07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

138<br />

Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

perlakuan yang wajar. Malahan, hutang getah yang masih harus<br />

<strong>di</strong>peroleh dari Pemerintah atas perjanjian jual-beli, <strong>di</strong>tolak<br />

pembayarannya”. 37<br />

Kesukaran yang <strong>di</strong>alami pengusha Aceh waktu itu adalah<br />

penataan tata niaga. Pada tahun 1952 Pemerintah menggantikan<br />

perniagaan barter dengan deviezen rezim atau letter of cre<strong>di</strong>t, larangan<br />

ekspor kopra dan peraturan yang mengharuskan ekspor sapi/kerbau<br />

melaui pelabuhan Belawan. Bagi masyarakat Aceh yang sudah terbiasa<br />

dengan perdagangan tersebut <strong>di</strong>rasakan suatu pukulan yang sangat<br />

keras. Demikian pula dengan keharusan mengekspor melelui<br />

pelabuhan Belawan telah berdampak pada biaya yang mereka<br />

keluarkan semakin membengkak. Kebijakan ini, <strong>di</strong>tambah lagi dengan<br />

<strong>di</strong>hapuskan Provinsi Aceh yang <strong>di</strong>gabung ke dalam Provinsi Sumatera<br />

Utara telah membuat masyarakat Aceh meresa <strong>di</strong>khianati oleh<br />

Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, pedagang-pedagang Aceh melalui<br />

Gasida melakukan protes kepada Pemerintah Provinsi. 38<br />

Kekecewaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Pusat bertambah<br />

pada tahun 1952 dengan pengumuman Menteri Keuangan tentang<br />

pembayaran kembali obligasi tahun 1946 yang hanya <strong>di</strong>bayar 5 %<br />

menurut kurs uang pada saat pengumuman <strong>di</strong>keluarkan. Padahal<br />

keresidenan Aceh merupakan salah satu keresidenan yang paling<br />

sukses dalam pengumpulan dana melalui obligasi. Pemimpin milisi<br />

yang berkuasa saat itu telah melakukan berbagai cara agar rakyat mau<br />

membeli obligasi. Kebijakan Menteri keuangan tersebut mendapat<br />

reaksi luas dari masyarakat. Amelz, mantan ketua Panitia Obligasi<br />

Keresidenan Aceh yang waktu itu telah menja<strong>di</strong> anggota DPR, terpaksa<br />

turun tangan untuk mempersoalkan beleid Menteri Keuangan tersebut.<br />

Tanggal 3 Mei 1952 ia mengirim nota menegenai persoalan obligasi<br />

tersebut kepada Menteri Keuangan. Akan tetapi, apa pun yang<br />

<strong>di</strong>lakukan, persoalan obligasi telah membangkitkan kekecewaan rakyat<br />

37 S. M. Amin, op. cit. hlm. 103.<br />

38 M. Isa Sulaiman, op. cit. hlm. 244. Lihat juga Nazarud<strong>di</strong>n Syamsud<strong>di</strong>n, Pemberontakan<br />

Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh. (Jakarta: Pustaka utama Grafiti, 1990), hlm. 77.<br />

Ditabuhnya Genderang Perang Sabil dan Bijstand<br />

231<br />

Dalam paruh kedua tahun 1954 <strong>di</strong>a menimbulkan hal-hal yang<br />

mengabaikan Pemerintah Republik. Dengan menamakan <strong>di</strong>rinya<br />

“Menteri Berkuasa Penuh” dan “Dutabesar pada Perserikatan<br />

BangsaBangsa dan Amerika Serikat” Republik Islam Indonesia,<br />

demikian <strong>di</strong>sebutnya Negara Islam ini, ia mengirim ultimatum kepada<br />

Perdana Menteri Ali Sastro-amidjojo pada awal September tahun itu.<br />

Dalam ultimatum ini ia menuduh pemerintah “fasis-komunis”<br />

membawa bangsa Indonesia hampir ke dalam kehancuran ekonomi<br />

dan politik, kemiskinan, percekcokan, dan perang saudara, serta<br />

melaku-kan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah,<br />

Sulawesi Selatan dan Tengah dan Kalimantan, dan selanjut-nya<br />

menjalankan politik <strong>di</strong>vide et impera dan kolonialisme, dan mengadu<br />

domba berbagai suku bangsa dan agama satu sama lain. Ia bertanya<br />

kepada Ali Sastroamidjojo apakah barangkali telah tiba abad baru<br />

kolonialisme yang <strong>di</strong> dalamnya hanyalah kaum komunis yang<br />

memungut hasil buah kemerdekaan, sedangkan yang lain <strong>di</strong>bunuh<br />

habis begitu saja. Lalu ia menuntut agar Ali Sastroamidjojo menghentikan<br />

politik agresifnya, membebaskan tahanan-tahanan politik,<br />

dan mulai berun<strong>di</strong>ng dengan pemberontak Darul Islam. Bila tidak,<br />

maka ia priba<strong>di</strong> akan mengambil sejumlah langkah. Umpamanya, ia<br />

akan membuka kedutaan-kedutaan <strong>di</strong> selu-ruh dunia —<strong>di</strong> Amerika<br />

Serikat, Eropa, Asia, dan semua nega-ra Islam, demikian pula <strong>di</strong><br />

Perserikatan Bangsa-Bangsa— dan menelanjangi kebuasan<br />

Pemerintah Republik dan kekejaman serta pelanggarannya terhadap<br />

Hak Asasi Manusia <strong>di</strong> Aceh <strong>di</strong> depan Majelis Umum Perserikatan<br />

Bangsa-Bangsa, dan me-minta Perserikatan Bangsa-Bangsa<br />

mengirimkan Komisi Pe-nyeli<strong>di</strong>kan ke Aceh. Biarlah forum<br />

internasional mengeta-huinya, katanya, tentang tindakan-tindakan<br />

kekejaman yang paling keji yang <strong>di</strong>lakukan <strong>di</strong> dunia sejak zaman<br />

Jenghis Khan dan Hulagu. 64<br />

Langkah-langkah lain yang <strong>di</strong>pertimbangkan Hasan Mu-hammad<br />

64 Hulagu adalah cucu Jenghis Khan yang terkenal bengis dan kejam dalam sejarah<br />

perang penaklukan Iran dari tahun 1251 hingga tahun 1265.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!