Chapter%20II
Chapter%20II
Chapter%20II
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
2.1. Defenisi Sepsis<br />
BAB 2<br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Sepsis adalah adanya mikroorganisme patogen atau toksinnya di dalam darah<br />
atau jaringan lain atau dapat dikatakan suatu keadaan yang berhubungan dengan<br />
keadaan tersebut. Septikemia adalah penyakit sistemik yang berhubungan dengan<br />
adanya dan bertahannya mikroorganisme patogen atau toksinnya di dalam darah.<br />
Bakteremia adalah adanya bakteri di dalam darah. Viremia adalah adanya virus di<br />
dalam darah. 17<br />
2.2. Defenisi Sepsis Neonatorum<br />
Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi<br />
sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan. 18 Dalam<br />
sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi<br />
sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences<br />
(ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory<br />
Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan<br />
mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi<br />
multiorgan, dan akhirnya kematian. 7<br />
Universitas Sumatera Utara
2.3. Klasifikasi Sepsis Neonatorum<br />
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan<br />
menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis)<br />
dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). 19<br />
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera<br />
dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat<br />
proses kelahiran atau in utero. 20 Incidence rate sepsis neonatorum awitan dini adalah<br />
3,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup dan 15-50% pasien tersebut meninggal. 7<br />
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam)<br />
yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses<br />
infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka<br />
mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. 7 SAD sering<br />
dihubungkan dengan infeksi intranatal, sedangkan SAL sering dihubungkan dengan<br />
infeksi postnatal terutama nosokomial. 20 Tabel di bawah ini mencoba<br />
menggambarkan klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi.<br />
Tabel 2.1. Klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi. 7<br />
Dini Lambat<br />
Awitan 72 jam<br />
Sumber Infeksi Jalan Lahir Lingkungan<br />
(Nosokomial)<br />
Universitas Sumatera Utara
2.4. Patogenesis<br />
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman<br />
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,<br />
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi dari cairan amnion. 19<br />
Infeksi pada neonatus dapat terjadi antenatal, intranatal dan pascanatal. Lintas<br />
infeksi perinatal dapat digolongkan sebagai berikut:<br />
2.4.1. Infeksi Antenatal.<br />
Infeksi antenatal pada umumnya infeksi transplasenta, kuman berasal dari ibu,<br />
kemudian melewati plasenta dan umbilikus dan masuk ke dalam tubuh bayi melalui<br />
sirkulasi bayi. Infeksi bakteri antenatal antara lain oleh Streptococcus Group B.<br />
Penyakit lain yang dapat melalui lintas ini adalah toksoplasmosis, malaria dan sifilis.<br />
Pada dugaan infeksi tranplasenta biasanya selain skrining untuk sifilis, juga dilakukan<br />
skrining terhadap TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes).<br />
2.4.2. Infeksi Intranatal<br />
Infeksi intranatal pada umumnya merupakan infeksi asendens yaitu infeksi<br />
yang berasal dari vagina dan serviks. Karena ketuban pecah dini maka kuman dari<br />
serviks dan vagina menjalar ke atas menyebabkan korionitis dan amnionitis. Akibat<br />
korionitis, maka infeksi menjalar terus melalui umbilikus dan akhirnya ke bayi.<br />
Selain itu korionitis menyebabkan amnionitis dan liquor amnion yang terinfeksi ini<br />
masuk ke traktus respiratorius dan traktus digestivus janin sehingga menyebabkan<br />
infeksi disana. 21<br />
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Infeksi akibat chorioamnionitis<br />
Infeksi lintas jalan lahir ialah infeksi yang terjadi pada janin pada saat<br />
melewati jalan lahir melalui kulit bayi atau tempat masuk lain. Pada umumnya infeksi<br />
ini adalah akibat kuman Gram negatif yaitu bakteri yang menghasilkan warna merah<br />
pada pewarnaan Gram dan kandida. Menurut Centers for Diseases Control and<br />
Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat bakteria pada vagina atau rektum<br />
pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama<br />
melahirkan. 22<br />
2.4.3. Infeksi Pascanatal<br />
Infeksi pascanatal pada umumnya akibat infeksi nosokomial yang diperoleh<br />
bayi dari lingkungannya di luar rahim ibu, seperti kontaminasi oleh alat-alat, sarana<br />
perawatan dan oleh yang merawatnya. Kuman penyebabnya terutama bakteri, yang<br />
Universitas Sumatera Utara
sebagian besar adalah bakteri Gram negatif. Infeksi oleh karena kuman Gram negatif<br />
umumnya terjadi pada saat perinatal yaitu intranatal dan pascanatal. 21<br />
INFEKSI<br />
PRANATAL<br />
Lintas infeksi perinatal dapat dilihat pada gambar berikut:<br />
INFEKSI<br />
INTRANATAL<br />
Gambar 2.2. Lintas infeksi pada neonatus di dalam kandungan.<br />
Bila paparan kuman ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi<br />
respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi<br />
tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada<br />
pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan<br />
berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotika, harus<br />
memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit. 7<br />
2.5. Gejala Klinik 21<br />
Gejala klinik infeksi sistemik pada neonatus tidak spesifik dan seringkali<br />
sama dengan gejala klinik gangguan metabolik, hematologik dan susunan saraf pusat.<br />
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan suhu tubuh jarang terjadi dan bila ada umumnya terdapat pada bayi<br />
cukup bulan. Hipotermia lebih sering ditemukan daripada hipertermia. Leukosit pada<br />
neonatus mempunyai rentang yang luas yaitu antara 4.000 s/d 30.000 per mm 3 .<br />
Gejala klinik sepsis neonatorum pada stadium dini sangat sulit ditemuka n<br />
karena tidak spesifik, tidak jelas dan seringkali tidak terobservasi. Karena itu,<br />
dibutuhkan suatu dugaan keras terhadap kemungkinan ini agar diagnosa dapat<br />
ditegakkan. Gejala klinik sepsis pada neonatus dapat digolongkan sebagai:<br />
2.5.1. Gejala umum: bayi tidak kelihatan sehat (not doing well), tidak mau<br />
minum, kenaikan suhu tubuh, penurunan suhu tubuh dan sclerema.<br />
2.5.2. Gejala gastrointestinal: muntah, diare, hepatomegali dan perut kembung<br />
2.5.3. Gejala saluran pernafasan: dispnea, takipne dan sianosis.<br />
2.5.4. Gejala sistem kardiovaskuler: takikardia, edema, dan dehidrasi.<br />
2.5.5. Gejala susunan saraf pusat: letargi, irritable, dan kejang.<br />
2.5.6. Gejala hematologik: ikterus, splenomegali, petekie, dan perdarahan lain.<br />
Ga<br />
mbar 2.3. Sepsis pada kulit bayi karena infeksi bakteri dan jamur dari jalan<br />
lahir 23<br />
Universitas Sumatera Utara
2.6. Epidemiologi<br />
2.6.1. Distribusi Frekuensi<br />
a. Distribusi Frekuensi Menurut Orang<br />
Penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 di RS Dr. Sardjito Yogyakarta<br />
menyebutkan bahwa berdasarkan umur, proporsi bayi dengan sepsis yang berumur<br />
0-7 hari adalah 77,2% sedangkan yang berumur > 7 hari adalah 22,8%. Berdasarkan<br />
jenis kelamin, proporsi bayi laki-laki dengan sepsis adalah 61,4% sedangkan bayi<br />
perempuan adalah 38,6%. 15 Menurut Jumah, dkk tahun 2007 di Iraq terdapat 22 bayi<br />
yang berumur < 7 hari (62,9%) meninggal akibat sepsis, dan terdapat 31 bayi yang<br />
berumur 7-28 hari (36,5%) meninggal akibat sepsis. 24<br />
Sepsis lebih sering terjadi pada bayi berkulit hitam daripada bayi berkulit<br />
putih, namun hal ini dapat dijelaskan berdasarkan tingginya insiden prematur, pecah<br />
ketuban, ibu demam, dan berat lahir rendah. 18 Perbedaan kejadian sepsis neonatorum<br />
pada suku bangsa lebih dikaitkan dengan kebiasaan dan pola makan yang telah dianut<br />
oleh ibu dari bayi tersebut. Hal ini sangat berpengaruh pada kondisi gizi ibu yang<br />
kemudian berdampak pada keadaan bayi. Menurut Thirumoorthi dalam simposium<br />
penanggulangan infeksi pada kehamilan menyebutkan bahwa dari semua penderita<br />
sepsis awitan dini, sebanyak 54% terjadi pada bayi berkulit hitam dan dari semua<br />
penderita sepsis awitan lambat, sebanyak 65% juga terjadi pada bayi berkulit hitam. 25<br />
b. Distribusi Frekuensi Menurut Tempat dan Waktu<br />
Insiden sepsis neonatorum di negara berkembang sangat bervariasi menurut<br />
waktu dan lokasi. Insiden yang bervariasi di berbagai rumah sakit tersebut<br />
dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan perinatal, persalinan, dan kondisi<br />
Universitas Sumatera Utara
lingkungan waktu perawatan. 26 Penelitian Rasul tahun 2007 di Banglasdesh<br />
menyebutkan bahwa insiden infeksi perinatal yang tinggi yaitu 50-60% selama dua<br />
puluh tahun yang lalu mengalami penurunan menjadi 20-30% di negara-negara<br />
berkembang. Di India, berbagai studi menunjukkan bahwa kejadian bervariasi antara<br />
10-20 per 1.000 kelahiran hidup. 5<br />
Dalam penelitian Jumah, dkk tahun 2007 di Iraq, CFR sepsis neonatus tinggi<br />
dilaporkan sekitar 44,2%, hasil yang sama dilaporkan di Basrah (Iraq) oleh Radhy H.<br />
pada tahun 2001 yaitu 43,5%, kemudian di Abha (Saudia Arabia) oleh Asindi A, dkk<br />
pada tahun 1999 diperoleh sebanyak 44% dan oleh Rodriguez-weber, dkk di Mexico<br />
pada tahun 2003 sebanyak 43,9%. Sementara angka kematian sepsis neonatus rendah<br />
oleh peneliti lain seperti yang dilaporkan oleh Ezechukwze C, dkk di Nigeria pada<br />
tahun 2004 yaitu 19,3%, oleh Koutouby A, dkk di UAE (United Arab Emirates) pada<br />
tahun 1995 melaporkan sebanyak 26%, Stall B. di USA pada tahun 2002 melaporkan<br />
sebanyak 28% dan Dawodu A, dkk di Al-Dammam (Saudi Arabia) pada tahun 1997<br />
melaporkan sebanyak 28%, perbedaan angka kematian sepsis neonatus ini di<br />
beberapa negara dapat dijelaskan oleh beberapa faktor seperti keadaan sosial<br />
ekonomi, keadaan geografi dan faktor ras, penggunaan ventilator dan inkubator,<br />
perbedaan mikroorganisme dan penggunaan antibiotik yang berbeda. 24<br />
Universitas Sumatera Utara
2.6.2. Determinan Sepsis Neonatorum<br />
Beberapa determinan sepsis neonatorum dibedakan berdasarkan host, agent,<br />
dan environment.<br />
a. Host<br />
Faktor host yang menjadi determinan terjadinya sepsis neonatorum dapat<br />
dilihat dari faktor bayi dan ibu.<br />
a.1. Faktor Bayi<br />
a.1.1. Umur<br />
Penelitian Jumah, dkk tahun 2007 di Iraq menyebutkan bahwa secara<br />
statistik angka kematian akibat sepsis lebih tinggi secara signifikan pada bayi<br />
berumur < 7 hari dibandingkan pada bayi berumur 7-28 hari (p
Jumah, dkk (2007) di Basrah Maternity and Children Hospital, penderita sepsis<br />
neonatorum lebih banyak pada bayi laki-laki, diantaranya 56,75% yang hidup<br />
dan 43,25% yang meninggal. 24<br />
a.1.3. Prematuritas<br />
Prematur adalah satu-satunya faktor paling signifikan berkorelasi dengan<br />
sepsis. Risiko meningkat sebanding dengan penurunan berat lahir. 18 Bayi<br />
prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu.<br />
Bayi yang lahir prematur mempunyai berat badan lahir rendah, namun bayi yang<br />
mempunyai berat badan lahir rendah belum tentu mengalami kelahiran<br />
prematur. 27 Bayi prematur rentan mengalami infeksi/septikemia.<br />
Infeksi/septikemia empat kali beresiko menyebabkan kematian bayi prematur. 28<br />
Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan.<br />
Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir<br />
trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus menurun,<br />
menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan<br />
pertahanan kulit. 29<br />
Incidence rate sepsis neonatorum yang dilaporkan bervariasi, antara 1-8<br />
per 1.000 kelahiran hidup, dengan kejadian terbanyak pada bayi kurang bulan<br />
dengan berat badan lahir rendah. 7<br />
a.1.4. Berat lahir rendah.<br />
Bayi berat lahir rendah adalah bayi yang kurang atau sama dengan<br />
2500 gram saat lahir. Tujuh persen dari semua kelahiran termasuk kelompok ini.<br />
Kebanyakan persoalan terjadi pada bayi yang beratnya kurang dari 1500 gram<br />
Universitas Sumatera Utara
dengan angka kematian yang tinggi dan membutuhkan perawatan dan tindakan<br />
medik khusus. 30<br />
Dalam penelitian Stoll, dari 7.861 bayi dengan berat badan lahir sangat<br />
rendah (berat lahir
a.2. Faktor Ibu<br />
a.2.1. Umur ibu<br />
Umur ibu melahirkan dibagi dalam 3 kelompok usia remaja dengan umur<br />
< 20 tahun, kelompok usia reproduksi sehat dengan umur 20-35 tahun dan<br />
kelompok usia risiko tua dengan umur > 35 tahun. Ibu hamil dengan umur lebih<br />
muda sering mengalami komplikasi kehamilan dengan hasil kehamilan tidak<br />
baik. Pada kelompok umur risiko tua kejadian berat badan lahir rendah juga<br />
meningkat. 33 Menurut penelitian Nyoman Nuada di RS Denpasar pada tahun<br />
1999 ditemukan 84% ibu yang melahirkan bayi prematur berusia kurang dari 20<br />
tahun dan usia lebih dari 35 tahun (umur risiko tinggi). 34<br />
Dalam penelitian Suwiyoga tahun 2007 dengan menggunakan rancangan<br />
penelitian studi kohort di Indonesia menemukan bahwa insiden sepsis<br />
neonatorum di kelompok umur ibu kurang dari 20 tahun adalah 14,2 %, lebih<br />
tinggi dari insidens sepsis di kelompok umur 20 tahun atau lebih. Usia ibu<br />
kurang dari 20 tahun diketahui berhubungan dengan kolonisasi kuman<br />
Streptococcus Grup Beta di jalan lahir. 35<br />
a.2.2. Pendidikan Ibu<br />
Tingkat pendidikan ibu dapat menjadi salah satu faktor yang<br />
mempengaruhi kesehatan bayi. Dengan berbekal pendidikan yang cukup, seorang<br />
ibu dinilai lebih banyak memperoleh infromasi yang dibutuhkan. Selain itu, ibu<br />
dengan tingkat pendidikan relatif tinggi lebih mudah menyerap informasi atau<br />
himbauan yang diberikan. Dengan demikian mereka dapat memilih serta<br />
Universitas Sumatera Utara
menentukan alternatif terbaik dalam melakukan perawatan dan pemeriksaan<br />
kehamilan sehingga dapat melahirkan bayi sehat.<br />
Menurut Bachroen, tingkat pendidikan mempunyai pengaruh besar<br />
terhadap derajat kesehatan. Penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa<br />
pendidikan paling berpengaruh adalah pendidikan ibu. 36<br />
a.2.3. Pekerjaan Ibu<br />
Variabel pekerjaan akan mencerminkan keadaan sosial ekonomi keluarga.<br />
Penelitian Yahya K, dkk menyebutkan bahwa presentase terbanyak adalah pada<br />
golongan berpenghasilan rendah. Dimana suami bekerja sebagai buruh,<br />
kemudian diikuti pedagang kecil, pegawai negeri golongan I dan II. Sedangkan<br />
istrinya (ibu hamil) pada umumnya tidak bekerja. Rendahnya kedudukan tingkat<br />
dan macam pekerjaan ini adalah akibat dari tingkat pendidikan yang juga<br />
rendah. 37<br />
Di Negara berkembang, banyak ibu bekerja keras untuk membantu<br />
menopang kehidupan keluarganya di samping tugas utama mengelola rumah<br />
tangga, menyiapkan makanan, mengasuh dan merawat anak. Salah satu studi<br />
menunjukkan bahwa 25% dari rumah tangga sangat bergantung pada pendapatan<br />
kaum perempuan. Jika ibu hamil bekerja terlalu keras dan intake kalori kurang<br />
selama hamil akan lebih mudah melahirkan bayi dengan berat lahir rendah yang<br />
merupakan faktor risiko terjadinya infeksi. 38<br />
a.2.4. Umur Kehamilan<br />
Lama kehamilan yaitu 280 hari atau 40 minggu, dihitung dari hari<br />
pertama haid yang terakhir. Lama kehamilan dapat dibedakan atas:<br />
Universitas Sumatera Utara
i. Partus prematurus, adalah persalinan dari hasil konsepsi pada<br />
kehamilan 28-36 minggu, janin dapat hidup tetapi prematur. Berat<br />
janin antara 1.000-2.500 gram.<br />
ii. Partus matures atau aterm (cukup bulan), adalah partus pada<br />
kehamilan 37-40 minggu, janin matur, berat badan di atas 2.500<br />
gram.<br />
iii. Partus postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2<br />
minggu atau lebih dari waktu partus cukup bulan. 32<br />
a.2.5. Ketuban pecah dini (KPD)<br />
Ketuban pecah dini (KPD) yaitu bocornya cairan amnion sebelum<br />
mulainya persalinan, terjadi pada kira-kira 7 sampai 12 persen kehamilan. Paling<br />
sering ketuban pecah pada atau mendekati saat persalinan; persalinan terjadi<br />
secara spontan dalam beberapa jam. Bila ketuban pecah dini dihubungkan<br />
dengan kehamilan preterm, ada risiko peningkatan morbiditas dan mortalitas<br />
perinatal akibat imaturitas janin. 39<br />
Sepsis neonatorum dini sering dihubungkan dengan KPD karena infeksi<br />
dengan KPD saling mempengaruhi. Infeksi genital bawah dapat mengakibatkan<br />
KPD, demikian pula KPD dapat memudahkan infeksi asendens. Infeksi asendens<br />
ini dapat berupa amnionitis dan korionitis, gabungan keduanya disebut<br />
korioamnionitis. 40 Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada<br />
bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan<br />
meningkat menjadi 4 kalinya. 18<br />
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian Suwiyoga, dkk tahun 2007 dengan menggunakan<br />
rancangan penelitian studi kohort di Indonesia menemukan bahwa resiko SAD<br />
pada ketuban pecah kurang 12 jam adalah 1,5 kali, sesudah 12-18 jam adalah 7<br />
kali dan pada 18-24 jam adalah 9 kali. 35 Selain itu, KPD merupakan faktor risiko<br />
utama prematuritas yang merupakan penyumbang utama SAD dan kematian<br />
perinatal. 40<br />
a.2.6. Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum<br />
Infeksi dapat merupakan akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih,<br />
kolonisasi vagina oleh Streptococcus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E.<br />
coli, dan komplikasi obstetrik lainnya. 18 Ibu yang menderita infeksi ketika hamil<br />
dapat menyebabkan dampak yang besar terhadap ibu maupun janin dan bayi<br />
neonatal seperti infeksi neonatal. 39<br />
a.2.7. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.<br />
Dalam penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 dengan menggunakan<br />
rancangan penelitian uji diagnostik potong lintang di RS Dr. Sardjito Yogyakarta<br />
terdapat proporsi ibu dengan keadaan air ketuban keruh melahirkan bayi yang<br />
mengalami sepsis neonatorum sebanyak 33,1%. 15 Menurut hasil penelitian<br />
Simbolon di instalasi kebidanan Rumah Sakit Pusat Sardjito Yogyakarta dari<br />
bulan Januari 2001 ditemukan 72 % faktor risiko sepsis neonatorum adalah<br />
BBLR dengan keadaan air ketuban bau busuk. 10<br />
a.2.8. Riwayat Persalinan Ibu<br />
Bayi yang lahir dengan tindakan (ekstraksi cunam/vakum dan seksio<br />
sesaria) berisiko mengalami sepsis neonatorum. Infeksi dapat diperoleh bayi dari<br />
Universitas Sumatera Utara
lingkungannya diluar rahim ibu, seperti alat-alat penolong persalinan yang<br />
terkontaminasi. 41 Dalam penelitian Simbolon tahun 2008 dengan menggunakan<br />
desain penelitian kasus kontrol di kabupaten Rejang Lebong propinsi Bengkulu,<br />
kejadian sepsis neonatorum menurut riwayat persalinan menunjukkan bahwa<br />
kejadian sepsis neonatorum sedikit lebih banyak pada bayi dengan riwayat<br />
persalinan dengan tindakan (ekstraksi cunam/vakum dan seksio sesaria). Bayi<br />
yang lahir dengan tindakan berisiko 2,142 kali mengalami sepsis neonatorum<br />
dibandingkan dengan bayi yang lahir secara normal. 10<br />
a.2.9. Frekuensi Pemeriksaan Kehamilan (Antenatal Care)<br />
Pemeriksaan kehamilan (Antenatal Care) yang teratur berfungsi sebagai<br />
kontrol untuk mendeteksi terjadinya tanda-tanda komplikasi kehamilan, sehingga<br />
dapat mengantisipasi kemungkinan bahaya kehamilan dan persalinan. 42<br />
Pemeriksaan kehamilan perlu dilakukan oleh ibu semasa hamil, mulai dari<br />
trimester pertama sampai saat berlangsungnya persalinan. Tujuan pemeriksaan<br />
kehamilan adalah untuk menemukan ibu hamil yang mempunyai risiko tinggi<br />
sehingga risiko kematian ibu atau bayi dapat dikurangi. 43 Pemeriksaan kehamilan<br />
yang dilakukan dapat mengurangi kejadian kelahiran prematur pada bayi yang<br />
sangat rentan terkena sepsis. Selain itu dengan melakukan pemeriksaan selama<br />
hamil dapat dideteksi secara dini penyakit infeksi yang diderita oleh ibu yang<br />
nantinya akan mengakibatkan infeksi pada bayinya.<br />
Menurut Ulina (2004) dalam penelitiannya di Kelurahan Tanjung Jati<br />
Kecamatan Binjai, hasil cakupan kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan<br />
antenatal yaitu K1 (81%) dan K4 (66,7%). Dari hasil cakupan tersebut terlihat<br />
Universitas Sumatera Utara
elatif tinggi drop out antara K1 dan K4 yaitu sebesar 14,3%. Rendahnya<br />
pencapaian cakupan K4 ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ibu hamil<br />
merasa kurang membutuhkan pelayanan antenatal karena beranggapan dirinya<br />
sehat, pendidikan ibu rendah, kurangnya pengetahuan ibu hamil akan pentingnya<br />
perawatan pada masa kehamilan secara berkala, bagi ibu hamil yang bekerja<br />
kurang memiliki waktu untuk memeriksakan kehamilannya, tingkat pendapatan<br />
keluarga sehubungan dengan kondisi ibu hamil. 44<br />
b. Agent<br />
Agent/organisme tersering sebagai penyebab penyakit adalah Escherichia coli<br />
dan Streptococcus group B (yang bersama-sama bertanggungjawab atas 50-75%<br />
kasus pada kebanyakan pusat pelayanan kesehatan), 21 Streptococcus termasuk<br />
kelompok bakteri yang heterogen, dan tidak ada satu sistem pun yang mampu untuk<br />
mengklasifikasikannya. Ada dua puluh jenis, termasuk streptococcus pyogenes<br />
(group A), streptococcus agalactiae (group B) dan jenis enterococcus (group D),<br />
dapat dicirikan dengan berbagai tampilannya yang bervariasi: dari karakteristik<br />
koloni pertumbuhan, pola hemolisis pada media agar darah (hemolisis α, hemolisis ß,<br />
atau tanpa hemolisis), komposisi antigen pada substansi dinding sel dan reaksi<br />
biokimia. Jenis Streptococcus pneumonia (pneumococcus) lebih lanjut<br />
dikalsifikasikan berdasarkan komposisi antigen polisakarida pada kapsul.<br />
berikut:<br />
Klasifikasi bakteri streptococcus dari sisi kepentingan medis yaitu sebagai<br />
b.1. Streptococcus pyogenes: Kebanyakan bakteri streptococcus yang<br />
termasuk dalam antigen grup A adalah S. pyogenes. Bakteri ini<br />
Universitas Sumatera Utara
ersifat hemolitik-ß. S. pyogenes adalah bakteri pathogen utama pada<br />
manusia dikaitkan dengan invasi lokal atau sistemik dan gangguan<br />
immunologi pasca infeksi oleh streptococcus.<br />
b.2. Streptococcus agalactiae: Termasuk dalam streptococcus group B.<br />
Mereka adalah anggota dari flora normal pada saluran organ wanita<br />
serta penyebab penting dari sepsis neonatal dan meningitis. Dan<br />
mereka menunjukkan jenis hemolitik ß dan menghasilkan daerah<br />
hemolisis yang sedikit lebih luas daripada koloninya (berdiameter 1-2<br />
meter). Bakteri streptococcus group B dapat menghemolisis natrium<br />
hippurate dan memberi respon positif terhadap tes CAMP (Christie,<br />
Atkins, Munch-Peterson).<br />
b.3. Grup C dan G: Bakteri streptococcus ini kadang terdapat di dalam<br />
nasofaring dan menimbulkan sinusitis, bakteremia atau endokarditis.<br />
Sering kelihatan seperti S. pyogenes grup A pada medium darah agar<br />
dan bersifat hemolitik ß. Dapat diidentifikasi menggunakan reaksi<br />
dengan antiserum spesifik untuk grup C atau G.<br />
b.4. Enterococcus faecalis (E. faecium, E. durans): Bakteri enterokokus<br />
dapat bereaksi dengan antiserum grup D. Enterokokus ini merupakan<br />
bagian dari flora normal enterik. Mereka biasanya bersifat<br />
nonhemolitik tapi suatu saat dapat bersifat hemolitik-α.<br />
b.5. Sterptococcus bovis: Bakteri ini termasuk dalam streptococcus group<br />
D nonenterococcus. Mereka sebagian merupakan flora enterik dan<br />
kadangkala dapat mengakibatkan endokarditis, dan juga dapat<br />
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan bakteremia pada pasien dengan carcinoma colon.<br />
Bakteri bersifat nonhemolitik.<br />
b.6. Streptococcus anginosus: Bakteri streptococcus ini merupakan bagian<br />
dari flora normal. Bisa bersifat α, ß, atau nonhemo litik. S. anginosus<br />
meliputi bakteri streptococcus hemolitik ß yang membentuk koloni<br />
kecil (berdiameter < 0,5 mm) dan bereaksi dengan antiserum grup A,<br />
C, atau G; dan terhadap semua hemolitik ß grup F.<br />
b.7. Streptococcus Grup N: Mereka jarang menimbulkan penyakit pada<br />
manusia namun dapat menyebabkan penggumpalan normal pada susu.<br />
b.8. Streptococcus Grup E, F, G, H, dan K-U: Bakteri streptococcus ini<br />
terdapat terutama pada hewan dan terkadang juga pada manusia.<br />
b.9. Streptococcus pneumoniae: Bakteri pneumokokus bersifat hemolitik-<br />
α.<br />
b.10. Streptococcus viridians: Secara tipikal, biasanya bersifat hemolitik-α,<br />
tapi kemungkinan lain mereka bersifat nonhemolitik. Bakteri<br />
streptococcus viridians merupakan bakteri yang paling umum sebagai<br />
flora normal pada saluran pernafasan atas dan berperan penting untuk<br />
menjaga kesehatan membran mukosa yang terdapat disana. 45<br />
Selain itu penyebab lain dari sepsis neonatorum adalah Staphylococcus<br />
aureus, Klebsiella, Enterobacter sp, Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp,Listeria<br />
monocytogenes dan bakteri anaerob. Sepsis awitan dini akan terlihat sebagai proses<br />
nyata, yang mengenai banyak organ pada minggu pertama kehidupan, sedangkan<br />
Universitas Sumatera Utara
sepsis awitan lambat, sering dimanifestasikan sebagai meningitis setelah minggu<br />
pertama kehidupan.<br />
Pertama-tama biasanya dihubungkan dengan faktor-faktor ibu dan organisme<br />
yang berasal dari cairan ketuban yang terinfeksi atau ketika janin melewati jalan lahir,<br />
dan setelah itu bayi mungkin terinfeksi dari lingkungannya atau dari sejumlah sumber<br />
di rumah sakit. E. coli dan streptococcus B mungkin bertanggung jawab atas<br />
terjadinya sepsis awitan dini atau lambat, sedangkan S. aureus, Klebsiella,<br />
Enterobacter sp, P. aeruginosa dan Serratila sp, lebih lazim menyebabkan sepsis<br />
awitan lambat. 21<br />
c. Environment<br />
Beberapa faktor lingkungan yang menjadi determinan sepsis neonatorum<br />
terutama berasal dari keadaan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) yaitu jumlah<br />
pasien yang terlalu banyak, kurangnya tempat dan sabun untuk mencuci tangan,<br />
kurangnya handuk atau tissue, tempat penyimpanan sarana kesehatan yang tidak<br />
nyaman, buruknya kebersihan, buruknya ventilasi aliran udara dan fasilitas ruangan<br />
isolasi, dapat meningkatkan angka kejadian sepsis neonatorum.<br />
Semua faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan<br />
masih menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab<br />
tidak adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir<br />
ini. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap<br />
mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis. 7<br />
Universitas Sumatera Utara
2.7. Komplikasi<br />
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain: 7<br />
2.7.1. Meningitis<br />
2.7.2. Neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya<br />
hidrosefalus dan/atau leukomalasia periventrikular<br />
2.7.3. Pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi<br />
acut respiratory distress syndrome (ARDS).<br />
2.7.4. Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida,<br />
seperti ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal.<br />
2.7.5. Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis<br />
mulai dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental<br />
2.7.6. Kematian<br />
2.8. Pencegahan Sepsis Neonatorum<br />
2.8.1. Pencegahan Primordial<br />
Primordial prevention (pencegahan awal) ini dimaksudkan untuk<br />
memberi kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit itu tidak<br />
mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. 46<br />
Bentuk pencegahan ini berupaya untuk mencegah munculnya faktor<br />
predisposisi terhadap masyarakat khususnya ibu dan wanita usia produktif<br />
terhadap faktor risiko terjadinya sepsis pada bayinya. Upaya yang dapat<br />
dilakukan untuk mencegah sepsis neonatorum sebagai pencegahan primordial<br />
adalah:<br />
Universitas Sumatera Utara
a. Mengatur pola makan sehat dan bergizi dalam jenis dan jumlah yang cukup<br />
pada ibu untuk mempertahankan daya tahan tubuh serta menjaga kebesihan<br />
diri sehingga terhindar dari penyakit infeksi.<br />
b. Meningkatkan pengetahuan ibu tentang pentingnya pemeriksaan saat hamil<br />
(Antenatal Care) dengan cara mencari informasi melalui buku, televisi atau<br />
media massa lainnya.<br />
c. Tidak melahirkan pada usia ibu risiko tinggi, seperti usia kurang dari 20 tahun<br />
atau lebih dari 35 tahun agar tidak berisiko melahirkan bayi prematur dan bayi<br />
dengan berat badan lahir rendah.<br />
2.8.2. Pencegahan Primer<br />
Pencegahan primer meliputi segala bentuk kegiatan yang dapat menghentikan<br />
kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi. Pencegahan primer<br />
juga diartikan sebagai bentuk pencegahan terhadap terjadinya suatu penyakit pada<br />
seseorang dengan faktor risiko. Upaya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan<br />
primer terhadap kejadian sepsis neonatorum adalah:<br />
a. Mewujudkan Pelayanan Kebidanan yang Baik dan Bermutu<br />
Bidan memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kesehatan.<br />
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan pelayanan kebidanan yang<br />
baik dan bermutu antara lain:<br />
a.1. Semua wanita hamil mendapat kesempatan dan menggunakan<br />
kesempatan untuk menerima pengawasan serta pertolongan dalam<br />
kehamilan, persalinan, dan nifas.<br />
a.2. Pelayanan yang diberikan bermutu.<br />
Universitas Sumatera Utara
a.3. Walaupun tidak semua persalinan berlangsung di rumah sakit, namun<br />
ada kemungkinan untuk mendapat perawatan segera di rumah sakit<br />
jika terjadi komplikasi.<br />
a.4. Diwajibkan bersalin di rumah sakit untuk:<br />
a.4.1. Wanita dengan komplikasi obstetrik (panggul sempit,<br />
preeklampsia-eklampsia, kelainan letak, dll).<br />
a.4.2. Wanita dengan riwayat obstetrik yang jelek (perdarahan<br />
postpartum, kematian janin sebelum lahir, dll).<br />
a.4.3. Jarak kelahiran 5 tahun.<br />
a.4.4. Wanita hamil dengan penyakit umum, seperti penyakit jantung,<br />
diabetes, dll.<br />
a.4.5. Wanita dengan kehamilan ke-4 atau lebih.<br />
a.4.6. Wanita dengan umur 35 tahun ke atas dan kurang dari 20 tahun<br />
a.4.7. Primigravida (wanita yang hamil untuk pertama kali)<br />
a.4.8. Wanita dengan keadaan di rumah yang tidak memungkinkan<br />
persalinan dengan aman.<br />
a.4.9. Tinggi badan
.2. Melakukan pengamatan pada ibu dan bayi untuk mengetahui ada<br />
tidaknya penyulit persalinan sehingga dapat segera ditangani secara<br />
cepat dan tepat.<br />
b.3. Pengawasan terhadap terjadinya perlukaan kelahiran. 47<br />
c. Perawatan Antenatal (Antenatal Care)<br />
Antenatal care mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam<br />
upaya menurunkan angka kematian ibu dan perinatal. Dianjurkan agar pada<br />
setiap kehamilan dilakukan antenatal care secara teratur dan sesuai dengan<br />
jadwal yang lazim berlaku. Tujuan dilakukannya antenatal care adalah untuk<br />
mengetahui data kesehatan ibu hamil dan perkembangan bayi intrauterin<br />
sehingga dapat dicapai kesehatan yang optimal dalam menghadapi persalinan,<br />
puerperium dan laktasi serta mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai<br />
pemeliharaan bayinya. 27 Perawatan antenatal juga perlu dilakukan untuk<br />
mencegah terjadinya persalinan prematuritas atau berat badan lahir rendah<br />
yang sangat rentan terkena penyakit infeksi. Selain itu dengan pemeriksaan<br />
kehamilan dapat dideteksi penyakit infeksi yang dialami ibu yang dapat<br />
mengakibatkan sepsis neonatorum.<br />
Kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama masa<br />
kehamilan dengan distribusi kontak sebagai berikut:<br />
minggu. 48<br />
c.1. Minimal 1 kali pada trimester I (K1), usia kehamilan 1-12 minggu.<br />
c.2. Minimal 1 kali pada trimester II (K2), usia kehamilan 13-24 minggu.<br />
c.3. Minimal 2 kali pada trimester III (K3 dan K4), usia kehamilan > 24<br />
Universitas Sumatera Utara
d. Mencuci tangan<br />
Dalam lingkungan perawatan kesehatan, tangan merupakan salah satu<br />
syarat penularan yang paling efisien untuk infeksi nosokomial. Oleh Karena<br />
itu, mencuci tangan menjadi metode pencegahan dan pengendalian yang paling<br />
penting. Tujuan mencuci tangan adalah untuk menurunkan bioburden (jumlah<br />
mikroorganisme) pada tangan dan untuk mencegah penyebarannya ke area<br />
yang tidak terkontaminasi, seperti pasien, tenaga perawatan kesehatan (TPK)<br />
dan peralatan. Tenaga perawatan diharuskan mencuci tangan sebelum dan<br />
setelah memegang bayi untuk menghindari terjadinya infeksi pada bayi<br />
tersebut.<br />
Mencuci tangan yang kurang tepat menempatkan baik pasien dan<br />
tenaga perawatan kesehatan pada risiko terhadap infeksi atau penyakit. Tenaga<br />
perawatan kesehatan yang mencuci tangan kurang adekuat memindahkan<br />
organisme-organisme seperti Staphylococcus, Escheriscia coli, Pseudomonas,<br />
dan Klebsiella secara langsung kepada hospes yang rentan, yang menyebabkan<br />
infeksi nosokomial dan epidemik di semua jenis lingkungan pasien. 49<br />
Kepatuhan mencuci tangan sangat penting dalam mencegah infeksi<br />
nosokomial.<br />
Universitas Sumatera Utara
Di bawah ini tujuh langkah mencuci tangan yang baik dan benar:<br />
e. Pemberian ASI secepatnya<br />
Gambar 2.4. Tujuh langkah mencuci tangan. 50<br />
Upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi dapat dilakukan dengan keadaan<br />
gizi bayi yang baik. Pemeliharaan gizi bayi dan balita yang baik memerlukan<br />
pengaturan makanan yang tepat yaitu salah satunya dengan pemberian ASI secara<br />
benar dan tepat. 51 Air susu ibu memegang peranan yang penting untuk menjaga<br />
kesehatan dan kelangsungan hidup bayi. Awal menyusui yang baik adalah 30 menit<br />
setelah bayi lahir karena dapat merangsang pengeluaran ASI selanjutnya, disamping<br />
itu akan terjadi interaksi atau hubungan timbal balik dengan cepat antara ibu dengan<br />
bayi. 52<br />
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) sudah dibuktikan dapat mencegah terjadinya<br />
infeksi pada bayi. Bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko lebih kecil untuk<br />
memperoleh infeksi daripada bayi yang mendapat susu formula. Efektifitas ASI<br />
tergantung dari jumlah yang diberikan, semakin banyak ASI yang diberikan semakin<br />
sedikit risiko untuk terkena infeksi. Insidensi infeksi nosokomial pada bayi prematur<br />
yang mendapat ASI (29,3%) lebih kecil dibandingkan dengan bayi prematur yang<br />
mendapat susu formula (47,2%). 12<br />
f. Pembersihan Ruang Perawatan Bayi<br />
Bentuk, konstruksi dan suasana ruang perawatan yang baik dan memadai<br />
dapat mengurangi insidens infeksi nosokomial. Setiap ruang perawatan terutama<br />
NICU (Neonatal Intensive Care Unit) memerlukan paling sedikit 1 ruangan isolasi<br />
untuk 2 pasien yang terinfeksi, dan ruangan untuk cuci tangan, ruangan tempat<br />
memakai baju steril untuk tindakan invasif, dan tempat penyimpanan alat-alat atau<br />
material yang sudah dibersihkan. 7<br />
g. Perawatan persalinan aseptik<br />
Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, dan pemberian<br />
ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam<br />
selama persalinan. Pemberian ampicillin dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi<br />
awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah<br />
dini, serta menurunkan resiko infeksi Streptococcus Grup B sampai 36%. Pada<br />
wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampicillin dan gentamicin, yang dapat<br />
menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi<br />
Streptococcus Grup B sebesar 86%. Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti<br />
Universitas Sumatera Utara
korioamnionitis atau ketuban pecah dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin<br />
dan gentamisin intravena selama persalinan. Antibiotik tersebut diberikan sebagai<br />
obat profilaksis. 7<br />
2.8.3. Pencegahan Sekunder<br />
Pencegahan sekunder ini diberikan kepada mereka yang menderita atau<br />
dianggap menderita. Adapun tujuan pada pencegahan sekunder yaitu diagnosis dini<br />
dan pengobatan yang tepat.<br />
a. Diagnosis<br />
Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa<br />
perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan<br />
kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan<br />
perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4<br />
variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan<br />
variabel inflamasi (tabel 2.2).<br />
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus 7<br />
Variabel Klinis<br />
· Suhu tubuh tidak stabil<br />
· Denyut nadi > 180 kali/menit atau < 100 kali/menit<br />
· Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen<br />
· Letargi<br />
· Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )<br />
· Intoleransi minum<br />
Variabel Hemodinamik<br />
· TD < 2 SD menurut usia bayi<br />
· TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )<br />
· TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )<br />
Variabel Perfusi Jaringan<br />
· Pengisian kembali kapiler > 3 detik<br />
· Asam laktat plasma > 3 mmol/L<br />
Variabel Inflamasi<br />
· Leukositosis ( > 34000x109/L )<br />
· Leukopenia ( < 5000 x 109/L )<br />
· Neutrofil muda > 10%<br />
· Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2<br />
· Trombositopenia 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal<br />
Dalam menentukan diagnosis klinik sepsis, setiap lembaga hendaknya<br />
membuat sendiri kriteria yang cocok untuk dipakai ditempatnya. Pengkajian secara<br />
statistik mengenai hal ini sangat sulit, karena faktor predisposisi infeksi maupun<br />
gejala klinis sangat sulit digolongkan karena saling tumpang tindih. 21<br />
b. Penatalaksanaan 11<br />
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana<br />
sepsis neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab<br />
membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah<br />
dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan<br />
berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan.<br />
Universitas Sumatera Utara
.1. Pemberian Antibiotik<br />
Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotik empirik harus segera dimulai<br />
tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah diberikan terapi empirik, pilihan<br />
antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuaikan dengan hasil kultur dan uji<br />
resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari<br />
dan bayi secara klinis baik, pemberian antibiotik harus dihentikan.<br />
b.1.1. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini<br />
Pada bayi dengan sepsis awitan dini, terapi empirik harus meliputi<br />
Streptococcus Group B, E. coli, dan Lysteria monocytogenes. Kombinasi<br />
penisilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas<br />
antimokroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme<br />
penyebab sepsis awitan dini. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan<br />
meningkatkan aktivitas antibakteri.<br />
b.1.2. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat<br />
Kombinasi pensilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida juga dapat<br />
digunakan untuk terapi awal sepsis awitan lambat. Pada kasus infeksi<br />
Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti staphylococcus yaitu<br />
vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal.<br />
Pemberian antibiotik harusnya disesuaikan dengan pola kuman yang<br />
ada pada masing-masing unit perawatan neonatus.<br />
b.2. Terapi Suportif (adjuvant)<br />
Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ<br />
atau lebih yang disebut Disfungsi Multi Organ, seperti gangguan fungsi respirasi,<br />
Universitas Sumatera Utara
gangguan kardiovaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada<br />
keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian<br />
inotropik, dan pemberian komponen darah. Terapi suportif ini dalam kepustakaan<br />
disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan dikepustakaan antara lain<br />
pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian tranfusi dan komponen<br />
darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF),<br />
inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.<br />
2.7.4. Pencegahan Tertier<br />
Tujuan utama dari pencegahan tertier adalah mencegah cacat, kematian, serta<br />
usaha rehabilitasi. Penderita sepsis neonatorum mempunyai risiko untuk mengalami<br />
kematian jika tidak dilakukan diagnosis dini dan terapi yang tepat. Untuk itu bayi-<br />
bayi yang menderita sepsis perlu mendapat penanganan khusus dari petugas<br />
kesehatan dalam rangka mencegah kematian dan membatasi gangguan lain yang<br />
dapat timbul di kemudian hari.<br />
Universitas Sumatera Utara