>yah <strong>di</strong> Aceh.<br />
15 Anthony Reid, “The Birth of Republic in Sumatra” dalam Indonesia, 12, (Oktober<br />
1971).<br />
16 Tulisan Fachry Ali, meskipun <strong>di</strong>akuinya sen<strong>di</strong>ri sebagai sebuah responsi teoritikal,<br />
namun sudah menja<strong>di</strong> sebuah teori yang bisa menjelaskan mengapa Darul Islam muncul <strong>di</strong><br />
Aceh. Kekurangan yang menyolok dalam tulisannya sangat mungkin terletak pada<br />
ketiadaan data. Karena itu, asumsi dan interpretasinya harus <strong>di</strong>buktikan melalui buku ini.<br />
Meskipun Fachry Ali lebih cenderung menyebutnya sebagai hipotesa-hipotesa tentatif<br />
untuk namun sangat berguna untuk stu<strong>di</strong> tentang perubahan, atau juga kelanjutan<br />
<strong>di</strong>namika dan pergolakan politik masyarakat Aceh masa DI atau GAM sekarang ini. Fachry<br />
Ali, Ibid.<br />
59