07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

206<br />

Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

oleh Ilyas Leube dan M. Saleh Adri. Aparat Pemerintah yang tetap setia<br />

me-ngungsi ke Bireun, sementara Bupati M. Husin yang berpihak<br />

kepada pemberontak berhasil <strong>di</strong>tangkap. Sebaliknya Tapaktuan<br />

walaupun dapat <strong>di</strong>kuasai para pemberontak <strong>di</strong> bawah pimpinan<br />

Teungku Zamzami Yahya dan M. Saleh Kapa, namun mereka tidak<br />

berhasil mengambil alih kekuasaan karena Sekretaris Kabupaten J.A.M.<br />

Hutabarat dan Perwira Distrik Militer Letnan Hasan Samosir telah<br />

mengungsikan pemerintahan ke Kandang, Bakongan. Kegagalan<br />

menguasai pusat-pusat pemerintahan baik ibukota keresidenan<br />

maupun kabu-paten (kecuali Takengon) tentulah membuyarkan<br />

skenario perang yang telah <strong>di</strong>susun pemberontak sebelumnya.<br />

Tempat-tempat tersebut telah berubah fungsinya menja<strong>di</strong> basis<br />

pertahanan Republik dalam merebut kembali daerah-daerah yang<br />

telah <strong>di</strong>kuasai oleh kelompok pemberontak. 6<br />

Pertempuran-pertempuran frontal yang <strong>di</strong>lakukan oleh pemberontak<br />

sejak awal pemberontakan hasilnya tidak sesuai dengan skenario<br />

awal tersebut telah mengakibatkan pasukan mereka tercerai-berai.<br />

Sejak saat itu Hasan Saleh menata kembali pasukan pemberontak yang<br />

masih tersisa dan menempuh strategi perjuangan baru yaitu perang<br />

gerilya, dengan taktik intimidasi dan pengacauan terhadap posisi aparat<br />

keamanan negara. Taktik tersebut <strong>di</strong>realisasikan melalui tindakantindakan<br />

pencegatan atau penghadangan terhadap konvoi atau patroli<br />

militer, pengrusakan prasarana dan sarana perhubungan seperti jembatan<br />

dan halte kereta api, jaringan telepon, menculik dan membunuh<br />

lawan politik, dan penyebaran pamflet terutama “Suara Gerilya Rimba<br />

Raya” yang berisi ancaman terhadap mereka yang merugikan kepentingan<br />

gerombolan.<br />

Untuk mendukung strategi gerilya tersebut, pasukan<br />

pemberontak <strong>di</strong>pencar-pencar berdasarkan daerah asal mereka <strong>di</strong><br />

bawah komandan-komandan setempat. Namun demikian, kekuatan<br />

utama pem-berontak berada <strong>di</strong> Pi<strong>di</strong>e karena tenaga terlatih, terutama<br />

6 Ibid.<br />

Penghapusan Provinsi Aceh: Kegagalan Politik Soekarno dan Keberhasilan … 163<br />

seperdjuangan sutji <strong>di</strong> Atjeh” menunjukkan bahwa S.M. Kartosoewirjo<br />

sudah memiliki jaringan (net-works) yang kuat <strong>di</strong> Aceh sebelum<br />

terja<strong>di</strong>nya pemberontakan.<br />

Persoalan berikutnya yang meluapkan perasaan <strong>di</strong> Aceh adalah<br />

penangkapan besar-besaran yang <strong>di</strong>lakukan <strong>di</strong> seluruh Indonesia.<br />

Kabinet yang berkuasa ketika itu, Kabinet koalisi Masyumi-PNI yang<br />

<strong>di</strong>pimpin Sukiman, bercirikan sikap anti-komunis yang keras. Ini<br />

mencapai puncaknya dalam apa yang <strong>di</strong>sebut “razia Agustus”. Dengan<br />

dalih terungkapnya suatu komplotan untuk menggulingkan<br />

Pemerintah, kira-kira 15.000 orang <strong>di</strong>tangkap. Di dalamnya termasuk<br />

sejumlah politisi Masjumi, rupanya karena melakukan hubungan<br />

dengan kelompok-kelompok Darul Islam. Tetapi seperti <strong>di</strong>kemukakan 89:<br />

"Rupanya jumlah terbesar mereka yang <strong>di</strong>tangkap adalah orang Cina<br />

atau pendukung PKI". Pilihan orang-orang yang akan <strong>di</strong>tangkap<br />

<strong>di</strong>lakukan tergesa-gesa, banyak <strong>di</strong>serahkan kepada kebijaksanaan para<br />

pejabat setempat, terutama para bupati, untuk menangkap siapa yang<br />

mereka anggap berbahaya bagi keamanan <strong>di</strong> daerah mereka. 90<br />

Penilaiannya pada umumnya tepat. Benar-benar banyak tergantung<br />

pada kebijaksanaan para penguasa setempat. Tetapi justru faktor inilah<br />

yang membedakan penangkapan-penangkapan <strong>di</strong> Aceh dengan<br />

penangkapan <strong>di</strong> bagian lain Indonesia.<br />

Seperti juga <strong>di</strong> tempat lain, para penguasa militer keras anti-komunis.<br />

Tetapi berbeda dengan penguasa <strong>di</strong> bagian-bagian lain <strong>di</strong> Indonesia,<br />

mereka merasa masih menghadapi musuh yang lebih berbahaya:<br />

PUSA. Hal lain yang membedakan Aceh ialah tajamnya pertentangan<br />

kalangan militer provinsi Sumatera Utara dengan pemerintahan sipil <strong>di</strong><br />

Aceh. Yang belakangan ini, walaupun terdapat perubahan-perubahan<br />

sebelumnya dalam personil, masih berorientasi PUSA. Akibatnya, justru<br />

pada pokoknya anggota-anggota PUSA ketimbang anggota-anggota<br />

atau para pendukung partai Komunis, PKI, yang <strong>di</strong>tangkap atau<br />

89 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, (Ithaca, New York:<br />

Cornell University Press, 1968), hlm. 189.<br />

90 Feith, Ibid., hlm. 190.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!