darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
2<br />
Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />
kemerdekaan yang penggalan-penggalannya haruslah <strong>di</strong>cari dari<br />
alasan-alasan para pencetus dan pengikut pemberontakan tersebut<br />
serta dokumen sekunder.<br />
Peristiwa DI <strong>di</strong> Aceh terja<strong>di</strong> pada 21 September 1953, mencakup<br />
hampir keseluruhan wilayah geografis Aceh yang “getarannya” masih<br />
terasa hingga sekarang. Nazarud<strong>di</strong>n Sjamsud<strong>di</strong>n menyebutkan bahwa<br />
meskipun peristiwa berdarah Darul Islam <strong>di</strong> Indonesia (dan Aceh khususnya)<br />
sudah lama terja<strong>di</strong>, namun “getaran-getarannya” cukup terasa<br />
dalam kepolitikan bangsa kita hingga hari ini. 2 Peristiwa yang<br />
kemu<strong>di</strong>an secara awam <strong>di</strong>sebut sebagai ‘pemberontakan’ ini —dan<br />
para pelakunya <strong>di</strong>label dengan julukan ‘gerombolan’— terja<strong>di</strong> dalam<br />
ren-tang waktu yang sangat lama, dari tahun 1953 hingga tahun 1962. 3<br />
DI Aceh sen<strong>di</strong>ri bukanlah ide orisinal para pelakunya <strong>di</strong> Aceh,<br />
melainkan sebuah gerakan dari luar Aceh, tepatnya dari S.M.<br />
Kartosoewirjo <strong>di</strong> Jawa Barat. 4 Ide negara Islam sudah hidup lama <strong>di</strong><br />
Aceh, namun Kartosoewirjo-lah yang memproklamasikannya paling<br />
awal; tidak hanya sebagai proklamasi negara Islam paling pertama <strong>di</strong><br />
Indonesia, melainkan pertama <strong>di</strong> awal abad ke-20.<br />
SM Kartosoewirjo memproklamasikan ber<strong>di</strong>rinya Negara Islam<br />
Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 <strong>di</strong> Malangbong, Garut, Jawa Barat.<br />
Dalam penjelasan proklamasinya tersebut, terdapat penjelasan bahwa<br />
nama lain dari NII adalah Darul Islam 5 dan tentaranya <strong>di</strong>sebut dengan<br />
2 Nazarud<strong>di</strong>n Sjamsud<strong>di</strong>n, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul <strong>islam</strong> Aceh,(terj.),<br />
(Jakarta: Grafiti, 1990), hlm. xv. Buku Sjamsud<strong>di</strong>n ini merupakan buku yang sangat bagus —<br />
jika tidak merupakan satu-satunya— sebagai referensi utama membahas Darul Islam <strong>di</strong><br />
Aceh.<br />
3 Dalam kalimat Teungku Daud Beureu`eh sen<strong>di</strong>ri, rentang waktu ini adalah 8 tahun<br />
10 bulan 27 hari. Lihat JarahDam-I, Dua Windhu Kodam I/Iskandar Muda, (Banda Aceh:<br />
Sejarah Militer Kodam I/Iskandar Muda, 1972), hlm. 250.<br />
4Anna Marie The, Darah Tersimbah <strong>di</strong> Djawa Barat: Gerakan Operasi Militer V, (Jakarta:<br />
Lembaga Sedjarah Hankam, l968).<br />
5 Darul Islam (bhs. Arab), rumah Islam atau wilayah Islam atau negara Islam.<br />
Kesimpulan<br />
367<br />
Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo untuk jangka waktu<br />
yang sangat panjang dan terbiasa dengan manajemen organisasi<br />
negara, state-craft serta administrasi pemerintahan. Daud Beureu`eh<br />
lama mempertimbangkan kese<strong>di</strong>aannya untuk ikut bergabung dengan<br />
barisan jihad mati-matian a la Darul Islam. Namun, dengan segala<br />
kerendahan hati, ia kemu<strong>di</strong>an mengakui akan keberanian Abdul Fatah<br />
Wirananggapati atas kesabarannya melakukan <strong>di</strong>skusi tilawah yang<br />
sangat a lot. Pada akhirnya, Teungku Daud Beureu`eh pun setuju<br />
bergabung dan siap berjihad fi sabilillah menegakkan negara kurnia<br />
Alllah, Negara Islam Indonesia.<br />
Pada awal tahun 1953, Teungku Daud Beureu`eh ber-bai’at untuk<br />
jihad menegakkan Negara Islam Indonesia <strong>di</strong> Aceh. Abdul Fatah<br />
Wirananggapati sen<strong>di</strong>ri yang melakukan bai’at tersebut. Teungku<br />
Beureu`eh tidak meminta untuk <strong>di</strong>bai’at oleh SM Kartosoewirjo, karena<br />
bergabungnya <strong>di</strong>a ke dalam barisan Darul Islam bukanlah karena kultus<br />
in<strong>di</strong>vidu terhadap SM Kartosoewirjo. Dalam kapasitas dan<br />
keseniorannya, ia lebih se<strong>di</strong>kit <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ng SM Kartosoewirjo dan ia<br />
sen<strong>di</strong>ri tidak membangga-banggakan kharisma yang <strong>di</strong>milikinya<br />
tersebut. Bagi Teungku Daud Beureu`eh, kemuliaan manusia<br />
<strong>di</strong>tentukan oleh derajat ketakwaannya, bukan oleh ilmu, harta, tahta<br />
dan wanita yang <strong>di</strong>milikinya. Ketika Daud Beureu`eh setuju<br />
mendukung Darul Islam dan membawahkan Aceh pada NII, maka<br />
Abdul Fatah Wira nanggapati pun pulang ke Jawa Barat membawa berita<br />
gembira ini kepada SM Kartosoewirjo nun jauh <strong>di</strong> sana, <strong>di</strong> pegunungan<br />
yang sunyi tempat ia bersembunyi dan melawan negara RI <strong>di</strong> suatu<br />
tempat yang <strong>di</strong>sebut “Ma<strong>di</strong>nah Indonesia”. 21<br />
Dalam surat Teungku Daud Beureu`eh kepada SM Kartosoewirjo<br />
bertanggal Aceh Darussalam, 4 Oktober 1956, <strong>di</strong>sebutkan bahwa<br />
sebelum meletusnya peristiwa “pemberontakan” DI Aceh, S.M.<br />
21 “Ma<strong>di</strong>nah Indonesia” adalah tempat <strong>di</strong> mana SM Kartosoewirjo bermarkas,<br />
Dipercaiyai oleh sebagian orang bahwa “Ma<strong>di</strong>nah Indonesia” adalah desa Leuwisari,<br />
Cigalontang, sebelah selatan Tasikmalaya. Lihat Nazarud<strong>di</strong>n Sjamsud<strong>di</strong>n, Pemberontakan<br />
Kaum Republik…, hlm. 250.