07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

14 Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

Tanah Karo sebagai pahlawan. Bagi masyarakat Aceh, Indonesia ketika<br />

itu adalah namiet yang tidak cocok <strong>di</strong>pukul dengan isyarat, harus<br />

dengan benda sekeras tungkat, maka jatuhlah pilihannya kepada Darul<br />

Islam. Sementara <strong>di</strong> kalangan rakyat kecil, mereka cukup<br />

mengekspresikan bahwa Pemerintah RI Soekarno adalah bui dan<br />

dalam kesadaran kultural Aceh, Geupeulet bui ngon asee (mengejar babi<br />

dengan memakai anjing) dan memang dalam kebiasaan masyarakat<br />

pedalaman Aceh babi biasanya <strong>di</strong>kejar dengan anjing. 21 Meskipun<br />

mungkin tidaklah terlalu tepat mengasosiasikan DI dengan asee atau<br />

bui dengan RI, namun inilah gambaran yang paling mungkin bisa<br />

<strong>di</strong>lukiskan oleh orang-orang Aceh pada waktu, dengan segala<br />

keguyuban, kesederhanaan dan keterbatasannya. 22<br />

Kesabaran dan sikap pasrah serta ikhlas yang sudah <strong>di</strong>tunjukkan<br />

oleh Teungku Daud Beureu`eh ini tidaklah <strong>di</strong>pahami sebagai isyarat<br />

oleh kalangan Republik <strong>di</strong> Pusat. Tidak terse<strong>di</strong>anya perlengkapan kognitif<br />

yang memadai <strong>di</strong> kalangan pemerintah Pusat saat itu telah menyebabkan<br />

isyarat ini tak terbaca sebagai sebuah pukulan. Mereka<br />

terlalu jauh untuk dapat mendengar sayup kepe<strong>di</strong>han Aceh. Kalangan<br />

Republik terlalu jauh untuk bisa melihat apa yang sedang terja<strong>di</strong><br />

dengan “singa Aceh” yang sedang duduk <strong>di</strong>am <strong>di</strong> kampungnya yang<br />

terik <strong>di</strong> Beureueneun, Pi<strong>di</strong>e. Isyarat ini hanya <strong>di</strong>tangkap oleh Boyd R.<br />

Compton23 dan SM Kartosoewirjo, tapi tidak oleh Soekarno, Ai<strong>di</strong>t,<br />

Njoto, dan kalangan merah pemerintahan Republik. Mereka terlalu<br />

silau dengan gemerlap pesta <strong>di</strong> istana Bogor dan riuhnya perdebatan<br />

liberal <strong>di</strong> parlemen. Sementara <strong>di</strong> Jawa Barat, ideologi Darul Islam terus<br />

menjalar, merambat ke setiap jengkal tanah Jawa dan kurir-kurir gerakan<br />

ra<strong>di</strong>kal ini bertebaran ke berbagai tempat menjangkau wilayahwilayah<br />

jihad, menyebar ajakan untuk memerangi Pancasila. Bagi<br />

orang-orang Aceh, kesamaan pandangan akan “Pancasila sebagau<br />

21 Wawancara dengan Ishak Ibrahim, Banda Aceh, 24 Juli 2006.<br />

22 Ibid.<br />

23 Lihat Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal, (terj.), (Jakarta: Pustaka LP3ES,<br />

2001). Lihat khususnya kata pengantar dari Fachry Ali.<br />

Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh <strong>di</strong> Blangpadang: Reintegrasi dan Rekonsiliasi …<br />

355<br />

berikan daerah itu status Provinsi Istimewa, dengan otonomi <strong>di</strong> bidang<br />

agama, hukum adat, dan pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan. Di samping itu, Daud Beureu`eh,<br />

pemimpin perjuangan yang benar-benar terpenting ini, yang merupakan<br />

salah seorang pejuang mujahi<strong>di</strong>n terakhir yang kembali dari<br />

hutan pada tahun 1962, tidak tewas dalam pertempuran atau <strong>di</strong>hukum<br />

mati, tetapi <strong>di</strong>beri ampun.<br />

Untuk merayakan perubahan Aceh dari Dar al harb, wilayah<br />

perang, ke Dar al-salam, daerah damai (untuk menggunakan ungkapan<br />

yang berlaku ketika itu), dan selanjutnya guna mengungkapkan pernyataan<br />

resmi akan persatuan Aceh yang telah pulih, <strong>di</strong>selenggarakan<br />

suatu upacara akbar pada akhir tahun itu, yaitu Musyawarah Kerukunan<br />

Rakyat Aceh (MKRA), yang berlangsung <strong>di</strong> Blangpadang dari 18<br />

sampai 22 Desember 1962. Puncak hasilnya adalah Ikrar Blangpadang,<br />

yang <strong>di</strong>tandatangani tujuh ratus orang Aceh terkemuka yang ha<strong>di</strong>r.<br />

Mereka berjanji akan memelihara dan membina kerukunan serta memancarkan<br />

persatuan dan persahabatan. 2<br />

Musyawarah kerukunan Rakyat Aceh ini merupakan sebuah upaya<br />

Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang menyerukan<br />

“nibak tje-bre, get meusaboh, tameudjroh-droh ngon sjeedara” (daripada<br />

berpecah belah, lebih baik kita berbaik-baikan sesama saudara”). 3 Bagi<br />

banyak orang Aceh, MKRA ini merupakan suatu rekonsialiasi rakyat<br />

Aceh yang menghasilkan Ikrar Blangpadang yang meskipun tidak tepat<br />

benar akomodasi politik yang <strong>di</strong>berikan oleh Pemerintah Pusat (Jakarta)<br />

ini, harus <strong>di</strong>terima dengan hati yang lapang. “Beuthat tameh surang<br />

sureng, asaj puteng roh lam bara” (bagaimanapun bengkoknya tiang<br />

asalkan ujung pahatan masuk ke dalam lubang kayu), sebuah<br />

ungkapan kultural yang sangat teknis tentang membangun Aceh,<br />

sebuah “rumah bersama” yang <strong>di</strong>huni oleh semua komponen yang<br />

selama ini kurang puas dengan “proses pembuatannya” yang mungkin<br />

2 Lihat Harian Duta Masyarakat, 20 Nopember 1962; 28-29 Desember 1962; dan 31<br />

Desember 1962.<br />

3 Tgk. Abdullah Arif Atjeh, Sja’ir Kerukunan Ra’jat Atjeh, (Kutaradja: Penerbit dan<br />

Pustaka Darussalam, 1962), hlm. 2.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!