07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

312<br />

Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

dan Ishak Amin. 2 Ikrar Lamteh ini sen<strong>di</strong>ri belum bisa menjamin suatu<br />

“gencatan senjata” (cease-fire) secara menyeluruh, karena beberapa<br />

kalangan DI yang masih berada <strong>di</strong> gunung belum bisa menerima<br />

perjanjian (truce) yang <strong>di</strong>anggap tidak seimbang ini. Sjamaun Gaharu<br />

bebas melaksanakan rencananya. Bersama dengan gubernur yang<br />

baru <strong>di</strong>angkat, Ali Hasjmy, dan dengan sokongan tegas Nasution, ia<br />

menempuh politik kebijaksanaan perukunan. Pada pertengahan April<br />

1957, pertengahan puasa, <strong>di</strong>adakan perun<strong>di</strong>ngan dengan sejumlah<br />

pemimpin Darul Islam terkemuka <strong>di</strong> Lamteh, sebuah desa beberapa<br />

kilometer dari Aceh. Bulan puasa (Bulan Ramadhan) adalah bulan yang<br />

tepat dan sengaja <strong>di</strong>pilih sebagai bulan penuh rahmat dan maghfirah<br />

untuk membuat perun<strong>di</strong>ngan dan pembicaraan damai. Pembicaraan<br />

yang mencapai puncaknya dalam Ikrar Lamteh ini tidak hanya <strong>di</strong><br />

dalamnya keduanya berjanji masing-masing untuk memajukan Islam,<br />

mendorong pembangunan Aceh dalam arti kata yang seluas-luasnya,<br />

dan berusaha mendatangkan kemakmuran dan keamanan kepada<br />

rakyat dan masyarakat Aceh, melainkan juga sebuah upaya strategis<br />

membuka kontak dengan para tokoh pergerakan DI Aceh. Di pihak<br />

Republik piagam itu <strong>di</strong>tandatangani Letkol Sjammaun Gaharu dan<br />

kepala stafnya, Mayor Teuku Hamzah, Ali Hasjmy, dan Kepala Polisi<br />

untuk Aceh, M. Insja bukan hanya menunjukkan sebuah perhatian<br />

serius, namun juga untuk mendemonstrasikan betapa pentingnya<br />

memakai cara-cara non-militer dalam penyelesaian konflik. Pemimpinpemimpin<br />

Darul Islam yang menandatanganinya adalah Hasan Aly,<br />

Hasan Saleh, dan Ishak Amin seperti terdorong untuk “mempertimbangkan”<br />

tawaran-tawaran sehingga akan ada suatu jeda bagi militer<br />

untuk menarik nafas panjang guna mempersiapkan <strong>di</strong>ri menghadapi<br />

segala kemungkinan yang terburuk sekali pun. Kemu<strong>di</strong>an, <strong>di</strong>sertai Ali<br />

Hasjmy, dan M. Insja, Sjammaun Gaharu juga menjumpai Daud<br />

Beureu`eh, yang pada waktu itu masih tidak ingin mendengarkan<br />

2 Ibid.<br />

Aceh <strong>di</strong> Awal Kemerdekaan<br />

yang gigih terhadap Belanda seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien<br />

<strong>di</strong> Aceh Barat, Cut Meutia <strong>di</strong> Aceh Utara, dan lain-lain. 8 Bahkan, dalam<br />

hal ini, Belanda punya kecenderungan untuk memainkan peranannya<br />

sebagai penguasa tunggal. Dalam saatsaat tertentu, terutama ketika<br />

hubungan uleebalang menja<strong>di</strong> dekat, mereka bisa mempromosikan<br />

golongan sultan untuk lebih dekat dengan pemerintah kolonial. Akan<br />

tetapi jelas pula, bahwa dengan munculnya pemerintah kolonial,<br />

<strong>di</strong>namika dan pergolakan politik <strong>di</strong> Aceh lebih <strong>di</strong>tentukan oleh<br />

ketidakmantapan struktur sosial masyarakat Aceh. Ini terutama<br />

<strong>di</strong>tandai oleh persaingan yang tajam antara golongan ulama dan<br />

uleebalang. Golongan ulama, pada dasarnya merupakan golongan<br />

mayoritas <strong>di</strong> dalam masyarakat, terutama karena la lebih dekat dengan<br />

rakyat banyak. Sementara golongan uleebalang, merupakan kalangan<br />

minoritas.<br />

Akan tetapi justru karena itu pula, konflik <strong>di</strong> antara mereka<br />

menja<strong>di</strong> semakin tajam. Sadar akan kekuatan perlawanan yang<br />

potensial <strong>di</strong> pihak ulama, pemerintah kolonial berusaha<br />

menetralisasikan kekuatan itu lewat kemudahan-kemudahan<br />

pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan bagi kaum uleebalang. Sebagai akibatnya, kaum ulama<br />

semakin merasa terancam. Mereka me-nyaksikan dan juga<br />

mengkhawatirkan bahwa sebagian dari anak-anak muda Aceh sudah<br />

mulai tersosialisasikan ke dalam sistem pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Barat. Kenyataan ini<br />

<strong>di</strong>lihat semakin memperkuat kedudukan uleebalang dan dengan<br />

demikian sekaligus akan semakin memperlemah kedudukan mereka.<br />

Suasana yang penuh dengan benih-benih konflik ini semakin<br />

<strong>di</strong>panaskan oleh munculnya perkembangan baru: munculnya Muhamma<strong>di</strong>yah.<br />

Organisasi pembaharu Islam ini menja<strong>di</strong>kan afi-liasi-afiliasi<br />

politik dan sosial masyarakat Aceh semakin rumit. Di satu pihak, karena<br />

organisasi Muhamma<strong>di</strong>yah bersifat apolitis yang cende-rung<br />

mempergunakan kaum uleebalang <strong>di</strong> banyak tempat sebagai pe-ngurus<br />

dan tokoh yang memegang kekuasaan politik dan dengan sen<strong>di</strong>ri-nya<br />

8 Tentang hal ini, lihat T. Ibrahim Alfian, (et.al), Perang Kolonial Belanda <strong>di</strong> Aceh (Colonial<br />

War in Aceh), (Banda Aceh: PDIA, 1995).<br />

55

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!