05.06.2013 Views

Membaca Indonesia dari Film dan Sinema Indonesia - Universitas ...

Membaca Indonesia dari Film dan Sinema Indonesia - Universitas ...

Membaca Indonesia dari Film dan Sinema Indonesia - Universitas ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Membaca</strong> <strong>Indonesia</strong> <strong>dari</strong> <strong>Film</strong> <strong>dan</strong> <strong>Sinema</strong> <strong>Indonesia</strong><br />

Oleh Fajar Junaedi<br />

Perkembangan film <strong>Indonesia</strong> mengalami pasang surut yang menarik untuk diamati, karena di<br />

dalam pasang surut film <strong>Indonesia</strong> inilah terjadi relasi yang kuat antara film <strong>dan</strong> sinema sebagai bentuk<br />

kebudayaan dengan institusi politik yang berkuasa di masanya. Sejak film masuk ke <strong>Indonesia</strong> di awal abad<br />

19 M, berbagai kisah manis <strong>dan</strong> pahit terjadi dalam relasi film <strong>dan</strong> sinema dengan penguasa politik yang<br />

memegang kendali kuasa di masanya.<br />

<strong>Film</strong>, saat baru masuk ke <strong>Indonesia</strong>, menjadi saksi kolonialisme yang melanda nusantara. Di<br />

pertengahan abad 19 M, film menjadi saksi mata <strong>dari</strong> pergolakan kemerdekaan yang disertai dengan<br />

revolusi fisik. <strong>Film</strong> kembali menjadi saksi mata dalam kerusuhan sosial <strong>dan</strong> politik di tahun 1965-1966<br />

sebagai akibat pemberontakan yang konon dilakukan oleh Partai Komunis <strong>Indonesia</strong> (PKI). Di masa Orde<br />

Baru, film <strong>dan</strong> sinema secara efektif dikontrol oleh pemerintah, baik secara kelembagaan maupun<br />

substansinya, sehingga film di masa ini tidak ubahnya sebagai corong propaganda atas nama<br />

pembangunan yang menjadi matra pemerintahan Orde Baru. <strong>Film</strong> juga menjadi saksi mata atas kejatuhan<br />

pemerintahan Orde Baru setelah digoyang serangkaian unjuk rasa massif berlabel reformasi. <strong>Film</strong> <strong>dan</strong><br />

sinema <strong>Indonesia</strong> kemudian mengalami perubahan secara kelembagaan maupun substansi.<br />

Di masa kolonialisme, film datang ke <strong>Indonesia</strong> pada awal tahun 1900-an dengan didominasi film-<br />

film <strong>dari</strong> Dunia Pertama (First World) yaitu Eropa <strong>dan</strong> Amerika Serikat. Baru pada pertengahan dekade<br />

1920-an saat jumlah gedung sinema telah mencapai angka 13, film untuk kali pertama dibuat di <strong>Indonesia</strong>.<br />

Kemudian film tidak lagi menjadi monopoli kota besar seperti Jakarta <strong>dan</strong> sekaligus hanya menjadi hiburan<br />

milik kaum borjuasi, karena film kemudian diputar dalam berbagai pertunjukan di tanah lapang. Model<br />

pemutaran ini kemudian dikenal sebagai misbar (gerimis bubar), sebuah bentuk layar sinema yang<br />

berkeliling layaknya sirkus keliling. Model inilah yang berhasil menjangkau khalayak luas, bahkan mampu<br />

menyapa penduduk pribumi yang buta huruf, karena memang menonton film berbahasa local tidak<br />

mewajibkan penontonnya melek huruf. Atas pertimbangan inilah kemudian pemerintah colonial Hindia<br />

Belanda mendirikan Komisi <strong>Film</strong> Hindia Belanda <strong>dan</strong> menjadikannya sebagai institusi tunggal yang<br />

mengatur film <strong>dan</strong> sinema. Komisi yang berada di bawah Departemen Dalam Negeri pemerintah kolonial ini<br />

sekaligus menjadi awal <strong>dari</strong> kelahiran lembaga sensor <strong>dan</strong> serempak mewariskan tradisi sensor ke<br />

generasi sesudahnya (Sen,1994:13).<br />

Di masa kemerdekaan, euphoria kemerdekaan mewarnai dunia perfilman <strong>Indonesia</strong>. Secara<br />

kuantitas produksi film mengalami kenaikan secara pesat, <strong>dari</strong> hanya 6 film pada tahun 1949 menjadi 22<br />

film di tahun 1950 <strong>dan</strong> 58 di tahun 1955 (Sen,1994:19). Isu <strong>dan</strong> wacana nasionalisme serta patriotisme<br />

menjadi substansi kuat <strong>dari</strong> film di masa ini. Dalam tataran praksis sosial, nasionalisme ini diwujudkan<br />

dalam gerakan menasionalisasi gedung sinema <strong>dan</strong> perusahaan film, sekaligus menggulirkan film yang<br />

“benar-benar” <strong>Indonesia</strong>.


Sosok Usmar Ismal menjadi tokoh utama dalam pengguliran sinema nasional di masa keriuhan<br />

suka cita kemerdekaan ini. Bersama dengan beberapa koleganya, Usmar Ismal mendirikan Perusahaan<br />

<strong>Film</strong> Nasional (Perfini). Dengan modal yang terbatas, Perfini memproduksi film pertama berjudul Darah<br />

<strong>dan</strong> Doa pada bulan Maret 1950. Perfini sempat menghentikan produksi film ini karena kekurangan<br />

pen<strong>dan</strong>aan, namun kemudian produksi bisa berlangsung setelah seorang pengusaha keturunan China<br />

bernama Mr. Thong memberikan bantuan keuangan untuk proses produksi. Bantuan terhadap produksi<br />

film ini juga mengalir <strong>dari</strong> perwira Divisi Siliwangi, karena memang cerita film yang berlatar belakang long<br />

march Divisi Siliwangi pada masa revolusi kemerdekaan (Sen,1994:21).<br />

Relasi antara institusi militer dengan industri film sebagaimana yang terjadi dalam proses produksi<br />

film Darah <strong>dan</strong> Doa sebenarnya bukan hanya fenomena khas dalam industri film di Dunia Ketiga seperti<br />

<strong>Indonesia</strong> dimana faktor modal sering kali menjadi penghambat dalam proses produksi film. Di Hollywood,<br />

sebagai sebuah representasi industri film di Dunia Pertama yang sebenarnya tidak mengalami hambatan<br />

modal yang berarti, relasi antara institusi militer <strong>dan</strong> industri film sudah lama mutualisme bagi keduanya.<br />

Pemerintahan Ronald Reagen di tahun 1980-an bahkan memberikan insentif secara massif kepada<br />

produsen film Hollywood yang bersedia memproduksi film yang mendorong patriotisme <strong>dan</strong> kebijakan<br />

pemerintah Amerika Serikat, seperti bantuan yang diberikan dalam produksi film Top Gun. <strong>Film</strong> ini konon<br />

diproduksi sebagai bentuk promosi pemerintah <strong>dan</strong> militer negara tersebut untuk menjaring anak muda<br />

masuk akademi militer (Kellner,1996:67). Patriotisme Amerika ini kemudian diekspor ke berbagai belahan<br />

dunia lain, termasuk <strong>Indonesia</strong>.<br />

Penonton film di <strong>Indonesia</strong>, sebagaimana terjadi di banyak negara Ketiga lainnya, diguyur dengan<br />

berbagai film produksi Amerika Serikat terutama Hollywood. Di saat usia republik ini masih belia, para<br />

pelobi <strong>dari</strong> Hollywood datang dengan paket bantuan teknis bernama Technical Cooperation Administration<br />

(TCA) di tahun 1950 dengan nilai bantuan sebesar lima ratus ribu dollar Amerika. Tentu saja bantuan ini<br />

tidak ikhlas diberikan karena sebagai gantinya kran impor film Hollywood secara massif dibuka melalui<br />

kontrol monopoli yang dilakukan oleh American Motion Picture Association in <strong>Indonesia</strong> (AMPAI).<br />

Beberapa laporan terpercaya menunjukan bahwa 600 sampai dengan 700 film Amerika masuk ke<br />

<strong>Indonesia</strong> sepanjang tahun 1950 sampai dengan 1955 (Sen,1994:25).<br />

Di masa selanjutnya, gempuran dahsyat film Hollywood ini telah menggulung industri film<br />

<strong>Indonesia</strong> di tahun 1990-an, dimana produksi film nasional mengalami kemerosotan yang menyedihkan.<br />

Di masa suram ini, produksi film setiap tahun bisa dihitung dengan jari tangan <strong>dan</strong> atas sebab ini Festival<br />

<strong>Film</strong> <strong>Indonesia</strong> (FFI) mati suri untuk sesaat.<br />

Di masa Orde Baru, dimana kapitalisme semu (ersatz capitalism) menjadi corak kapitalisme yang<br />

secara tidak sadar dianut oleh penguasa politik di masa ini, industri film juga tidak lepas <strong>dari</strong> intervensi


penguasa sebagaimana selalu ada kolaborasi antara pemodal <strong>dan</strong> pemerintah dalam kapitalisme semu.<br />

Pemerintah Orde Baru mengawali kiprahnya dengan menyokong secara penuh beberapa film yang<br />

berlatar belakang penumpasan pemberontakan G-30-S/PKI, seperti film Operasi X di tahun 1968.<br />

Jika di masa Orde Lama keberadaan AMPAI acapkali menjadi sasaran kecaman <strong>dan</strong> demonstrasi,<br />

karena dianggap sebagai antek neo-imperialisme, maka di masa Orde Baru kondisinya berbalik 180<br />

derajat. Angin besar berupa unjuk rasa <strong>dari</strong> para demonstran berganti menjadi angin sejuk berupa<br />

dukungan <strong>dari</strong> pemerintah tanpa ada perlawanan berarti <strong>dari</strong> kaum oposisi. <strong>Film</strong>-film Hollywood kemudian<br />

merajai layar gedung sinema <strong>dan</strong> puncaknya adalah di masa akhir kekuasaan orde ini, di mana film<br />

<strong>Indonesia</strong> menjadi makhluk asing di rumah sendiri.<br />

Dominasi film Hollywood ini tidak hanya secara kuantitas, namun secara kualitas menimbulkan<br />

mimikri pascakolonial. Konsep mimikri merujuk pada peniruan budaya yang dilakukan oleh aktor budaya di<br />

Dunia Ketiga terhadap representasi budaya yang ditampilkan oleh Dunia Pertama. Ide-ide film Hollywood<br />

yang menampilkan kelas dominan di masyarakat sebagai sosok pahlawan juga ditiru oleh film <strong>Indonesia</strong><br />

yang selalu menampilkan kelompok sosial dominan sebagai pahlawan<br />

Tidak aneh juga jika di masa Orde Baru, gagasan yang dimunculkan dalam film selalu berkutat<br />

pada wacana kelas dominan <strong>dan</strong> tentu saja merupakan ide yang menjadi arus dominan (mainstream) di<br />

masyarakat. Jarang sekali film menampilkan gagasan yang berbeda, memihak kelompok subaltern <strong>dan</strong><br />

sekaligus membela kelas marginal. Ide pembangunan pun selalu muncul dalam berbagai film <strong>Indonesia</strong> di<br />

masa Orde Baru.<br />

Layaknya sirkus keliling, pemerintah di masa ini memutar film dalam sinema keliling di tanah lapang<br />

untuk ditonton oleh masyarakat. Tentu saja film-film yang diputar adalah film kepahlawanan yang<br />

menarasikan tentang militer yang membela kedaulatan bangsa, atau jika tidak adalag film-film yang benar-<br />

benar fiksi tanpa ada unsur pembelaan terhadap kaum subaltern. <strong>Film</strong>-film horor yang dibintangi Suzanna<br />

<strong>dan</strong> film-film silat yang dibintangi oleh Barry Prima menjadi menu yang sering disuguhkan ke masyarakat<br />

dengan diselingi iklan-iklan tentang program transmigrasi <strong>dan</strong> keluarga berencana. <strong>Film</strong> <strong>dan</strong> sinema<br />

sebagai bentuk budaya populer dalam masa ini terartikulasikan sebagai budaya massa yang afirmatif,<br />

sekaligus mengalienasi khalayak <strong>dari</strong> realitas hidup sesungguhnya.<br />

Dalam masa Orde Baru, Ba<strong>dan</strong> Sensor <strong>Film</strong> (BSF) menjadi momok yang menakutkan. Ba<strong>dan</strong> ini<br />

memiliki kewenangan penuh untuk melakukan sensor terhadap film <strong>dan</strong> produk budaya lain yang menjadi<br />

turunannya, termasuk iklan film, baliho <strong>dan</strong> pamflet, terancam dengan gunting sensor yang menakutkan.<br />

Isu yang sering mengemuka dalam sensor adalah isu seksualitas <strong>dan</strong> pornografi, seperti yang terjadi<br />

tatkala film Pembalasan Ratu Laut Selatan yang dibintangi bom seks di era dekade 1980-an, Yurike


Pratisca, menunai kontroversi hebat. Era ini memang bisa dianggap sebagai sorga film-film yang dianggap<br />

porno, setidaknya menurut BSF selama tahun 1984/1985, <strong>dari</strong> 60 judul film yang diproduksi 44<br />

diantaranya harus menerima gunting sensor karena alasan pornografi (Lesmana,1995:7).<br />

Kuasa gunting sensor bukan hanya berada di Jakarta, namun juga menyebar ke daerah.<br />

Pemerintah mendirikan Ba<strong>dan</strong> Pembinaan Perfilman Daerah (Bafida) yang berfungsi mengawasi<br />

peredaran film <strong>dan</strong> bentuk budaya turunannya yang dianggap tidak sesuai dengan norma yang dipercayai<br />

oleh pemerintah. Akibatnya standar ganda bisa terpatik <strong>dari</strong> keberadaan Bafida. Di Yogyakarta, beberapa<br />

poster film diturunkan secara paksa oleh Bafida pada dekade 1970-an, setelah “mendengar keluhan<br />

masyarakat”, padahal di daerah lain poster <strong>dan</strong> baliho film tersebut tidak menjadi persoalan. Alasan yang<br />

dikemukakan oleh penguasa selalu alasan pornografi.<br />

Padahal jika ditelisik <strong>dari</strong> sejarahnya, gunting sensor sebenarnya bukan berasal <strong>dari</strong> persoalan<br />

seksualitas <strong>dan</strong> pornografi, namun karena alasan yang lebih bernuansa politis. Adalah film Darah <strong>dan</strong> Doa<br />

menjadi titik awal <strong>dari</strong> sensor, ketika film yang berlatar belakang long march Divisi Siliwangi ke Jawa<br />

Tengah <strong>dan</strong> Jawa Timur pada pasca Perjanjian Renville, diprotes oleh beberapa perwira Divisi Siliwangi<br />

karena dianggap tidak menampilkan perjalanan long march divisi ini sebagaimana mestinya, sehingga di<br />

beberapa daerah film ini dilarang diputar.<br />

Orde Baru secara efektif menjadikan film sebagai media propaganda dengan mendirikan institusi<br />

yang mengatur industri <strong>dan</strong> distribusi film <strong>dan</strong> sinema. Sebagai bentuk konsolidasi terhadap industri film,<br />

pemerintah Orde Baru mendirikan Lembaga Perfilman Nasional (Lepfinas) di masa Menteri Penerangan<br />

Mashuri pada tahun 1970. Lembaga ini kemudian mengalami inkorporasi lebih kuat oleh pemerintah,<br />

ketika pemerintah Orde Baru mengubahnya menjadi Dewan <strong>Film</strong> yang diketuai oleh menteri penerangan<br />

secara ex-officio (Sen,1994:53).<br />

Fasisme Orde Baru semakin terlihat dengan film-film yang diproduksi yang selalu menampilkan<br />

epik kepahlawanan militer, terutama Presiden Soeharto saat masih aktif di militer. Pengkianatan G-30-<br />

S/PKI menjadi ikon paling penting dalam dramaturgi sosok Soeharto sebagai pahlawan. <strong>Film</strong> pertama<br />

yang menokohkan Soeharto sebagai pahlawan adalah film Janur Kuning yang diproduksi pada tahun<br />

1979 dengan biaya sekitar 385 juta rupiah, sebuah anga fantastis karena produksi film di masa tersebut<br />

umumnya hanya memakan <strong>dan</strong>a 200 juta rupiah (Sen,1994:91). <strong>Film</strong> yang bercerita tentang Serangan<br />

Umum 1 Maret 1949 ini bercerita tentang kepahlawanan Soeharto yang masih berpangkat kolonel dalam<br />

menguasai Kota Yogyakarta selama enam jam, menyingkirkan peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX,<br />

raja Kerajaan Yogyakarta di masa tersebut <strong>dan</strong> Jenderal Soedirman, panglima Tentara Nasional <strong>Indonesia</strong><br />

(TNI) yang dikenal luas sebagai sosok jenius dalam strategi perang gerilya.


<strong>Film</strong> setelah Reformasi<br />

Di luar dugaan banyak kalangan, pemerintah Orde Baru akhirnya harus ambruk ketika gelombang<br />

unjuk rasa mahasiswa menggoyang pemerintahan ini. Jatuhnya Orde Baru terjadi saat film <strong>Indonesia</strong><br />

se<strong>dan</strong>g terpuruk juga. Krisis ekonomi yang melanda <strong>Indonesia</strong> menyebabkan biaya produksi film melonjak<br />

tajam apalagi beberapa pasca produksi film masih harus dilakukan di luar negeri karena keterbatasan<br />

teknologi di <strong>Indonesia</strong>. Di saat yang bersamaan kemampuan khalayak untuk membeli tiket bioskop juga<br />

merosot drastis. Praktis hanya film-film komedi Warkop yang masih rutin menyapa penonton sinema<br />

<strong>Indonesia</strong> di masa transisi kekuasaan Orde Baru.<br />

Di saat yang bersamaan, perkembangan televisi swasta dalam dunia penyiaran <strong>Indonesia</strong> telah<br />

memberikan pilihan baru bagi khalayak untuk menikmati hiburan baru tanpa ke bioskop. <strong>Sinema</strong> eletronik<br />

yang lazim diakronimkan sebagai sinetron menjadi bentuk baru dalam film <strong>dan</strong> sinema <strong>Indonesia</strong> yang<br />

dibuat khusus untuk ditayangkan di televisi, menyaingi film seluloid yang ditayangkan di gedung sinema.<br />

Di masa sekitar suksesi ini juga, teknologi digital berkembang secara pesat dengan berbagam implikasi<br />

bagi ranah film <strong>dan</strong> sinema <strong>Indonesia</strong>.<br />

Dalam sudut pan<strong>dan</strong>g negatif, teknologi digital terutama dalam bentuk cakram video compact disc<br />

(VCD) berkembang pesat. Berbeda dengan pita video VHS <strong>dan</strong> Betacam yang tidak sedahsyat VCD,<br />

teknologi cakram digital menjangkau sampai pelosok desa dengan harga yang sangat murah. Akibatnya<br />

film <strong>Indonesia</strong> yang harus ditonton dengan membeli tiket bioskop semakin dijauhi penonton. VCD bajakan<br />

merajalela, semakin meminggirkan film <strong>Indonesia</strong> <strong>dari</strong> ranah publik.<br />

Dari sudut pan<strong>dan</strong>g positif, teknologi memungkinkan produksi film secara digital dilakukan dengan<br />

biaya yang murah. Handycam <strong>dan</strong> kamera digital semakin murah <strong>dan</strong> teknologi editing dapat dilakukan<br />

secara murah dengan perangkat komputer multimedia. Perangkat lunak untuk editing juga tersedia di<br />

pasar, memungkinkan film diproduksi bukan hanya oleh kalangan industri film maupun pemerintah seperti<br />

di masa Orde Baru, namun juga oleh komunitas film.<br />

Komunitas film, terutama mengambil nama Kine Klub, tumbuh bak jamur di musim hujan di<br />

berbagai perguruan tinggi. Di tengah kekosongan film <strong>Indonesia</strong> di masa akhir Orde Baru <strong>dan</strong> awal<br />

reformasi, produksi film oleh komunitas film yang kemudian disebut film indie melonjak tajam. Kompetisi<br />

film indie mengiringi berbagai acara pemutaran film indie di berbagai kampus. Komunitas film indie<br />

kemudian menyebar bukan hanya berbasis kampus, namun kemudian bersifat lintas kampus.<br />

Di tengah ketidakpedulian pemerintah terhadap perkembangan komunitas film indie ini, komunitas<br />

film indie membuktikan mampu eksis dengan segala kekurangan <strong>dan</strong> kelebihannya. Kekurangan <strong>dari</strong> segi<br />

pembiayaan mampu tertutupi dengan semangat yang lebih <strong>dari</strong> aktivis film indie.


Kata 'indie' dalam proses produksi film bisa diartikulasikan dalam berbagai konteks. Pertama, kata<br />

ini merujuk kepada proses produksi film yang di<strong>dan</strong>ai sendiri tanpa ada bantuan <strong>dan</strong>a <strong>dari</strong> pihak lain,<br />

sehingga dalam manajemen produksi terbebas <strong>dari</strong> pengaruh pihak lain. Kedua, kata ini merujuk kepada<br />

perlawanan terhadap mayor label, sebagaimana yang sering dipahami dalam konteks musik indie di dunia<br />

Barat. Jika memang indie merupakan oposisi biner, maka gagasan film indie adalah gagasan yang<br />

membela kelompok subaltern <strong>dan</strong> subkultur yang selama ini terpinggirkan <strong>dari</strong> wacana dominan dalam film-<br />

film mayor.<br />

Kebaruan gagasan yang dibawa oleh semangat indie ini merasuk dalam film <strong>Indonesia</strong> di masa<br />

reformasi. Ada Apa dengan Cinta (AAdC), sebuah film remaja yang romantis yang meledak di pergantian<br />

milenium, menjadi petanda <strong>dari</strong> kebangkitan gagasan terhadap kelompok pinggiran yang terkucil secara<br />

politis <strong>dan</strong> kultural. <strong>Film</strong> yang menceritakan kisah cinta antara Rangga <strong>dan</strong> Cinta ini dibumbui keterusiran<br />

orang tua Rangga <strong>dari</strong> <strong>Indonesia</strong> karena dianggap memberontak oleh pemerintah yang berkuasa. Sebuah<br />

kisah eksil <strong>dari</strong> warga negara <strong>Indonesia</strong> yang terusir <strong>dan</strong> tidak bisa kembali ke <strong>Indonesia</strong> setelah tragedi<br />

tahun 1965.<br />

Ide tentang nasionalisme juga tidak lagi menjadi monopoli tentara <strong>dan</strong> pemerintah sebagaimana<br />

terjadi di masa Orde Baru. <strong>Film</strong> Garuda di Dadaku menarasikan nasionalisme anak-anak di atas lapangan<br />

hijau sepakbola. Sebuah narasi yang jauh berbeda dengan film berlatar belakang nasionalisme di masa<br />

Orde Lama <strong>dan</strong> Orde Baru yang menempatkan matra nasionalisme sebagai habitus militer <strong>dan</strong> pemerintah.<br />

Layaknya yang terjadi di masa Orde Baru, komodifikasi seksualitas berbalut dengan mistik kembali<br />

mengemuka dalam film <strong>Indonesia</strong> generasi pasca reformasi. Sebagaimana yang terjadi di masa lalu juga,<br />

penolakan terhadap pornografi kembali mengemuka. Kontroversi film Virgin, di tahun 2004 menjadi salah<br />

satu puncak persoalan pornografi dalam film <strong>dan</strong> sinema <strong>Indonesia</strong>. Claudia Sinta Bella, Ardina Rasti, Julia<br />

Perez menjadi bintang baru menggantikan Suzanna <strong>dan</strong> Yurike Pratisca.<br />

Komodifikasi menggejala bukan hanya pada ranah seks namun bergerak secara massif ke dalam<br />

ranah religi. <strong>Film</strong>-film religi seperti Ayat-ayat Cinta <strong>dan</strong> Ketika Cinta Bertasbih mencatat sukses besar dalam<br />

perolehan angka penonton. Memang di masa lalu film bertema religi juga pernah dibuat seperti Al Kautsar,<br />

Robohnya Surau Kami <strong>dan</strong> Wali Songo, namun ketiganya tidak mampu menggerakan jutaan penonton<br />

sebagaimana Ayat-ayat Cinta <strong>dan</strong> Ketika Cinta Bertasbih.<br />

Yang menarik, tema nasionalisme bukan lagi menjadi milik militer <strong>dan</strong> penguasa politik<br />

sebagaimana yang direpresentasikan dalam film-film di masa Orde Baru yang menempatkan seragam<br />

militer sebagai simbolisasi nasionalisme. Nasionalisme bisa menjadi habitus sekelompok anak kecil


sebagaimana yang bisa dilihat dalam film Garuda di Dadaku <strong>dan</strong> King, atau nasionalisme yang dimiliki<br />

masyarakat kelas bawah seperti yang dinarasikan dalam Nagabonar Jadi Dua.<br />

Di tengah perkembangan tema dalam film <strong>Indonesia</strong> ini, dunia film <strong>dan</strong> sinema <strong>Indonesia</strong><br />

dihadapkan pada kontroversi regulasi di bi<strong>dan</strong>g perfilman. Rancangan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g (RUU) Perfilman<br />

menjadi kontroversi hebat di tahun 2009, melibatkan perdebatan panjang antarpelaku dalam ranah industri<br />

film. Namun yang perlu diapresiasi adalah film <strong>Indonesia</strong> telah bangkit <strong>dari</strong> mati surinya seiring dengan<br />

reformasi.<br />

Daftar Pustaka<br />

Lesmana, Tjipta (1994). Pornografi dalam Media Massa. Jakarta, Puspa Swara<br />

Kellner, Douglas (1996). Media Culture, Identity and Politics between Modern and Posmodern. New York,<br />

Routhledge<br />

Biodata Penulis<br />

Fajar Junaedi lahir di Madiun pada tanggal 20 Mei 1979. Menamatkan pendidikan sekolah dasar sampai<br />

dengan sekolah menengah atas di kota kelahirannya. Kemudian menempuh pendidikan sarjana ilmu<br />

komunikasi di <strong>Universitas</strong> Diponegoro <strong>dan</strong> magister ilmu komunikasi di <strong>Universitas</strong> Sebelas Maret. Sejak<br />

tahun 2003 bergabung menjadi staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi <strong>Universitas</strong> Muhammadiyah<br />

Yogyakarta (UMY). Selain itu juga mengajar pada disiplin ilmu yang sama di <strong>Universitas</strong> Muhammadiyah<br />

Surakarta, <strong>Universitas</strong> Islam <strong>Indonesia</strong> <strong>dan</strong> <strong>Universitas</strong> Atma Jaya Yogyakarta. <strong>Film</strong> yang pernah<br />

disutra<strong>dari</strong>nya adalah Derby Mataram (2009), sebuah film dokumenter tentang suporter sepakbola di<br />

Yogyakarta <strong>dan</strong> Solo. Buku yang ditulisnya terbit di tahun 2005 berjudul Komunikasi Massa: Pengantar<br />

Teoritis, serta beberapa buku yang ditulis bersama dengan kolega <strong>dan</strong> mahasiswa yang diampunya, seperti<br />

Sampah Pariwara <strong>Indonesia</strong>, Teroris Iklan, Uppss Pengen : Ketika Perempuan Tidak Dimaknai dengan<br />

Bijak, Hitam Putih Media, Behind the Sex, Internet Invation, Menenjangi <strong>Film</strong> <strong>Indonesia</strong>, Komunikasi Politik<br />

<strong>dari</strong> Lapangan Hijau sampai Senayan serta Media <strong>dan</strong> Komunikasi Politik di <strong>Indonesia</strong>. Juga aktif menulis di<br />

berbagai jurnal <strong>dan</strong> media massa populer dalam bentuk opini di koran. Aktif membina majalah digital Ikom<br />

Digimagz <strong>dan</strong> kelompok fotografi Fotka Ikom (Fotografi Kampus Ilmu Komunikasi) serta <strong>dan</strong> menjadi<br />

redaktur jurnal komunikasi Komunikator. Tulisan ini dimuat dalam buku ”Menelanjangi <strong>Film</strong> <strong>Indonesia</strong>”,<br />

diterbitkan Lingkar Media 2009

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!