darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
darul-islam-di-aceh
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
142<br />
Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />
yang tidak <strong>di</strong>inginkan dapat <strong>di</strong>hindari. 46<br />
G. Majelis Penimbang dan Harta Uleebalang<br />
Majelis Penimbang dan harta uleebalang juga mempunyai an<strong>di</strong>l<br />
yang besar terhadap Peristiwa DI/TII Aceh, sebagaimana keyakinan<br />
Pemerintah seperti yang <strong>di</strong>ungkapkan oleh Perdana Menteri Ali<br />
Sostroamidjojo dalam Keterangan Pemerintah dalam rapat pleno DPR<br />
tanggal 2 Nopember 1953 mengenai Peristiwa Daud Beureu`eh, yaitu<br />
“Pemerintah tetap berkeyakinan bahwa soal harta benda peninggalan<br />
uleebalang merupakan faktor terpenting dalam sebab musabab<br />
pemberontakan <strong>di</strong> Aceh sekarang ini”. Majelis Penimbang <strong>di</strong>bentuk<br />
dengan Peraturan Daerah No. 1 tahun 1946 yang <strong>di</strong>tandatangani oleh<br />
Residen Aceh T.M. Daudsyah dan <strong>di</strong>setujui oleh Wakil Ketua Badan<br />
Pekerja Dewan Perwakilan Aceh, Mr. S.M. Amin, atas anjuran Komite<br />
Nasional Indonesia Daerah Aceh. Badan ini mempunyai hak dan<br />
kewajiban mengurus harta dan peninggalan uleebalang yang terlibat<br />
dalam Peristiwa Cumbok yang telah tewas. 47<br />
Ada dua hak luar biasa yang <strong>di</strong>berikan kepada Majelis Penimbang<br />
untuk dapat menyelenggarakan kewajibannya, pertama Majelis Penimbang<br />
mempunyai hak kehakiman dan keputusannya merupakan vonis<br />
yang tidak dapat <strong>di</strong>ganggu gugat; dan kedua, dalam melaksanakan<br />
kewajibannya majelis tidak semestinya menurut peraturan (susunan<br />
acara-proses) kehakiman, melainkan tergantung atas kebijaksanaan<br />
Majelis Penimbang semata-mata. 48 Dari kedua kewenangan tersebut<br />
dapat <strong>di</strong>lihat bahwa kewenangan yang <strong>di</strong>miliki oleh Majelis<br />
Penimbang terhadap harta peninggalan uleebalang sangat besar dan<br />
tanpa batas.<br />
Kekuasaan yang cukup besar tersebut telah menimbulkan<br />
46 M. Nur El Ibrahimy, op. cit. hlm. 75.<br />
47 Menurut M. Nur El Ibrahimy, dalam naskah aslinya <strong>di</strong>cantumkan kata pengkhianat,<br />
bukan uleebalang. Lihat M. Nur El Ibrahimy, ibid., hlm. 173.<br />
48 Ibid. hlm. 174.<br />
Ditabuhnya Genderang Perang Sabil dan Bijstand<br />
227<br />
Barat serta Tapanuli Barat.<br />
Perubahan-perubahan selanjutnya <strong>di</strong>lakukan pada Sep-tember<br />
tahun berikutnya, ketika para pemberontak melaku-kan konferensi <strong>di</strong><br />
Batee Kureng, <strong>di</strong> Aceh Besar. Konferensi ini <strong>di</strong>ha<strong>di</strong>ri sembilan puluh<br />
orang, dua orang dari mereka mewakili Sumatera Timur. Konferensi ini<br />
<strong>di</strong>selenggarakan beberapa bulan sesudah Daud Beureu`eh <strong>di</strong>angkat<br />
Karto-su-wirjo sebagai wakil presiden Negara Islam Indonesia, Januari<br />
1955. Selain dari Daud Beureu`eh <strong>di</strong>masukkan orang-orang Aceh<br />
lainnya dalam kabinet baru seluruh Indonesia Negara Islam Indonesia.<br />
Demikianlah Al Murthada (Amin Husin al Mudjahid) <strong>di</strong>angkat menja<strong>di</strong><br />
Wakil Kedua Menteri Pertahanan, Hasan Ali Menteri Urusan Luar Negeri<br />
dan Tengku Nya' Tjut (Nya' Cut) Menteri Pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan. Di konferensi<br />
Batee Kureng <strong>di</strong>bicarakan kedudukan Aceh dalam Negara Islam<br />
Indonesia dan struktur pemerintahan daerah. Mula-mula Daud Beureueh<br />
hanya bermaksud mengadakan perun<strong>di</strong>ngan dengan pena-sihatpenasihatnya<br />
yang terdekat, para anggota badan konsultatif<br />
Komandemen Aceh, tentang hubungan daerah de-ngan Negara Islam<br />
Indonesia dan Republik Insdonesia. Ia menganjurkan pembentukan<br />
suatu negara Aceh yang tersen<strong>di</strong>ri, masih dalam kerangka Negara Islam<br />
(federal). Ha<strong>di</strong>rnya benar-benar sejumlah pemimpin Darul Islam lebih<br />
banyak <strong>di</strong> Batee Kureng sehubungan dengan rencana untuk<br />
merayakan ulang tahun kedua proklamasi 1953 memaksa Daud<br />
Beureu`eh mengadakan pertemuan yang lebih besar. Pada pertemuan<br />
kedua ini para pemimpin sepakat tentang pembentukan suatu negara<br />
tersen<strong>di</strong>ri, walaupun beberapa orang, seperti T.A. Hasan, enggan<br />
berbuat yang demikian. Sebagai gantinya mereka mengajukan<br />
keinginan mereka menghendaki struktur negara ini yang lebih<br />
demokratis, yang <strong>di</strong> dalamnya pemerintah sipil akan bebas lagi dari<br />
peng-awasan militer dan akan <strong>di</strong>bentuk parlemen. Konferensi<br />
mencapai puncaknya dalam Piagam Batee Kureng, dengan mengubah<br />
status Aceh dari status provinsi menja<strong>di</strong> negara dalam Negara Islam<br />
Indonesia.<br />
Piagam, yang menja<strong>di</strong> semacam undang-undang dasar sementara,