07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

58 Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

kebutuhan untuk meminjam tenaga luar guna memperkuat<br />

kedudukan golongan masing-masing. Uleebalang dalam hal ini relatif<br />

lebih beruntung. Sebab dalarn posisinya yang berhadapan dengan<br />

kelompok Daud Beureu`eh, ia bisa meminjam kekuatan Belanda.<br />

Mungkin hal ini pula yang mendorong kaum ulama reformis untuk<br />

menghu-bungkan <strong>di</strong>rinya dengan kekuatan Jepang sebagai<br />

tan<strong>di</strong>ngan ke-kuatan Belanda. Dari sinilah muncul organisasi F atau<br />

Fujiwara - salah satu nama keluarga Jepang – yang mengorganisasikan<br />

pembe-rontakan terhadap Belanda dengan bantuan Jepang. Tentu<br />

saja, se-perti yang <strong>di</strong>tuturkan Van Dijk, organisasi F ini, tidak hanya<br />

melulu ter<strong>di</strong>ri dari ulama reformis. Sebab <strong>di</strong> samping itu terdapat<br />

pula unsur-unsur uleebalang nasionalis, seperti Teuku Nya' Arif dan<br />

Teuku Panglima Polem Muhammad Ali.<br />

Pada masa pasca-kolonial, struktur masyarakat Aceh mengalami<br />

perubahan dengan banyaknya unsur-unsur luar yang semakin<br />

merumitkan suasana sosial Aceh. Dalam konteks struktur sosial<br />

masyarakat Aceh pasca-kolonial yang masih belum mantap, dan dalam<br />

komposisi serta afiliasi sosial-politik yang penuh dengan benih<br />

konflik dan dalam suasana yang selalu rnenimbulkan kebutuhan<br />

untuk ‘meminjam tenaga luar’ itulah kita lebih bisa memahami secara<br />

lebih kongkret dan rill “kejutan” munculnya “pemberontakan” DI<br />

yang sebenarnya berasal dari Jawa Barat. Dalam masa pemerintahan<br />

Jepang, jelas sekali kaum ulama reformis menggunakan kekuatan luar<br />

inilah yang memberikan peluang meletusnya Peristiwa Cumbok, <strong>di</strong><br />

mana sisa-sisa kaum uleebalang <strong>di</strong>hancurkan. Kaum uleebalang ini,<br />

dengan merosotnya kekuatan Jepang dalam bulan Agustus 1945,<br />

mengharapkan kembalinya kekuasaan Belanda sebagai sumber dari<br />

tenaga luar mereka, berhadapan dengan ulama reformis. Dan justru<br />

karena kekhawatiran akan kembalinya kekuasaan Belandalah —<br />

setidak-tidaknya, inilah yang terbaca dalam introduction tesis<br />

Nazarud<strong>di</strong>n Sjamsu<strong>di</strong>n14— kaum ulama reformis secara cepat<br />

14 Nazarud<strong>di</strong>n Sjamsud<strong>di</strong>n, The Republican Revolt, The Case of Achenese Darul Islam,<br />

(Singapore: ISEAS), 1985, hlm. vi.<br />

Dewan Revolusi: Perpecahan Internal Darul Islam Aceh<br />

309<br />

terhadap Soekarno dan orang Jawa sajalah yang merupakan<br />

persamaan mereka.<br />

Akibatnya, RPI sangat singkat usianya. Pada April 1961 Malu<strong>di</strong>n<br />

Simbolon dan seorang panglima militer lain, Achmad Husein, memisahkan<br />

<strong>di</strong>ri dari RPI untuk membentuk Pemerintah Darurat Militer. 47<br />

Kemu<strong>di</strong>an mereka mengeluarkan imbauan kepada para pemberontak<br />

untuk menghentikan perlawanan mereka dan menyerahkan <strong>di</strong>ri pada<br />

Juni dan Juli. Pemimpin-pemimpin sipil menyusul setelah menerima<br />

janji <strong>di</strong>beri ampun oleh Soekarno. 48 Sjafrud<strong>di</strong>n Prawiranegara, perdana<br />

menteri kaum pemberontak, lalu menasihati para pengikutnya untuk<br />

menyerah, <strong>di</strong>a sen<strong>di</strong>ri melapor kepada penguasa pada akhir Agustus. 49<br />

Ini berarti akhir yang sesungguhnya dari pemberontakan-pemberontakan,<br />

termasuk pemberontakan Darul Islam <strong>di</strong> Aceh. Di sini pada<br />

bulan-bulan sebelumnya banyak orang telah melaporkan <strong>di</strong>ri. Keamanan<br />

sepenuhnya pulih <strong>di</strong> Aceh, Mei 1962, ketika Daud Beureu`eh pun<br />

menghentikan perlawanannya.<br />

Untuk merayakan perubahan Aceh dari Dar al Harb, wilayah<br />

perang, ke Dar al-Salam, daerah damai (untuk menggunakan<br />

ungkapan yang berlaku ketika itu), dan selanjutnya guna<br />

mengungkapkan per-nyataan resmi akan persatuan Aceh yang telah<br />

pulih, <strong>di</strong>selenggarakan suatu upacara akbar pada akhir tahun itu, yaitu<br />

Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA), yang berlangsung <strong>di</strong><br />

47 Letnan Kolonel Achmad Husein memainkan peranan penting dalam penstiwaperistiwa<br />

sampai kepada pemberontakan PRRI/Permesta. Dia menja<strong>di</strong> Ketua Dewan<br />

Banteng <strong>di</strong> Sumatera Tengah dan pada Februari 1958 mengeluarkan ultimatum kepada<br />

Pemerintah Republik Pusat. Penolakan atas usul ini menimbulkan proklamasi PRRI. Letnan<br />

Kolonel Achmad Husein memainkan peranan penting dalam penstiwa-peristiwa sampai<br />

kepada pemberontakan PRRI/Permesta. Dia menja<strong>di</strong> Ketua Dewan Banteng <strong>di</strong> Sumatera<br />

Tengah dan pada Februari 1958 mengeluarkan ultimatum kepada Pemerintah Republik<br />

Pusat. Penolakan atas usul ini menimbulkan proklamasi PRRI. Herbert Feith dan Daniel Lev,<br />

“The End of Indonesian rebellion”, dalam Pacific Affairs, 36, No. 1, 1963, hlm. 43.<br />

48 Peraturan Presiden no.13/1961.<br />

49 Salah seorang dari yang melapor bersama Sjafrud<strong>di</strong>n Prawiranegara ialah Amelz.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!