darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
326<br />
Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />
merasa tidak puas <strong>di</strong> Sumatera pada Desember 1957. 31<br />
RPI tidak banyak harganya baik dalam arti militer atau pun arti politik.<br />
Persekutuan yang mengkhawatirkan antara orang-orang muslim<br />
seperti Daud Beureu`eh dan Kahar Muzakkar yang selama bertahuntahun<br />
telah bertempur untuk menegakkan dan mempertahankan Negara<br />
Islam Indonesia, orang-orang muslim yang terus-menerus dalam<br />
waktu yang lama menduduki jabatan-jabatan penting <strong>di</strong> Republik<br />
Indonesia, dan panglima-panglima militer seperti Malu<strong>di</strong>n Simbolon<br />
Kawilarang, dan Warouw yang selama masa berikutnya telah<br />
memimpin aksi-aksi militer Republik Indonesia terhadap Darul Islam,<br />
dan beberapa orang dari mereka itu Kristen pula, sangatlah berbahaya.<br />
RPI mungkin mewakili, seperti yang <strong>di</strong>lukiskan Hasan Muhammad Tiro,<br />
su-atu tindakan "untuk menjamin hak suci mereka untuk membentuk<br />
pe-merintahan sen<strong>di</strong>ri yang <strong>di</strong>ingkari ke<strong>di</strong>ktatoran Soekarno <strong>di</strong> Jakarta<br />
yang memaksakan kolonialisme Jawa terhadap lebih dari selusin bangsa",<br />
32 atau penolakan terhadap "kolonialisme baru, Jawa sawo<br />
matang", 33 tetapi hanya dendam terhadap Soekarno dan orang Jawa<br />
saja-lah yang merupakan persamaan mereka.<br />
Akibatnya, RPI sangat singkat usianya. Pada April 1961 Malu<strong>di</strong>n<br />
Simbolon dan seorang panglima militer lain, Achmad Husein, memisahkan<br />
<strong>di</strong>ri dari RPI untuk membentuk Pemerintah Darurat Militer. 34<br />
31 Herbert Feith dan Daniel Lev, “The End of Indonesian Rebellion”, dalam Pacific Affairs<br />
36, 1963, hlm. 38; J. Mossman, Rebel in Para<strong>di</strong>se: Indonesia’s Civil war, (London: Jonathan<br />
Cape, 1961), hlm. 229.<br />
32 Lihat Muhammad Hasan Tiro, Neo-Colonialism in Indonesia (How a new Collonialism<br />
Has Been Established Under the Cover of the Cry of “Anti-Colonialism), Naskah pidato pada<br />
Sidang Umum XVI PBBoleh Wakil Republik Federasi Indonesia <strong>di</strong> PBB, (New York, 1961).<br />
33 Lihat Mohammad Hasan Tiro, The Political Future of The Indonesian Archipelago: A<br />
Manifest by Dr. Teungku Hasam Muhammad <strong>di</strong> Tiro, (Medan: Sumatera Berdaulat, 1965).<br />
34 Letnan Kolonel Achmad Husein memainkan peranan penting dalam penstiwaperistiwa<br />
sampai kepada pemberontakan PRRI/Permesta. Dia menja<strong>di</strong> Ketua Dewan<br />
Banteng <strong>di</strong> Sumatera Tengah dan pada Februari 1958 mengeluarkan ultimatum kepada<br />
Pemerintah Republik Pusat. Penolakan atas usul ini menimbulkan proklamasi PRRI. Letnan<br />
Kolonel Achmad Husein memainkan peranan penting dalam penstiwa-peristiwa sampai<br />
Pendahuluan<br />
atas, <strong>di</strong>kirimkan Kartosoewirjo kepada Soekarno pada bulan Februari<br />
1951. Nota tersebut merupakan penjelasan nota sebelumnya. Kata<br />
Kartosoewirjo,<br />
“Pemimpin RI mempoenjai tanggoengdjawab oentoek membendoeng<br />
“aroes merah” dan sekaligoes haroes siap oentoek menghadapi “Perang<br />
Barata Joeda Djaja Binangoen”.<br />
Dia meramalkan dalam notanya ini, bahwa nasionalisme Indonesia<br />
akan mengalami perpecahan, sebagian akan mengikuti komunisme<br />
dan sebagian lagi menggabungkan <strong>di</strong>ri dengan golongan Islam. 67<br />
Kartosoewirjo menerangkan, bahwa <strong>di</strong> Indonesia sejak tiga tahun ber<strong>di</strong>rilah<br />
dua negara yang berbeda dalam hukum dan pen<strong>di</strong>rinya,<br />
berlainan sikap dan haluan politiknya, bertentangan maksud dan<br />
tujuan-nya; pendek kata berselisih hampir dalam setiap hal. Filsafat<br />
Pancasila <strong>di</strong>namakannya sebagai satu campuran masakan yang ter<strong>di</strong>ri<br />
dari pada Sintoisme, Hokko Itciu, syirik, dan nasionalisme-jahil yang<br />
kemerah-merahan. 68<br />
Namun amat <strong>di</strong>sayangkan kedua nota tersebut tidak pernah<br />
<strong>di</strong>jawab oleh Soekarno, sehingga Kartosoewirjo menyesalkan, bahwa<br />
pemerintah RI tidak menjawab kedua nota rahasianya, melainkan mencap<br />
negaranya sebagai “gerombolan Darul Islam”, pemberontak, perampok,<br />
dll., dan menyerang negaranya dengan kekuatan senjata.<br />
Semua usaha pemerintah RI untuk menyelesaikan masalah DI/TII secara<br />
damai <strong>di</strong>namakannya sebagai perbuatan khianat dan sebagai penipuan.<br />
Yang sangat memalukan sekali bahwa <strong>di</strong>ikut sertakannya para<br />
alim ulama sebagai penghubung dan pengantara. Yang pada akhirnya<br />
Kartosoewirjo menamakan Republik Indonesia sebagai “Repoeblik<br />
Indonesia Komoenis” (RIK) dan angkatan perangnya sebagai “Tentara<br />
Repoeblik Indonesia Komoenis” (TRIK). Dalam Manifesto Politik,<br />
Kartosoewirjo memberikan restrospeksi pada perkembangan politik<br />
Indonesia secara menyeluruh dan menjelaskan pandangannya tentang<br />
67 Ibid. Lihat juga Nota Rahasia 17.2.1951, hlm. 353-360.<br />
68 Ibid. Lihat juga "Manifesto Politik Negara Islam Indonesia No. V/7", dalam Pedoman<br />
Dharma Bhakti Jilid ke-2, hlm. 334.<br />
43