darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
8<br />
Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />
dari 22), bersama PSII, kelompok Islam hanya memperoleh 54 kursi<br />
(23%). Kenyataan ini meruntuhkan mitos mayoritas Islam dalam politik.<br />
Kedua, dalam beberapa kesempatan, Masjumi <strong>di</strong>minta untuk membentuk<br />
dan memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan <strong>di</strong> bawah<br />
sistem demokrasi konstitusional (1950-1957), tiga kabinet <strong>di</strong>percayakan<br />
kepemimpinannya kepada Masjumi (Kabinet Natsir pada 1950-<br />
1951; Kabinet Sukiman pada 1951-1952; dan Kabinet Burhanud<strong>di</strong>n<br />
Harahap pada 1955-1956). Selain itu, ketika Partai Nasionalis Indonesia<br />
(PNI) <strong>di</strong>beri mandat untuk membentuk pemerintahan, baik Masjumi<br />
maupun NU, berperan sebagai pasangan koalisi yang utama. Terakhir,<br />
hasil pemilihan umum pertama yang <strong>di</strong>selenggarakan pada September<br />
1955 menunjukan, kelompok Islam (kali ini ter<strong>di</strong>ri dari Masjumi, NU,<br />
PSII, dan Perti) menguasai 114 dari 257 kursi (43,5%) dalam parlemen.<br />
Walaupun hasil akhir tersebut jelas jauh <strong>di</strong> bawah perkiraan Sjahrir, namun<br />
itu telah menggandakan wakil kelompok Islam dalam parlemen. 14<br />
Kenyataan ini, <strong>di</strong>tambah dengan tidak adanya kontroversi-kontroversi<br />
ideologis yang terbuka, boleh ja<strong>di</strong> turut menyebabkan berlangsungnya<br />
hubungan politik yang relatif harmonis antara kedua payung<br />
religio-politik besar ini selama tahun-tahun pertama politik Indonesia<br />
pasca revolusi (1950-1953). Kritik terang-terangan terhadap Pancasila<br />
oleh para pemimpin dan aktivis politik Islam jarang terja<strong>di</strong>. Bahkan<br />
Mohammad Natsir menyatakan bahwa —karena <strong>di</strong>masukkannya prinsip<br />
“Percaya kepada Tuhan” ke dalam Pancasila— Indonesia tidak menyingkirkan<br />
agama dari masalah-masalah kenegaraan.<br />
Namun bukan karena itu negara Indonesia <strong>di</strong>landa krisis politik,<br />
terutama krisis yang <strong>di</strong>reaksikan oleh Islam. Indonesia saat itu tengah<br />
jatuh ke dalam “titik terendah dalam hal kemampuannya memperoleh<br />
kontrol sosial dan efektivitasnya dalam men<strong>di</strong>stribusikan sumbersumber.<br />
Ketidakmampuan negara untuk melakukan “penetrasi” ke<br />
dalam masyarakat, untuk “mengatur” hubungan-hubungan dengan<br />
berbagai pengelompokan sosial-politik, dan untuk “menggali” serta<br />
14 Lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional <strong>di</strong> Indonesia:<br />
Stu<strong>di</strong> Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, (terj. Sylvia Tiwon), Jakarta: Grafiti Press, 1995.<br />
Kesimpulan<br />
361<br />
perkembangan baru: munculnya Muhamma<strong>di</strong>yah. Organisasi<br />
pembaharu Islam ini menja<strong>di</strong>kan afiliasi-afiliasi politik dan sosial<br />
masyarakat Aceh semakin rumit. Di satu pihak, karena organisasi itu<br />
bersifat apolitis, maka la cenderung mempergunakan kaum uleebalang,<br />
clan dengan sen<strong>di</strong>rinya pula, memperkuat posisi kelompok ini. Tentu<br />
saja, golongan ulama menja<strong>di</strong> semakin terdesak. Hal inilah yang<br />
mendorong mereka berpacu untuk menan<strong>di</strong>ngi gerakan<br />
Muhamma<strong>di</strong>yah. 6 Modernisasi pemikiran dan sistem pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Islam<br />
pun <strong>di</strong>lancarkan oleh kaum ulama. Akan tetapi, reaksi ini menimbulkan<br />
bentuk konflik yang lain, dan justru terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> dalam tubuh kaum<br />
ulama. Modernisasi yang <strong>di</strong>lancarkan ini telah menimbulkan perpecahan<br />
antara ulama reformis dan ulama tra<strong>di</strong>sionalis. Sebagai akibatnya,<br />
ulama tra<strong>di</strong>sionalis cenderung berafiliasi dengan golongan uleebalang.<br />
sampai dengan menjelang runtuhnya kekuasaan kolonial<br />
Belanda, struktur sosial masyarakat Aceh tegak pada dasar yang goyah.<br />
Dalam pengertian bahwa struktur sosial itu mengandung benihbenih<br />
konflik. Kelompok-kelompok pendukung struktur sosial itu telah<br />
terperangkap ke dalam suasana prasangkayangmendalam. Dalam<br />
kon<strong>di</strong>si yang semacam itulah kita menyaksikan afiliasi-afiliasi sosialpolitik<br />
yang relatif "aneh". Belanda melancarkan "modernisasi"<br />
masyarakat Aceh untuk menetralisasikan pengaruh atau kekuatan<br />
ulama. Untuk tujuai1 itu, la berafiliasi dengan kaum uleebalang.<br />
Sejalan dengan sifat Muhamma<strong>di</strong>yah yang apolitis, uleebalang bisa<br />
bekerja sama dengan organisasi itu. Akan tetapi, karena terja<strong>di</strong><br />
perpecahan <strong>di</strong> dalam tubuh kalangan ulama, ulama-ulama tra<strong>di</strong>sionalis<br />
- ja<strong>di</strong> agak bertentangan dengan modernisasi Belanda-berafiliasi<br />
dengan uleebalang. Dan untuk menghadapi pengaruh kaum ulama,<br />
kaum uleebalang cenderung membangun citranya sebagai kalangan<br />
yang mempertahankan "adat Aceh". Sementara, j ustru untuk<br />
membendung pengaruh Muhamma<strong>di</strong>yah, sebagian dari kalangan ulama<br />
melancarkan gerakan reformasi. Ber<strong>di</strong>rinya organisasi Persatuan Ulama<br />
Seluruh Aceh (PUSA), adalah refleksi dari usaha ulama-ulama<br />
6 Fachry Ali, Ibid.