darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
18 Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />
persoalan ini tidak begitu mempengaruhi perjalanan Masjumi, karena<br />
kecilnya kekuatan PSII itu sen<strong>di</strong>ri. Akan tetapi, <strong>di</strong> sisi lain, hal ini<br />
merupakan awal melemahnya kekuatan Islam dalam <strong>di</strong>ri partai<br />
Masjumi.<br />
Melemahnya Masjumi sebagai kekuatan politik Islam lebih<br />
terasakan lagi setelah NU mengikrarkan <strong>di</strong>ri keluar dari partai tersebut.<br />
Hal ini <strong>di</strong>sebabkan NU mempunyai massa sangat besar, terutama <strong>di</strong><br />
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Sejak itu (1952) NU<br />
mengubah <strong>di</strong>rinya dari jam'iyyah, organisasi sosial keagamaan, menja<strong>di</strong><br />
partai politik (hizbul siyasi). Kebesaran massa NU ini <strong>di</strong>buktikan pada<br />
Pemilu 1955, <strong>di</strong> mana NU muncul sebagai partai terbesar nomor tiga<br />
sesudah PNI dan Masjumi dengan meraih 18,4 persen suara dari<br />
seluruh jumlah peserta Pemilu. Karena itu, NU mendapatkan 45 kursi<br />
dalam Parlemen. Orang boleh melihat bahwa keluarnya NU dari<br />
Masjumi sebagai tindakan oportunistik. Tetapi, bagi NU sen<strong>di</strong>ri hal itu<br />
merupakan cara terbaik untuk membebaskan <strong>di</strong>ri dan jamaahnya dari<br />
rasa tidak puas, baik politik maupun religius, dalam tubuh Masjumi. 27<br />
Perpecahan-perpecahan politik Islam, tetap tidak mengubah<br />
orientasi perjuangan sebagian umat Islam untuk terus<br />
memperjuangkan gagasan negara Islam. Di dalam berbagai sidang<br />
Dewan Konstituante, khususnya Masjumi, tetap menyuarakan ide-ide<br />
negara Islam. Sementara itu masa Demokrasi Liberal atau Demokrasi<br />
Konstitusional yang <strong>di</strong>tandai dengan jatuh bangunnya kabinetkabinet,<br />
baik oleh alasan-alasan politis-sekuler maupun politis<br />
keagamaan, telah mendorong Presiden Soekarno untuk membubarkan<br />
Konstituante. Sejak Soekarno memberlakukan sistem Demokrasi<br />
Terpimpin (1957-1965), Indonesia memasuki masa <strong>di</strong> mana peranan<br />
demokrasi telah termanipulasikan oleh prinsip-prinsip ke<strong>di</strong>ktatoran,<br />
merupakan sebentuk pemerintahan otokratis yang menumpas tanpa<br />
setiap oposisi atau pandangan yang tidak menyetujuinya. Soekarno<br />
27 Tentang NU, lihat M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam <strong>di</strong> Indonesia: Pendekatan<br />
Fikih dalam Politik, (Jakarta: Grame<strong>di</strong>a, 1994).<br />
Misi Har<strong>di</strong>: Akomodasi Politik Pusat untuk Pemberlakuan Syari'at Islam <strong>di</strong> Aceh<br />
351<br />
atau tidak, merupakan persoalan yang akan <strong>di</strong>putuskan Konstituante,<br />
yang ketika itu sedang membicarakan kembalinya ke Undang-Undang<br />
Dasar 1945. Ia menghubungkan hal ini dengan Piagam Jakarta, yang<br />
kini kembali menja<strong>di</strong> masalah yang hangat <strong>di</strong>perdebatkan dalam<br />
Konstituante <strong>di</strong> Jakarta. Seperti ternyata, kaum politisi Islam tidak<br />
cukup kuat untuk meluluskannya kali ini. Satu-satunya hasil yang<br />
mereka peroleh ialah <strong>di</strong>akuinya oleh Soekarno dalam Dekrit yang<br />
menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Piagam<br />
Jakarta telah mengilhami Undang-Undang Dasar ini dan merupakan<br />
kesatuan dengannya. 12<br />
Kekaburan kompromi ini menimbulkan beberapa masalah pada<br />
1962. Pada akhir tahun itu tersiar berita, Angkatan Darat Pusat<br />
menentang (<strong>di</strong>berlakukannya hukum Islam <strong>di</strong> Aceh. Berita ini <strong>di</strong>bantah<br />
juru bicara Tentara. Ia membacakan sebuah pernyataan yang<br />
pokoknya berisi (1) hukum Islam tidaklah a priori <strong>di</strong>tolak, karena itu<br />
juga tidak <strong>di</strong> Aceh; (2) dapat <strong>di</strong>buat hukum bagi masyarakat Islam yang<br />
mungkin <strong>di</strong>sesuaikan dengan hukum Islam; dan (3) Pemerintah Daerah<br />
Aceh, sesuai dengan keterangan Misi Har<strong>di</strong>, boleh mengeluarkan<br />
peraturan-peraturan daerah yang sesuai dengan hukum Islam, asal saja<br />
ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum kebijaksanaan<br />
negara, kepentingan umum, atau peraturan hukum tingkat yang lebih<br />
tinggi. Dalam pembicaraan tentang kompromi politik ini, turut serta<br />
Menteri Agama, yang menyatakan <strong>di</strong>rinya yakin Angkatan Darat Pusat<br />
mengakui dan karena itu tidak menolak prinsip hukum Islam <strong>di</strong> Aceh.<br />
Selanjutnya <strong>di</strong>setujui secara prinsip, sebagian prajurit Tentara<br />
Islam, setelah melalui screening wajib, akan <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan wajib militer<br />
darurat. Kemu<strong>di</strong>an, pada 1 Oktober <strong>di</strong>setujui akan <strong>di</strong>bentuk Divisi<br />
Tengku Chik <strong>di</strong> Tiro sebagai bagian khusus dari Divisi Tentara <strong>di</strong> Aceh.<br />
Pegawai-pegawai negeri Darul Islam yang mengikuti Dewan Revolusi<br />
12 C. van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, (terj.), (Jakarta: Grafiti Pers, 1993),<br />
hlm. 264.