07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

194<br />

Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

<strong>di</strong>ba-yangkan dalam kerangka Republik Indonesia. Daud Beureu’eh<br />

mempertanyakan mengapa perdebatan tentang ini harus menunggu<br />

ter-bentuknya Konstituante, dan apakah ini barangkali karena<br />

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Pusat hanya ingin<br />

menyisihkan persoal-an ini.<br />

Padahal, bahwa lembaga yang akhir ini mampu bertindak cepat<br />

telah <strong>di</strong>perlihatkan pada waktu pengubahan RIS (Republik Indonesia<br />

Serikat) menja<strong>di</strong> RIK (Republik Indonesia Kesatuan). Daud Beureu`eh<br />

menggarisbawahi kenyataan, rakyat Aceh dengan sabar telah menanti<br />

terbentuknya Konstituante selama bertahun-tahun, tetapi Pemerintah<br />

dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyadari ini dan bahkan<br />

memutuskan menunda pemilihan umum. Ia menduga, barangkali<br />

pemerintah lebih mengutamakan kepentingannya sen<strong>di</strong>ri daripada<br />

kepentingan rakyat. Selanjutnya <strong>di</strong>pertanyakannya, apakah<br />

pemerintah mungkin lebih memberikan bantuan dan dorongan<br />

kepada kelompok kecil mereka yang mempercayai Ketuhanan yang<br />

Maha Esa suatu keyakinan lain, atau kepada orang-orang yang tidak<br />

percaya kepada Tuhan sama sekali, dengan secara menyolok<br />

bertentangan dengan cita-cita dan hasrat mayoritas.<br />

Rakyat Aceh tidak ingin memisahkan <strong>di</strong>ri dari saudara-saudaranya,<br />

Daud Beureu’eh menegaskan, tetapi tidak pula mereka ingin<br />

<strong>di</strong>perlakukan sebagai anak tiri. Dalam hubungan ini ia mengemukakan<br />

ku-rangnya fasilitas pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang baik dan kesempatan kerja bagi<br />

anak-anak Aceh, sedangkan tidak adanya sistem perhubungan yang<br />

memadai menghalangi rakyat dalam kegiatan ekonominya. Ia menambahkan,<br />

proklamasi Negara Islam Aceh tidaklah berarti bahwa telah<br />

terbentuk suatu negara dalam negara. Pada masa lalu Republik Indonesia<br />

<strong>di</strong>anggap sebagai jembatan emas menuju pelaksanaan cita-cita<br />

negara yang <strong>di</strong>idamkan sejak semula. Tetapi kini jembatan ini tidak lagi<br />

<strong>di</strong>anggap sebagai sarana komunikasi, melainkan lebih merupakan rintangan.<br />

Kesetiaan kepada Republik, yang <strong>di</strong>dasarkan pada<br />

nasionalisme, telah lenyap sedangkan selanjutnya rakyat pun tidak<br />

merasa <strong>di</strong>-persatukan oleh suatu sistem hukum yang sama.<br />

Meletusnya Pemberontakan Darul Islam <strong>di</strong> Aceh 175<br />

melalui jalur pedalaman Kutacane – Blang Keujeuren dan Takengon. 9<br />

Lambat laun situasi <strong>di</strong> bidang militer mulai berubah dan terlihat<br />

tanda-tanda yang lebih menguntungkan pihak perjuangan TII. Pada<br />

tahun 1953, rata-rata setiap hari ada saja yang gugur dari tentara<br />

Republik dalam pertempuran dengan pasukan TII. Sebaliknya pada<br />

tahun 1954 kerugian akibat serangan perjuangan TII setiap tahun<br />

sudah meningkat dua kali lipat.10 Dari “berita kemenangan” dan<br />

laporan-laporan yang <strong>di</strong>sampaikan dalam setiap briefing pasukan juga<br />

menja<strong>di</strong> jelas, bahwa sebagian besar senjata yang <strong>di</strong>miliki perjuangan<br />

DI/TII adalah hasil rampasan dalam pertempuran. Dengan demikian<br />

pada tahun 1956, rata-rata dalam satu bulan jatuh 15 senjata ke tangan<br />

sebuah kesatuan TII.<br />

Sadar akan kekuatannya sen<strong>di</strong>ri yang pada tahun 1957, T.I.I.<br />

mencapai 13.129 tentara, 11 serta mengingat keadaan politik dan<br />

ekonomi pemerintah pusat <strong>di</strong> Jakarta sedang terja<strong>di</strong> kekacauan yang<br />

<strong>di</strong>akibatkan oleh intrik politik Komunis yang semakin mempengaruhi<br />

kebijakan pemerintah, keyakinan nampak pada setiap anggota TII<br />

bahwa sesungguhnya dalam waktu dekat tujuan perjuangan akan<br />

tercapai. Kartosoewirjo segeral mengeluarkan pernyataan resminya:<br />

“Dalam keadaan RIK jang soenggoeh katjau balau seperti sekarang ini, kita<br />

haroes pandai dalam menoendjoekkan segenap tindakan revoloesioner<br />

kita jang memoengkinkan lebih besar oentoek dapat menarik hati ra’iat,<br />

sekali lagi: Hati ra’iat! Sebaliknja, djanganlah kita melakoekan tindakantindakan<br />

jang membawa akibat bertambah sakitnja djiwa ra’iat jang<br />

memang telah loeka hatinja oleh karena tindakan kekedjaman dari<br />

serdadoe-serdadoe pantjasila. Tindakan-tindakan kita jang langsoeng<br />

berhoeboengan dengan kepentingan dan keselamatan ra’iat banjak,<br />

hendaklah <strong>di</strong>lakoekan sebidjaksana-bidjaksananja”. 12<br />

9 Hasan Saleh, op. cit. hlm. 11-12. Lihat juga M. Isa Sulaiman, op. cit., hlm. 287-289.<br />

10 A.H. Nasution, Tjatatan-tjatatan Sekitar Politik Militer Indonesia, (Jakarta: Pembimbing,<br />

1955), hlm. 92.<br />

11 Penumpasan Pemberontakan DI-TII/SMK <strong>di</strong> Jawa Barat, (Bandung: Dinas Sejarah TNI-<br />

Angkatan Darat, 1974), hlm. 94.<br />

12 Ibid.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!