darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
160<br />
Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />
pertanyaan anggota DPR mengenai “Peristiwa Daud Beureu`eh”<br />
<strong>di</strong>sebutkan bahwa “mengenai pertanyaan tentang penyusunan daftar<br />
penangkapan kurang lebih 300 orang, <strong>di</strong> sini Pemerintah hendak<br />
menerangkan bahwa Jaksa Agung tidak pernah menyusun daftar<br />
tersebut”. Berdasarkan keterangan tersebut M. Nur El Ibrahimy<br />
berkesimpulan bahwa pembuatan dan sekaligus pembocoran “les<br />
hitam” tersebut sengaja <strong>di</strong>lakukan oleh lawan-lawan politik, termasuk<br />
Jaksa Tinggi Sunarjo, yang dengan sengaja ingin menjebak Tgk. M.<br />
Daud Beureu`eh dan kawan-kawannya. Meskipun “les hitam” tersebut<br />
tidak benar 83 namun pengaruhnya sangat besar terhadap menciptakan<br />
keresahan dan mematangkan rencana pemberontakan. 84<br />
J. Menggumpalnya Kekecewaan<br />
Masa tenang <strong>di</strong> Aceh hasil penyelesaian yang <strong>di</strong>usahakan Natsir<br />
dan Daud Beureu`eh tidak berlangsung lama. Sejak awal April tampak<br />
tanda-tanda pertama keresahan baru, ketika suatu gerakan anti-PUSA<br />
baru memperoleh momentum. Pada 8 April 1951 <strong>di</strong> Aceh <strong>di</strong>bentuk<br />
Badan Keinsjafan Rakyat (BKR). Badan ini dalam banyak hal mirip<br />
dengan gerakan Sajid Ali Alsaqaf. Kelihatannya semua tujuannya<br />
adalah untuk menegakkan pemerintah yang tidak korup dan<br />
berkesanggupan, namun sasaran pokok adalah pemimpin-pemimpin<br />
PUSA. Seperti juga dalam gerakan Sajid Ali Alsaqaf, uleebalang dan<br />
alim ulama turut serta <strong>di</strong> dalamnya. Tujuan-tujuan BKR yang<br />
<strong>di</strong>nyatakan adalah untuk membantu Pemerintah, "<strong>di</strong> mana perlu",<br />
dalam memberikan penerangan tentang kebijaksanaannya dan<br />
memperkukuh hubungannya dengan rakyat.<br />
Program yang lebih konkrit <strong>di</strong>uraikan dalam suatu resolusi yang<br />
<strong>di</strong>terima BKR pada l5 April 1951. Resolusi ini mulai dengan pernyataan<br />
83 Tidak benarnya “les hitam” baru <strong>di</strong>ketahui setelah pemberontakan sudah terja<strong>di</strong>. Hal<br />
ini membuktikan bahwa Pemerintah kurang tanggap terhadap kon<strong>di</strong>si yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> Aceh<br />
saat itu.<br />
84 Ibid.<br />
Ditabuhnya Genderang Perang Sabil dan Bijstand<br />
209<br />
2. Menteri Dalam Negeri: Teungku Sulaiman Daud<br />
3. Menteri Peperangan: Teungku H. Affan<br />
4. Menteri Pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan dan Penerangan: Saleh Adri<br />
5. Menteri Kehakiman: Teungku Zainal Abi<strong>di</strong>n. 10<br />
Untuk mendukung jalannya perjuangan, kelompok pembe-rontak<br />
mendapatkan dana untuk membeli persenjataan, pakaian, obatobatan,<br />
dan keperluan lainnya yang <strong>di</strong>pungut dari penduduk.<br />
Pungutan dana tersebut resmi atas instuksi Teungku M. Daud<br />
Beureu`eh tanggal 5 April 1954 yang isinya “Perang menegakkan<br />
Negara Islam adalah fardhu ain, wajib <strong>di</strong>kerjakan oleh tiap rakyat yang<br />
memeluk agama Islam”. Oleh karenanya dana perjuangan wajib<br />
<strong>di</strong>pungut bagi yang tidak memungut senjata. 11 Jenis nafkah perang<br />
yang mereka kumpulkan ter<strong>di</strong>ri dari Senif, Ibnu Sabil, dan Mualaf dari<br />
zakat fitrah, infaq kendaraan bermotor dan sepeda, cukai galian pasir,<br />
cukai ternak dan cukai dari komo<strong>di</strong>ti pertanian. 12<br />
Selain itu kelompok pemberontak juga mengambil cukai dari<br />
perkebunan-pekebunan besar yang ada <strong>di</strong> Aceh. Pihak perkebunan<br />
tidak punya pilihan lain kecuali harus mematuhinya untuk menjamin<br />
kelancaran usahanya, karena saat itu mereka tidak dapat<br />
mengandalkan perlindungan dari pasukan Pemerintah. Pembayaran<br />
pajak terhadap kelompok pemberontak tersebut tidak <strong>di</strong>laporkan<br />
kepada Pemerintah. Untuk menjamin keselamatan dan kedudukan<br />
pimpinan per-kebunan, kelompok pemberontak merekayasa seakanakan<br />
pajak ter-sebut <strong>di</strong>pungut <strong>di</strong> bawah todongan senjata. Situasi ini<br />
terus berlang-sung sampai penyelesaian masalah ini tuntas <strong>di</strong>lakukan<br />
pada awal tahun 1960-an. 13<br />
10 Ibid.<br />
11 Insider, op. cit. hlm. 96-97.<br />
12 M. Isa Sulaiman, op. cit., hlm. 306.<br />
13 Ibid.