07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

320<br />

Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

dari Masyumi pada Agustus 1955 (Amin, 1956:205).<br />

Pembentukan suatu kabinet baru <strong>di</strong> bawah pimpinan perdana<br />

menteri Masyumi, dan <strong>di</strong> dalamnya PNI tidak terwakili, membuat lebih<br />

besar terdapat kemungkinan perukunan. Di samping itu, Burhanud<strong>di</strong>n<br />

Harahap <strong>di</strong>ketahui menyetujui mengakhiri jihad suci menegakkan<br />

Negara Islam dengan cara damai. Sudah beberapa bulan sebelumnya<br />

<strong>di</strong>a sependapat dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Kolonel<br />

Zulkifli Lubis—Wakil Kepala Staf Angkatan Darat yang kontroversial<br />

ketika itu—segala sesuatu harus <strong>di</strong>lakukan untuk mendapat<br />

penyelesaian politik bagi persoalan berbagai jihad suci menegakkan<br />

Negara Islam ini. 19 Selanjutnya ia meminta anak Daud Beureu`eh,<br />

Hasballah Daud, pergi ke Aceh Untuk menyampaikan penawaran<br />

kepada bapaknya amnesti dan abolisi jika berse<strong>di</strong>a menghentikan<br />

perlawanan. Hasballah Daud meninggalkan Jakarta pada 5 Juli 1955<br />

dengan surat dari Hatta dan dari Kementerian Penerangan dalam<br />

sakunya, dan <strong>di</strong>ser-tai Abdullah Arif, seorang pegawai Kementerian<br />

Penerangan, melewati jalan laut dan darat yang sangat melelahkan.<br />

Baru pada akhir Agustus 1955 <strong>di</strong>a kembali ke Jakarta. Baik Kabinet Ali<br />

Sastroamidjojo maupun Kabinet Burhanud<strong>di</strong>n Harahap tidak secara<br />

resmi bertanggung jawab untuk perjalanan ini, dan keduanya<br />

menekankan, hal ini merupakan prakarsa priba<strong>di</strong>. Namun, Abdullah<br />

Arif pergi ke Aceh sekali lagi untuk menemui Hasan Aly pada Februari<br />

1956. Upaya ini pun sia-sia. Pemimpin-pemimpin Islam <strong>di</strong> Aceh belum<br />

tergoda oleh tawaran amnesti, se-dangkan Republik menolak tuntutan<br />

pejuang mujahi<strong>di</strong>n untuk berun-<strong>di</strong>ng atas dasar pemerintah dengan<br />

pemerintah. Bagi kaum Republik, DI bukanlah sebuah pemerintahan,<br />

melainkan sebuah organisasi ba-wah tanah belaka yang kantor pun tak<br />

punya apalagi mesin ketik. Upaya untuk menengahi, yang tidak jelas<br />

sejauh mana hal ini <strong>di</strong>sokong Pemerintah Republik <strong>di</strong> Jakarta, hanyalah<br />

19 Zulkifli Lubis dan Burhanud<strong>di</strong>n Harahap juga terlibat dalam upaya mengadakan<br />

hubungan dengan Kartosuwirjo. Ini menja<strong>di</strong> jelas pada Februari 1956, ketika seorang<br />

utusan—yang membawa surat-surat untuk Kartosuswirjo yang memintanya agar<br />

menyetujui gencatan senjata— telah <strong>di</strong>ciduk oleh pihak keamanan Republik. Pikiran Rakyat,<br />

4 Februari 1956.<br />

Pendahuluan<br />

BARIS begitu juga sistem Komandemen. 83<br />

Badan-badan ini haroes membentoek seboeah “Benteng Islam” agar<br />

apabila dalam memasoeki tahap ketiga dapat menyelenggarakan negara<br />

basis atau “Ma<strong>di</strong>nah Indonesia” jang mana:<br />

“Ke dalam, berlakoe sebagai alat-alat pembersih dan penjapoe segala<br />

matjam koetoe-koetoe masjarakat, dan obat penjemboeh beraneka warna<br />

penjakit, pemelihara kadaoelatan Negara Islam Indonesia dan kesoetjian<br />

Agama Islam. Keloear, meroepakan Benteng Islam jang koeat sentaoesa,<br />

jang sanggoep menghadapi tiap-tiap moesoeh Allah (Islam), dari<br />

djoeroesan manapoen djoega.” 84<br />

Juga penganugerahan pangkat militer dan penggunaan lencana<br />

kepangkatan, serta bentuk dan pembuatan lencana tersebut kini <strong>di</strong>atur<br />

oleh sebuah Maklumat Komando Tertinggi.85 Selanjutnya <strong>di</strong>tetapkan<br />

konsolidasi militer dan aparatur Negara Islam Indonesia, agar negara<br />

ini juga dalam pandangan internasional sesuai dengan negara yang<br />

bebas merdeka. Konsolidasi ini terutama mencakup kekuatan tentara<br />

dan persenjataan kesatuan militer Tentara Islam Indonesia yang masih<br />

tetap jauh tertinggal dari standar seharusnya. Sebuah batalyon Tentara<br />

Islam Indonesia ter<strong>di</strong>ri dari 4 kompi masing-masing dengan 290<br />

tentara dan masing-masing kompi harus mempunyai 12 senjata<br />

otomatis berat dan ringan, 3 mortir, 189 pucuk senapan, dan 12 pucuk<br />

pistol. Namun standar persenjataan yang ideal ini tidak pernah<br />

tercapai, karena selalu kekurangan senjata berat.<br />

Perkembangan gerakan DI ini semakin hari semakin kuat, yang<br />

menyeberang ke DI semakin banyak, berasal dari berbagai kalangan:<br />

petani, rakyat kecil, mahasiswa, kaum intelektual, militer, polisi dan juga<br />

para pegawai negeri jawatan-jawatan pemerintahan. Gerakan ini<br />

mengalami proses ekspansi yang sangat cepat, menjalar bagaikan api<br />

membakar ladang kering <strong>di</strong> musim kemarau. Gerakan menentang ide-<br />

83 S.M. Kartosoewirjo (nama pena: Karma Yoga), Salinan Pedoman Dharma Bakti, Jilid I,<br />

Maklumat Komandemen Tertinggi No. 8, 12.10.1952, hlm. 55-63.<br />

84 Ibid.<br />

85 Ibid., "Maklumat Komandemen Tertinggi No. 9", 17.10.1952, hlm. 64-111.<br />

49

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!