darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
24 Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Dewan Konstituante<br />
<strong>di</strong>bubarkan, dan Presiden mendekritkan berlakunya kembali UUD<br />
1945. 31 Dengan dekrit itu, otomatis persoalan Piagam Jakarta terungkit<br />
kembali. Untuk itu, Presiden memutuskan bahwa Piagam Jakarta<br />
mempunyai hubungan kesejarahan khusus dengan Undang-Undang<br />
Dasar (UUD), karenanya <strong>di</strong>anggap sebagai suatu bagian integral dari<br />
UUD itu sen<strong>di</strong>ri. Pengakuan semacam ini terhadap Piagam Jakarta<br />
dapat <strong>di</strong>-artikan sebagai in<strong>di</strong>kasi adanya posisi khusus yang <strong>di</strong>miliki<br />
umat Islam. Dan tampaknya umat Islam, baik <strong>di</strong>karenakan oleh<br />
problematika intern yang mereka hadapi, seperti konflik-konflik<br />
keagamaan, konsep politik yang tidak begitu jelas dan lain sebagainya,<br />
membuat mereka tidak begitu tanggap dalam mempergunakan<br />
kemunculan pengakuan terhadap Piagam Jakarta yang kedua kalinya<br />
itu.<br />
Di sinilah “politik ketakutan akan mayoritas” dari kalangan<br />
minoritas yang ademokratis ikut memainkan peran. Keprihatinan<br />
terhadap kemungkinan bahwa kelompok Islam akan memenangkan<br />
pemilihan umum menyebabkan para pemimpin dan aktivis politik<br />
kelompok na-sionalis meninjau kembali strategi mereka berkenaan<br />
dengan penye-lenggaraan pemilihan umum. Dalam hal ini, salah satu<br />
pilihan yang paling memadai adalah menunda waktu<br />
penyelenggaraan pemilihan umum. 32 Seperti <strong>di</strong>nyatakan A.R.<br />
Djokoprawiro dari Partai Indonesia Raya (PIR), strategi partainya adalah<br />
”menunda pemilihan umum sam-pai posisi para pendukung Pancasila<br />
lebih kuat“. Pemimpin-pemimpin lain seperti Soekarno, yang saat itu<br />
kepala negara, berusaha keras mempengaruhi <strong>di</strong>skursus politik negara<br />
untuk mendukung politik yang sudah <strong>di</strong>-“dekonfessionalisasi”. Pada 27<br />
Januari 1953, dalam safari politiknya <strong>di</strong> Amuntai (terletak <strong>di</strong> sebelah<br />
selatan Kalimantan yang komunitas Muslimnya sangat kuat), ia<br />
mengingatkan para pendengar-nya akan pentingnya upaya<br />
31 Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Bahan Penataran P-4 bagi mahasiswa, (Jakarta:<br />
Departemen Pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan dan Kebudayaan, 1988), hlm. 503.<br />
32 A. Hakim Dalimunthe, Gerak-gerik Partai Politik, (Langsa: Gelora, 1951).<br />
Misi Har<strong>di</strong>: Akomodasi Politik Pusat untuk Pemberlakuan Syari'at Islam <strong>di</strong> Aceh<br />
345<br />
Pemerintah sebesar Rp. 1000,- per orang per-bulan dalam masa<br />
peralihan selama 1 tahun, tun-tutan pemberian amnesti, abolisi dan<br />
rehabilitasi dari presiden, tun-tutan pembubaran badan legislatif<br />
daerah yang telah <strong>di</strong>bentuk tahun 1957 untuk <strong>di</strong>susun anggota baru<br />
dan tuntutan pembangunan ge-dung perdamaian dan kampus<br />
Universitas Syi’ah Kuala dan IAIN Ar-Raniry dan upacara perdamaian<br />
yang <strong>di</strong>ha<strong>di</strong>ri oleh berbagai tokoh ma-syarakat Aceh selama 3 hari<br />
yang <strong>di</strong>saksikan oleh Pemerintah Pusat. 4 Semua ini tak akan <strong>di</strong>berikan<br />
tanpa pemberontakan lebih dahulu. Se-harusnya, secara etis, sebuah<br />
pemerintahan pusat yang baik dan kuat mesti membangun semua<br />
yang menja<strong>di</strong> aspirasi rakyat tanpa harus <strong>di</strong>tuntut melalui jalan-jalan<br />
non-damai.<br />
Setelah melalui perdebatan yang cukup alot akhirnya tercapai juga<br />
beberapa kesepakatan dasar tanggal 26 Mei 1959 dalam bentuk pernyataan<br />
tertulis yang <strong>di</strong>tandatangani oleh A. Gani Usman, A. Gani<br />
Mutiara, dan Kol. Hasan Saleh yang <strong>di</strong>serahkan kepada WKPM Har<strong>di</strong>5. Isi<br />
pernyataan tersebut adalah pernyataan setia kepada UUD ’45,<br />
peleburan NBA sipil/militer ke dalam tubuh Republik dan harapan<br />
bahwa sesuatu yang belum dapat <strong>di</strong>sepakati dalam pertemuan itu<br />
akan <strong>di</strong>lan-jutkan pembicaraannya. Setelah itu WKPM Har<strong>di</strong> pun<br />
mengeluarkan keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Misi/1959 Tanggal<br />
26 Mei 1959 tentang perubahan Daerah Swatantra Tk. I Aceh menja<strong>di</strong><br />
Daerah Istimewa Aceh dengan catatan bahwa daerah ini tetap berlaku<br />
ketentuan-ketentuan mengenai Daerah Swatantra Tk. I seperti termuat<br />
dalam UU No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan<br />
4 Lihat Naskah Perdamaian Darussalam Tentang Penyelesaian Persengketaan Bersenjata<br />
antara Pihak NBA dengan RI <strong>di</strong> Aceh, Dewan Revolusi NBA-NII, Aceh Darussalam 10 Mei 1959.<br />
Lihat juga M. Isa Sulaiman, Ibid., hlm. 416.<br />
5 Menurut Hasan Saleh, persoalan yang hampir menggagalkan perun<strong>di</strong>ngan tersebut<br />
adalah masalah penyerahan pernyataan tertulis mereka kepada Har<strong>di</strong>. Har<strong>di</strong> menginginkan<br />
naskah itu <strong>di</strong>serahkan dulu untuk <strong>di</strong>bawa ke Jakarta kemu<strong>di</strong>an baru <strong>di</strong>proses, sebaliknya<br />
Hasan Saleh tidak mau sampai tuntutan mereka <strong>di</strong>penuhi. Hasan Saleh, Mengapa Aceh<br />
Bergolak, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hlm. 364.