darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
16 Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />
Masjumi (Madjlis Sjoero Moeslimin Indonesia).<br />
Perjuangan Darul Islam ini pada awalnya berkesempatan mengkonsolidasikan<br />
<strong>di</strong>ri ketika Divisi Siliwangi TNI <strong>di</strong>pindah ke Jawa Tengah<br />
sebagai pelaksanaan Perjanjian Renville, pasukan-pasukan Lasjkar<br />
Hizbullah dan Lasjkar Sabilillah yang berada <strong>di</strong> bawah kepemimpinan<br />
Kartosoewirjo tetap tinggal <strong>di</strong> Jawa Barat karena memang tidak setuju<br />
dengan Perjanjian Renville. Pasukan Hizbullah dan Sabilillah<br />
secepatnya mengambil sikap dalam menanggapi kekosongan<br />
kekuasaan <strong>di</strong> wilayah tak bertuan Jawa Barat dengan segera menyusun<br />
struktur per-tahanan yang merupakan cikal-bakal sebuah negara.<br />
Ketika pasukan TNI Divisi Siliwangi kembali dari Jawa Tengah untuk<br />
melakukan perang gerilya, setelah Belanda melancarkan Agresi Militer<br />
II, mereka menjumpai kesatuan-kesatuan Hisbullah dan Sabilillah dan<br />
kesatuan-kesatuan bersenjata lainnya yang kemu<strong>di</strong>an bernama<br />
Tentara Islam Indonesia (TII). TII mencoba untuk menghalang-halangi<br />
kembalinya TNI ke Jawa Barat dan berusaha untuk menarik<br />
anggota-anggota TNI ke pihaknya. 25 Pertempuran antara pasukan TII<br />
dan TNI Divisi Siliwangi pun tidak dapat <strong>di</strong>hindarkan. Pertempuran<br />
pertama terja<strong>di</strong> pada tanggal 25 Januari 1949 <strong>di</strong> desa Antralina,<br />
Malangbong, antara Batalyon M. Rivai yang baru tiba dari Jawa Tengah<br />
dengan pasukan TII.<br />
Jika <strong>di</strong> zaman kolonial Belanda, perjuangan Islam lebih<br />
menyangkut tarik-menarik dan perdebatan strategi perjuangan antara<br />
“per-juangan politik” dan “pembangunan moral”, maka ketika<br />
meletusnya perjuangan TII ini pembeda utamanya adalah soal<br />
keabsahan Republik Indonesia. 26 Sementara partai-partai politik Islam<br />
bertolak dari sikap da-sar bahwa RI adalah negara sah, maka Darul<br />
Islam (DI) mengingkari ke-absahannya. Betapa pun masalah DI<br />
kemu<strong>di</strong>an berhasil "<strong>di</strong>turunkan" menja<strong>di</strong> masalah keamanan, tidak lagi<br />
25 Disjarah TNI, Album Peristiwa DI-TII, (Jakarta: Dinas Sejarah TNI, 1981), hlm. 67.<br />
26 Lihat Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwirjo: Angan-Angan yang gagal,<br />
(Jakarta: Penerbit Sinar Harapan), 1996.<br />
P<br />
Bab XIII<br />
MUSYAWARAH KERUKUNAN<br />
RAKYAT ACEH DI BLANGPADANG:<br />
REINTEGRASI DAN REKONSIALIASI<br />
PASCA KONFLIK<br />
emberontakan ini <strong>di</strong>akhiri dengan sebuah musyawarah besar,<br />
sebuah perhelatan <strong>di</strong>skursus ke<strong>aceh</strong>an dalam keindonesiaan. Jika<br />
pada awalnya pemberontakan <strong>di</strong>mulai dengan Kongres Ulama <strong>di</strong><br />
Medan, maka kisahnya ini pun <strong>di</strong>akhiri dengan sebuah kongres dalam<br />
bentuknya yang lain, yaitu: MKRA (Musyawarah Kerukunan Rakyat<br />
Aceh). Ini berarti akhir yang sesungguhnya dari jihad suci menegakkan<br />
Darul Islam Negara Islam, termasuk jihad menegakkan Negara Islam <strong>di</strong><br />
Aceh, meskipun tertunda namun sudah mendapatkan akomodasi<br />
politik yang sangat besar, sebuah pengakuan akan jati-<strong>di</strong>ri Aceh dan<br />
peneguhan sikap dan keinginan menjalankan syariat Islam. Di sini pada<br />
bulan-bulan sebelumnya banyak orang-orang DI yang telah<br />
“melaporkan <strong>di</strong>ri” atau “turun gunung” atau menyerah. Kon<strong>di</strong>si ini<br />
memberikan peluang bagi Pemerintah Daerah Provinsi Aceh untuk<br />
mengadakan perhelatan musyawarah: sebuah upaya untuk<br />
mengkonvergensi Aceh dari energi pemberontakan ke energi<br />
pembangunan. Keamanan sepenuhnya pulih <strong>di</strong> Aceh, pada 8 Mei 1962,