07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

266<br />

Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

pembicaraan ini, seperti <strong>di</strong>rumuskan dalam salah satu butir program<br />

kabinet baru adalah ketetapan bahwa harus <strong>di</strong>usahakan<br />

menyelesaikan konflik dengan “pemerintah Pancasila” tidak hanya<br />

dengan kekuatan senjata melainkan juga dengan cara politik. 1 Setiap<br />

gerakan intelektual, senantiasa bersikap peduli dengan upaya damai<br />

(politik) melalui berbagai saluran yang mungkin dan tidak<br />

bertentangan dengan idealisme.<br />

Karena itu Hasan Aly mengirim surat pada bulan November<br />

kepada Amin yang isinya mendesak agar Pemerintah Republik secara<br />

terbuka menyatakan pen<strong>di</strong>riannya dan bahwa semua perun<strong>di</strong>ngan<br />

selanjutnya akan <strong>di</strong>lakukan delegasi resmi dari kedua pihak, dan tidak<br />

lagi informal. Hanyalah bila ada alasan-alasan yang mendesak yang<br />

mencegah Pemerintah Republik berbuat demikian. Hasan Aly berse<strong>di</strong>a<br />

melanjutkan pembicaraan informal. Tetapi dalam hal itu Pemerintah<br />

Republik hendaknya memberitahukannya secepat mungkin bahwa<br />

terdapat alasan-alasan yang mendesak demikian. 2<br />

Akibat dari kontak priba<strong>di</strong> atau korespondensi politik antara<br />

Teungku Muhammad Daud Beureu`eh dengan Mr. S.M. Amin,<br />

Gubernur Sumatra Utara yang berlaku sejak bulan Desember 1955,<br />

sampai kepada akhir riwayat dengan kebuntuannya, kemu<strong>di</strong>an<br />

<strong>di</strong>tambah lagi dengan datangnya Hasballah Daud/Abdullah Arif, baik<br />

sebagai utusan Hatta ataupun Pemerintah Pusat, yang oleh rakyat<br />

umum <strong>di</strong>anggap sebagai delegasi Pemerintah, meyebabkan suasana<br />

politik <strong>di</strong> Aceh menja<strong>di</strong> hangat. Bukan saja menja<strong>di</strong> perhatian dan<br />

tanda tanya rakyat legal malahan rakyat yang <strong>di</strong>katakan dari Negara<br />

Islam sen<strong>di</strong>ri, yaitu pejuang Islam yang puluhan ribu banyaknya itu pun<br />

memperbincangkan persoalan itu sehingga akhirnya oleh hangatnya<br />

pembicaraan umum, lalu Pemimpin Tinggi kalangan Mujahi<strong>di</strong>n Islam<br />

itu mengadakan Konferensi Dinas <strong>di</strong> Batee Kureng pada tanggal 21<br />

1 Amelz, Riwajat Singkat Atjeh Bangoen dari Tidoernja jang Njenjak Beberapa Poeloeh<br />

Tahoen Jang Laloe, (Pi<strong>di</strong>e, naskah ketikan, t.t.), hlm. 31.<br />

2 S.M. Amin, Kenang-Kenangan dari Masa Lampau, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978),<br />

hlm. 301.<br />

Pendahuluan<br />

“men<strong>di</strong>stribusikan” baik sumber daya alam maupun sumber daya ekonomi<br />

dalam cara-cara yang tegas, turut menyebabkan munculnya beberapa<br />

gejolak sosial-politik yang amat merepotkan kepemimpinan<br />

nasional. Beberapa contoh yang terkenal dari gejolak-gejolak itu adalah<br />

"pemberontakan" Darul Islam (DI), Pemerintahan Revolusioner Republik<br />

Indonesia (PRRI), dan Perjuangan Semesta Alam (Permesta).<br />

Salah satu <strong>di</strong> antara butir-butir agenda terpenting dari kabinet-kabinet<br />

Indonesia pasca kemerdekaan adalah penyelenggaraan pemilihan<br />

umum untuk Parlemen dan Majelis Konstituante. Kabinet Sjahrir berjanji<br />

akan menyelenggarakan pemilihan umum pertama pada awal Januari<br />

1946. Sayangnya, situasi revolusi fisik (1945-1949) tidak memungkinkan<br />

<strong>di</strong>laksanakannya pemilihan umum itu. Ketika kedaulatan negara <strong>di</strong>serahkan<br />

Belanda ke Republik Indonesia, sebagaimana <strong>di</strong>catat Feith,<br />

“Setiap kabinet menja<strong>di</strong>kan pemilihan umum untuk menyusun Majelis<br />

Konstituante sebagai bagian penting dari program-programnya. Meskipun<br />

demikian, baru pada kabinet Burhanud<strong>di</strong>n Harahap sajalah pemilihan<br />

umum pertama berhasil <strong>di</strong>selenggarakan (1955). 15<br />

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tertundanya<br />

penyelenggaraan pemilihan umum itu. Yang paling penting adalah<br />

ketakutan para elite negara dan partai, khususnya mereka yang berasal<br />

dari ke-lompok nasionalis sekuler, bahwa pesta-pora demokrasi itu<br />

dapat me-ngancam hubungan politik antara agama (Islam) dan negara<br />

yang su-dah <strong>di</strong>-“dekonfessionalisasi” seperti yang berlangsung saat itu.<br />

Mereka percaya bahwa peristiwa-peristiwa politik seperti pemilihan<br />

umum da-pat <strong>di</strong>gunakan oleh kalangan Islam untuk menyusun<br />

dukungan rakyat guna merealisasikan gagasan negara Islam.<br />

Mengingat potensi mereka untuk memenangkan suara mayoritas,<br />

sukses kelompok Islam dalam pemilihan umum akan melempangkan<br />

jalan bagi mereka untuk men-ja<strong>di</strong>kan Islam sebagai dasar negara <strong>di</strong><br />

Majelis Konstituante yang artinya akan menja<strong>di</strong>kan Indonesia sebagai<br />

Negara Islam.<br />

15 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, (Ithaca, New York:<br />

Cornell University Press, 1969).<br />

9

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!