07.06.2013 Views

hamka-dibawah-lindungan-kabah

hamka-dibawah-lindungan-kabah

hamka-dibawah-lindungan-kabah

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

" Dari menziarahi kubur bapamu….mengapa engkau tak datang ke rumah semenjak ibumu<br />

meninggal?" Kerana Engku Haji Jaafar tiada lagi, akan engkau alangi saja datang ke rumah?<br />

" Tidak emak, Cuma kematian yang bertimpa-timpa itu agak mendukacitakan hatiku, itu sebab<br />

saya kurang benar keluar rumah.<br />

" Tak boleh begitu, Hamid; sebabnya engkaulah yang mesti menyabarkan hati kami. Besok<br />

engkau mesti datang ke rumah, ibu tunggu kedatanganmu, banyak yang perlu kita bincangkan."<br />

" Baiklah mak."<br />

" Saya tunggu, ya?"<br />

" Baik, mak!"<br />

Setelah itu ia pun pergi di tengah jalan, sebelum mereka naik dari sampan, rupanya pembicaraan<br />

mereka terhadap diri saya saja. Kerana tak berapa jauh langkahnya, perempuan-perempuan tua<br />

yang lain semuanya menoleh kepada saya sebagai rupa orang menunjukkan belas kasihan.<br />

Besoknya janji itu pun saya tepati.<br />

Wahai tuan, hari itulah masa yang tak dapat saya lupakan! Saya datang ke rumah itu, rumah<br />

tempat saya bersenda gurau dengan Zainab di waktu kecil, rumah itu seakan-akan hilang<br />

semangat dan memang kehilangan semangat, kerana bekas-bekas kematian masih kelihatan nyata.<br />

Pintu luar terbuka sedikit dan saya ketuk pintunya yang mengadap ke dalam; pintu terbuka….<br />

Zainab yang membukakan.<br />

" Abang Hamid!" katanya.<br />

Waktu itu kelihatan nyata oleh saya mukanya merah, nampak sangat gembiranya melihat<br />

kedatangan saya. Baru sekali itu dan baru saat itu selama hidup saya melihat mukanya demikian,<br />

yang tak pernah saya gambarkan dan tuturkan dengan susunan kata, pendeknya wajah yang<br />

memberikan saya penuh pengharapan.<br />

" Bang Hamid!" katanya menyambung perkataannya, " Sudah lama benar abang tak kemari, lupa<br />

agaknya abang kepada kami!"<br />

Gugup saya hendak menjawab; saya pintar mengarang khayal dan angan-angan tetapi bila sampai<br />

di hadapannya saya menjadi seorang yang bodoh.<br />

" Tidak, Zainab" jawabku dengan gugup; " Tetapi….. bukankan kita sama-sama kematian?"<br />

" Memang, kematian itulah yang sepatutnya menjadikan abang kerap kemari."<br />

Seketika itu mukanya kembali ditekurkannya menghadapi kakinya, tangannya berpegang ke<br />

pinggir pintu, rambutnya yang halus menutupi sebahagian keningnya dan sepatah kata pun dia<br />

tidak berbicara lagi.<br />

" Zainab…" kataku pula. " Sebetulnya tidak saya…. Pernah lupa datang kemari, barangkali<br />

engkaulah… agaknya yang … lupa kepadaku."

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!