03.06.2013 Views

tesis 2011 - Universitas Udayana

tesis 2011 - Universitas Udayana

tesis 2011 - Universitas Udayana

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

1.1 Latar Belakang<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

Sebuah bangsa dapat berdiri tegak di antara bangsa-bangsa lain di dunia,<br />

salah satunya dengan pencapaian prestasi yang tinggi di bidang olahraga. Prestasi<br />

olahraga memiliki nilai yang sangat tinggi bagi suatu bangsa. Prestasi olahraga di<br />

Indonesia secara makro sekarang ini belum menunjukkan perkembangan yang<br />

menggembirakan apabila dilihat dari segi peringkat, perolehan medali pada<br />

kegiatan-kegiatan seperti: Sea Games, Asean Games, dan Olimpiade serta pada<br />

kejuaraan-kejuaraan dunia untuk masing-masing cabang olahraga prestasinya perlu<br />

ditingkatkan. Prestasi olahraga Indonesia dapat berjaya kembali di Asean dan mulai<br />

bicara di Asia melalui kerja keras selama 8 hingga 12 tahun lagi (Paulus, 2000).<br />

Pemerintah Indonesia selalu menggaungkan semboyan memasyarakatkan olahraga<br />

atau mengolahragakan masyarakat dengan tujuan untuk melakukan aktivitas<br />

bergerak badan (Nala, 1992).<br />

Olahraga merupakan suatu aktivitas yang banyak dilakukan oleh<br />

masyarakat, keberadaannya sekarang ini tidak lagi dipandang sebelah mata tetapi<br />

sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, sebab olahraga dewasa ini sudah<br />

dikenal oleh masyarakat baik orang tua, remaja, maupun anak-anak. Hal ini terbukti<br />

pada hari-hari libur di lapangan-lapangan serta tempat–tempat lainnya yang<br />

memungkinkan untuk melakukan kegiatan olahraga.<br />

1


Olahraga berdasarkan sifat dan tujuannya dapat dibagi menjadi olahraga<br />

prestasi, olahraga pendidikan, serta olahraga kesehatan (Kanca, 2006). Bentuk<br />

pelaksanaan latihan olahraga yang dilakukan berbeda-beda disesuaikan dengan<br />

tujuan yang ingin dicapai.<br />

Olahraga prestasi merupakan olahraga yang lebih menekankan pada<br />

peningkatan prestasi seorang atlet pada cabang olahraga tertentu. Sejak delapan<br />

tahun yang lalu, pada tahun 2002, Piala Thomas dan Piala Uber tak pernah lagi<br />

digenggam Indonesia. Kemampuan atlet Indonesia pun tampak jauh ketinggalan<br />

dibanding pemain negara lain. Padahal dulu jawara di bidang olahraga ini,<br />

mengalahkan raksasa bulu tangkis seperti Cina atau Malaysia. Indonesia pernah<br />

juara Thomas 13 kali. Kejayaan ini seolah tanpa bekas. Keterpurukan ini dibuktikan<br />

dengan perolehan peringkat Taufik Hidayat dan ganda Markis kido/Hendra<br />

peringkat 10 besar (BWF, <strong>2011</strong>). Dengan terjadinya kemerosotan ini pembenahan<br />

yang paling krusial dirombak adalah sistem pembinaan atlet (Tangkudung, 2006).<br />

Prestasi olahraga dihasilkan melalui program pembinaan dan<br />

pengembangan secara bertahap dan berkesinambungan, peranan ilmu pengetahuan<br />

dan teknologi, sumber daya manusia dan sumber daya alam mempengaruhi<br />

pencapaian prestasi. Dalam suatu pelatihan pencapaian prestasi secara maksimal<br />

tidak lepas dari aspek fisik, tehnik, taktik dan mental. Menurut Bompa (2000),<br />

faktor-faktor dasar latihan yaitu meliputi persiapan fisik, tehnik, taktik dan<br />

kejiwaan (psikologi). Disamping itu juga komponen penting yang menentukan<br />

keberhasilan seorang atlet untuk berprestasi adalah kesegaran jasmani. Tanpa<br />

kesegaran jasmani yang prima atlet tidak akan berhasil memperoleh prestasi<br />

2


walaupun memiliki keterampilan tehnik dan taktik yang baik. Kenyataan<br />

menunjukkan bahwa kesegaran jasmani yang baik berhubungan dengan prestasi<br />

olahraga. Latihan fisik dalam rangka memperbaiki dan mengembangkan kesegaran<br />

jasmani merupakan jawaban yang tepat untuk menghadapi keadaan darurat dan<br />

tekanan-tekanan yang datang mendadak dalam kehidupan (Setijono, 2001). Proses<br />

pelatihan fisik yang terprogram dengan baik sehingga faktor-faktor tersebut dapat<br />

dikuasai. Bompa (1999) menyatakan bahwa pelatihan merupakan sebuah aktivitas<br />

olahraga yang sistematik dalam waktu lama yang ditingkatkan secara progresif dan<br />

individual, yang mana mengarah kepada ciri-ciri fisiologis dan psikologis manusia<br />

untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Program pelatihan sebaiknya<br />

direncanakan dengan baik dan sempurna. Menurut Harsono (1988), program latihan<br />

kondisi fisik haruslah direncanakan secara baik dan sistematis yang bertujuan<br />

untuk meningkatkan kebugaran fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh<br />

sehingga memungkinkan atlet mencapai prestasi yang lebih baik. Aktivitas yang<br />

teratur memantapkan fungsi sistem kekebalan, sedangkan aktivitas marathon yang<br />

melelahkan bersifat menekan kekebalan sehingga aktivitas yang teratur memiliki<br />

kontribusi terhadap kesehatan (Sharkey, 2003).<br />

Permainan bulutangkis sarat dengan berbagai kemampuan dan keterampilan<br />

gerak yang kompleks. Sepintas lalu dapat diamati bahwa pemain harus melakukan<br />

gerakan-gerakan seperti lari cepat, berhenti dengan tiba-tiba dan segera bergerak<br />

lagi, gerak meloncat, menjangkau, memutar badan dengan cepat, melakukan<br />

langkah lebar tanpa pernah kehilangan keseimbangan tubuh sehingga aspek kondisi<br />

fisik dapat memegang peranan penting untuk permainan bulutangkis yang<br />

3


membutuhkan kualitas kekuatan, daya tahan, kelentukan, kecepatan, kelincahan,<br />

dan koordinasi gerak yang baik. Aspek-aspek tersebut sangat dibutuhkan agar<br />

individu mampu bergerak dan bereaksi untuk menjelajahi setiap sudut lapangan<br />

selama permainan. Karena itu, pebulutangkis sangat penting memiliki derajat<br />

kondisi fisik prima. Berdasarkan hal tersebut salah satu komponen biomotorik<br />

dalam permainan bulutangkis tidak lepas dari daya ledak otot lengan karena<br />

melibatkan pukulan-pukulan di atas untuk menghasilkan pukulan yang keras,<br />

dibutuhkan tenaga yang maksimal, yang bersumber dari kekuatan otot-otot bagian<br />

tubuh, yang melibatkan segmen-segmen otot lengan dalam suatu rangkain gerakan<br />

memukul yang utuh.<br />

Daya ledak merupakan kemampuan otot untuk mengerahkan kekuatan<br />

maksimal dalam waktu yang sangat cepat. Menurut Harsono (1988), cabang-cabang<br />

olahraga yang gerakannya didominasi gerakan meloncat seperti dalam bola voli,<br />

bulutangkis serta olahraga sejenisnya. Setiap individu yang memiliki daya ledak<br />

seyogyanya memiliki derajat kekuatan otot, derajat kecepatan, dan derajat<br />

keterampilan yang tinggi dalam keterampilan. Bentuk pelatihan daya ledak ditandai<br />

adanya gerakan atau perubahan tiba-tiba yang cepat, seperti tubuh terdorong ke<br />

atas, terdorong ke depan, atau melempar, memukul atau menyemes bola serta<br />

menendang (Nala, 2002). Dalam kenyataan di lapangan atau sering ditemukan di<br />

tempat pelatihan yang sering dilakukan seperti push up, angkat barbell dengan<br />

gerakan naik turun dengan arah vertikal serta pelatihan weight trainning seperti<br />

incline press, standing press up righ row, triceps extension, revers curl,bench press<br />

kebanyakan pelaksanaan dilakukan dalam posisi duduk, berbaring, padahal dalam<br />

4


permainan bulutangkis dilakukan posisi berdiri. Tipe pelatihan hendaknya<br />

menyerupai gerakan memukul atas (overhead) pada olahraga bulutangkis sehingga<br />

komponen biomotorik yang dilatih (spesifikasinya) tepat sasaran yaitu<br />

meningkatkan daya ledak otot lengan. Tetapi akibat yang ditimbulkan otot lengan<br />

semakin besar dan kuat sehingga hasilnya otot lengan yg besar bukan untuk<br />

melakukan pukulan yg cepat dan tepat tetapi untuk mengangkat barang atau hanya<br />

untuk sekedar keindahan. Sinkronisasi unit motorik, kelompok otot antagonis dan<br />

sinergis pada lengan bahu dan dada serta kelompok tubuh lainnya belum terbina<br />

(Nala, 2002), sehingga perlu dikembangkan tipe pelatihan yang posisinya<br />

disesuaikan dengan karakteristik permainan bulutangkis pada saat melakukan<br />

pukulan atas (overhead).<br />

Berdasarkan dari kenyataan di atas timbul keinginan untuk mengadakan<br />

penelitian yang berkaitan dengan meningkatkan daya ledak otot lengan khusus bagi<br />

pemain bulutangkis melalui pelatihan menarik katrol beban yang posisi gerakannya<br />

mirip dalam keadaan memukul overhead pada pukulan bulutangkis. Pelatihan<br />

menarik beban berulang-ulang dengan sikap dan arah gerakan lengan seperti sikap<br />

menyemes bola sesungguhnya merupakan cara yang tepat untuk melatih kekuatan<br />

otot lengan (Nala, 2002). Pukulan smash dalam bulutangkis merupakan bagian dari<br />

pukulan atas (overhead). Bentuk pelatihan menarik katrol merupakan salah satu<br />

bentuk pelatihan beban dengan memberikan tahanan eksternal, berupa karung pasir<br />

berbeban yang ditarik dengan menggunakan katrol. Cara pelatihan dengan menarik<br />

lengan dari belakang, atas kepala setinggi jangkauan tangan dengan arah gerakan<br />

dari atas ke bawah, posisi tubuh berdiri.<br />

5


Untuk pelatihan menarik katrol melibatkan beberapa jenis otot. biseps braki,<br />

otot brakialis, otot karoko brakiali, otot pectoralis major, otot deltoid, otot supra<br />

spinatus, otot infra spinatus, otot teres major, otot muskulas triceps braki, muskulas<br />

ekstensor karpi radialis longus, muskulas ekstensor karpi radialis brevis, muskulas<br />

ekstensor karpi ulnaris, digitonum karpi radialis, muskulas ekstensor policis longus<br />

yang sesuai dengan pukulan overhead pada permainan bulutangkis (Syaifuddin,<br />

1996).<br />

Alat yang digunakan dirancang sesuai dengan posisi dan arah gerakan.<br />

Bentuk alat sederhana dapat dibuat sendiri, diharapkan dapat menghemat waktu dan<br />

biaya karena bisa dilakukan di rumah. Takaran pelatihan untuk meningkatkan daya<br />

ledak otot lengan dengan beban bervariasi, kontraksi cepat, dalam repetisi kalau<br />

kecepatan berkurang pengulangan dihentikan (Satriya, dkk., 2007). Repetisi<br />

merupakan bentuk pengulangan. Dalam teori takaran beban dalam pelatihan daya<br />

ledak 40%-80% dari kemampuan maksimal (Satriya, dkk., 2007), sedangkan<br />

repetisi 12-15 dan set 3-5 (Harsono, 1988). Pelatihan dengan frekuensi tiga kali<br />

seminggu sesuai untuk pemula yang akan menghasilkan peningkatan yang berarti<br />

(Fox, 1983). Pelatihan yang diterapkan pada penelitian ini menggunakan menarik<br />

katrol beban yang menekankan pada perbedaan jumlah repetisi dan set dengan<br />

beban yang sama. Pengulangan yang tinggi (Nala, 2002), akan menjadikan suatu<br />

pelatihan sangat efektif dan hal ini sangat baik dalam mengembangkan tipe serabut<br />

otot, terutama tipe otot putih yang sangat dibutuhkan dalam anggota gerak atas.<br />

Dari penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran dan hasil yang diperoleh<br />

mampu melakukan menarik beban dari belakang, atas kepala samping ke bawah<br />

6


sebanyak 12 repetisi dengan beban maksimal yang mampu ditarik duabelas kg.<br />

Hasil maksimal beban duabelas kg dari beban ini diambil 40 % dari kemampuan<br />

maksimal yaitu lima kg. Sedangkan repetisi dan set diperoleh antara 12-15 kali<br />

dengan tiga set, karena pelatihan ini diberikan kepada pemula sehingga takaran<br />

diambil dari yang terendah supaya semua sampel yang terpilih dapat melakukan<br />

pelatihan. Berdasarkan hasil ini diperoleh repetisi, set, dan beban dalam pelatihan<br />

menarik katrol dengan beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set, dan sembilan<br />

repetisi, empat set dalam meningkatkan daya ledak otot lengan yang jumlah<br />

totalnya tigapuluhenam kali.<br />

Penelitian dilakukan terhadap siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK<br />

dengan beberapa pertimbangan seperti siswa menguasai tehnik dasar bermain<br />

bulutangkis, ditinjau dari umurnya berada pada masa remaja (adolescence), dimana<br />

pada masa tersebut keterampilan secara maksimal dapat tercapai. Pertimbangan<br />

lainnya siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK kurang bermunculan dilihat dari<br />

prestasi tingkat PORJAR Denpasar sehingga perlu diberikan pelatihan menarik<br />

katrol beban yang digunakan untuk meningkatkan daya ledak otot lengan dengan<br />

beban yang sama tetapi set dan repetisi yang berbeda.<br />

1.2 Rumusan masalah<br />

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang<br />

disampaikan sebagai berikut:<br />

1. Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, dan<br />

tiga set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu dapat<br />

7


meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler<br />

bulutangkis SMK-1?<br />

2. Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, dan<br />

empat set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu<br />

dapat meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler<br />

bulutangkis SMK-1?<br />

3. Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, dan<br />

tiga set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu lebih<br />

baik dari pada pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan<br />

repetisi, dan empat set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama<br />

enam minggu dalam meningkatkan daya ledak otot lengan<br />

ekstrakurikuler bulutangkis siswa SMK-1?<br />

1.3 Tujuan Penelitian<br />

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:<br />

1.3.1 Tujuan Umum<br />

Mendapatkan tipe pelatihan menarik katrol beban serta takaran pelatihan<br />

yang lebih baik dalam meningkatkan daya ledak otot lengan.<br />

1.3.2 Tujuan Khusus<br />

1. Untuk mengetahui peningkatan daya ledak otot lengan pada pelatihan<br />

menarik katrol beban lima kg, dengan duabelas repetisi, tiga set dalam<br />

meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler<br />

bulutangkis SMK-1.<br />

8


2. Untuk mengetahui peningkatan daya ledak otot lengan menarik katrol beban<br />

lima kg, dengan sembilan repetisi, empat set dalam meningkatkan daya<br />

ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.<br />

3. Untuk mengetahui bahwa pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan<br />

duabelas repetisi, tiga set lebih baik dibandingkan dengan pelatihan menarik<br />

katrol beban lima kg, dengan sembilan repetisi, empat set dalam<br />

meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler<br />

bulutangkis SMK-1.<br />

1.4 Manfaat Penelitian<br />

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:<br />

1. Memperoleh data empirik tentang tipe dan takaran pelatihan untuk<br />

meningkatkan daya ledak otot lengan demi perkembangan kasana ilmu<br />

pengetahuan di bidang olahraga.<br />

2. Sebagai pedoman bagi pelatih, guru dan pembina olahraga dalam upaya<br />

meningkatkan prestasi cabang olahraga khususnya yang memerlukan daya<br />

ledak otot lengan.<br />

9


2.1 Pelatihan Olahraga<br />

BAB II<br />

KAJIAN PUSTAKA<br />

Pelatihan adalah suatu proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja yang<br />

dilakukan secara berulang-ulang dengan kian hari meningkatkan jumlah beban<br />

latihan atau pekerjaan, dan salah satu yang paling penting dari latihan harus<br />

dilakukan secara berulang-ulang dan meningkatkan beban atau tahanan untuk<br />

meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot yang diperlukan untuk pekerjaannya<br />

(Hairy, Junusul, 1989). Pelatihan dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang<br />

(repetitive) dalam jangka waktu lama, dengan pembebanan yang meningkat secara<br />

progressive, memiliki tujuan untuk memperbaiki sistema serta fungsi fisiologi dan<br />

psikologi tubuh agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai<br />

penampilan yang optimal (Nala, 1998).<br />

Menurut Nossek (1982) pelatihan adalah suatu proses atau dinyatakan<br />

dengan kata lain periode waktu yang berlangsung selama beberapa tahun sampai<br />

atlet tersebut mencapai standar penampilan yang tertinggi. Nossek (1982)<br />

menyatakan pelatihan adalah suatu proses penyempurnaan olahraga yang diatur<br />

dengan prinsip-prinsip yang bersifat ilmiah, khususnya prinsip-prinsip paedagogis.<br />

Proses ini direncanakan dan sistematis, yang meningkatkan kesiapan untuk<br />

melakukan dan kepastian penampilan atlet.<br />

10


Pelatihan adalah sebuah aktivitas olahraga yang sistematik dalam waktu<br />

yang lama ditingkatkan secara progresif dan individual, yang mana mengarah<br />

kepada ciri-ciri fungsi fisiologis dan psikologis manusia untuk mencapai sasaran<br />

yang telah ditentukan (Bompa, 1999). Pelatihan juga merupakan aktivitas fisik<br />

yang dilakukan secara berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip<br />

pelatihan yang benar.<br />

Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat beberapa kesamaan dalam<br />

mendefinisikan pelatihan antara lain:<br />

1. Aktivitas yang dilakukan secara sistematis.<br />

2. Bentuk suatu proses<br />

3. Dilaksanakan dengan waktu yang relatif lama.<br />

4. Berkesinambungan.<br />

5. Adanya pembebanan secara bertahap<br />

6. Untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga.<br />

Dengan demikian pengertian pelatihan dapat disimpulkan sebagai suatu proses<br />

penyempurnaan kemampuan olahraga, yang dilakukan secara sistematis dan<br />

berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelatihan yang benar,<br />

untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga.<br />

2.1.1 Tujuan Pelatihan<br />

Tujuan pelatihan dalam bidang olahraga adalah untuk memperbaiki<br />

kemampuan teknik (keterampilan) atau penampilan atlet sesuai dengan kebutuhan<br />

dalam bidang olahraga spesialisasi atau yang digeluti, dan bertujuan untuk<br />

meningkatkan kebugaran, jasmani dan menjaga kesehatan (Nala, 1998).<br />

11


Berdasarkan atas hal ini maka pelatihan ditujukan untuk meningkatkan<br />

pengembangan fisik baik menyeluruh maupun khusus perbaikan terhadap teknik,<br />

pematangan strategi, dan teknik permainan sesuai dengan kebutuhan cabang<br />

olahraga, menanamkan kemauan dan disiplin yang tinggi, pengoptimalan persiapan<br />

tim dan olahraga beregu, meningkatkan serta memelihara kebugaran jasmani dan<br />

kesehatan serta mencegah kemungkinan cedera.<br />

Menurut Bompa (1999), untuk mencapai tujuan dalam latihan, yaitu<br />

memperbaiki prestasi tingkat terampil maupun unjuk kerja dari atlet, diarahkan oleh<br />

pelatihnya untuk mencapai tujuan umum latihan. Adapun tujuan-tujuan latihan<br />

sebagai berikut:<br />

1. Untuk mencapai dan memperluas perkembangan fisik secara menyeluruh.<br />

2. Untuk menjamin dan memperbaiki perkembangan fisik khusus sebagai<br />

suatu kebutuhan yang telah ditentukan di dalam praktik olahraga.<br />

3. Untuk memoles atau menyempurnakan teknik olahraga yang dipilih.<br />

4. Memperbaiki dan menyempurnakan strategi yang penting yang dapat<br />

diperoleh dari belajar teknik lawan berikutnya.<br />

5. Menanamkan kualitas kemauan melalui latihan yang mencukupi serta<br />

disiplin untuk tingkah laku, ketekunan, dan keingginan untuk<br />

menanggulangi kerasnya latihan dan menjamin persiapan psikologis.<br />

6. Menjamin dan mengamankan persiapan tim secara optimal.<br />

7. Untuk mempertahankan keadaan sehat setiap atlet.<br />

12


8. Untuk mencegah cedera melalui pengamanan terhadap penyebabnya dan<br />

juga meningkatkan fleksibelitas di atas tingkat ketentuan untuk melakukan<br />

gerakan yang penting.<br />

9. Untuk menambah pengetahuan seorang atlet dengan sejumlah pengetahuan<br />

teoritis yang berkaitan dengan dasar-dasar fisiologis dan psikologis latihan,<br />

pencernaan gizi, dan regenerasi.<br />

Beberapa kesimpulan tersebut tidak menyarankan untuk dipakai secara kaku<br />

dalam upaya latihan yang dilakukan, hal tersebut harus disesuaikan dengan ciri-ciri<br />

khusus pada kecabangan olahraga yang dilakukan dan juga memperhatikan kondisi<br />

atlet itu sendiri. Pendekatan yang perlu mendapat perhatian untuk mencapai tujuan<br />

pelatihan utama adalah mengembangkan dasar-dasar latihan secara fungsional<br />

yang diarahkan untuk mencapai tujuan khusus sesuai dengan kebutuhan cabang<br />

olahraga itu sendiri. Pada cabang olahraga bulutangkis kebutuhan yang digunakan<br />

kekuatan, kecepatan, dayatahan disesuaikan dengan kebutuhan cabang olahraganya.<br />

Jenis Pelatihan menarik katrol berbeban merupakan salah satu tipe pelatihan yang<br />

digunakan dalam penelitian ini. Menurut Nala (2002) cara pelatihan yang paling<br />

tepat untuk melatih kekuatan otot agar smesannya kuat atau pukulannya keras yang<br />

dilakukan dengan pelatihan menarik beban berulang-ulang dengan sikap dan arah<br />

gerakan lengan seperti melakukan smash atau melakukan pukulan overhead.<br />

Apabila diberi pelatihan, efek pada otot terjadi pada unit motorik (saraf dan otot),<br />

ko-kontraksi otot antagonis, sinkronisasi. Adaptasi neural akan meningkatkan<br />

kekuatan dan meningkatkan koordinasi.<br />

2.1.2 Prinsip-Prinsip Pelatihan<br />

13


Pelatihan yang modern harus direncanakan secara berhati-hati. Sebuah<br />

rancangan pelatihan mencakup semua tindakan yang diperlukan untuk mencapai<br />

sasaran-sasaran latihan (Nossek, 1982). Tujuan pelatihan yang telah dijelaskan akan<br />

memberikan arah dari suatu pelatihan olahraga, dan untuk mencapai tujuan tersebut<br />

secara maksimal, suatu pelatihan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip<br />

dasar pelatihan. Adapun prinsip-prinsip pelatihan adalah:<br />

a. Prinsip Pelatihan beraturan (the principle of arrange ment of exercise).<br />

Dalam setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus<br />

dilakukan yaitu; pemanasan, latihan inti serta pendinginan. Latihan<br />

hendaknya dimulai dari kelompok otot besar, kemudian dilanjutkan pada<br />

kelompok otot kecil (Fox, dkk., 1993). Pemanasan bertujuan menyiapkan<br />

kondisi fisik dan psikis sebelum latihan atau pertandingan/ perlombaan.<br />

Pemanasan juga bertujuan meningkatkan suhu tubuh dan aliran darah pada<br />

otot sekelet yang aktif (Nala, 1998). Dalam pelaksanaannya pemanasan<br />

tidak harus selalu lama dilakukan, pemanasan yang berkisar lima sampai<br />

limabelas menit sudah cukup untuk membuat tubuh berkeringat dan<br />

bernafas dalam, sebagai tanda metabolisme meningkat dan tubuh siap untuk<br />

mengikuti latihan berikutrnya. Selanjutnya latihan inti, gerakan inti olahraga<br />

merupakan gerakan atau aktivitas yang pokok dalam suatu pelatihan atau<br />

kecabangan olahraga. Kegiatan ini merupakan utama untuk mencapai tujuan<br />

dari pelatihan. Pendinginan bertujuan untuk mengembalikan kondisi fisik<br />

dan psikis pada keadaan semula. Pendinginan dilakukan setelah aktivitas<br />

fisik atau pelatihan selesai dilaksanakan. Pendinginan akan bermanfaat<br />

14


untuk pulih asal (recovery) setelah aktivitas fisik yang berat. Latihan-latihan<br />

pendinginan mengikuti urutan yang sebaliknya dari urutan latihan<br />

pemanasan (yaitu latihan aerobik ringan, kalistenik dinamis, dan peregangan<br />

statis) (Giam dan Teh, 1993). Lamanya pendinginan tergantung pada tingkat<br />

kelelahan yang diperoleh dari latihan inti atau tergantung pada cepatnya<br />

asam laktat dirubah, lama pendinginan bisa dari 10 sampai 30 menit.<br />

b. Prinsip Kekhususan (the principle of speciafity).<br />

Adalah latihan untuk cabang olahraga mengarah pada perubahan<br />

morphologis dan fungsional yang berkaitan dengan kekhususan cabang<br />

olahraga tersebut (Bompa, 1999). Untuk itu, sebagai bahan pertimbangan<br />

dalam menerapkan prinsip kekhususan, antara lain ditentukan oleh:(a)<br />

spesifikasi kebutuhan energi, (b) spesifikasi bentuk dan model latihan, (c)<br />

spesifikasi ciri gerak dan kelompok otot yang digunakan, dan (d) waktu<br />

periodisasinya.<br />

c. Prinsip Individualisasi (the principle of individuality).<br />

Pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan atlet<br />

untuk mencapai hasil yang baik. Menurut Bompa (1999) faktor individu<br />

harus diperhatikan, karena pada dasarnya setiap individu mempunyai<br />

karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara psikologis.<br />

Sukadiyanto (2005) menjelaskan, hal yang harus diperhatikan dalam prinsip<br />

individualisasi adalah faktor keturunan, kematangan, status gizi, waktu<br />

istirahat dan tidur, tingkat kebugaran, pengaruh lingkungan, cidera, dan<br />

motivasi.<br />

15


d. Prinsip Beban Bertambah (the principle of progressive resistance).<br />

Adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan<br />

disesuaikan dengan kemampuan fisiologis dan psikologis setiap individu<br />

olahragawan. Pelatihan dengan penambahaan beban secara bertahap<br />

merupakan suatu keharusan, untuk mencapai hasil dari pelatihan tersebut.<br />

Menurut Bompa (1999) untuk menyiapkan fungsi dan reaksi sistem-sistem<br />

syaraf, koordinasi neuromuskular, dan kapasitas psikologi untuk<br />

menanggulangi stres peningkatan beban latihan, atlet membutuhkan waktu,<br />

dan pendapat Astrand (1986) bahwa; “Peningkatan kinerja olahragawan<br />

memerlukan latihan dan penyesuaian dalam waktu yang panjang, disamping<br />

itu peningkatan kemampuan organisme secara morphologis, fisiologis dan<br />

psikologis bergantung pada peningkatan beban latihan. Dalam pembebanan<br />

latihan, tuntutan ini adalah bahwa beban latihan harus berkelanjutan jika<br />

harus ditingkatkan secara regular (progressive overload). Dalam mendisain<br />

pelatihan overload, Bompa (1999) menyarankan untuk memakai the step<br />

type approach system atau sistem tangga yang tampak pada gambar 1.<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

Gambar 2.1 The Step Type Approach System ( Bompa, 1999).<br />

Setiap garis vertikal menunjukan perubahan (penambahan) beban,<br />

sedangkan garis horisontal adalah fase adaptasi terhadap beban yang baru.<br />

7<br />

8<br />

9<br />

PRESTASI<br />

10<br />

11<br />

16


Beban latihan tiga tangga (cycle) pertama ditingkatkan secara bertahap.<br />

Pada cycle ke empat beban diturunkan (ini adalah yang dimaksud unloading<br />

fase) yang maksudnya adalah untuk memberi kesempatan kepada organ-<br />

organ tubuh untuk melakukan regenerasi (Harsono, 1988). The step type<br />

approach atau sistem tangga berlaku untuk pelatihan olahraga yang<br />

bertujuan untuk prestasi maupun kesehatan.<br />

e. Prinsip Beban Berlebih (the overload principle).<br />

Pelatihan untuk komponen kebugaran membutuhkan berkali-kali<br />

kondisi-kondisi overload yang diikuti dengan kesempatan untuk istirahat<br />

untuk mendapatkan efek pelatihan (Rushall dan Pyke, 1992). Menurut<br />

Sukadiyanto (2005), beban latihan harus mencapai atau melampaui sedikit<br />

di atas batas ambang rangsang. Sebab beban yang terlalu berat akan<br />

mengakibatkan tidak mampu diadaptasi oleh tubuh, sedangkan bila terlalu<br />

ringan tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas, sehingga<br />

beban latihan harus memenuhi prinsip moderat. Untuk pembebanan<br />

dilakukan secara progresif dan diubah sesuai dengan tingkat perubahan<br />

yang terjadi pada olahragawan. Apabila tubuh sudah mampu mengatasi<br />

beban latihan yang diberikan, maka beban berikutnya harus ditingkatkan<br />

secara bertahap. Irianto (2002) mengatakan apabila tubuh ditantang dengan<br />

beban latihan maka terjadi proses penyesuaian. Penyesuaian tersebut tidak<br />

saja seperti pada kondisi awal namun secara bertahap mengarah pada<br />

tingkat yang lebih tinggi yang disebut overkompensasi. Overkompensasi<br />

(peningkatan prestasi) akan terjadi bila pembebanan yang diberikan pada<br />

17


latihan tepat di atas ambang rangsang (threshold), disertai dengan<br />

pemulihan (recovery).<br />

Menurut Martens dalam Sukadiyanto (2005) tingkat penambahan<br />

beban latihan berkaitan dengan tiga faktor, yaitu frekuensi, intensitas, dan<br />

durasi. Penambahan frekuensi dapat dilakukan dengan cara menambah sesi<br />

latihan. Untuk intensitas latihan dapat dengan cara meningkatkan kualitas<br />

pembebanan. Sedangkan durasi dapat dilakukan dengan cara menambah<br />

jam latihan atau bila jam latihan tetap dapat dengan cara memperpendek<br />

waktu recovery dan interval, sehingga kualitas latihan menjadi meningkat.<br />

f. Prinsip Beragam (variety principle).<br />

Latihan memerlukan proses panjang yang dilakukan berulang-ulang,<br />

hal ini sering menimbulkan kebosanan. Untuk mengatasi kebosanan pelatih<br />

menciptakan suasana yang menyenangkan serta membuat aneka macam<br />

bentuk latihan (Bompa, 1999).<br />

g. Prinsip Pulih Asal (revercible principle)<br />

Kualitas yang diperoleh dari latihan dapat menurun kembali apabila<br />

tidak melakukan latihan dalam waktu tertentu. Proses adaptasi yang terjadi<br />

sebagai hasil dari latihan akan menurun bahkan hilang bila tidak<br />

dipraktekkan dan dipelihara melalui latihan yang kontinyu. Dengan<br />

demikian latihan harus berkesinambungan.<br />

2.1.3 Volume Pelatihan<br />

Sebagai komponen utama latihan, volume adalah prasarat yang sangat<br />

penting untuk mendapatkan teknik yang tinggi, taktik dan khususnya pencapaian<br />

18


fisik. Volume latihan disebut juga jangka waktu yang dipakai selama sesion latihan,<br />

yang melibatkan beberapa bagian secara integral sebagai berikut: (1) waktu atau<br />

jangka waktu yang dipakai dalam pelatihan, (2) jarak atau jumlah tegangan yang<br />

dapat ditanggulangin atau diangkat per satuan waktu, (3) jumlah pengulangan<br />

bentuk latihan atau elemen teknik yang dilakukan dalam waktu tertentu. Jadi<br />

diperkirakan bahwa volume terdiri jumlah keseluruhan dari kegiatan yang<br />

dilakukan dalam latihan. Volume diartikan sebagai jumlah kerja yang dilakukan<br />

selama satu kali latihan atau selama fase latihan (Bompa, 1999).<br />

Menurut Nala (1998), bahwa volume latihan merupakan jumlah<br />

seluruh aktivitas yang dilakukan selama latihan. Sering secara tidak<br />

tepat, volume latihan ini disamakan dengan durasi atau lama latihan.<br />

Padahal durasi ini merupakan bagian dari volume latihan. Pada umumnya<br />

volume latihan ini terdiri atas:<br />

a. Durasi atau lama waktu pelatihan (dalam detik, menit, jam, hari, minggu<br />

atau bulan).<br />

b. Jarak tempuh (meter), berat beban (kilogram) atau jumlah angkatan<br />

dalam satuan waktu (berapa kilo-gram dapat diangkat dalam waktu satu<br />

menit).<br />

c. Jumlah repetisi, set atau penampilan unsur teknik dalam satu kesatuan waktu<br />

(berapa kali ulangan dapat dilakukan dalam waktu semenit). Penggunaan<br />

repetisi dan set ini amat penting dalam meningkatkan kemampuan komponen<br />

biomotorik. Volume ini juga menunjukkan jumlah kerja atau aktivitas yang<br />

dapat dilakukan selama phase latihan (Bompa, 1999).<br />

19


Sedangkan menurut Sukadiyanto (2005) adalah ukuran yang menunjukkan<br />

kuantitas (jumlah) suatu rangsangan atau pembebanan. Adapun dalam proses<br />

latihan yang digunakan untuk meningkatkan volume latihan dapat dilakukan<br />

dengan cara latihan itu: (1) diperberat, (2) diperlama, (3) dipercepat, atau (4)<br />

diperbanyak. Untuk itu dalam menentukan besarnya volume dapat dilakukan<br />

dengan cara menghitung: (a) jumlah bobot berat per sesi, (b) jumlah ulangan per<br />

sesi, (c) jumlah set per sesi, (d) jumlah pembebanan per sesi, (e) jumlah seri atau<br />

sirkuit per sesi, dan (f) lama-singkatnya pemberian waktu recovery dan interval.<br />

Dalam penelitian ini volume pelatihan terhadap beban dan repetisi ditentukan<br />

berdasarkan pengukuran sampel yang dilakukan pada penelitian pendahuluan. Hasil<br />

penelitian pendahuluan bahwa kemampuan menarik katrol berbeban dengan beban<br />

duabelas kg. Dari beban duabelas kg diambil 40% dari kemampuan maksimal<br />

(Satriya, dkk., 2007) yaitu lima kg. Beban yang diberikan dari terendah karena<br />

melibatkan anak pemula dalam penggunaan beban untuk daya ledak otot lengan.<br />

Untuk menentukan repetisi dan set dilakukan menarik katrol berbeban lima kg hasil<br />

yang diperoleh berkisar 12-15 kali dengan tiga set. Sehingga dalam penelitian daya<br />

ledak otot lengan dengan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi dan tiga<br />

set dengan istirahat lima menit yang ditentukan dari denyut nadi istirahat.<br />

2.1.4 Intensitas Pelatihan<br />

Intensitas pelatihan adalah dosis pelatihan yang harus dilakukan seseorang<br />

menurut program yang telah ditentukan (Sajoto, 1995). Intensitas merupakan salah<br />

satu komponen terpenting dari latihan. Intensitas menunjukan komponen kualitatif<br />

pada penampilan kerja dalam suatu periode. Menurut Bompa (1999) bahwa<br />

20


intensitas adalah fungsi dari kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan<br />

dalam latihan dan kekuatan rangsangan tergantung dari beban kecepatan<br />

gerakannya, variasi interval atau istirahat diantara tiap ulangannya. Intensitas<br />

adalah faktor terpenting dalam pengembangan maksimal pemasukan oksigen<br />

(VO2max), intensitas merefleksikan kebutuhan energi dan kalor energi yang<br />

dikeluarkan (Sherkey, 2003). Intensitas juga merupakan ukuran yang menunjukan<br />

kualitas suatu rangsangan atau pembebanan.<br />

Menurut Harsono (1988) tingkatan intensitas beban pelatihan yang<br />

dianjurkan untuk pelatihan kondisi fisik: rendah: 30-50%, ringan: 51-60%, sedang:<br />

61-75%, submaksimal: 76-85%, maksimal: 86-100% dan super maksimal: 100%.<br />

Sedangkan kondisi fisik untuk daya ledak (Satriya, dkk., 2007) pelatihan dengan<br />

tahanan beban yang digunakan 40-80% kemampuan maksimal, kontraksi cepat,<br />

repetisinya kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan karena dalam daya<br />

ledak ada kekuatan terdapat pula kecepatan (Harsono, 1988). Derajat intensitas<br />

dapat diukur berdasarkan kepada bentuk latihan yang dilakukan untuk pelatihan<br />

yang melibatkan kecepatan diukur dalam satuan meter/detik, atau intensitas untuk<br />

kekuatan diukur dengan satuan kg, sedangkan untuk jarak contohnya jauh dan<br />

tinggi diukur dalam satuan meter (Bompa, 1999).<br />

Dalam meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan kecepatan, pembebanannya<br />

submaksimal dengan lama waktu berkontraksi 7-10 detik. Pembebanan berkisar 60-<br />

90% dari kekuatan maksimal berdasarkan Oshea (1976). Sedangkan meningkatkan<br />

kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan, intensitas pembebanannya berskala ringan<br />

dan sedang dari kemampuan maksimal, demikian pula waktu rangsangan saraf dan<br />

21


kontraksi diperpendek (Jensen dan Fisher, 1983). Manfaat dari pemberian beban<br />

untuk melatih kecepatan atau kemampuan maksimal dapat dipertahankan karena<br />

penyediaan energi dari sistem phospagen berlangsung cepat atau dua kali lipat<br />

kecepatan dalam sistem asam laktat (Guyton dan Hall, 2007).<br />

2.1.5 Repetisi dan Set<br />

Repetisi adalah jumlah ulangan pada waktu pelatihan sedangkan set adalah<br />

suatu rangkaian kegiatan dari suatu repetisi. Menurut Widana (1983) mensitir<br />

pelatihan dari De Lorme dan Watkins, bahwa pelatihan meningkatkan kekuatan<br />

otot dapat terujud melaui program dengan menggunakan 1-3 repetisi untuk 3-4 set<br />

dengan menggunakan beban maksimum. Sedangkan pelatihan yang menggunakan<br />

daya tahan otot hendaknya menggunakan program 10-12 repetisi dan 3-4 set.<br />

Dalam Harsono (1988) untuk meningkatkan daya ledak menggunakan 12–15<br />

repetisi, 3-5 set. Menurut Oshea, (1976) dalam meningkatkan daya ledak antara<br />

repetisi 8-10 repetisi dan 3-4 set. Menurut Fox (1984) manfaat pengulangan yang<br />

tinggi untuk mengembangkan serabut otot tipe cepat yang sangat dibutuhkan dalam<br />

kecepatan.<br />

2.1.6 Densitas dan Frekuensi Pelatihan<br />

Suatu frekuensi dimana atlet dihadapkan pada sejumlah rangsangan per<br />

satuan waktu disebut densitas latihan. Jadi densitas latihan berkaitan dengan suatu<br />

hubungan yang dinyatakan dalam waktu kerja dan pemulihan latihan. Suatu<br />

densitas yang seimbang akan mengarah kepada pencapaian rasio optimal antara<br />

rangsangan latihan dan pemulihan (Bompa, 1999). Berdasarkan hal tersebut, padat<br />

atau tidaknya densitas ini sangat tergantung oleh lamanya pemberian waktu<br />

22


pemulihan yang diberikan. Semakin pendek waktu pemulihan maka densitas latihan<br />

makin tinggi, sebaliknya semakin lama waktu pemulihan maka densitas pelatihan<br />

semakin rendah (kurang padat). Menurut Harre (Bompa, 1999) untuk membangun<br />

komponen biomotorik dalam daya tahan otot misalnya densitas pelatihan yang<br />

optimal antara waktu kerja dan waktu istirahat perbandingannya berkisar antara<br />

1:½, atau 1:1. Sedangkan untuk rangsangan yang itensif, perbandingannya 1:3 atau<br />

1:6. Sehingga dalam melakukan aktivitas menyemes bola atau memukul shuttle<br />

terus menerus untuk meningkatkan daya tahan otot lengan dan otot bahu bagi<br />

pemain bulutangkis diperlukan selama satu menit maka waktu yang digunakan<br />

selama 3-6 menit ( selama 3 x 1 menit =3 menit sampai 6 x 1 menit= 6 menit).<br />

Setelah itu dilanjutkan kembali dengan gerakan menyemes atau memukul selama 1<br />

menit. Untuk komponen kekuatan kekuatan otot waktu istirahat selama 2-5 menit,<br />

bukan ½-1 menit. Lama istirahat untuk meningkatkan kekuatan tergantung pada<br />

berat ringannya beban, jumlah repetisi, banyak set dan kecepatan irama<br />

angkatannya. Bila beban ringan waktu istirahat cukup 2 menit tapi bila bebannya<br />

berat, waktu istirahat sampai 5 menit.<br />

Densitas latihan menunjukkan kepadatan (densitas) atau kekerapan<br />

(frekuensi) dari suatu seri rangsangan per satuan waktu yang terjadi pada atlet<br />

ketika sedang berlatih sedangkan Frekuensi adalah kekerapan atau kerapnya latihan<br />

per-minggu. Menetapkan frekuensi latihan amat tergantung pada tipe olahraganya<br />

dan jenis komponen biomotorik yang akan dikembangkan. Frekuensi latihan untuk<br />

mengembangkan komponen kekuatan otot, jika dilakukan sebanyak tujuh kali<br />

23


dalam seminggu dianggap densitasnya terlalu tinggi. Bila dilakukan sekali<br />

seminggu dianggap densitasnya terlalu rendah.<br />

Frekuensi latihan merupakan jumlah latihan yang dilakukan dalam periode<br />

waktu tertentu. Pada umunya periode waktu yang digunakan untuk menghitung<br />

jumlah frekuensi tersebut adalah dalam satu minggu. Frekuensi latihan bertujuan<br />

untuk menunjukkan jumlah tatap muka latihan pada setiap minggunya. Frekuensi<br />

latihan misalnya:<br />

a. Untuk meningkatkan kekuatan otot dianggap cukup baik bila<br />

dilakukan sebanyak 2-3 kali seminggu.<br />

b. Sebaliknya untuk meningkatkan komponen daya tahan<br />

kardiovaskular atau kesegaran jasmani (physical fitness), maka<br />

frekuensi latihannya sebanyak 4-5 kali seminggu, dengan selingan<br />

istirahat maksimal selama 48 jam atau tidak lebih dari dua hari<br />

berturutan.<br />

c. Sedangkan untuk daya tahan perenang dan pelari jarak jauh<br />

frekuensi latihannya lebih kerap, tidak cukup sebanyak 3-4<br />

kali seminggu, tetapi sebanyak 6-7 kali seminggu.<br />

d. Frekuensi latihan bagi atlet non-daya tahan aerobik (non-<br />

endurance) atau anaerobik, cukup sebanyak 3 kali per minggu,<br />

dengan durasi latihan selama 8-10 minggu (Nala, 1998).<br />

Frekuensi tergantung dari jenis komponen yang akan dikembangkan,<br />

untuk menjalankan program latihan tiga kali setiap minggu, agar tidak terjadi<br />

kelelahan yang kronis dan lama latihan diperlukan selama enam minggu atau<br />

24


lebih (Sajoto, 1995). Dalam penelitian ini menggunakan frekuensi pelatihan<br />

tiga kali setiap minggu dan dilaksanakan selama enam minggu. Manfaat<br />

gerakan pelatihan yang dilakukan berulang-ulang selama enam minggu akan<br />

terpola pada sistem saraf sebagai pengalaman sensoris (Guyton dan Hall,<br />

2007).<br />

2.2 Pelatihan Fisik<br />

Kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang<br />

tidak dapat dipisahkan begitu saja, baik peningkatan maupun pemeliharaannya.<br />

Artinya bahwa didalam usaha peningkatan kondisi fisik maka seluruh komponen<br />

tersebut harus dikembangkan. Walaupun dilakukan dengan sistem prioritas tiap<br />

komponen dan untuk keperluan apa keadaan atau status yang dibutuhkan. (Sajoto,<br />

1988). Kondisi fisik adalah satu prasyarat yang sangat diperlukan dalam usaha<br />

peningkatan prestasi seorang atlet, bahkan dapat dikatakan sebagai keperluan dasar<br />

yang tidak dapat ditunda atau ditawar-tawar lagi. Menurut Harsono (1988), jika<br />

kondisi fisik baik maka: (1) akan ada peningkatan dalam kemampuan sistem<br />

sirkulasi dan kerja jantung. (2) akan ada peningkatan dalam kekuatan, kelentukan,<br />

stamina, kecepatan dan lain-lain komponen kondisi fisik. (3) akan ada ekonomi<br />

gerak yang lebih baik pada waktu latihan. (4) akan ada pemulihan yang lebih cepat<br />

dalam organ-organ tubuh setelah latihan. (5) akan ada respon yang cepat dari<br />

organisme tubuh apabila sewaktu-waktu respon demikian diperlukan. Proses latihan<br />

kondisi fisik dalam olahraga, adalah suatu proses yang harus dilakukan dengan hati-<br />

hati, dengan sabar dan dengan penuh kewaspadaan terhadap atlet. Melalui latihan<br />

yang berulang-ulang dilakukan, yang intensitas dan kompleksitasnya sedikit demi<br />

25


sedikit bertambah, lama kelamaan atlet akan berubah menjadi seseorang yang lebih<br />

pegas, lebih lincah, lebih terampil dan lebih berhasil menurut Harsono (1988).<br />

Kondisi fisik memegang peranan yang sangat penting. Program latihan kondisi fisik<br />

haruslah direncanakan secara sistematis yang ditunjukkan untuk meningkatkan<br />

kondisi fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan<br />

demikian dapat mencapai prestasi yang lebih baik haruslah direncanakan secara<br />

sistematis yang ditujukan untuk meningkatkan kondisi fisik dan kemampuan<br />

fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan demikian dapat mencapai prestasi<br />

yang lebih baik.<br />

2.3 Komponen Biomotorik<br />

Komponen biomotorik merupakan kemampuan dasar gerak fisik atau<br />

aktivitas fisik dari tubuh manusia (Nala, 2002). Menurut Sajoto (1995) komponen<br />

kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang tidak dapat<br />

dipisahkan baik peningkatan maupun pemeliharanya. Komponen biomotorik yakni<br />

kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, kelincahan, ketepatan,<br />

waktu reaksi, keseimbangan, dan koordinasi (Nala, 2002). Menurut Jensen dan<br />

Fisher (1983) daya ledak merupakan unsur biomotorik yang sangat penting untuk<br />

melakukan berbagai aktivitas dan menentukan seberapa cepat dapat berlari dan<br />

berenang, seberapa tinggi dapat melompat, seberapa jauh dapat melempar, dan<br />

seberapa keras seseorang dapat memukul. Dari kesepuluh komponen biomotorik<br />

ini salah satu komponen biomotorik yaitu daya ledak yang akan digunakan dalam<br />

pelatihan bulutangkis.<br />

2.4 Daya Ledak<br />

26


Daya ledak merupakan komponen biomotorik. Daya ledak adalah<br />

kemampuan otot untuk menggerahkan kekuatan maksimal dalam waktu yang<br />

sangat cepat (Juliantine, dkk., 2007). Daya ledak sering disebut eksplosif<br />

atau daya otot. Menurut Sajoto (1995) daya otot (muscular power) adalah<br />

kemampuan seseorang untuk mempergunakan kekuatan maksimum yang<br />

dikerahkan dalam waktu yang sependek-pendeknya. Daya ledak sangat<br />

penting untuk cabang-cabang olahraga yang memerlukan eksplosif, seperti<br />

lari sprint, nomor-nomor lempar dalam atletik, atau cabang-cabang olahraga<br />

yang gerakannya didominasi oleh meloncat, dalam olahraga voli dan juga<br />

pada bulutangkis serta olahraga sejenisnya. Otot yang kuat otot yang<br />

mempunyai daya ledak yang besar, sebaliknya otot yang mempunyai daya<br />

ledak yang besar hampir dapat dipastikan mempunyai nilai kekuatan yang<br />

besar (Boosey, 1980). Daya ledak ialah kemampuan sebuah otot atau sekelompok<br />

otot untuk mengatasi tahanan beban dengan kekuatan dan kecepatan tinggi dalam<br />

satu gerakan yang utuh (Suharno, 1993).<br />

Daya ledak merupakan hasil dari kekuatan maksimum dan kecepatan<br />

maksimum (Bompa,1999, Bosco, dan Gustafson, 1983). Daya ledak adalah<br />

kemampuan seseorang mengatasi tahanan dengan kecepatan yang tinggi<br />

dalam gerak yang utuh (Harre, 1982). Bosco dan Gustafson (1983)<br />

menyatakan bahwa, daya ledak adalah kemampuan melakukan gerakan<br />

secepat mungkin dengan kekuatan maksimum. Jensen (1983) menyatakan<br />

bahwa daya ledak merupakan komponen yang penting untuk melakukan<br />

aktivitas yang berat seperti meloncat, melempar, memukul dan sebagainya.<br />

27


Bompa (1999), daya ledak merupakan hasil dari kekuatan dalam waktu yang<br />

singkat. Menurut Bucher (Harsono, 1988) dikatakan bahwa seorang individu<br />

yang mempunyai power adalah orang yang memiliki (a) derajat kekuatan otot<br />

yang tinggi, (b) derajat kecepatan yang tinggi, dan (c) derajat yang tinggi<br />

dalam keterampilan menggabungkan kecepatan dan kekuatan otot. Menurut<br />

Suharno (1993), beberapa faktor yang menentukan daya ledak otot adalah: 1)<br />

banyak sedikitnya fibril otot putih dalam tubuh atlet, 2) tergantung banyak<br />

sedikitnya zat kimia dalam otot (ATP), 3) kekuatan dan kecepatan, 4) waktu<br />

rangsangan dibatasi secara konkrit lamanya, 5) Koordinasi gerakan yang harmonis.<br />

Menurut Brandon (2004) daya ledak adalah kemampuan untuk menghasilkan<br />

kekuatan dengan cepat, diistilahkan dalam matematis sebagai kekuatan<br />

dikalikan kecepatan. Berdasar pada definisi-definisi di atas dapat disimpulkan<br />

bahwa dua unsur penting yang menentukan kualitas daya ledak adalah kekuatan<br />

dan kecepatan.<br />

2.4.1 Jenis Daya Ledak<br />

Bompa (1999) membagi daya ledak berdasarkan gerakan olahraga yang<br />

dilakukan yaitu:<br />

a. Daya ledak asiklik, biasanya dilakukan pada olahraga yang gerakannya<br />

tidak sama. Contoh olahraga atletik, lompat, lempar. Pada olahraga<br />

permainan bolavoli, sepakbola, bola basket, bulutangkis dll.<br />

b. Daya ledak siklik, ini biasanya digunakan pada olahraga yang<br />

gerakannya sama dan berulang-ulang. Contoh pada olahraga lari cepat,<br />

berenang, balap sepeda, dan olahraga yang memerlukan kecepatan<br />

28


tinggi.<br />

Nossek (1982) membagi daya ledak menjadi dua bagian berdasarkan<br />

aktivitas yang dilakukan yaitu:<br />

a. Kekuatan eksplosif ini diterapkan untuk mengatasi atau menanggulangi<br />

perlawanan yang lebih rendah dari pada perlawanan yang maksimum,<br />

tetapi dengan kekuatan akselarasi maksimum.<br />

b. Kekuatan Kecepatan, ini dilakukan melawan perlawanan dengan<br />

akselarasi di bawah maksimum.<br />

Penggunaan tenaga oleh otot atau sekelompok otot secara eksplosif<br />

berlangsung dalam kondisi dinamis. Ini terjadi pada melemparkan benda,<br />

pemindahan tempat sebagian atau seluruh tubuh, dan sebagainya hal ini untuk<br />

gerakan tunggal atau satu pengulangan. Kekuatan maksimum dan eksplosif<br />

atau perkembangan kekuatan kecepatan hendaknya dilatih sejajar (Nossek,<br />

1982).<br />

Faktor yang mempengaruhi daya ledak otot lengan bila dilihat lebih<br />

mendalam potensi daya ledak seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan<br />

faktor ekternal (Berger, 1982).<br />

a. Faktor internal<br />

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet<br />

sendiri diantaranya: jenis kelamin, berat badan, panjang anggota gerak atas,<br />

kebugaran fisik, umur, menunjukkan tingkat kematangan yang dikaitkan<br />

dengan pengalaman. Perbedaan dan penambahan umur sangat menentukan<br />

kekuatan otot, selain itu dimensi anatomis dan diameter otot (Astrand, 1986).<br />

29


Tenaga mencapai puncak pada umur 20 tahun (Sharkey, 2003). Adapun<br />

beberapa faktor internal yaitu:<br />

1. Jenis Kelamin.<br />

Secara biologis laki-laki dan wanita akan berbeda kekuatan<br />

dan kecepatan karena adanya hormone testosterone pada laki-laki<br />

dan wanita. Perbedaan terjadi sangat mencolok setelah mengalami<br />

pubertas karena adanya perbedaan proporsi dan besar otot dalam<br />

tubuh. Pada umur 18 tahun ke atas laki-laki mempunyai kekuatan<br />

dua kali lebih besar daripada wanita (Powers dan Howleys 2004).<br />

2. Berat Badan<br />

Berat badan menentukan penampilan. Persen lemak adalah<br />

presentasi keseluruhan berat badan yang berlemak. Berat badan<br />

seseorang menyebabkan pembesaran massa otot dan juga akan<br />

meningkatkan kekuatan. Makin tebal otot makin kuat otot<br />

tersebut. Sehingga tebal otot mempengaruhi berat badan.<br />

Kekuatan otot erat kaitannya dengan berat badan. Semakin berat<br />

badan seseorang karena otot makin tebal maka kekuatan akan<br />

bertambah. Tetapi otot kuat belum menjamin akan mempunyai<br />

daya ledak tinggi tetapi dengan memiliki otot kuat merupakan<br />

modal utama untuk dapat meraih daya ledak yang tinggi.<br />

3. Tinggi badan<br />

Tinggi badan adalah jarak dari alas kaki sampai titik<br />

30


tertinggi pada posisi kepala dalam posisi berdiri. Tinggi badan<br />

yang lebih tinggi dapat menpengaruhi pertumbuhan organ tubuh<br />

lainnya yaitu panjang lengan dan panjang tungkai (Hadi, 2005)<br />

4. Kesegaran jasmani<br />

b. Faktor Eskternal<br />

Kesegaran jasmani seseorang, merupakan salah satu<br />

parameter dalam memeberikan pembebanan pelatihan, karena<br />

tingkat kesegaran jasmani yang kurang dapat mengakibatkan<br />

kelelahan sehingga tidak dapat melakukan pelatihan secara<br />

maksimal. Semakin baik kapasitas aerobik sesorang akan makin<br />

baik pula kebugaran fisiknya (Soekarman, 1986). Kebugaran<br />

fisik dapat diukur melalui lari 2,4 km diukur menggunakan<br />

stopwatch, yang dinyatakan dalam waktu tempuh, satuan menit<br />

dengan ketelitian 0,01 menit. Penilaian kebugaran fisik<br />

berdasarkan umur dan jenis kelamin dalam tabel (Sajoto, 2002).<br />

1. Suhu lingkungan<br />

Suhu lingkungan yang panas akan berpengaruh<br />

terhadap aktivitas kerja otot karena akan mempercepat terjadinya<br />

pengeluaran keringat. Sebagaian dari volume darah akan dibawa<br />

kekulit untuk mengkompessasi kelebihan panas. Hal ini berarti<br />

bahwa telah terjadi kekurangan kerja otot didalam melakukan<br />

pelatihan. Begitu juga sebaliknya, pada suhu lingkungan yang<br />

dingin tubuh akan bereaksi untuk mengimbangi kosentrasi panas<br />

31


tubuh dengan reaksi menggigil, gerakan mengigil memerlukan<br />

energi tambahan (Manuaba, 1983).<br />

2. Kelembaban relatif<br />

Kelembaban relatif menentukan proses pelatihan karena<br />

perbandingan udara basah dan kering sangat menentukan<br />

kenyamana dalm pelatihan. Apabila kelembaban udara cukup<br />

tinggi atau diatas 90%, maka akan sangat mempengaruhi<br />

kesanggupan pengeluaran panas tubuh akibat aktivitas pelatihan<br />

melalui evaporasi. Apabila kelembaban udara dibawah 80%,<br />

maka akan mempengaruhi keseimbangan panas tubuh,<br />

metabolism meningkat akibat aktivitas tubuh untuk mengimbangi<br />

suhu dingin sehingga tubuh mengeluarkan energi yang lebih besar<br />

untuk menyesuaikan suhu tubuh dan suhu lingkungan.<br />

Kelembaban relatif Indonesia berkisar antara 70-80% (Manuaba,<br />

1983).<br />

2.4.2 Penggunaan Daya ledak dalam olahraga bulutangkis<br />

Bulutangkis merupakan olahraga prestasi yang mampu membawa<br />

bangsa Indonesia ke prestasi tingkat dunia. Untuk mencapai prestasi<br />

seseorang harus menguasai teknik dasar, teknik pukulan dan pola<br />

pukulan dari tingkat kesukaran masing-masing. Teknik dasar merupakan<br />

penguasaan yang pokok yang harus dikuasai oleh setiap pemain.<br />

Adapun teknik pukulan menurut Tohar (1992) terdiri atas (1) pukulan<br />

32


service, (2) pukulan lob, (3) pukulan drive, (4) pukulan dropshot, (5)<br />

pukulan pengembalian service, (6) pukulan smash. Dilihat dari teknik<br />

pukulan dalam bulutangkis seperti dropshot, lob dan smash, gerakannya<br />

diawali dari atas kepala (overhead). Pukulan overhead (atas) yang<br />

diarahkan ke bawah. (Tahir, dkk 2004). Dalam Faktor fisik diperlukan<br />

adalah daya ledak. Gerakan pukulan overhead lebih banyak didominasi<br />

oleh gerakan otot lengan. Oleh karena itu, perlu koordinasi gerak yang<br />

baik dari gerakan pukulan lob secara cepat diubah menjadi pukulan<br />

dropshot dan berubah ke pukulan smash. Dengan demikian semakin<br />

cepat perubahan itu dilakukan maka semakin banyak pula komponen<br />

gerakan yang harus dikoordinasikan. Mekanisasi gerakan tubuh yang<br />

sama, terjadi pada tiga jenis pukulan clear (pukulan bersih), drop<br />

(pukulan jatuh), dan smash (pukulan keras) menurut James (2009). Agar<br />

faktor daya ledak otot lengan dapat berkembang optimal, seorang<br />

pebulutangkis perlu latihan rutin dan mengarah pada kekhususan dengan<br />

memperhatikan pola latihan. Salah satunya dalam pelatihan menarik<br />

beban dengan katrol yang gerakannya sama dengan gerakan bulutangkis<br />

pada saat melakukan pukulan atas (overhead). Gerakan melakukan<br />

pukulan overhead yang sesuai dengan pelatihan menarik katrol berbeban<br />

dalam bulutangkis:<br />

1. Berat badan berpindah dari kaki kanan ke kaki kiri pada saat badan<br />

berputar sehingga menghadap kedaerah sasaran<br />

2. Lengan bergerak keatas mulai dari siku dan lengan bawah serta serta<br />

33


pergelangan tangan berputar ke arah dalam<br />

3. Pada saat raket menyentuh shuttle, pergelangan berubah menjadi lurus<br />

4. Kepala raket mengayun ke bawah dengan pergelangan tangan setinggi<br />

dada, sehingga terjadi suatu putaran ayunan penuh dan gerakan akhir<br />

ayunan raket menyilang sebelah kiri tubuh (James, 2009).<br />

Gambar 2.2 Gerakan Pukulan overhead (James, 2009)<br />

2.4.3 Pengukuran Daya Ledak Otot Lengan<br />

a. Melempar menggunakan bola softball<br />

Alat yang digunakan bola softball dengan 198,45 gr dan lingkaran<br />

30,80 cm. Pada tahap pelaksanaan orang coba berdiri melempar bola<br />

soptball gerakannya seperti gerakan dalam bulutangkis pukulan atas<br />

kepala (overhead). Lemparannya sejauh-jauhnya yang dimulai dari<br />

belakang garis batas. Dalam pelaksanaan diberi kesempatan tiga kali<br />

melempar. Skor lemparan diambil dari lemparan terjauh. Jarak diukur<br />

diukur dengan satuan sentimeter (Nurhasan, 2000).<br />

b. Melempar two hand mendicine ball put.<br />

Alat yang digunakan bola medicine dengan berat 6 pound atau 2,7<br />

kg. dan seutas tali. Pada tahap pelaksanaan orang coba duduk tegak<br />

34


dengan punggung menyentuh dinding, sambil kedua tangannya<br />

memegang bola medicine sehingga bola tersebut menyentuh dada.<br />

Kemudian tangan mendorong bola medicine sejauh-jauhnya. Sebelum<br />

orang coba mendorong bola medicine, badan bersandar pada dinding.<br />

Hal ini untuk mencegah agar orang coba padawaktu mendorong tidak<br />

dibantu oleh badan ke depan. Dalam pelaksanaan diberi kesempatan<br />

melempar tiga kali. Skor jarak tolakan terjauh dari tiga kali percobaan,<br />

yang diukur mulai dinding tembok, tempat bersandar sampai batas<br />

tanda dimana bola tersebut jatuh. Jarak diukur dalam satuan sentimeter<br />

(Nurhasan, 2008).<br />

2.5 Pelatihan Pembebanan<br />

Latihan otot untuk meningkatkan kemampuan fungsionalnya perlu<br />

menggunakan beban yang berupa berat badan sendiri atau beban yang berasal<br />

dari luar. Pemberian beban disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki<br />

dalam menjalani pelatihan, sesuai dengan tujuan pelatihan, dan juga sesuai<br />

dengan cabang olahraganya. (Giriwijoyo, 2008). Pada pelatihan yang<br />

menggunakan beban hendaknya berpedoman pada empat prinsip yaitu prinsip<br />

overload, prinsip penggunaan beban secara progresif, prinsip pengaturan<br />

latihan dan prinsip kekususan program latihan menurut Sajoto (1995). Pada<br />

permainan bulutangkis, untuk pelatihan otot lengan menggunakan beban pada<br />

daerah 1/3 bawah minimal karena kebutuhan akan daya tahan dalam<br />

melakukan pukulan secara beulang-ulang (Giriwijoyo, 2008). Sedangkan<br />

(Satriya, dkk., 2007) penggunaan beban untuk daya ledak otot lengan yaitu<br />

35


40-80% dari kemampuan maksimal.<br />

2.5.1. Alat yang digunakan pada pelatihan menarik katrol berbeban<br />

a. Beban dengan menggunakan karung berpasir<br />

b. Katrol yang digunakan untuk menarik beban<br />

c. Tali<br />

Gambar 2.3 Pelatihan menarik katrol<br />

2.5.2. Pelatihan menarik katrol<br />

Pelaksanaan pelatihan menarik katrol. Posisi berdiri selebar bahu<br />

membelakangi, kaki kiri maju didepan, kedua tungkai sedikit ditekuk<br />

kemudian pelaksanaan tangan kanan lurus vertikal yang berada di atas kepala<br />

samping dan tangan yang melakukan tarikan memegang pegangan tali.<br />

Kemudian menarik katrol/mengayun lengan dengan hentakan sampai di depan<br />

dada. Kemudian diulang lagi. Beban yang digunakan lima kg repetisi<br />

duabelas dan tiga set, istirahat setiap set lima menit. Dan beban lima kg,<br />

36


sembilan repetisi dan empat set.<br />

2.5.3. Struktur angggota gerak atas.<br />

2.5.3.1.Struktur Otot Bahu<br />

Menurut Syaifuddin (1996), otot bahu hanya meliputi sebuah sendi<br />

saja dan membungkus tulang lengan dan tulang belikat akromion yang<br />

teraba dari luar.<br />

1. Muskulus Deltoid (otot segi tiga), otot ini untuk membentuk lengkung<br />

bahu dan berpangkal di sisi tulang selangka ujung bahu, balung tulang<br />

belikat dan diafise tulang pangkal lengan. Fungsinya mengangkat lengan<br />

sampai mendatar.<br />

2. Muskulus Subskapularis (otot depan tulang belikat) otot ini mulai dari<br />

depan tulang belikat menuju taju kecil pangkal lengan. Fungsinya<br />

menengahkan dan memutar tulang humerus ke dalam.<br />

3. Muskulus Suprasuspinatus (otot atas tulang belikat) otot ini berpangkal<br />

dilekuk sebelah atas menuju tulang pangkal lengan fungsinya mengangkat<br />

lengan.<br />

4. Muskulus. Infraspinatus (otot bawah tulang belikat) otot ini berpangkal di<br />

lekuk sebelah bawah tulang belikat dan menuju ke taju besar tulang<br />

pangkal lengan. Fungsinya memutar lengan keluar.<br />

5. Muskulus Teresmayor (otot lengan bulat besar)otot ini berpangkal di siku<br />

bawah tulang belikat dan menuju ke taju kecil tulang pangkal lengan.<br />

Fungsinya memutar lengan ke dalam.<br />

37


6. Muskulus Teres minor (otot lengan belikat kecil) otot ini berpangkal di<br />

siku sebelah luar tulang belikat dan menuju ka taju besar tulang pangkal<br />

lengan. Fungsinya memutar lengan keluar<br />

Gambar 2.4 Anatomi anggota gerak badan (Widiastuti, <strong>2011</strong>)<br />

2.5.3.2. Struktur Otot Lengan Atas<br />

Menurut Syaifuddin (1996), otot-otot lengan atas terdiri dari:<br />

1. Otot-otot ketul (fleksor).<br />

a. Muskulus Biseps braki (otot lengan kepala dua) kepala yang panjang<br />

melekat pada sendi bahu, kepala yang pendek melekat di sebelah luar dan<br />

yang kedua di sebelah dalam. Otot itu kebawah menuju tulang<br />

pengumpil. Di bawah uratnya terdapat kandung lender. Fungsinya<br />

membengkokkan lengan bawah siku, merata hasta dan mengangkat<br />

lengan.<br />

38


. Muskulus Brakialis (otot lengan dalam). Otot ini berpangkal di bawah<br />

otot segitiga di tulang pangkal lengan dan menuju taju di pangkal tulang<br />

hasta. Fungsinya membengkokkan lengan bawah siku.<br />

c. Muskulus korako brakialis. Otot ini berpangkal pada prosesuskorakoid<br />

dan menuju ke tulang pangkal lengan. Fungsinya mengangkat lengan.<br />

2.Otot-otot kedang (ekstensor). Muskulus triseps braki (otot lengan<br />

berkepala tiga).<br />

a. Kepala luar berpangkal di sebelah belakang tulang pangkal dan menuju<br />

ke bawah kemudian bersatu dengan yang lain.<br />

b. Kepala dalam di mulai di sebelah dalam tulang pangkal lengan.<br />

c. Kepala panjang di mulai pada tulang di bawah sendi dan ketiga-tiganya<br />

mempunyai sebuah urat yang melekat di olekrani<br />

2,5.3.3. Struktur Otot Lengan Bawah<br />

1. Otot-otot kedang yang memainkan peranannya dalam pengetulan di atas<br />

sendi siku, sendi-sendi tangan dan sendi-sendi jari dan sebagian dalam<br />

gerak silang hasta.<br />

a. Muskulus ekstensor karpi radialis longus.<br />

b. Muskulus ekstensor karpi radialis brevis.<br />

c. Muskulus ekstensor karpi ulnaris.<br />

d. Digitonum karpi radialis, fungsinya ekstensi dari jari tangan kecuali<br />

ibu jari.<br />

e. Muskulus ekstensor policis longus, fungsinya ekstensi dari ibu jari<br />

D. Gerakan Sendi Bahu<br />

39


Damiri (1994) gerakan-gerakan yang dapat dilakukan pada sendi bahu<br />

adalah sebagai berikut:<br />

1. Mengayun lengan ke depan (swing forward anteflexion/flexion)<br />

2. Mengayun lengan ke belakang (swing backward/flexion)<br />

3. Mengangkat lengan ke samping menjahui badan (abduction)<br />

4. Menarik lengan dari samping mendekati badan (addunction)<br />

5. Memutar lengan ke arah dalam (inward rotation)<br />

6. Memutar lengan ke arah luar (outward rotaion)<br />

7. Sirkumduksi lengan (circumduction)<br />

8. Menarik lengan dari posisi abduksi ke arah depan (horizontal adduction)<br />

9. Menarik lengan dari posisi antefleksi ke posisi abduksi lengan (horizontal<br />

adduction)<br />

Pada saat melakukan overhead merupakan gerakan rotasi yang berpangkal<br />

pada bahu. Sesuai dengan gerakan yang dapat dilakukan pada sendi bahu yaitu<br />

mengayun lengan kebelakang (swing backward atau extention), maka untuk<br />

melakukan gerakan overhead tersebut dibutuhkan ruang gerak sendi bahu yang<br />

luas, serta elastisitas otot-otot disekitarnya.<br />

40


2.6. Sistem Energi Latihan<br />

Gambar 2.5 Anatomi lengan (Anonim. <strong>2011</strong>)<br />

Energi didefinisikan sebagai kapasitas atau kemampuan untuk melakukan<br />

pekerjaan. Kerja kita artikan sebagai penerapan tenaga sehingga tenaga dan kerja<br />

tidak dapat dipisahkan (Foss dan Keteyian, 1998). Energi diperoleh dari pemecahan<br />

glukosa. Karbohidrat glukosa merupakan karbohidrat terpenting dalam kaitannya<br />

dengan penyediaan energi di dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena semua jenis<br />

karbohidrat baik, monosakarida, disakarida maupun polisakarida yang dikonsumsi<br />

oleh manusia akan terkonversi menjadi glukosa di dalam hati.<br />

Banyak energi yang digunakan untuk kerja otot tergantung pada intensitas,<br />

densitas, frekuensi, dam jenis latihan. Energi yang diperlukan untuk suatu kegiatan<br />

41


atau kontarsi otot tidak dapat diserap langsung dari makanan yang kita makan, akan<br />

tetapi melalui proses oksidasi yang terjadi di dalam sel-sel tubuh, karbohidrat<br />

ataupun lemak kemudian akan digunakan untuk mensin<strong>tesis</strong> molekul ATP<br />

(adenosine triphosphate) yang merupakan molekul-molekul dasar penghasil energi<br />

di dalam tubuh.<br />

ATP terdiri dari satu molekul adenosine dan tiga molekul phosphate. Energi<br />

dibutuhkan untuk kontraksi otot diperoleh dari pembebasan dengan merubah ATP<br />

menjadi ADP + Pi (Bompa, 1999).<br />

Persediaan ATP dalam sel otot sangat terbatas, walaupun begitu suplai ATP<br />

harus secara berkesinambungan diganti lagi untuk memudahkan aktivitas fisik<br />

secara berkelanjutan. Jumlah ATP yang terdapat dalam otot, bahkan didalam otot<br />

seorang atlet yang berlatih baik, hanya cukup untuk mempertahankan daya tahan<br />

otot yang maksimal yang baru terus menerus dibentuk (Guyton dan Hall 2008).<br />

ATP diperlukan untuk menyediakan energi kontraksi otot dan daur cross<br />

bridge selama kontraksi. Pemecahan ATP yang disebabkan oleh enzim ATPase<br />

akan menghasilkan sejumlah energi, dimana energi tersebut akan memberikan<br />

kesempatan pada cross bridge yang merupakan kepala dari filamen miosin untuk<br />

berputar dan membentuk sudut baru dimana sebelumnya pada fase eksitasi cross<br />

bridge saling tertarik dengan filamen aktin, sehingga filamen aktin akan meluncur<br />

melewati filamen miosin mengakibatkan kedua filamen tersebut saling tumpang-<br />

tindih dan terjadilah kontraksi otot.<br />

Tanpa ATP filamen aktin tidak akan bisa meluncur melewati filamen<br />

miosin. Tetapi persedian ATP di dalam otot hanya sedikit, cukup untuk kontraksi<br />

42


maksimal otot yang berlangsung dalam satu detik. Untungnya tubuh mampu<br />

mengisi/melengkapi ATP hampir secepat waktu yang dibutuhkan untuk<br />

memecahkannya. Pengisian ATP ini terjadi apabila cadangan molekul bahan bakar<br />

seperti karbohidrat dan lemak dipecah untuk menyediakan energi bebas yang dapat<br />

dipergunakan bersama-sama ADP dan Pi untuk membentuk ATP (Hairy, Junusul,<br />

1989). ATP senantiasa digunakan setiap kali otot berkontraksi, oleh karena itu ATP<br />

harus selalu tersedia. Sedangkan untuk menyediakan ATP saja diperlukan energi.<br />

Untuk itu tiga macam proses menghasilkan ATP (Hairy, Junusul, 1989):<br />

1. ATP-PC atau sistem fosfagen. Dalam sistem ini energi untuk resin<strong>tesis</strong> ATP<br />

berasal dari hanya satu persenyawaan creatin phosphate (PC). Creatin<br />

phosphate akan dipecah yang akan menghasilkan energi untuk mensin<strong>tesis</strong><br />

ADP + P menjadi ATP dan selanjutnya ATP akan dipecah lagi menjadi ADP +<br />

P yang akan menyebabkan pelepasan energi yang akan digunakan untuk<br />

kontraksi otot. Menurut David (1984) sistem ini sangat penting ketika<br />

melakukan latihan yang berat, seperti lari sprint dan angkat berat.<br />

2. Glikolisis anaerobik atau sistem asam laktat (LA) penyediaan ATP berasal dari<br />

glukosa atau glikogen. Sistem ini dilakukan dengan memecahkan glukosa atau<br />

glikogen yang disimpan dalam sel otot dan hati. Sistem ini akan melepaskan<br />

energi untuk meresintesi ADP + P menjadi ATP. Selama glikolisis anaerobik<br />

hanya beberapa mol ATP yang dapat diresin<strong>tesis</strong> dari glikogen, jika<br />

dibandingkan dengan adanya oksigen. Melalui proses glikolisis ini 4 buah<br />

molekul ATP akan dihasilkan serta pada awal tahapan prosesnya akan<br />

43


mengkonsumsi 2 buah molekul ATP sehingga total 2 buah ATP akan dapat<br />

terbentuk.<br />

3. Sistem aerobik (O2). Bila suplai oksigen berlimpah dan otot tidak bekerja berat,<br />

maka pemecahan glikogen atau glukosa dimulai dengan cara yang sama pada<br />

glikolisis anaerobik. Bagaimanapun juga, dalam kondisi aerobik molekul asam<br />

piruvat tidak dikonversi menjadi asam laktat, tetapi melewati sarkoplasma<br />

masuk ke mitokondria, tempat rangkaian reaksi pemecahan. Di dalam<br />

mitokondria asam piruvat hasil proses glikolisis akan teroksidasi menjadi<br />

produk akhir berupa H2O dan CO2 di dalam tahapan proses yang dinamakan<br />

respirasi selular (Cellular respiration). Proses respirasi selular ini terbagi<br />

menjadi 3 tahap utama yaitu produksi Acetyl-CoA, proses oksidasi Acetyl-CoA<br />

dalam siklus asam sitrat (Citric-Acid Cycle) serta Rantai Transpor Elektron<br />

(Electron Transfer Chain/Oxidative Phosphorylation). Sistem aerobik<br />

memerlukan kira-kira dua menit untuk memulai memproduksi energi dalam<br />

meresin<strong>tesis</strong> ATP dari ADP + P. Sistem aerobik memecahkan glikogen<br />

berdasarkan hadirnya oksigen, sehingga denyut jantung dan pernapasan harus<br />

ditingkatkan secara memadai untuk membawa sejumlah oksigen yang<br />

dibutuhkan sel otot. Sistem aerobik merupakan sumber energi utama untuk<br />

aktivitas olahraga yang berjangka waktu 2 menit sampai 2-3 jam. Aktivitas<br />

yang lebih dari 3 jam akan mengakibatkan pemecahan lemak dan protein untuk<br />

menggantikan cadangan glikogen yang mendekati habis.<br />

Secara umum proses metabolisme secara aerobik akan mampu untuk menghasilkan<br />

energi yang lebih besar dibandingkan dengan proses secara anaerobik. Dalam<br />

44


proses metabolisme secara aerobik, ATP akan terbentuk sebanyak 36 buah<br />

sedangkan proses anaerobik hanya akan menghasilkan dua buah ATP. Ikatan yang<br />

terdapat dalam molekul ATP ini akan mampu untuk menghasilkan energi sebesar<br />

7.3 kilokalor per-molnya.<br />

Kebanyakan cabang olahraga dalam kaitannya dengan penggunaan sistem<br />

energi sering secara kombinasi. Kegiatan fisik dalam waktu singkat dan eksplosif<br />

sebagian besar energi diperoleh dari sistem energi anaerobik (ATP-PC dan LA).<br />

Sedangkan kegiatan fisik dalam jangka waktu yang lama, energinya dicukupi dari<br />

sistem aerobik.<br />

Tabel 2.1<br />

Karakteristik Sistem Energi (Fox, Bower, dan Foss, 1993)<br />

Sistem ATP-PC Sistem Asam Laktat (LA) Sistem Oksigen (O2)<br />

• Anaerobik<br />

oksigen)<br />

(tanpa • Anaerobik • Aerobik<br />

• Sangat cepat • Cepat • Lambat<br />

• Bahan bakar dari : • Bahan bakar dari: • Bahan bakar dari:<br />

PC<br />

glikogen<br />

glikogen<br />

• Produksi ATP • Produksi ATP • Produksi ATP bukan<br />

sangat terbatas terbatas<br />

tak terbatas<br />

• Dengan simpanan • Dengan<br />

• Dengan<br />

di otot yang terbatas memproduksi asam memproduksi<br />

laktat, menyebabkan kembali, tidak<br />

kelelahan otot<br />

melelahkan<br />

• Menggunakan • Menggunakan • Menggunakan daya<br />

aktivitas lari cepat aktivitas dengan tahan atau aktivitas<br />

atau berbagai power durasi antara 1-3 dengan durasi yang<br />

yang tinggi dengan<br />

aktivitas pendek<br />

menit<br />

panjang<br />

Pemahaman setiap pelatihan olahraga dalam menggunakan sistem energi<br />

sangat diperlukan. Menurut Nala, (2002) bahwa dalam dunia olahraga kebanyakan<br />

atlet menggunakan kedua sistem tersebut baik aerobik maupun anaerobik.<br />

45


Penelitian ini tentang pelatihan menarik katrol berbeban yang menekankan pada<br />

perbedaan jumlah set dan repetisi (pengulangan). Pengulangan yang tinggi menurut<br />

Nala, (2002) akan menjadikan suatu pelatihan sangat efektif dan sangat baik dalam<br />

mengembangkan tipe serabut otot putih yang sangat diperlukan dalam daya ledak<br />

eksplosif.<br />

46


BAB III<br />

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN<br />

3.1 Kerangka Berpikir<br />

Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka, seperti yang telah<br />

diuraikan sebelumnya, maka dapat dibuat suatu kerangka konsep sebagai berikut:<br />

faktor daya ledak otot lengan sangat diperlukan dalam cabang olahraga bulutangkis.<br />

Daya ledak otot lengan dapat ditingkatkan melalui pelatihan. Program pelatihan<br />

harus dilakukan secara sistematis, terencana, teratur, dan berkelanjutan, salah<br />

satunya dengan pelatihan beban. Tipe pelatihan yang digunakan sebelumnya<br />

memilih komponen biomotorik yang dominan dengan melibatkan semua kelompok<br />

otot yang ingin dilatih dan menyesuaikan dengan cabang olahraga.<br />

Komponen biomotorik yang dominan dalam cabang bulutangkis adalah<br />

daya ledak otot lengan. Daya ledak merupakan kemampuan untuk melakukan<br />

aktivitas secara tiba tiba dan cepat mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu<br />

yang singkat. Daya ledak dalam olahraga bulutangkis adalah daya ledak eksplosif,<br />

yang melibatkan komponen biomotorik yaitu kecepatan dan kekuatan. Dalam<br />

pelatihan daya ledak otot lengan melibatkan beban karung pasir dengan<br />

mengayunkan lengan dari belakang atas kepala ke bawah dengan tangan menarik<br />

katrol.<br />

Daya ledak dipengaruhi baik oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor<br />

internal antara lain umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, dan kesegaran<br />

47


jasmani, sedangkan faktor eksternal, seperti suhu lingkungan dan kelembaban<br />

relatif. Selain itu untuk mendapatkan daya ledak yang baik kekuatan dan kecepatan<br />

harus baik.<br />

Upaya untuk meningkatkan daya ledak otot lengan dengan pelatihan ayunan<br />

lengan beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set, dan sembilan repetisi, empat set.<br />

Pelatihan ini menggunakan frekuensi tiga kali dalam seminggu selama enam<br />

minggu.yang disesuaikan dengan takaran jumlah set dan jumlah repetisi. Mengacu<br />

pada beberapa landasan teori yang digunakan sebagai acuan dalam membuat<br />

kerangka konsep, yaitu: Takaran beban dalam pelatihan daya ledak 40%-80% dari<br />

kemampuan maksimal. Pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu sesuai untuk<br />

pemula akan menghasilkan peningkatan yang berarti. Takaran pelatihan untuk<br />

meningkatkan daya ledak otot lengan dengan bervariasi, kontraksi cepat, dalam<br />

repetisi kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan. Pelatihan daya ledak<br />

menggunakan repetisi 12-15 dan set 3-5. Mekanisasi gerakan tubuh yang sama<br />

terjadi pada tiga jenis pukulan yaitu pukulan clear, drop dan smash. Dengan<br />

melakukan pukulan overhead yang diarahkan ke bawah. Cara yang paling tepat<br />

untuk melatih kekuatan otot agar smesannya kuat dengan menarik beban berulang-<br />

ulang mempergunakan katrol.<br />

48


3.2 Konsep Penelitian<br />

bagan:<br />

Berdasarkan uraian dan pendapat tersebut diatas, maka dapat dibuat<br />

FAKTOR EKSTERNAL<br />

Suhu<br />

Kelembaban<br />

Penonton<br />

Keadaan Lapangan<br />

PELATIHAN<br />

Pelatihan menarik beban katrol<br />

5kg, 12 R, 3 set<br />

Pelatihan menarik beban katrol<br />

5kg, 9 R, 4 set<br />

FAKTOR INTERNAL<br />

Umur<br />

Jenis kelamin<br />

Berat badan<br />

Tinggi badan<br />

Indek massa tubuh<br />

Kebugaran Fisik<br />

3.3. Hipo<strong>tesis</strong> Penelitian<br />

Gambar. 3.1 Konsep<br />

Berdasarkan tinjauan pustaka dan konsep di atas, maka hipo<strong>tesis</strong> dapat<br />

dirumuskan sebagai berikut:<br />

49<br />

Daya Ledak Otot Lengan


1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dua belas repetisi dan tiga set<br />

dalam tiga kali seminggu selama enam minggu meningkatkan daya<br />

ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.<br />

2. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi dan empat set,<br />

dalam tiga kali seminggu selama enam minggu meningkatkan daya<br />

ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.<br />

3. Pelatihan menarik katrol berbeban lima kg, duabelas repetisi dan tiga set<br />

dalam tiga kali seminggu selama enam minggu lebih baik daripada<br />

sembilan repetisi, empat set, tiga kali seminggu selama enam minggu<br />

dalam meningkatkan daya ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler<br />

bulutangkis SMK-1.<br />

50


4.1 Rancangan Penelitian<br />

BAB IV<br />

METODE PENELITIAN<br />

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan The<br />

Randomized Pre and Post Test design (Pocock, 2008).<br />

Rancangan ini memiliki skema sebagai berikut:<br />

P R S<br />

P : Populasi<br />

R : Random<br />

S : Sampling<br />

O : observasi daya ledak otot lengan<br />

P1<br />

O1 O2<br />

P2<br />

O3 O4<br />

Bagan 4.1 Rancangan Penelitian<br />

P1 : Kelompok perlakuan I, pelatihan menarik katrol beban lima kg, 12 repetisi,<br />

tiga set<br />

51


P2 : Kelompok perlakuan II, pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan<br />

repetisi, empat set<br />

O1 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-1 sebelum pelatihan menarik<br />

katrol beban lima kg, 12 repetisi, tiga set<br />

O2 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-1 sesudah pelatihan menarik<br />

katrol beban lima kg, 12 repetisi, tiga set<br />

O3 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-2 sebelum pelatihan menarik<br />

katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set<br />

O4 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-2 setelah pelatihan menarik<br />

katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set<br />

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian<br />

4.2.1 Lokasi penelitian<br />

Penelitian dilakukan di lapangan Lumintang Denpasar, karena aktivitas<br />

olahraga SMK-1 dilakukan dilokasi Lumintang selain tempatnya luas.<br />

4.2.2 Waktu penelitian<br />

Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni <strong>2011</strong>.<br />

Waktu pengambilan data dilakukan selama enam minggu, dilakukan tiga kali<br />

seminggu, mulai pukul 05.30-07.00 Wita.<br />

4.3 Populasi Dan Sampel<br />

4.3.1 Populasi<br />

Populasi penelitian adalah semua siswa kelas I SMK Denpasar yang<br />

memilih kegiatan ekstrakurikuler bulutangkis berjumlah 40 siswa.<br />

4.3.2 Sampel<br />

Sampel dalam penelitian ini dari populasi yang memenuhi kreteria inklusi<br />

dan eksklusi sebagai berikut:<br />

52


4.3.2.1 Kriteria inklusi:<br />

1. Bersedia sebagai subjek penelitian dari awal sampai selesai, dengan<br />

menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel.<br />

2. Berbadan sehat dan tidak cacat, berdasarkan pemeriksaan dokter.<br />

3. Jenis kelamin laki-laki.<br />

4. Umur 15-16 tahun.<br />

5. Siswa kelas I SMK yang memilih ekstrakurikuler bulutangkis.<br />

6. Berat badan 48,1-68,3 kg.<br />

7. Tinggi badan 152,2-173,5 cm.<br />

8. Indeks Masa Tubuh 18,5-24,9.<br />

9. Kebugaran fisik 10,49-12.10.<br />

4.3.2.2 Kriteria eksklusi<br />

Kriteria eksklusi adalah subjek yang berdomisili di luar Kota Denpasar.<br />

4.3.2.3 Kreteria tidak dilanjutkan sebagai subjek<br />

Kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk membatalkan keterlibatan<br />

seseorang sebagai sampel:<br />

a. Jika dalam pengambilan data orang tersebut tidak masuk atau tidak datang<br />

ke lokasi pengambilan data<br />

b. Jika selama penelitian orang tersebut tiba–tiba jatuh sakit atau cedera karena<br />

kecelakaan<br />

c. Jika selama penelitian orang tersebut pindah sekolah<br />

d. Jika selama penelitian orang tersebut mengundurkan diri sebagai subjek<br />

penelitian.<br />

53


4.3.3 Besar Sampel<br />

Besar sampel ditentukan berdasarkan penelitian pendahuluan daya ledak<br />

otot lengan terhadap tujuh siswa kelas SMK yang berumur 15-16 tahun, diperoleh<br />

data dengan rata-rata daya ledak otot lengan sebelum pelatihan adalah 26,16 m<br />

dengan standar deviasi 3,42. Harapan peningkatan daya ledak otot lengan sebesar<br />

2<br />

2δ<br />

% sehingga besar nsampel<br />

=<br />

disubstitusikan f ( α,<br />

β )<br />

2 kedalam rumus Pocock (2008) sebagai<br />

μ1<br />

− μ 2<br />

berikut:<br />

Keterangan:<br />

n= jumlah sampel<br />

δ = standar deviasi (SD) daya ledak otot lengan=3,42<br />

f(α, β)=7,9 table velue<br />

µ1=rata-rata daya ledak otot lengan sebelum pelatihan=26,16 m<br />

µ2=harapan peningkatan daya ledak setelah pelatihan (15%)=30,084 m<br />

Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas, maka diperoleh hasil = 12,<br />

untuk mengantisipasi subjek tidak melanjutkan penelitian ini, maka jumlah sampel<br />

untuk tiap kelompok ditambah 15% dari jumlah (n) sehingga jumlah sampel<br />

menjadi 14 orang untuk masing-masing kelompok. Total keseluruhan sampel<br />

sebanyak 28 (2 kelompok x 14 orang).<br />

4.3.4 Teknik Pengambilan sampel<br />

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut:<br />

1. Mengadakan pemilihan sejumlah sampel dari seluruh populasi berdasarkan<br />

kreteria inklusi dan eksklusi dengan cara acak sederhana (simple random<br />

sampling)<br />

( )<br />

2. Melakukan pembagian kelompok penelitian sebanyak dua kelompok dengan<br />

masing-masing kelompok berjumlah 14 orang. Pembagian kelompok<br />

54


dilakukan dengan cara acak sederhana. Selanjutnya kelompok I akan<br />

menerima perlakuan pelatihan menarik katrol dengan beban lima kg,<br />

duabelas repetisi, tiga set, dan kelompok II akan menerima perlakuan<br />

pelatihan menarik katrol dengan beban lima kg, sembilan repetisi, empat<br />

set.<br />

4.4 Variabel Penelitian<br />

4.4.1 Identifikasi variabel<br />

4.4.1.1 Variabel bebas (independent variable).<br />

Pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set dan<br />

pelatihan lima kg, sembilan repetisi, empat set.<br />

4.4.1.2 Variabel tergantung (dependent variable)<br />

Daya ledak otot lengan<br />

4.4.1.3 Variabel kendali (kontrol) adalah umur, berat badan, tinggi badan dan<br />

indeks masa tubuh( IMT).<br />

4.4.1.4. Variabel Random adalah kondisi lingkungan<br />

4.4.2 Definisi Operasional Variabel<br />

Untuk menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam<br />

pengambilan data, maka berikut diuraikan definisi variabel sebagai berikut:<br />

1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan dua belas repetisi, tiga set.<br />

Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan 12 kali ulangan yang<br />

diselingi dengan istirahat selama lima menit (disebut 1 set), lalu dilanjutkan<br />

dengan duabelas kali ulangan menarik katrol sampai pada tiga set.<br />

55


2. Pelatihan menarik katrol beban lima kg dengan sembilan repetisi, empat set.<br />

Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan sembilan kali ulangan yang<br />

diselingi dengan istirahat selama lima menit (disebut 1 set), lalu dilanjutkan<br />

dengan sembilan kali ulangan menarik katrol sampai pada empat set.<br />

3. Daya ledak otot lengan<br />

Kemampuan otot lengan untuk melakukan gerakan secara sentakan tiba-tiba<br />

dan cepat dengan mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat.<br />

Daya ledak otot lengan diukur dengan melempar menggunakan bola softball<br />

dengan mengukur jauhnya lemparan dalam satuan sentimeter (cm). Alat<br />

yang digunakan bola softball dengan berat 198,45 gr dan lingkaran 30,80<br />

cm yang diukur dari garis batas sampai titik jatuh bola dengan meteran<br />

Kinglon buatan Jepang dalam satuan centimeter. Dengan cara subjek<br />

melemparkan bola softball sejauh jauhnya. Pelaksanaan adalah posisi kaki<br />

berdiri dibelakang garis batas, dengan jarak kaki selebar bahu, kaki kiri di<br />

depan dan kedua tungkai sedikit ditekuk, lengan dan tangan kanan lurus<br />

vertikal di belakang atas kepala memegang bola dengan cara di genggam,<br />

lengan dan tangan kiri dalam keadaan bebas, posisi menghadap bentangan<br />

tali yang apabila disentuh tepat mengenai pergelangan tangan, kalau lengan<br />

kanan diayun ke depan dalam posisi bentuk 30 0 dari sikap semula. Tes<br />

dilakukan selama tiga kali diambil dari jarak terjauh. Hasil yang digunakan<br />

sebagai data penelitian dan dicatat dengan ketelitian 0,1 mm. Pelaksanaan<br />

56


pengukuran sebelum dan sesudah pelatihan. Jarak lemparan bola softball<br />

merupakan hasil yang menunjukkan seberapa besar kemampuan daya ledak<br />

otot lengan.<br />

4. Umur<br />

Umur adalah usia dalam tahun berdasarkan tanggal, bulan kelahiran yang<br />

tercatat dalam data administrasi sesuai dengan akte kelahiran yang berusia<br />

sekitar 15-16 tahun.<br />

5. Jenis kelamin<br />

Jenis kelamin laki-laki yaitu jenis kelamin yang telihat penampakkan luar<br />

(phenotif) dan kesesuaian yang tertulis dalam administrasi sekolah.<br />

6. Berat badan<br />

Berat badan adalah bobot tubuh subjek yang diukur dengan timbangan berat<br />

badan merk Tanita dengan ketelitian 0.1 kg. Saat penimbangan tidak<br />

menggunakan alas kaki.<br />

7. Tinggi badan<br />

Tinggi badan adalah ukuran tinggi badan yang diukur dengan antropometer<br />

merk Super buatan Jepang dengan ketelitian 0.1 cm. Subjek berdiri tegak<br />

membelakangi alat ukur dan pandangan lurus ke depan. Tinggi badan<br />

diukur melalui panjang dari lantai tempat berpijak sampai ubun-ubun<br />

(vertex).<br />

8. Indeks Masa Tubuh ( IMT)<br />

Indeks masa tubuh adalah nilai komposisi tubuh atau berat badan ideal yang<br />

ditentukan dengan berat tubuh (kg) dan kuadrat tinggi badan (m).<br />

57


9. Kebugaran Fisik<br />

Kebugaran fisik adalah kategori kebugaran jasmani subjek yang diperoleh<br />

melalui kemampuan melakukan lari 2,4 km dengan hasil yang dicatat<br />

berdasarkan satuan menit yang dikonversikan dalam skor berdasarkan<br />

penilaian Cooper. Waktu yang digunakan menggunakan stopwatch merk<br />

Q&Q buatan Jepang dengan tingkat ketelitian 0,01 detik.<br />

10. Suhu udara<br />

Suhu adalah suhu kering yang rata-rata yang diukur setiap melakukan<br />

penelitian dengan termometer elektronik. Merek Extech buatan Jerman<br />

dengan tingkat ketelitian 0.1 0 C.<br />

11. Kelembaban Relatif udara<br />

Kelembaban relatif adalah presentase uap air dalam udara yang diukur<br />

dengan hygrometer elektronik digital merek Exctech buatan Jerman dengan<br />

tingkat ketelitian 1%.<br />

4.5 Alat Pengumpul data<br />

Alat ukur atau instrument yang digunakan dalam penelitian:<br />

1. Alat katrol beban yang dirancang khusus untuk pelatihan menarik katrol<br />

berbeban.<br />

2. Alat pelatihan dengan katrol dari bahan besi dengan lebar 200 cm dan<br />

tinggi 200 cm dan bola soft ball.<br />

58


3. Timbangan berat badan merk Tanita untuk mengukur berat badan yang<br />

digunakan pada pelatihan menarik katrol beban dengan ketelitian 0.1 kg.<br />

4. Karung pasir dengan berat lima kg sebagai beban yang ditarik pada<br />

pelatihan menarik katrol beban.<br />

5. Antropometer Super buatan Jepang untuk mengukur tinggi badan dalam<br />

satuan centimeter (cm) dengan ketelitian 0,1 cm.<br />

6. Stop watch digital merk Q&Q untuk mengukur kecepatan lari 2,4 km,<br />

lama waktu istirahat tiap set, dan lamanya pelatihan dalam satu kali<br />

pelatihan, denagn ketelitian1/100 detik.<br />

7. Meteran merk Kinglon buatan Jepang.<br />

8. Metronom merk Nikko buatan Jepang untuk mengukur irama gerakan<br />

menarik katrol dengan arah gerakan dari belakang atas kepala ke bawah<br />

supaya irama gerakan setiap mengangkat beban sama.<br />

9. Norma penilaian tes lari 2,4 km Cooper, untuk mengukur status<br />

kebugaran fisik subjek.<br />

10. Termometer merk Extech buatan Jerman untuk mengukur suhu kering<br />

lingkungan, satuan 0 C, ketelitian 0,1 0 C.<br />

11. Higrometer elektronik digital merk Extech buatan Jerman untuk<br />

mengukur kelembaban relative udara, ketelitian 1%.<br />

12. Alat-alat tulis untuk mencatat data<br />

13. Kamera digital merk Nikon buatan Jepang yang digunakan untuk<br />

mendokumentasikan setiap kegiatan yang berkaitan dengan penelitian<br />

ini.<br />

59


4.6 Prosedur Penelitian<br />

Prosedur penelitian terdiri dari tahap-tahap penelitian, yang dapat dijelaskan<br />

sebagai berikut:<br />

4.6.1 Tahap Persiapan<br />

Tahap persiapan menyangkut :<br />

1. Studi kepustakaan dari buku, jurnal, proseding, internet dan lain-lain<br />

yang relevan dengan topik penelitian ini.<br />

2. Mengurus surat-surat penelitian.<br />

3. Meminta persetujuan penelitian kepada kepala sekolah dan<br />

mengkoordinasikan dengan wali kelas serta guru olahraga yang<br />

menyangkut jadwal penelitian dan persiapan.<br />

4. Membuat jadwal pelaksanaan penelitian.<br />

5. Menyiapkan alat ukur yang baku dan memiliki ketelitian yang dapat<br />

dipercaya dan diakui secara ilmiah.<br />

6. Melakukan uji coba terkait alat yang dirancang khusus yang digunakan<br />

pelatihan menarik katrol. Dalam bentuk beban (berupa karung pasir lima<br />

kg) digantungkan dengan seutas tali melalui tiga buah katrol. Ujung tali<br />

terhubung dengan beban, lengan kanan yang akan menarik. Subjek<br />

berdiri dalam posisi tegak dengan sedikit tungkai ditekuk, kaki kiri maju<br />

kedepan kemudian tangan kanan menarik katrol berbeban lima kg dari<br />

atas kepala di arahkan ke bawah dan kembali ke posisi semula sesuai<br />

dengan takaran pelatihan. Posisi tangan kiri bebas.<br />

4.6.2. Tahap Penelitian Pendahuluan<br />

60


1. Memberikan penjelasan tentang pelaksanaan penelitian<br />

2. Menentukan subjek yang akan dilibatkan<br />

3. Melakukan pengukuran pada beberapa variabel, seperti umur, berat<br />

badan, tinggi badan dan daya ledak otot lengan<br />

4. Mengolah hasil penelitian pendahuluan untuk menentukan besar sampel<br />

dalam penelitian selanjutnya.<br />

5. Pengukuran Kebugaran fisik. Kebugaran fisik diukur dengan tes lari 2.4<br />

km, yaitu subjek berlari dengan menempuh jarak 2.4 km sesuai dengan<br />

kemampuan tanpa henti. Waktu tempuh dikonversikan dengan table<br />

tingkat kebugaran fisik menurut Cooper. Subjek yang dipilih adalah<br />

subjek yang memiliki kategori fisik sedang.<br />

6. Pengukuran berat badan.<br />

7. Pengukuran tinggi badan.<br />

8. Pengukuran daya ledak anggota gerak atas dilakukan dengan bola<br />

softball dengan berat 198,45 gr dan lingkaran 30,80 cm. Pengukuran dari<br />

garis batas sampai titik jatuh bola dengan meteran Kinglon buatan<br />

Jepang dalam satuan sentimeter. Pelaksanaan adalah posisi kaki berdiri<br />

dibelakang garis batas, dengan jarak kaki selebar bahu, kaki kiri didepan<br />

dan kedua tungkai sedikit ditekuk, lengan dan tangan kanan lurus vertikal<br />

di belakang atas kepala memegang bola dengan cara di genggam, lengan<br />

dan tangan kiri dalam keadaan bebas, lengan kanan diayun ke depan<br />

dalam posisi bentuk 30 0 dari sikap semula. Tes dilakukan selama tiga kali<br />

diambil dari jarak terjauh.<br />

61


4.6.3 Tahap Pemilihan dan Penentuan Sampel<br />

Prosedur pemilihan dan penentuan sampel menyangkut:<br />

1. Semua siswa yang memenuhi kreteria inklusi dan eksklusi sebagai<br />

sampel diberikan dengan nomor urut yang berbeda.<br />

2. Selanjutnya sampel dipilih secara acak sederhana dengan menggunakan<br />

teknik undian sebanyak dua kelompok, yaitu masing-masing kelompok<br />

beranggotakan 14 orang.<br />

4.6.4 Tahap Pelaksanaan<br />

Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan penelitian<br />

ini adalah sebagai berikut:<br />

1. Sebelum pelaksanaan subjek di berikan penjelasan tentang tujuan,<br />

manfaat, jadwal, tempat penelitian, tatalaksana penelitian, dan hak-hak<br />

subjek dalam pelaksanaan penelitian.<br />

2. Pengukuran suhu lingkungan dilakukan mulai dari awal pelatihan sampai<br />

akhir dengan termometer elektronik merk Excetch buatan Jerman dengan<br />

ketelitian 0,1 o C. Termometer diaktifkan, kemudian dilihat suhu kering<br />

dalam derajat Celcius. Suhu dicatat awal dan diakhir pelatihan kemudian<br />

dihitung rata-ratanya.<br />

3. Pengukuran kelembaban relatif udara diukur pada awal sampai akhir<br />

dengan menggunakan hygrometer digital. Caranya hygrometer diaktifkan<br />

pada saat pelatihan berlangsung dan hasilnya dicatat dalam satuan %.<br />

62


4. Subjek datang 15 menit ke tempat penelitian sebelum pelatihan dimulai.<br />

Sesudah istirahat selama lima menit kemudian dilakukan pengukuran<br />

denyut nadi dengan metode 1 menit.<br />

5. Subjek dipisahkan menjadi dua kelompok.<br />

6. Melakukan pemanasan selama 15 menit, berupa peregangan, kalistenik<br />

dan gerakan spesifik yang dimulai dari leher, bahu, lengan, tangan,<br />

badan, pinggul dan anggota gerak atas.<br />

7. Subjek pada kedua kelompok melakukan pelatihan dalam waktu yang<br />

sama secara bergantian, selama enam minggu dengan frekuensi tiga kali<br />

seminggu (Senin, Rabu, Jumat).<br />

8. Pada hari Senin kelompok satu (pelatihan menarik katrol beban lima kg,<br />

duabelas repetisi, dan tiga set melakukan pelatihan pertama, kemudian<br />

selanjutnya pelatihan dilakukan oleh kelompok dua (pelatihan menarik<br />

katrol beban lima kg, sembilan repetisi, dan empat set).<br />

9. Pada hari Rabu pelatihan pelatihan pertama dilakukan oleh kelompok II<br />

dan dilanjutkan oleh kelompok I<br />

10. Pada hari Jumat pelatihan pertama dilakukan oleh kelompok I, dan<br />

dilanjutkan oleh kelompok II, demikian seterusnya pelatihan ini sampai<br />

pada enam minggu yang dilakukan secara bergiliran.<br />

11. Selama pelatihan subjek diarahkan oleh rekan-rekan guru olahraga.<br />

12. Setelah enam minggu dilakukan pengukuran daya ledak anggota gerak<br />

atas pada kedua kelompok perlakuan dengan mempergunakan bola<br />

softball. Hasilnya jauhnya lemparan dengan dicatat dalam satuan<br />

63


sentimeter. Pelaksanaan sama seperti pada saat pengambilan data (awal<br />

pretest).<br />

4.7 Prosedur Pengukuran<br />

1. Pengukuran Kebugaran Fisik<br />

Kebugaran fisik diukur dengan tes lari 2,4 km, yaitu subjek berlari<br />

dengan menempuh jarak 2,4 km sesuai dengan kemampuan tanpa henti.<br />

Waktu tempuhnya dicatat kemudian dikonversikan dengan table tingkat<br />

kebugaran fisik menurut Cooper. Subjek yang dipilih adalah subjek yang<br />

memiliki kategori kebugaran fisik sedang.<br />

2. Pengukuran Berat badan<br />

Berat badan diukur dengan timbangan merk Tanita dengan satuan<br />

kilogram (kg) dan ketelitian 0,1 kg. Subjek berdiri tegak diatas timbangan<br />

memakai pakaian tanpa alas kaki.<br />

3. Pengukuran tinggi badan<br />

Pengukuran ini menggunakan antropometer merk Super buatan<br />

Jepang dengan ketelitian 0,1 cm dalam satuan centimeter. Subjek berdiri<br />

tegak membelakangi alat ukur dan pandangan lurus ke depan. Tinggi badan<br />

diukur melalui panjang dari lantai tempat berpijak sampai ubun-ubun<br />

(vertex).<br />

4. Pengukuran suhu lingkungan<br />

Pengukuran suhu lingkungan dilakukan mulai awal sampai akhir<br />

penelitian dengan thermometer elektronik merk Extech buatan Jerman<br />

64


dengan ketelitian 0.1 o C. Termometer diputar selama kurang lebih tiga<br />

menit, kemudian dilihat suhu basah dan kering dalam derajat celcius.<br />

5. Pengukuran daya ledak anggota bagian atas (lengan)<br />

Pengukuran daya ledak otot lengan atau anggota gerak atas dilakukan<br />

dengan menggunakan bola softball. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga<br />

kali dan nilai yang dipakai adalah nilai yang tertinggi.<br />

4.8 Analisis data<br />

berikut:<br />

Berdasarkan data yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai<br />

1. Statistik deskriptif untuk menganalisa umur, tinggi badan, berat badan,<br />

indeks massa tubuh, dan kebugaran fisik, daya ledak otot lengan.<br />

2. Uji Normalitas data (daya ledak otot lengan sebelum perlakuan) dengan<br />

Shapiro-Wilk Test yang bertujuan untuk mengetahui distribusi data masing<br />

masing kelompok perlakuan. Batas kemaknaan 0,05 atau tingkat<br />

kepercayaan yang digunakan adalah 95%.<br />

3. Uji homogenitas data (daya ledak otot lengan sebelum dan sesudah<br />

perlakuan) dengan Lavene Test, bertujuan untuk mengetahui variasi data.<br />

Batas kemaknaan 0,05 atau tingkat kepercayaan yang digunakan adalah<br />

95%.<br />

4. Uji Beda<br />

a. Uji t paired digunakan untuk menganalisis rerata peningkatan daya<br />

ledak otot lengan antara sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-<br />

masing kelompok, untuk data yang berdistribusi normal.<br />

65


. Untuk data yang tidak berdistribusi normal dianalisis menggunakan Uji<br />

Wilcoxon.<br />

c. Data berdistribusi normal menggunakan uji statistik parametrik yaitu<br />

4.9. Alur Penelitian<br />

One Way ANOVA (Analisis Of Varians) pada taraf kemaknaan p = 0,05<br />

untuk membandingkan pengaruh pelatihan pada kelompok kontrol,<br />

pelatihan a, pelatihan b.<br />

Kriteria inklusi<br />

Tes awal<br />

Populasi<br />

Sampel<br />

Alokasi acak sederhana<br />

Kriteria eksklusi<br />

Kelompok I (P1) Kelompok II (P2)<br />

Tes awal<br />

66


Perlakuan selama enam minggu<br />

Pelatihan menarik beban katrol<br />

lima kg, dua belas repetisi, tiga set<br />

Tes akhir<br />

Gambar. 4.2 Alur penelitian<br />

BAB V<br />

HASIL PENELITIAN<br />

Penelitian ini telah dilaksanakan di SMK Negeri-1 Denpasar selama enam<br />

minggu. Subjek penelitian berjumlah 28 orang, yang terdiri dalam dua kelompok<br />

perlakuan dengan masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Kelompok<br />

perlakuan satu diberikan pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi<br />

tiga set, sedangkan kelompok dua diberikan pelatihan menarik katrol beban lima<br />

kg, sembilan repetisi empat set. Hasil penelitian disajikan dalam pembahasan<br />

berikut.<br />

Analisis data<br />

Penyusunan Tesis<br />

5.1 Analisis Deskriptif Karakteristik subjek Penelitian<br />

Karakteristik subjek penelitian yang meliputi: umur, berat badan, tinggi<br />

badan, indeks masa tubuh, dan kebugaran fisik sebelum pelatihan pada kedua<br />

kelompok. Karakteristik dapat dilihat pada Tabel 5.1.<br />

67<br />

Perlakuan selama enam minggu<br />

Pelatihan menarik beban katrol lima<br />

kg, sembilan repetisi, empat set set<br />

Tes akhir


Karakteristik Subjek<br />

Tabel 5.1<br />

Karakteristik Fisik siswa SMK Negeri -1 Denpasar<br />

KLP-1 KLP- 2<br />

Rerata ±SB Rentang Rerata ±SB Rentang<br />

Umur (th) 16,21 ± 0,30 15,66-16,83 16,12 ± 0,41 15,58-16,75<br />

Berat badan (kg) 57,36 ± 13,61 41-82 55,00 ± 9,44 41-76<br />

Tinggi badan (cm) 168,21 ± 6,12 158-180 165,79 ± 8,08 153-178<br />

IMT (kg/m 2 ) 20,62 ± 3,61 17,14-27,86 20,76 ± 2,54 17,31-25,4<br />

Kebugaran Fisik (mnt) 12,07 ± 1,30 10.30-14.56 11,91 ± 1,33 10.10-14.14<br />

Keterangan:<br />

SB = Simpangan Baku<br />

KLP-1= Kelompok-1 (pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas<br />

repetisi, tiga set)<br />

KLP-2= Kelompok-2 (pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi,<br />

empat set)<br />

5.2 Lingkungan Penelitian<br />

Kondisi lingkungan yang diukur selama pelaksanaan penelitian adalah suhu,<br />

dan kelembaban relatif udara. Hasilnya dicantumkan pada Tabel 5.2.<br />

Tabel 5.2<br />

Karakteristik Suhu dan Kelembaban Relatif Udara Lingkungan Pelatihan<br />

Keadaan lingkungan Rerata ± SB Maksimum Minimum<br />

Suhu ( 0 C) 25,89 ± 117 28,40 24,30<br />

Kelembaban (%) 69,78 ± 4,82 79,00 65,00<br />

Berdasarkan Tabel 5.2 maka rentang suhu berkisar antara 24,3-28,4°C sedangkan<br />

kelembaban relatif berada pada 65% sampai 79%. Kondisi lingkungan selama<br />

pelatihan dan pengukuran dapat diadaptasi oleh subjek penelitian karena mereka<br />

bertempat disekitar lokasi tersebut dan juga digunakan sebagai tempat latihan<br />

68


olahraga. Dengan demikian kondisi lingkungan nyaman untuk pelaksanaan<br />

pelatihan.<br />

5.3 Uji Normalitas Data dan Homogenitas Daya Ledak Otot Lengan<br />

Sebagai prayarat untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan maka<br />

dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas data hasil daya ledak otot lengan<br />

dengan menggunakan tes melempar bola softball sebelum dan sesudah pelatihan.<br />

Uji Normalitas dengan menggunakan uji Saphiro Wilk Test, sedangkan uji<br />

homogenitas menggunakan Levene Test, semua variabel bebas dan tergantung.<br />

Berdasarkan hasil uji normalitas (Saphiro Wilk-Test) dan uji homogenitas (Levene-<br />

Test) data daya ledak otot lengan bahwa sebelum dan sesudah pelatihan pada<br />

kedua kelompok menunjukkan bahwa dari kedua uji tersebut memiliki nilai p lebih<br />

besar dari 0,05 yang berarti data ledak otot lengan sebelum dan sesudah pelatihan<br />

berdistribusi normal dan homogen (lampiran XIII), oleh karena itu maka uji yang<br />

dilakukan adalah uji parametrik.<br />

5.4. Data Hasil Daya Ledak Otot Lengan Sebelum dan Sesudah Pelatihan,<br />

Siswa SMK-1 Denpasar<br />

Data hasil daya ledak bertujuan untuk membandingkan rerata daya ledak<br />

otot lengan antar kelompok pelatihan sebelum dan sesudah pelatihan. Dengan hasil<br />

analisis kemaknaan dengan uji t berpasangan, yang disajikan pada Tabel 5.3.<br />

Tabel 5.3<br />

Data Hasil Daya Ledak Otot Lengan Sebelum dan Sesudah Pelatihan siswa<br />

SMK-1 Denpasar<br />

No Kelompok Sebelum Sesudah<br />

Mean SD Mean SD<br />

1 I 29,56 5.37 35,79 5.78<br />

69


2 II 29,52 4.40 31,80 4.19<br />

Tabel 5.. diatas, menunjukkan bahwa data hasil daya ledak otot lengan sebelum<br />

dan sesudah pelatihan kedua kelompok pelatihan memiliki nilai p lebih kecil dari<br />

0,05. Hal ini berarti pada masing-masing kelompok terjadi peningkatan daya ledak<br />

otot lengan secara bermakna. Dengan demikian pelatihan menarik katrol beban<br />

lima kg, duabelas repetisi, tiga set dan pelatihan menarik katrol beban lima kg,<br />

sembilan repetisi, empat set dapat meningkatkan daya ledak otot lengan. Rerata<br />

peningkatan daya ledak otot lengan pada kelompok-1 lebih besar daripada<br />

kelompok-2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelatihan kelompok satu<br />

menghasilkan peningkatan daya ledak otot lengan lebih besar daripada pelatihan<br />

kelompok-2.<br />

5.5. Perbedaan Peningkatan Daya ledak Otot Lengan Sesudah Pelatihan<br />

antara kelompok I dan kelompok II<br />

Perbedaan peningkatan daya ledak otot lengan sesudah pelatihan pada<br />

masing-masing kelompok disajikan pada Tabel 5.4.<br />

Tabel 5.4<br />

Perbedaan Peningkatan Daya Ledak Otot Lengan Sebelum dan Sesudah<br />

Pelatihan antar kelompok-1 dan kelompok-2<br />

Pelatihan I II<br />

Sebelum 29,56 29,52<br />

Sesudah 35,79 31,80<br />

Selisih 6,23 m ( 21,07%) 2,28 m (7,73%)<br />

70


Tabel 5.4 menunjukkan perbedaan peningkatan daya ledak otot lengan sesudah<br />

pelatihan pada masing masing kelompok. Berdasarkan persentase rerata<br />

peningkatan daya ledak otot lengan sesudah pelatihan selama enam minggu<br />

tmenunjukkan bahwa persentase rerata peningkatan daya ledak otot lengan pada<br />

kelompok satu yaitu pelatihan menarik katrol beban lima kg, dua belas repetisi, tiga<br />

set lebih besar daripada kelompok pelatihan menarik katrol beban lima kg,<br />

sembilan repetisi, empat set. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelatihan<br />

menarik katrol beban beban lima kg, dua belas repetisi, tiga set menghasilkan<br />

peningkatan daya ledak otot lengan lebih baik dibandingkan dengan pelatihan<br />

menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set.<br />

5.6 Analisis Efek Perlakuan Antar Kelompok<br />

Analisis perbedaan efek perlakuan diuji berdasarkan gain score (selisih nilai<br />

pretes dan postes) daya ledak otot lengan antar kelompok pelatihan. Hasil analisis<br />

kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada tabel 5.5 berikut.<br />

Tabel 5.5 Hasil Uji perbedaan Gain Score daya ledak otot lengan kelompok 1 dan<br />

kelompok 2<br />

Kelompok Rerata SD t p<br />

Kelompok 1 6,23 2,03<br />

Kelompok 2 2,28 1,16<br />

6,299 0,000<br />

Tabel 5.5 di atas, menunjukkan bahwa rerata gain score daya ledak otot lengan<br />

kelompok 1 sebesar 6,23 dan rerata gain score daya ledak otot lengan kelompok 2<br />

adalah 2,28. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan nilai t =<br />

71


6,299 dan nilai p = 0,000. Hal ini berarti bahwa antara kelompok 1 dan kelompok-<br />

2 setelah diberi perlakuan, rerata daya ledak otot lengannya berbeda secara<br />

bermakna (p


olahraga bulutangkis dapat diberikan pada usia 14-16 tahun (Juliantine, dkk 2007),<br />

sehingga pelatihan yang diterapkan tidak berpengaruh buruk terhadap struktur dan<br />

fungsi tubuh dan aman bagi subjek.<br />

Rerata tinggi badan subjek penelitian adalah rerata 168,21 cm pada<br />

kelompok pelatihan-1 dan rerata 165,79 cm pada kelompok pelatihan-2. Rerata<br />

berat badan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK Negeri-1 Denpasar yang<br />

dipakai sebagai subjek penelitian adalah rerata 57,36 kg pada kelompok pelatihan-1<br />

dan rerata 55,00 kg pada kelompok pelatihan-2. Dari hasil uji homogenitas, terlihat<br />

bahwa tinggi badan dan berat badan siswa pada kedua kelompok pelatihan adalah<br />

homogen (p >0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian<br />

memiliki karakteristik tinggi badan dan berat badan yang tidak berbeda bermakna.<br />

Dengan demikian rerata berat badan ini berada pada mal nutrisi ringan sampai<br />

normal yang diambil pada persentil ke-50 standar WHO (Soetjiningsih, 1995)<br />

sehingga berdasarkan berat badan dan tinggi badan subjek tidak ada kekurangan<br />

gizi yang berarti aktivitas pelatihan dapat dilakukan dengan baik.<br />

Indeks masa tubuh subjek penelitian pada kelompok-1 adalah 20,62 kg/m 2<br />

sedangkan kelompok-2 adalah 20,76. Kg/m 2 . Indeks massa tubuh merupakan rasio<br />

berat dan tinggi badan yang sering digunakan untuk mengukur komposisi tubuh,<br />

khususnya menggunakan skala pada battery fitnesgram. Berdasarkan indeks masa<br />

tubuh pada kedua kelompok, subjek penelitian berada dalam kategori normal yang<br />

berkisar antara 18,5-24,9 (Atmojo, 2007). Rentang waktu tempuh tes lari 2,4 km<br />

subjek penelitian pada kelompok-1 adalah 12,07.dan kelompok-2 adalah 11,91.<br />

Subjek penelitian pada kedua kelompok menunjukkan bahwa kebugaran fisik<br />

73


erada pada kategori sedang untuk usia 15-16 tahun. Berdasarkan Cooper, 1980<br />

ditinjau dari umur termasuk dalam usia 13-19 tahun dengan rentangan waktu 10:45-<br />

12:10 untuk putra. Derajat kesegaran jasmani seseorang sangat menentukkan<br />

kemampuan fisiknya dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, semakin tinggi derajat<br />

kesegaran jasmani seseorang semakin tinggi pula kemampuan kerja fisiknya<br />

(Satriya, dkk 2007). Dengan memiliki kebugaran fisik kategori sedang diasumsikan<br />

subjek mampu melakukan pelatihan yang akan diberikan dengan baik. Selain itu<br />

atlet yang memiliki kesegaran jasmani yang baik akan terhindar dari kemungkinan<br />

cidera yang biasanya terjadi jika melakukan kerja fisik yang berat.<br />

6.2 Karakteristik Lingkungan Penelitian<br />

Pelatihan dilaksanakan di SMK-1 Denpasar pada pukul 05.30-07.00 wita dengan<br />

variasi suhu 24,3-28,4°C, dan kelembaban relatif berada pada 65%-79%.<br />

Berdasarkan data kelembaban relatif tempat pelatihan berlangsung masih dalam<br />

batas nyaman. Daerah yang nyaman bagi orang Indonesia untuk melakukan<br />

aktivitas pelatihan adalah pada kelembaban relatif yang berkisar antara 70-80%<br />

(Manuaba,1983). Dengan demikian subjek penelitian terbiasa dengan lingkungan<br />

tempat pelatihan. Lingkungan yang nyaman akan berdampak mengurangi<br />

pengeluaran keringat berlebihan sehingga subjek dapat melakukan pelatihan dengan<br />

baik.<br />

6.3. Distribusi dan Varians Subjek Penelitian<br />

Distribusi subjek penelitian kedua kelompok sebelum dan sesudah pelatihan,<br />

dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk Test dan uji homogenitas dengan<br />

Levene Test. Data Daya ledak otot lengan sebelum dan sesudah pelatihan pada<br />

74


kedua kelompok menunjukkan nilai p lebih besar dari 0,05. Dengan demikian data<br />

daya ledak otot lengan sebelum dan sesudah pelatihan pada kedua, sehingga uji<br />

selanjutnya digunakan uji parametrik (Dahlan, 2004).<br />

6.4. Perbedaan Daya ledak Otot lengan Sebelum Pelatihan<br />

Perbedaan daya ledak otot lengan sebelum pelatihan diantara kedua<br />

kelompok pelatihan diuji dengan uji t-tidak berpasangan. Hasil uji statistik<br />

menunjukkan nilai p untuk daya ledak otot lengan sebelum pelatihan di antara<br />

kedua kelompok pelatihan lebih besar dari 0,05 tercantum pada lampiran XIV. Hal<br />

ini berarti rerata daya ledak sebelum pelatihan di antara kedua kelompok pelatihan<br />

tidak berbeda bermakna. Dengan demikian daya ledak otot lengan sebelum<br />

pelatihan diantara kelompok-1 dan kelompok-2 adalah sebanding. Oleh karena itu,<br />

apabila terjadi perbedaan daya ledak otot lengan sesudah pelatihan, hal ini<br />

disebabkan oleh pelatihan yang diterapkan.<br />

6.5 Pengaruh Pelatihan terhadap daya ledak otot lengan<br />

Berdasarkan hasil tes daya ledak otot lengan selama pelatihan selama enam<br />

minggu dari tes awal sampai test akhir diperoleh rerata daya ledak otot lengan<br />

sebelum pelatihan 29,56 m dan setelah pelatihan 35,79 m dengan selisih 6,23 m<br />

daya ledak otot lengan pada kelompok-1. Rerata daya ledak otot lengan sebelum<br />

pelatihan pada kelompok-2 adalah 29,52 m dan 31,80 setelah pelatihan 31,80 m<br />

dengan selisih daya ledak 2,28 m.<br />

75


Analisis data tes daya ledak antara tes awal dan tes akhir pada masing<br />

masing kelompok dengan menggunakan paired t test (tabel 5.4), didapatkan bahwa<br />

rerata daya ledak sebelum dan sesudah pelatihan diperoleh nilai p


ini durasi waktu selama 15 detik dengan istirahat lima menit untuk kelompok-1 dan<br />

12 detik untuk kelompok-2 setiap setnya dengan istirahat lima menit. Penggunaan<br />

energi pelatihan ini dalam jumlah besar dan waktu singkat dengan gerakan-gerakan<br />

yang eksplosif (Giriwijoyo, 2007).<br />

Fokus dalam pelatihan ini adalah daya ledak. Daya ledak dominan<br />

menggunakan gerakan-gerakan yang eksplosif. Menurut Harsono dalam Satriya,<br />

dkk (2007), dalam daya ledak terdapat dua komponen biomotorik yaitu kekuatan<br />

dan juga kecepatan, sehingga untuk meningkatkan daya ledak otot maka diberikan<br />

beban tahanan sebesar 40%-80% dari kemampuan maksimal. Latihan beban juga<br />

dikenal dengan istilah weight training, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah<br />

merupakan latihan fisik untuk meningkatkan daya ledak otot lengan. Dengan<br />

pelatihan beban menurut (Nossek, 1982), beban dalam latihan dibagi menjadi dua<br />

yaitu beban luar dan beban dalam. Beban luar adalah komponen-komponen beban<br />

dan latihan yang disusun menjadi urutan metodis yang wajar, sedangkan beban<br />

dalam adalah perangsangan dan efeknya pada sel dengan meningkatkan kualitas<br />

sel, yang berarti meningkatnya kesehatan dan kemampuan fungsional sel berarti<br />

meningkatnya kekuatan sel-sel yang mengalami pelatihan (Giriwijoyo, 2007).<br />

Rangsangan pelatihan yang optimum untuk membangun daya ledak adalah<br />

pelatihan dengan intensitas tinggi dan repetisi yang cepat (Lawrensen, 2008).<br />

Dampak yang terjadi akibat pelatihan tersebut adalah terjadi peningkatan<br />

persentase massa otot, sehingga mengalami hipertropi, bertambah sebanyak 30-60<br />

persen (Guyton dan Hall, 2008). Terjadinya hipertropi karena perubahan otot<br />

rangka atau peningkatan diameter pada kedua serabut (fiber) otot cepat (fast twitch)<br />

77


dan otot lambat (slow twitch) pada vastus lateralis, maka dengan sendirinya juga<br />

terjadi hipertropi, pada kedua macam otot. Semua hipertrofi otot akibat dari suatu<br />

peningkatan jumlah filamen aktin dan miosin dalam setiap serabut otot,<br />

menyebabkan pembesaran masing-masing serabut otot (Guyton dan Hall, 2008).<br />

Untuk latihan ketahanan yang akan menjadi hipertropi, adalah otot lambat,<br />

sedangkan untuk latihan kecepatan yang menjadi hipertropi, adalah otot cepat (<br />

Fox, 1984). Dengan adanya peningkatan jumlah dan ukuran mitokondria pada sel-<br />

sel otot maka akan dapat menyebabkan fungsi dari mitokondria lebih efektif.<br />

Dengan adanya peningkatan jumlah mitokondria dalam sel otot sehingga secara<br />

fisiologis merangsang perbaikan pengambilan oksigen (Nala, 2002) disamping itu<br />

akibat dari pelatihan yang teratur dan maksimal mitokondria melakukan replikasi<br />

sehingga dapat mengerahkan sistem energi dominan untuk selalu siap menyediakan<br />

energi yang diperlukan (Guyton dan Hall, 2008).<br />

Pelatihan menarik katrol dalam meningkatkan daya ledak otot lengan adalah<br />

pelatihan menarik katrol menggunakan tarikan beban melalui tali sebagai penahan<br />

gerakan lengan ke depan sehingga tenaga berada pada otot lengan sebagai<br />

penggerak utama. Dalam mengayun lengan ke depan, otot melakukan usaha/kerja<br />

karena massa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan suatu<br />

percepatan tertentu dan memaksimalkan usaha/kerja untuk otot lengan. Dengan<br />

memaksimalkan kerja otot tersebut maka dapat meningkatkan otot lengan. Dalam<br />

pelatihan ini hipertrofi yang sangat luas terjadi karena otot diberikan beban selama<br />

proses kontraksi (Guyton dan Hall, 2008). Kontraksi yang terjadi pada saat awalan<br />

pelatihan menarik katrol ini menggunakan kontraksi isometrik karena terjadi<br />

78


pemendekkan otot, sedangkan pada proses lanjutan menggunakan kontraksi<br />

eksentrik karena otot memanjang, dan kontraksi alodinamik karena otot yang<br />

digunakan sejak awal sampai akhir berbeda beban nya dan arahnya vertikal serta<br />

melawan gravitasi bumi.<br />

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan yang<br />

dilakukan secara tertata, terancang secara sistematis, dan dilaksanakan dengan baik<br />

akan dapat meningkatkan daya ledak.<br />

6.6. Perbedaan efek pelatihan antar kedua kelompok perlakuan<br />

Pelatihan menarik katrol beban lima kg duabelas repetisi, tiga set yang<br />

dilakukan oleh kelompok-1 menggunakan waktu kurang lebih 15 detik tiap set,<br />

dengan waktu istirahat lima menit tiap set. Sedangkan pelatihan menarik katrol<br />

beban 5 kg, sembilan repetisi, empat set yang diterapkan pada kelompok-2<br />

memerlukan waktu kurang lebih 12 detik tiap set, dengan waktu istirahat lima<br />

menit tiap set. Perbandingan kedua pelatihan menimbulkan efek dalam pelatihan<br />

tersebut menggunakan uji t-tidak berpasangan (t-independent tes) pada lampiran<br />

XV. Berdasarkan uji t-tidak berpasangan menunjukkan bahwa perbedaan pelatihan<br />

kedua kelompok untuk meningkatkan daya ledak otot lengan sesudah pelatihan<br />

pada kelompok-1 berbeda bermakna dibanding kelompok-2 dengan nilai p lebih<br />

kecil dari 0,05. Dimana terdapat peningkatan daya ledak otot lengan kelompok-1<br />

lebih besar daripada kelompok-2 (tabel 5.4). Dengan demikian hipo<strong>tesis</strong> 3 terbukti<br />

yakni pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set lebih baik<br />

daripada menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set.<br />

79


Berdasarkan sistem penggunaan energi yang digunakan dengan<br />

memperhatikan waktu selama pelatihan kedua kelompok berdasarkan lama<br />

pelatihan maka energi yang dipergunakan untuk pelatihan menarik katrol berasal<br />

dari metabolisme anaerobik sistem ATP-PCR (Sports Fitnes Advisor, <strong>2011</strong>) dengan<br />

alasan latihan yang menggunakan waktu 3-15 detik akan mendapatkan potensi daya<br />

ledak secara maksimal atau yang paling besar.<br />

Faktor perbedaan peningkatan dari efeknnya pelatihan tersebut karena<br />

adanya perbedaan beban latihan dalam jumlah repetisi dan jumlah set nya.<br />

Pengulangan yang tinggi akan menjadikan pelatihan menjadi sangat efektif dan hal<br />

ini akan sangat baik untuk mengembangkan serabut otot putih sangat diperlukan<br />

dalam daya ledak eksplosif (Nala, 2002). Serta perbandingan waktu yang<br />

dihabiskan setiap set antar kelompok pelatihan-1 dan kelompok pelatihan-2 yang<br />

tidak sama menimbulkan dampak pemulihan yang tidak adekuat menyebabkan<br />

terjadinya penimbunan asam laktat pada set berikutnya (Valeo, 2009). Hal ini<br />

disamping karena perbedaan repetisi, set juga waktu istirahat yang sama antar set<br />

menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara waktu kerja dan istirahat pada<br />

kelompok-1 dan kelompok-2.<br />

Efek pelatihan kelompok-1, memacu bagian tubuh untuk memenuhi<br />

kebutuhan beban kerja tersebut, dengan repetisi yang lebih banyak menimbulkan<br />

kemampuan reflek yang lebih baik dan pengalaman sensoris yang lebih kuat terpola<br />

pada sistem saraf pusat serta memaksimalkan pelepasan berbagai hormon, termasuk<br />

testosteron dan hormon pertumbuhan (Lawrensen, 2008). Dengan demikian<br />

pelatihan kelompok-1 menjadi lebih baik dibandingkan pelatihan kelompok-2.<br />

80


7.1 Simpulan<br />

BAB VII<br />

SIMPULAN DAN SARAN<br />

81


Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat disimpulkan<br />

penelitian sebagai berikut:<br />

1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set selama<br />

enam minggu, dapat meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa<br />

ekstrakurikuler bulutangkis SMK Negeri-1 Denpasar.<br />

2. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set selama<br />

enam minggu, dapat meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa<br />

ekstrakurikuler bulutangkis SMK Negeri-1 Denpasar.<br />

3. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set selama<br />

7.2 Saran<br />

enam minggu lebih baik daripada pelatihan menarik katrol beban lima kg,<br />

sembilan repetisi, empat set selama enam minggu, dalam meningkatkan<br />

daya ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK Negeri-1<br />

Denpasar.<br />

Berdasarkan simpulan penelitian, disarankan beberapa hal yang berkaitan<br />

dengan peningkatan daya ledak otot lengan:<br />

1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg dapat digunakan untuk<br />

meningkatkan daya ledak otot lengan sehingga tipe pelatihan ini digunakan<br />

pada cabang olahraga bulutangkis karena cara, posisi, dan arah gerakan<br />

sesuai pada pukulan overhead. Bagi pelaku olahraga (pembina olahrga,<br />

pelatih olahraga dan atlet) disarankan untuk menggunakan tipe pelatihan<br />

menarik katrol dengan beban yang disesuaikan pada kemampuan dan<br />

takaran yang tepat.<br />

82


2. Dilakukan penelitian lanjutan tentang pelatihan menarik katrol dengan<br />

beban yang sama dengan menggunakan repetisi yang maksimal atau yang<br />

paling tinggi dan jumlah set dikurangi.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

83


Anonim. <strong>2011</strong>. Otot lengan. [cited <strong>2011</strong> Februari 23]. Available from:<br />

http://google.co.id/imglanding=otot lengan<br />

Astrand, P.D.,Rodahl, K, 1986. Texbook of Work Physiological Basic of Exercise.<br />

New York: Mc.Graw Hill Brooks Company.<br />

Bob, D. 1995. Pysical Education and The Study of Sport. Second Edition, Bercelona,<br />

Spanyol: Mosby.<br />

Bompa, T. O. 1999. Periodization: Theory and Methodology of Training, 4 th Edition.<br />

Kendall/Hunt: Publishing Company.<br />

Bompa, T. O. 2000. Total Training For Young Champions. Campaign: Human<br />

Kinetics<br />

Boosey, D. 1980. The Jump Conditioning and Technical Trainning. Beatrice Avenal:<br />

Beatrice Publising Ltd.<br />

BWF, World Ranking Top 100. <strong>2011</strong>. Peringkat Atlet Indonesia per 10 Febuari<br />

<strong>2011</strong>.(cited <strong>2011</strong> Februari 23). Available at: http//www. Bulutangkis.com/<br />

indeks.<br />

Cooper, K. 1980. The Aerobics Way. New York: Bantam Books, Inc.<br />

Dahlan, S. M. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta Salemba<br />

Medika.<br />

Damiri, A. 1994. Anatomi Manusia Bandung. Fakultas Pendidikan Olahraga dan<br />

Kesehatan <strong>Universitas</strong> Pendidikan Indonesia.<br />

Djide, T. 2004. Ulang Metode dan Strategi Pelatihan Bulutangkis dengan Pendekatan<br />

IPTEK untuk Bulutangkis Indonesia: FPOK.UPI.<br />

Dresta, I. M. 2010. Pelatihan Loncat Tegak Delapan Repetisi Tiga Set Lebih baik<br />

daripada enam repetisi empat set dalam meningkatkan daya ledak otot<br />

anggota gerak bawah siswa SMP Pancasila Canggu Badung. (<strong>tesis</strong>).<br />

Denpasar. <strong>Universitas</strong> <strong>Udayana</strong>.<br />

Foss, L. M., Steven, J. K. 1998. The Physiological Basis for Exercise and sport 6 th<br />

Edition. Boston: WBC. Mc. Graw Hill Componies Illiones Dubuque Iowa<br />

Madison<br />

Fox, E.L. 1983. Sport physiology. New York : C B S College Publishing.<br />

Fox, E.L. 1984. Sport physiology. 2 th Edition, Philadelphia: Saunders College<br />

Publishers.<br />

84


Fox, E. L., Richard, B, W., dan Merie, L. F. 1993. The Physiological Basic of<br />

Physical Education and Athletics, 5 th Edition. Dubuque: Wm. C. Brown<br />

Communication, Inc.<br />

Giam,Teh. 1993. Ilmu Kedokteran Olahraga. Jakarta: Binapura Aksara.<br />

Giriwijoyo, S., Muchtamaji, H. 2007. Ilmu Faal Olahraga; Fungsi Tubuh manusia<br />

pada olahraga, Bandung: Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan<br />

<strong>Universitas</strong> Pendidikan Indonesia.<br />

Guyton, A.C., Hall, J.E. 1996. Fisiologi Kedokteran (terjemahan). Jakarta: Penerbit<br />

Buku Kedokteran EGC.<br />

Harsono. 1988. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis Dalam Coaching. Jakarta:<br />

Depdiknas Dikti LPTK.<br />

Harsono. 1993. Prinsip-prinsip Pelatihan Fisik . Jakarta: KONI Pusat<br />

Hairy, J. 1989. Fisiologi Olahraga. Jakarta: Dirjendikti.<br />

Harre, D. 1982. Principle of Sport Training. Berlin: Sportverlag.<br />

Irianto, D. P. 2002. Dasar Kepelatihan. Yogyakarta: FIK UNY.<br />

Irawan. A.2007. Metabolisme Energi Tubuh dan Olahraga. [cited <strong>2011</strong> Juni 21].<br />

Vol.01.N0.07. Sports Science Brief. Available from.www.pssplab.com<br />

Juliantine, T., Yudiana, W., Subarjah, H .2007. Teori Latihan. Bandung. Fakultas<br />

Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. UPI.<br />

Jensen, C. R., Fisher. 1983. Scientific Basis of Appied Kinesiology and<br />

Biomechanics. New York: Mc Graw Hill Book.<br />

Kanca. 2006. Pencegahan Penyakit Degeneratif Usia Dini melalui pelatihan<br />

Olahraga: Suatu Kajian Fisiobologis. Makalah Orasi Pengenalan Guru Besar<br />

Tetap Dalam Bidang Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Pada Fakultas Ilmu<br />

Keolahragaan Undiksha Singaraja.<br />

Lamb, D. R. 1984. Physiology Of Exercise Respones and Adaptations, 2 th Edition.<br />

New York: Macmillan Publishing Company.<br />

Lawrensen, D. 2008. The Super Toning Trainning Routine. [cited: <strong>2011</strong> Juni 15].<br />

Available from http://www.muscleanstrength.com.<br />

Manuaba, I. B. A. 1983. Aspek Ergonomi dalam Perencanaan Komplek Olahraga<br />

dan Rekreasi. Naskah lengkap Panel Diskusi Rencana Induk Gelora Jakarta:<br />

21 September 1983<br />

85


Nala, N. 1992. Kumpulan Tulisan Olahraga. Denpasar: Komite Olahraga Nasional<br />

Indonesia Daerah Bali.<br />

Nala, N. 1998. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Denpasar: UNUD Denpasar.<br />

Nala, N. 2002. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Denpasar: Komite Olahraga<br />

Nasional Indonesia Daerah Bali.<br />

Nossek, J. 1982. General Teori Of Training, (Terjemahan M. Furqon H). Surakarta:<br />

Sebelas Maret University Perss.<br />

Nurhasan. 2000. Buku Materi Pokok Tes dan Pengukuran, Jakarta: Depdikbud<br />

<strong>Universitas</strong> Terbuka.<br />

Nurhasan. 2008. Tes Kemampuan Komponen Fisik Dasar Cabang-Cabang Olahraga<br />

Bandung: Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan UPI .<br />

O’Shea, J. P. 1976. Scietific Principles and method of Strength Fitness, 2 th Edition<br />

London : Addison Wesley Publishing Company.<br />

Pasurney, P. 2000. Mengapa Prestasi Olahraga Indonesia Terpuruk. [cited <strong>2011</strong><br />

Maret. 20]. Available at: http//www.Koni.or.id/files/documnts/journal.<br />

Pearce, E. C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta. PT.Gramedia<br />

Pustaka Utama.<br />

Pocock, S. J. 2008. Clinical Trial;A Practical Approach. New York: A Willey<br />

Medical Publication.<br />

Powers, S. K., Howley, E. T. 2004. Exercise Pysiology, Theory and Application to<br />

fitness and Performance. 5 th Edition. New York: Mc. Graw Hill<br />

Companies.Inc.<br />

Poole, J. 2009. Belajar Bulutangkis. Bandung: Pionir Jaya.<br />

Rogers, P. 2009. Basic Streght and Muscle Weigth Trainning Program. [cited: <strong>2011</strong><br />

Juni 15]. Available from http://www..com. weigthtrainning.about.com<br />

Rushall, B. S., an Frank S. P. 1992. Training for Sport and Fitness. Canberra: The<br />

Macmillan Company of Australia PTY LTD.<br />

Sajoto. 1988. Pembinaan Kondisi Fisik Dalam Olahraga. Departemen Pendidikan<br />

dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengadaan<br />

Buku pada Lembaga Pengembangan Tenaga Pendidikan. Jakarta.<br />

Sajoto. 1995. Pengembangan dan Pembinaan Kekuatan kondisi Fisik Dalam<br />

Olahraga. Jakarta: Dahara Prize.<br />

Sajoto. 2002. Peningkatan dan Pembinaan Kekuatan kondisi fisik. Semarang:<br />

Effhar dan Dahara Prize.<br />

86


Sarwoto, B. 1992. Materi Pokok Kinesiologi, Jakarta : Depdikbud.<br />

Satriya., Sidik, S., Imanudin, I. 2007. Metodologi Kepelatihan Olahraga. Bandung:<br />

Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan UPI.<br />

Setijono, H. 2001. Instruktur fitnes. ISBN: 979-678-890-9. Surabaya: Unesa<br />

University Press.<br />

Sharkey, B. J. 2003. Kebugaran & Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.<br />

Soekarman. 1986. Energi dan Sistem energi Predominan Pada Olahraga. Pusat<br />

Ilmu Olahraga: Jakarta. Koni Pusat.<br />

Soetjiningsih,1995. Tumbuh kembang Anak Jakarta: Penerbit buku Kedokteran<br />

EGC.<br />

Sports Fitnes Adviser, <strong>2011</strong>. Energi Sytem in Sports and Exercise. [cited <strong>2011</strong> Juni<br />

21]. Available from: http://www.sports-fitnes-adviser.com.<br />

Subiyono, S. H. 2007. Tekhnik Renang Gaya Crawl. Jurnal IPTEK Olahraga.Vol.<br />

9, No. 3. pp. 191-201. September 2007<br />

Suharno, HP. 1993. Ilmu Kepelatihan Olahraga. Bandung. PT. Karya Ilmu.<br />

Sukadiyanto. 2005. Penghantar Teori dan Metodelogi Melatih Fisik. Yogyakarta:<br />

PKO-FIK-UNY.<br />

Syaifudin, 1996. Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat Edisi II .Jakarta. EGC<br />

Kedokteran.<br />

Tangkudung, J. 2006. Profil Tinggi Badan, Berat badan dan Indeks Masa Tubuh<br />

Atlet Piala Thomas dan Uber. Jurnal IPTEK Olahraga. Vol. 8, no 3.<br />

Tohar. 1992. Olahraga Pilihan Bulutangkis. Departemen Pendidikan dan<br />

Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi: Jakarta: Proyek<br />

Pembinaan Tenaga Kependidikan.<br />

Valeo, T. 2009. Weight Trainning. [cited <strong>2011</strong> Juni 21]. Available from:<br />

http://www.brianmac.co.uk.<br />

Widana, K. 1983. Physiology of Trainning Sprinting. Perth: Departement of<br />

Human Movement and Recreation Studies University of Westrn Australia<br />

Widiastuti, P, <strong>2011</strong>. Apa Sih Nyeri Punggung itu. [cited <strong>2011</strong> Februari 23]. Available<br />

at: wordpress.com/apa-sih-nyeri punggung itu.<br />

87


Lampiran VII. Daftar Nama Subjek Penelitian.<br />

Subjek<br />

Pelatihan Menarik Katrol beban 5<br />

kg, 12 repetisi, 3 set<br />

Kelompok 1<br />

1 IWAN IMEA<br />

2 IPAU NW<br />

3 AYS PPJP<br />

4 AAP MNI<br />

5 IGAABP ISN<br />

6 IKBP IKSR<br />

7 IPBDD IMS<br />

8 IKBS IMS<br />

9 IKDW IKS<br />

10 DS PMTJ<br />

11 DAY MYSN<br />

12 IGEPA IGSWD<br />

13 IPED PW<br />

14 IMEP SB<br />

Pelatihan Menarik Katrol<br />

beban 5 kg, 9 repetisi, 4 set<br />

Kelompok 2<br />

88


Lampiran VIII. Karakteristik umur (th), Berat badan (kg), Tinggi badan (cm)<br />

Subjek Penelitian<br />

Subjek Pelatihan menarik katrol beban 5 Pelatihan menarik katrol beban 5<br />

kg, 12 repetisi, 3 set<br />

kg, 9 repetisi, 4 set<br />

umur TB BB Umur TB BB<br />

1 15,98 171 81 16,25 168 57<br />

2 15,91 165 50 16,75 166 46<br />

3 16,41 164 45 16,00 178 64<br />

4 15,83 158 41 15,58 166 51<br />

5 16,16 180 82 16,66 167 48<br />

6 16,41 176 69 16,5 153 41<br />

7 16,25 169 69 16,33 165 58<br />

8 16,25 162 46 15,66 169 51<br />

9 16,25 169 48 16,08 174 63<br />

10 16,83 174 66 16,00 172 62<br />

11 16,41 162 45 16,58 156 45<br />

12 16,16 167 54 15,5 176 76<br />

13 16,41 173 51 15,66 156 49<br />

14 15,66 165 56 16,16 155 59<br />

Keterangan<br />

Th : Tahun (terhitung Mei <strong>2011</strong>)<br />

TB : Tinggi badan dalam satuan centimeter<br />

Kg : Kilogram<br />

BB : Berat badan dalam satuan kilogram<br />

Cm : Centimeter<br />

89


Lampiran IX. Karakteristik IMT (kg/m), dan Kebugaran Fisik (menit) Subjek<br />

Penelitian<br />

Pelatihan menarik katrol beban 5 Pelatihan menarik katrol beban 5<br />

Subjek kg, 12 repetisi, 3 set<br />

kg, 9 repetisi, 4 set<br />

IMT KF IMT KF<br />

1 27,86 12,22 22,69 12,21<br />

2 18,90 11,55 17,31 10,10<br />

3 17,14 10,30 21,15 10,30<br />

4 17,29 13,03 19,20 11,11<br />

5 25,03 14,14 17,96 12,21<br />

6 23,06 11,43 18,14 10,57<br />

7 25,51 10,35 21,96 13,50<br />

8 17,74 11,23 18,86 13,15<br />

9 17,75 11,45 21,29 13,12<br />

10 22,31 14,56 21,20 12,55<br />

11 17,36 11,00 19,23 10,28<br />

12 20,20 12,20 25,40 14,14<br />

13 17,34 12,20 20,94 11,11<br />

14 21,21 13,35 25,37 12,40<br />

Keterangan<br />

IMT : Indeks Masa Tubuh (satuan meter<br />

KF : Kondisi Fisik (satuan menit)<br />

90


Lampiran X. Keadaan Lingkungan Selama Pelatihan<br />

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN<br />

NO TANGGAL SUHU (C) KELEMBABAN (%)<br />

1. 18-4-<strong>2011</strong> 25,0 79<br />

2. 20-4-<strong>2011</strong> 24,9 67<br />

3. 22-4-<strong>2011</strong> 25,5 66<br />

4. 25-4-<strong>2011</strong> 26,9 67<br />

5. 27-4-<strong>2011</strong> 26,5 65<br />

6. 29-4-<strong>2011</strong> 24,7 68<br />

7. 02-5-<strong>2011</strong> 26,3 70<br />

8. 04-5-<strong>2011</strong> 24.3 67<br />

9 06-5-<strong>2011</strong> 27,4 68<br />

10. 09-5-<strong>2011</strong> 24,8 73<br />

11. 11-5-<strong>2011</strong> 26.6 79<br />

12. 13-5-<strong>2011</strong> 25,5 65<br />

13. 16-5-<strong>2011</strong> 26,3 70<br />

14. 18-5-<strong>2011</strong> 28,4 67<br />

15. 20-5-<strong>2011</strong> 27,6 73<br />

16. 23-5-<strong>2011</strong> 25,7 67<br />

17. 25-5-<strong>2011</strong> 24,8 66<br />

18. 27-5-<strong>2011</strong> 24,8 79<br />

Keterangan<br />

C : Celcius<br />

91


Lampiran XII. Data Tes<br />

Data tes awal dan Tes akhir (meter) Daya ledak Subjek penelitian<br />

Pelatihan menarik katrol beban 5 Pelatihan menarik katrol beban 5<br />

Subjek kg, 12 repetisi, 3 set<br />

kg, 9 repetisi, 4 set<br />

Tes Awal Tes akhir Tes Awal Tes Akhir<br />

1 31,80 37,70 29,90 34,52<br />

2 29,60 33,15 27,80 30,98<br />

3 29,80 35,50 32,70 35,70<br />

4 25,60 30,50 22,60 26,87<br />

5 26,00 30,15 31,10 32,20<br />

6 40,00 45,00 26,20 27,78<br />

7 30,00 38,70 35,50 36,50<br />

8 24,00 34,40 35,50 36,80<br />

9 23,50 26,60 34,70 36,11<br />

10 37,60 44,81 30,20 32,76<br />

11 25,80 32,25 24,50 25,50<br />

12 24,40 32,20 34,00 35,43<br />

13 28,60 35,55 25,20 26,77<br />

14 37,20 44,60 24,40 27,34<br />

Keterangan<br />

Tes awal : melakukan pengukuran sebelum pelatihan<br />

Tes akhir : melakukan pengukuran setelah pelatihan<br />

92


Lampiran XIII<br />

Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Daya Ledak Otot Lengan Sebelum<br />

Daya ledak otot<br />

lengan<br />

dan Sesudah Pelatihan siswa SMK-1 Denpasar<br />

p Uji Normalitas (Saphiro Wilk) p Uji<br />

Kelompok 1 Kelompok 2<br />

Homogenitas<br />

(Levene Test)<br />

Sebelum pelatihan 0,092 0,273 0,714<br />

Sesudah pelatihan 0,338 0,068 0,385<br />

93


Lampiran XIV<br />

Hasil Uji Beda Rerata Daya Ledak Otot Lengan antar kelompok Pelatihan<br />

Daya ledak Otot<br />

Lengan<br />

siswa SMK-1 Denpasar<br />

Dengan menggunakan uji t tidak berpasangan<br />

N KLP-1<br />

Rerata ± SB<br />

KLP-2<br />

Rerata ± SB<br />

t p<br />

Sebelum pelatihan 14 29,56 ± 5,37 29,52 ± 4,40 0,023 0,982<br />

Setelah pelatihan 14 35,79 ± 5,78 31,80 ± 4,19 2,090 0,048<br />

94


Lampiran XV<br />

Kelompok<br />

Hasil Uji Beda Rerata Daya ledak otot lengan Sebelum dan Sesudah<br />

perkelompok Pelatihan siswa SMK-1 Denpasar<br />

Dengan menggunakan uji t berpasangan<br />

Daya Ledak otot lengan<br />

Sebelum<br />

pelatihan<br />

Rerata ± SB<br />

Sesudah<br />

pelatihan<br />

Rerata ± SB<br />

Beda t p<br />

Kelompok 1 29,59 ± 5,37 35,79 ± 5,78 6,23 -11,454 0,000<br />

Kelompok 2 29,52 ± 4,40 31,80 ± 4,19 1,24 -7,337 0,000<br />

95


1. Karakteristik fisik siswa SMK N 1 Denpasar<br />

KELOMPOK 1<br />

Descriptive Statistics<br />

N Range Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation Variance<br />

BERAT 14 41,00 41,00 82,00 803,00 57,3571 13,6134 185,324<br />

TINGGI 14 22,00 158,00 180,00 2355,00 168,2143 6,1165 37,412<br />

UMUR 14 1,17 15,66 16,83 226,92 16,2085 ,2966 ,8800E-02<br />

IMT 14 10,72 17,14 27,86 288,70 20,6214 3,6075 13,014<br />

KF 14 4,26 10,30 14,56 169,01 12,0721 1,3041 1,701<br />

Valid N<br />

(listwise)<br />

14<br />

KELOMPOK 2<br />

Descriptive Statistics<br />

N Range Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation Variance<br />

BERAT 14 35,00 41,00 76,00 770,00 55,0000 9,4381 89,077<br />

TINGGI 14 25,00 153,00 178,00 2321,00 165,7857 8,0783 65,258<br />

UMUR 14 1,25 15,50 16,75 225,71 16,1221 ,4148 ,172<br />

IMT 14 8,09 17,31 25,40 290,70 20,7643 2,5358 6,431<br />

KF 14 4,04 10,10 14,14 166,75 11,9107 1,3282 1,764<br />

Valid N<br />

(listwise)<br />

14<br />

2. Karakteristik Suhu dan Kelembaban Relatif Udara Lingkungan Pelatihan<br />

Descriptive Statistics<br />

N Range Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation Variance<br />

SUHU 18 4,10 24,30 28,40 466,00 25,8889 1,1722 1,374<br />

KELEMBABAN 18 14,00 65,00 79,00 1256,00 69,7778 4,8210 23,242<br />

Valid N<br />

(listwise)<br />

18<br />

96


3. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Daya ledak Otot Lengan<br />

Sebelum dan Sesudah Pelatihan<br />

Tests of Normality<br />

Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk<br />

KLP Statistic Df Sig. Statistic df Sig.<br />

PRE 1,00 ,182 14 ,200 ,892 14 ,092<br />

2,00 ,132 14 ,200 ,917 14 ,273<br />

POS 1,00 ,160 14 ,200 ,926 14 ,338<br />

2,00 ,189 14 ,191 ,882 14 ,068<br />

* This is a lower bound of the true significance.<br />

a Lilliefors Significance Correction<br />

Test of Homogeneity of Variance<br />

Levene<br />

Statistic<br />

df1 df2 Sig.<br />

PRE Based on Mean ,137 1 26 ,714<br />

Based on Median ,168 1 26 ,685<br />

Based on Median<br />

and with adjusted df<br />

Based on trimmed<br />

mean<br />

,168 1 22,788 ,686<br />

,144 1 26 ,708<br />

POS Based on Mean ,780 1 26 ,385<br />

Based on Median ,636 1 26 ,432<br />

Based on Median<br />

and with adjusted df<br />

Based on trimmed<br />

mean<br />

,636 1 20,661 ,434<br />

,793 1 26 ,381<br />

97


4. Hasil Uji Beda Rerata Dayaledak Otot Lengan Sebelum dan Sesudah<br />

Pelatihan Antar Kedua Kelompok Pelatihan<br />

Independent Samples Test<br />

Levene's Test<br />

for Equality of<br />

Variances<br />

t-test for<br />

Equality of<br />

Means<br />

Equal<br />

variances<br />

assumed<br />

98<br />

PRE POS<br />

Equal<br />

variances<br />

not assumed<br />

Equal<br />

variances<br />

assumed<br />

F ,137 ,780<br />

Equal<br />

variances not<br />

assumed<br />

Sig. ,714 ,385<br />

t ,023 ,023 2,090 2,090<br />

df 26 25,039 26 23,711<br />

Sig. (2-tailed) ,982 ,982 ,047 ,048<br />

Mean<br />

Difference<br />

4,286E-02 4,286E-02 3,9893 3,9893<br />

Std. Error<br />

Difference<br />

1,8562 1,8562 1,9089 1,9089<br />

95% Lower -3,7726 -3,7797 6,551E-02 4,698E-02<br />

Confidence Upper<br />

Interval of the<br />

Difference<br />

3,8583 3,8655 7,9131 7,9316<br />

5. Hasil Uji Beda Rerata Power Otot Lengan Sebelum dan Sesudah<br />

Pelatihan<br />

Paired Samples Test<br />

Pair 1 Pair 2<br />

PRE1 - POS1 PRE2 - POS2<br />

Paired Differences Mean -6,2293 -2,2829<br />

Std. Deviation 2,0349 1,1642<br />

Std. Error Mean ,5438 ,3112<br />

95% Confidence Interval of<br />

the Difference<br />

Lower<br />

Upper<br />

-7,4042<br />

-5,0544<br />

-2,9551<br />

-1,6106<br />

t -11,454 -7,337<br />

df 13 13<br />

Sig. (2-tailed) ,000 ,000


Levene's Test for Equality of<br />

Variances<br />

6. Hasil Uji t-independen gain score daya ledak Otot Lengan kelompok 1 dan<br />

kelompok 2<br />

Independent Samples Test<br />

Daya ledak<br />

Equal variances assumed<br />

F 3.403<br />

Sig. .076<br />

99<br />

Equal variances<br />

not assumed<br />

t-test for Equality of Means t 6.299 6.299<br />

df 26 20.688<br />

Sig. (2-tailed) .000 .000<br />

Mean Difference 3.94643 3.94643<br />

Std. Error Difference .62656 .62656<br />

95% Confidence Interval of the<br />

Difference<br />

Lower 2.65852 2.64223<br />

Upper 5.23434 5.25063


Gambar 1. ALAT METRONUM<br />

Gambar 2. ALAT PELATIHAN MENARIK KATROL BEBAN 5 KG<br />

100


GAMBAR 3. PENGUKURAN TINGGI BADAN DAN ALAT BERAT BADAN<br />

GAMBAR 4. SUBJEK MELAKUKAN PEMANASAN<br />

101


GAMBAR 5. SUBJEK MELAKUKAN TES 2,4 KM<br />

GAMBAR 6. MELAKUKAN TES DAYA LEDAK OTOT<br />

LENGANMELEMPAR BOLA SOFTBALL<br />

102


GAMBAR 7. MELAKUKAN TES DAYA LEDAK OTOT LENGAN<br />

MELEMPAR BOLA SOFTBALL<br />

GAMBAR 8.MELAKUKAN TES DAYA LEDAK OTOT LENGAN GERAKAN<br />

LANJUTAN MELEMPAR BOLA SOFTBALL<br />

103


GAMBAR 9. SUBJEK MELAKUKAN PELATIHAN MENARIK KATROL<br />

GAMBAR 10. SUBJEK MELAKUKAN PELATIHAN MENARIK KATROL<br />

104


GAMBAR 11. SUBJEK MELAKUKAN PELATIHAN MENARIK KATROL<br />

GAMBAR 12. SUBJEK MELAKUKAN PELATIHAN MENARIK KATROL<br />

105


Kategori<br />

(Skor)<br />

Tabel 2.1. Norma Penilaian Tes Lari 2,4 km (Coper)<br />

13-19 tahun<br />

menit, detik<br />

20-29 tahun<br />

menit, detik<br />

30-39 tahun<br />

menit, detik<br />

Umur<br />

40-49 tahun<br />

menit, detik<br />

50-59 tahun<br />

menit, detik<br />

106<br />

60 tahun<br />

menit, detik<br />

Pria Kurang >15'13" >16'01" >16'31" >17'31" >19'01" >20'01"<br />

wanita sekali (1) >18'21" >19'01" >19'31" >20'01" >21'31" >21'01<br />

Pria<br />

12'11"-15'30" 14'01"-16'00" 14'44"-16'30" 15'36"-17'30" 17'01"-19'00" 19'01"-20'00"<br />

Kurang (2)<br />

wanita 16'55"-18'30" 18'31"-19'00" 19'01"-19'30" 19'31"-20'00" 20'01"-20'30" 20'31"-21'00"<br />

Pria<br />

10'49"-12'10" 12'01"-14'00" 12'31"-14'45" 13'01"-15'35" 14'31"-17'00" 16'16"-19'00"<br />

Sedang (3)<br />

wanita 11'31"-16'54" 15'55"-18'00" 16'31"-19'00" 17'31"-19'30" 19'0"-20’00" 19'31"-20'30"<br />

Pria<br />

09'41"-10'48" 10'46"-12'00" 11'01"-12'30" 11'31"-13'00" 13'31"-14'30" 14'00"-16'16"<br />

Baik (4)<br />

wanita 12'30"-14'30" 13'31"-15'54" 14'31"-16'30" 15'56"-17'30" 16'31"-19'00" 17'31"-19'30"<br />

Pria Baik Sekali 08'37"-09'40" 09'45"-10'45" 10'00"-11'00" 10'30"-11'30" 11'00"-12'30" 11'15"-13'59"<br />

wanita (5) 11'50"-12'29" 12'30"-13'30" 13'00"-14'30" 13'45"-15'55" 14'30"-16'30" 16'30"-17'30"<br />

Pria Baik Sekali &


Yang bertanda tangan di bawah:<br />

SURAT PERTANYAAN<br />

Nama : Luh Putu Tuti Ariani<br />

NIM : 0990361020<br />

Program Studi : Program Magister Fisiologi Keolahragaan<br />

Instansi Asal : <strong>Universitas</strong> Negeri Singaraja<br />

Tempat dan tanggal lahir : Singaraja, 14 Desember 1978<br />

Alamat : Jln. Gunung Tangkuban Perahu 36 Padangsambian<br />

Telpon/Hp : 08179740973<br />

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tidak menjiplak setengah atau sepenuhnya<br />

<strong>tesis</strong> orang lain.<br />

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan<br />

sebagaimana mestinya, dan apabila ada kemudian hari ternyata tidak benar maka<br />

saya bersedia dituntut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.<br />

107<br />

Denpasar, 28 Juli <strong>2011</strong><br />

Hormat Saya,<br />

Luh Putu Tuti Ariani<br />

NIM. 0990361020


108

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!