07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

6<br />

Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

sekaligus menunjukkan betapa konflik ideologis para pen<strong>di</strong>ri republik<br />

ini berkisar sekitar dasar negara dan haluan politik negara. Dari<br />

semenjak ketika organisasi-organisasi nasionalisme pertama-tama<br />

ber<strong>di</strong>ri <strong>di</strong> Nusantara ini, pemikiran bahwa Indonesia akan merdeka<br />

menyelimuti sebagian besar keyakinan para nasionalis ketika itu. Maka<br />

jauh-jauh hari mereka sudah memperdebatkan tentang jika bangsa ini<br />

sudah merdeka maka bagaimanakah bentuk kekuasaan dan tata cara<br />

kenegaraannya akan <strong>di</strong>atur, juga hukum dan pelaksanaan birokrasi<br />

negara.<br />

Perdebatan ini begitu alotnya sehingga melibatkan banyak<br />

nasionalis tersebut mengajukan berbagai nilai sebagai dasar negara ini.<br />

Ada yang mengusulkan nilai nativisme budaya daerah sebagai dasar,<br />

juga ada yang mengusulkan demokrasi a la Barat, ada yang menginginkan<br />

ideologi komunisme, juga ada Islam. Masing-masing punya<br />

alasan kuat kenapa nilai-nilai tersebut <strong>di</strong>ajukan dan masing-masing<br />

mengklahll bahwa usulnya sudah merepresentasi mayoritas; keinginan<br />

rakyat Indonesia. Sudah sejak semula para nasionalis Islam mencitacitakan<br />

suatu negara Islam. Cara yang <strong>di</strong>tempuh untuk mencapai tujuan<br />

itu berbeda-beda, ada yang dengan jalur konstitusi seperti Muhammad<br />

Natsir dan tokoh-tokoh Partai Masjumi lainnya, juga ada dengan<br />

jalan perjuangan seperti yang <strong>di</strong>lakukan oleh Kartosoewirjo. Ia sangat<br />

konsisten dengan konsep politik hijrah-nya yang berarti memisahkan<br />

<strong>di</strong>ri secara pemikiran dan menarik garis demarkasi pembeda antara<br />

Negara Islam dan Negara Bukan Islam (Negara Pancasila).<br />

Wajar jika kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>a tidak aktif lagi dalam <strong>di</strong>skusi atau rapat<br />

atau sidang partai maupun organisasi. Dia bersikap non-kooperatif<br />

dalam semua hal dan membangun sen<strong>di</strong>ri kekuatannya tanpa bantuan<br />

pihak lain. Bagaimana rumitnya perdebatan itu, ternyata tidak hanya<br />

berhenti sebagai perdebatan semata, namun lebih dari itu berusaha<br />

Islam secara lebih bersifat ideologis. Sebagai sebuah karya <strong>di</strong>sertasi pada jurusan sejarah<br />

Universitas Heidelberg buku ini sangat padat berisi berhagai data dan informasi baru yang<br />

<strong>di</strong>korek langsung dari sumber-sumber utama (primary sources) seperti wawancara dan<br />

tulisan-tulisan asli dari subjek target penelitian.<br />

Kesimpulan<br />

seperti Teuku Nya' Arif dan Teuku Panglima Polem Muhammad Ali. 10<br />

363<br />

Pada masa pasca-kolonial, struktur masyarakat Aceh mengalami<br />

perubahan dengan banyaknya unsur-unsur luar yang semakin<br />

merumitkan suasana sosial Aceh. Dalam konteks struktur sosial<br />

masyarakat Aceh pasca-kolonial yang masih belum mantap, dan dalam<br />

komposisi serta afiliasi sosial-politik yang penuh dengan benih<br />

konflik dan dalam suasana yang selalu rnenimbulkan kebutuhan<br />

untuk ‘meminjam tenaga luar’ itulah kita lebih bisa memahami secara<br />

lebih kongkret dan rill “kejutan” munculnya “pemberontakan” DI<br />

yang sebenarnya berasal dari Jawa Barat. Dalam masa pemerintahan<br />

Jepang, jelas sekali kaum ulama reformis menggunakan kekuatan luar<br />

inilah yang memberikan peluang meletusnya peristiwa Cumbok, <strong>di</strong><br />

mana sisa-sisa kaum uleebalang <strong>di</strong>hancurkan. 11 Kaum uleebalang ini,<br />

dengan merosotnya kekuatan Jepang dalam bulan Agustus 1945,<br />

mengharapkan kembalinya kekuasaan Belanda sebagai sumber dari<br />

tenaga luar mereka, berhadapan dengan ulama reformis. Dan justru<br />

karena kekhawatiran akan kembalinya kekuasaan Belandalah —<br />

setidak-tidaknya, inilah yang terbaca dalam introduction tesis<br />

Nazarud<strong>di</strong>n Syamsu<strong>di</strong>n 12— kaum ulama reformis secara cepat<br />

menerima keha<strong>di</strong>ran Republik Indonesia.<br />

Tentu saja, kesimpulan ini tidak bisa <strong>di</strong>terima secara mutlak.<br />

Sebab, seperti Anthony Reid 13 menyatakan, sudah sejak tahun<br />

1920, semangat nasionalisme telah tersebar <strong>di</strong> daerah Aceh. Ini<br />

terbukti dari pidato Abdoel Manap pada tahun itu <strong>di</strong> pedesaan Aceh,<br />

tentang perlunya kesatuan dan kesepakatan nasional. Daud Beureu`eh<br />

sen<strong>di</strong>ri, lewat kekuatan luar juga (dalam hal ini Pemerintah Republik<br />

10 Loc.cit.<br />

11 Anthony Reid dan Shiraishi Saya, “Rural Unrest in Sumatra, 1942: A Japanese Report”,<br />

dalam Indonesia 21 (April 1976), hlm. 115-133.<br />

12 Nazarud<strong>di</strong>n Sjamsud<strong>di</strong>n, The Republican Revolt, The Case of Achehnese Darul Islam,<br />

(Singapore: ISEAS), 1985, hlm. vi.<br />

13 Anthony Reid, “The Birth of Republic in Sumatra” dalam Indonesia, 12, (Oktober<br />

1971).

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!