07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

216<br />

Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

pengab<strong>di</strong>an kesetiaannya. 31 Seperti juga <strong>di</strong> daerah-daerah lain yang<br />

terkena pemberontakan Darul Islam, pejabat-pejabat paling rendahlah<br />

yang merasakan dampak pemberontakan paling langsung.<br />

Melaksanakan pekerjaan <strong>di</strong> daerah-daerah yang pengaruh Darul Islamnya<br />

kuat berbahaya sekali. Ja<strong>di</strong> tidaklah meng-herankan, Pemerintah<br />

Republik—dalam usahanya untuk membangun pemerintahan lokalnya<br />

lagi—menghadapi kesulit-an mendapatkan orang yang berse<strong>di</strong>a<br />

mewakilinya <strong>di</strong> tingkat desa. Walaupun berhasil mengisi lowonganlowongan<br />

dan mengganti para pejabat yang kesetiaannya <strong>di</strong>ragukan<br />

dalam eselon-eselon pemerintahan yang lebih tinggi, Pemerintah tidak<br />

bisa mendapatkan cukup calon yang setia untuk jabat-an-jabatan yang<br />

lebih rendah ini. Pada April 1954 Pemerintah Republik berhasil<br />

membangun pemerintahan lagi dari tingkat camat ke atas, yaitu <strong>di</strong><br />

daerah-daerah perkotaan yang relatif aman. Namun suatu komisi<br />

parlemen yang mengunjungi Aceh pada awal 1954 terpaksa<br />

melaporkan bahwa para bupati, we-dana, dan camat yang baru<br />

<strong>di</strong>angkat <strong>di</strong> Aceh Besar dan Pi<strong>di</strong>e masih tidak bisa melakukan<br />

perjalanan tugas <strong>di</strong> daerah-daerahnya dan hanyalahSaman <strong>di</strong> kotakota<br />

dan tempat-tempat tugas pasukan Angkatan Darat.f Beberapa<br />

camat harus <strong>di</strong>iringi pengawalan bersenjata ke posnya pada pagi hari<br />

dan kembali ke kota dengan cara yang sama pada malam hari. 32<br />

Bersamaan dengan itu dua puluh persen jabatan imam mukim dan<br />

keuchik masih lowong. 33 Tambahan lagi, <strong>di</strong> sejumlah desa, imam<br />

mukim pemerintah Republik Indonesia dan keuchik juga <strong>di</strong>am-<strong>di</strong>am<br />

bekerja untuk kaum pemberontak.<br />

Secara ekonomis daerah ini sangat menderita karena<br />

terganggunya lalu lintas. Pada banyak bagian <strong>di</strong> Aceh pada waktu itu<br />

seperti lazimnya daerah yang <strong>di</strong>kuasai pemberon-tak—terlihat<br />

jembatan-jembatan yang hancur atau jalan-jalan yang tak dapat<br />

31 Gelanggang, op.cit.., hlm.106.<br />

32 Ibid., hlm. 107.<br />

33 C. van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, (ter.), (Jakarta: Grafiti Pers, 1993),<br />

hlm. 54.<br />

Penghapusan Provinsi Aceh: Kegagalan Politik Soekarno dan Keberhasilan … 153<br />

Ancaman ini <strong>di</strong>ulangi pada saat kunjungan sebuah delegasi Pemerintah<br />

Pusat dari Jakarta yang <strong>di</strong>ketuai Menteri Dalam Negeri, Assaat,<br />

pada akhir September. Pada kesempatan ini para pamong praja Aceh<br />

mengeluarkan pernyataan pada penutupan suatu pertemuan antara<br />

delegasi dan mereka sen<strong>di</strong>ri yang membicarakan status Aceh bahwa<br />

bila Pemerintah Pusat terus menolak mengakui tuntutan rakyat Aceh<br />

untuk otonomi dalam arti yang seluas-luasnya, mereka akan<br />

meletakkan jabatan, demikian pula sejumlah besar bawahan mereka.<br />

Delegasi Assaat gagal bicara tentang soal itu dengan pemimpinpemimpin<br />

daerah. Demikian juga Wakil Presiden Indonesia Mohammad<br />

Hatta tidak berhasil dalam hal ini.pada kunjungannya ke Banda<br />

Aceh, November 1950.<br />

Akhirnya tercapai penyelesaian pada Januari 1951 oleh Perdana<br />

Menteri ketika itu, Natsir. Pada 23 Januari <strong>di</strong>a mengucapkan pidato<br />

ra<strong>di</strong>o <strong>di</strong> Banda Aceh dengan mengumumkan tercapainya persetujuan<br />

mengenai persoalan ini. Nalsir menyatakan <strong>di</strong> sini, pembentukan provinsi<br />

Aceh tidak lagi <strong>di</strong>anggap "saudara-saudara kita <strong>di</strong> Aceh ini sebagai<br />

suatu palang pintu yang menutup segala kemungkinan lain". 67 Tengku<br />

Daud Beureu`eh mengeluarkan pernyataan tentang persetujuan yang<br />

<strong>di</strong>capai pada waktu yang sama. Pernyataan ini mengemukakan<br />

sejumlah sebab mengapa Aceh menghentikan perlawanannya<br />

terhadap penggabungan ke dalam provinsi Sumatera Utara, termasuk<br />

kenyataan bahwa Pemerintah Pusat tidak menolak tuntutan Aceh<br />

untuk otonomi, dan persetujuan bahwa masalah ini akan <strong>di</strong>selesaikan<br />

dalam kerangka seluruh bangsa, dan Aceh tidak akan merintangi<br />

pelaksanaan pemerintahan Sumatera Utara. Bersamaan dengan itu<br />

<strong>di</strong>nyatakan, perjuangan untuk otonomi akan <strong>di</strong>lanjutkan dan bahwa<br />

"niat perletakan jabatan secara non kooperatif sebagai suatu syarat bila<br />

tuntutan mendapat otonomi buat daerah Aceh kalau tidak <strong>di</strong>penuhi,<br />

67 Republik Indonesia: Provinsi Sumatera Utara, (Jakarta: Kementerian Penerangan,<br />

1953), hlm. 422-430.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!