07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

90<br />

Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

saran. Kesi-bukan hidupnya terutama <strong>di</strong>curahkan untuk mengunjungi<br />

desa-desa tetangga dan menerima delegasi dan tamu-tamu <strong>di</strong> desanya<br />

sen<strong>di</strong>ri. Rupanya, kehidupan semacam ini lebih bermakna bagi Daud<br />

Beureu`eh daripada menduduki jabatan kehormatan nun jauh <strong>di</strong><br />

Jakarta. Saya sudah mendengar bahwa <strong>di</strong> Jakarta Daud Beureu`eh<br />

menja<strong>di</strong> gundah dan “malas”, ketika ia tak <strong>di</strong>perbolehkan berhubungan<br />

dengan masyarakat Aceh. Seperti banyak pemimpin rakyat lainnya,<br />

ia <strong>di</strong>besarkan dan <strong>di</strong>dorong oleh kontak priba<strong>di</strong>nya dengan para<br />

pengikutnya; sebaliknya mereka bergantung pada personalitasnya<br />

yang kuat untuk mengungkapkan harapan-harapan terdalam mereka<br />

demi perbaikan nasib mereka.” 16 Mujahid agung yang pernah <strong>di</strong>miliki<br />

Aceh ini benar-benar menyadari <strong>di</strong>rinya harus berada <strong>di</strong> tengah-tengah<br />

rakyatnya, bangsa Aceh, bangsa yang telah mengorbankan nyawanya<br />

demi kecintaannya kepada Allah, rasul dan kaum muslimin serta tanah<br />

suci Serambi Mekkah.<br />

Selanjutnya Boyd R. Compton melanjutkan ceritanya: “Mobil kami<br />

baru saja melewati pasar riuh desa Daud Beureu`eh, ketika kami<br />

melihat masjid setengah ja<strong>di</strong> itu. Kalaulah Daud Beureu`eh adalah<br />

kunci untuk memahami Aceh, saya kira bangunan ini –yang sangat<br />

penting tapi tak utuh– merupakan simbol dari watak dan sikap Daud<br />

Beureu`eh sekarang ini.” 17 Boyd benar, bangunan itu adalah refleksi <strong>di</strong>ri<br />

Teungku Daud Beureu`eh yang sangat tegar, sangat sederhana, apa<br />

adanya, parut-parutnya mewakili kon<strong>di</strong>si Aceh yang serba miskin dan<br />

compang-camping setelah <strong>di</strong>tinggal dan <strong>di</strong>lupakan oleh Republik.<br />

Lihatlah bagaimana selanjutnya Boyd R. Compton menggambarkan<br />

sosok pejuang jihad suci ini memuloiakan tamunya, yang paling<br />

asing sekalipun: “Jauh <strong>di</strong> sisi masjid, mobil tiba-tiba berbelok ke rumah<br />

nyiur. Pemandangan sawah dan pegunungan biru yang jauh hilang,<br />

dan kami terguncang-guncang <strong>di</strong> sepanjang jalan menuju sebuah<br />

rumah tembok putih yang asri. Daud Beureu`eh keluar untuk menemui<br />

16 Ibid., halaman 147-148.<br />

17 Ibid., hlm. 148.<br />

Konferensi Batee Kureng dan Konsepsi Prinsipil-Bidjaksana<br />

279<br />

menemui rekan sekolah dan sedaerahnya yang telah penja<strong>di</strong> pimpinan<br />

pemberontak <strong>di</strong> Aceh Besar yaitu A. Jalil Amin, M. Ali Piyeung dan Ishak<br />

Amin. Kontak dalam bentuk surat juga <strong>di</strong>kirim Ali Hasjmy kepada<br />

Hasan Muhammad Tiro dari Singapura saat <strong>di</strong>a singgah <strong>di</strong> kota<br />

tersebut untuk bertemu beberapa tokoh Aceh <strong>di</strong> sana. 25<br />

Seiring dengan itu, kontak antara Syamaun Gaharu dengan para<br />

tokoh pemberontak semakin intensif. Buktinya, hingga tanggal 5 maret<br />

1957 paling tidak sudah 5 pucuk surat-menyurat berlangsung antara<br />

<strong>di</strong>a dengan Ishak Amin, Pawang Leman, dan Hasan Saleh. Keinginan<br />

Syamaun Gaharu untuk bertemu Hasan Saleh secara priba<strong>di</strong> mendapat<br />

respon yang sama dari Hasan Saleh. Dalam suratnya tanggal 4 April<br />

1957 Hasan Saleh menatakan bahwa pertemuan mereka berdua<br />

sangat penting demi masa depan Aceh. Dia juga memuji sikap dewasa<br />

Syamaun Gaharu yang berse<strong>di</strong>a melupakan peristiwa masa lalunya.<br />

Persoalan tempat dan waktu pertemuan <strong>di</strong>a serahkan kepada Ishak<br />

Amin dan Pawang Leman untuk mengaturnya. 26<br />

Setelah mendapat pesetujuan dan petunjuk dari masing-masing<br />

atasan mulailah mereka melangkah ke negosiasi formal mulai tanggal<br />

8 April 1957 bertempat <strong>di</strong> rumah Pawang Leman <strong>di</strong> desa Lamteh,<br />

sekitar 6 Km barat laut Kutaraja. Dalam pertemuan itu Letkol Syamaun<br />

Gaharu <strong>di</strong>temani oleh stafnya Kapten Abdullah Sani, Letnan Usman<br />

Nyak Gade, dan Kepala Kepolisian Sumatera Utara dan Aceh Komisaris<br />

Polisi M. Isya. Sementara itu pihak pemberontak <strong>di</strong>pimpin oleh PM.<br />

Hasan Ali dan <strong>di</strong>damping oleh stafnya Hasan Saleh, Ishak Amin, Nyak<br />

Umar, dan Pawang Leman. Pertemuan tersebut berlangsung sangat<br />

alot dan hampir mengalami jalan buntu. Pada saat pertemuan hampir<br />

mengalami dead lock tersebut menurut Hasan Saleh mereka<br />

<strong>di</strong>sadarkan oleh ucapan yang cukup keras dan penuh haru dari Pawang<br />

Leman yang isinya “Kalau Bapak-bapak tidak sanggup menyelesaikan<br />

masalah ini, mari kita bakar saja Aceh ini supaya kita puas dan agar<br />

25 Ibid., hlm. 378.<br />

26 Ibid., hlm. 179. Lihat juga Hasan Saleh, op.cit. hlm. 308-309.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!