tesis 2011 - Universitas Udayana
tesis 2011 - Universitas Udayana
tesis 2011 - Universitas Udayana
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
1.1 Latar Belakang<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
Sebuah bangsa dapat berdiri tegak di antara bangsa-bangsa lain di dunia,<br />
salah satunya dengan pencapaian prestasi yang tinggi di bidang olahraga. Prestasi<br />
olahraga memiliki nilai yang sangat tinggi bagi suatu bangsa. Prestasi olahraga di<br />
Indonesia secara makro sekarang ini belum menunjukkan perkembangan yang<br />
menggembirakan apabila dilihat dari segi peringkat, perolehan medali pada<br />
kegiatan-kegiatan seperti: Sea Games, Asean Games, dan Olimpiade serta pada<br />
kejuaraan-kejuaraan dunia untuk masing-masing cabang olahraga prestasinya perlu<br />
ditingkatkan. Prestasi olahraga Indonesia dapat berjaya kembali di Asean dan mulai<br />
bicara di Asia melalui kerja keras selama 8 hingga 12 tahun lagi (Paulus, 2000).<br />
Pemerintah Indonesia selalu menggaungkan semboyan memasyarakatkan olahraga<br />
atau mengolahragakan masyarakat dengan tujuan untuk melakukan aktivitas<br />
bergerak badan (Nala, 1992).<br />
Olahraga merupakan suatu aktivitas yang banyak dilakukan oleh<br />
masyarakat, keberadaannya sekarang ini tidak lagi dipandang sebelah mata tetapi<br />
sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, sebab olahraga dewasa ini sudah<br />
dikenal oleh masyarakat baik orang tua, remaja, maupun anak-anak. Hal ini terbukti<br />
pada hari-hari libur di lapangan-lapangan serta tempat–tempat lainnya yang<br />
memungkinkan untuk melakukan kegiatan olahraga.<br />
1
Olahraga berdasarkan sifat dan tujuannya dapat dibagi menjadi olahraga<br />
prestasi, olahraga pendidikan, serta olahraga kesehatan (Kanca, 2006). Bentuk<br />
pelaksanaan latihan olahraga yang dilakukan berbeda-beda disesuaikan dengan<br />
tujuan yang ingin dicapai.<br />
Olahraga prestasi merupakan olahraga yang lebih menekankan pada<br />
peningkatan prestasi seorang atlet pada cabang olahraga tertentu. Sejak delapan<br />
tahun yang lalu, pada tahun 2002, Piala Thomas dan Piala Uber tak pernah lagi<br />
digenggam Indonesia. Kemampuan atlet Indonesia pun tampak jauh ketinggalan<br />
dibanding pemain negara lain. Padahal dulu jawara di bidang olahraga ini,<br />
mengalahkan raksasa bulu tangkis seperti Cina atau Malaysia. Indonesia pernah<br />
juara Thomas 13 kali. Kejayaan ini seolah tanpa bekas. Keterpurukan ini dibuktikan<br />
dengan perolehan peringkat Taufik Hidayat dan ganda Markis kido/Hendra<br />
peringkat 10 besar (BWF, <strong>2011</strong>). Dengan terjadinya kemerosotan ini pembenahan<br />
yang paling krusial dirombak adalah sistem pembinaan atlet (Tangkudung, 2006).<br />
Prestasi olahraga dihasilkan melalui program pembinaan dan<br />
pengembangan secara bertahap dan berkesinambungan, peranan ilmu pengetahuan<br />
dan teknologi, sumber daya manusia dan sumber daya alam mempengaruhi<br />
pencapaian prestasi. Dalam suatu pelatihan pencapaian prestasi secara maksimal<br />
tidak lepas dari aspek fisik, tehnik, taktik dan mental. Menurut Bompa (2000),<br />
faktor-faktor dasar latihan yaitu meliputi persiapan fisik, tehnik, taktik dan<br />
kejiwaan (psikologi). Disamping itu juga komponen penting yang menentukan<br />
keberhasilan seorang atlet untuk berprestasi adalah kesegaran jasmani. Tanpa<br />
kesegaran jasmani yang prima atlet tidak akan berhasil memperoleh prestasi<br />
2
walaupun memiliki keterampilan tehnik dan taktik yang baik. Kenyataan<br />
menunjukkan bahwa kesegaran jasmani yang baik berhubungan dengan prestasi<br />
olahraga. Latihan fisik dalam rangka memperbaiki dan mengembangkan kesegaran<br />
jasmani merupakan jawaban yang tepat untuk menghadapi keadaan darurat dan<br />
tekanan-tekanan yang datang mendadak dalam kehidupan (Setijono, 2001). Proses<br />
pelatihan fisik yang terprogram dengan baik sehingga faktor-faktor tersebut dapat<br />
dikuasai. Bompa (1999) menyatakan bahwa pelatihan merupakan sebuah aktivitas<br />
olahraga yang sistematik dalam waktu lama yang ditingkatkan secara progresif dan<br />
individual, yang mana mengarah kepada ciri-ciri fisiologis dan psikologis manusia<br />
untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Program pelatihan sebaiknya<br />
direncanakan dengan baik dan sempurna. Menurut Harsono (1988), program latihan<br />
kondisi fisik haruslah direncanakan secara baik dan sistematis yang bertujuan<br />
untuk meningkatkan kebugaran fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh<br />
sehingga memungkinkan atlet mencapai prestasi yang lebih baik. Aktivitas yang<br />
teratur memantapkan fungsi sistem kekebalan, sedangkan aktivitas marathon yang<br />
melelahkan bersifat menekan kekebalan sehingga aktivitas yang teratur memiliki<br />
kontribusi terhadap kesehatan (Sharkey, 2003).<br />
Permainan bulutangkis sarat dengan berbagai kemampuan dan keterampilan<br />
gerak yang kompleks. Sepintas lalu dapat diamati bahwa pemain harus melakukan<br />
gerakan-gerakan seperti lari cepat, berhenti dengan tiba-tiba dan segera bergerak<br />
lagi, gerak meloncat, menjangkau, memutar badan dengan cepat, melakukan<br />
langkah lebar tanpa pernah kehilangan keseimbangan tubuh sehingga aspek kondisi<br />
fisik dapat memegang peranan penting untuk permainan bulutangkis yang<br />
3
membutuhkan kualitas kekuatan, daya tahan, kelentukan, kecepatan, kelincahan,<br />
dan koordinasi gerak yang baik. Aspek-aspek tersebut sangat dibutuhkan agar<br />
individu mampu bergerak dan bereaksi untuk menjelajahi setiap sudut lapangan<br />
selama permainan. Karena itu, pebulutangkis sangat penting memiliki derajat<br />
kondisi fisik prima. Berdasarkan hal tersebut salah satu komponen biomotorik<br />
dalam permainan bulutangkis tidak lepas dari daya ledak otot lengan karena<br />
melibatkan pukulan-pukulan di atas untuk menghasilkan pukulan yang keras,<br />
dibutuhkan tenaga yang maksimal, yang bersumber dari kekuatan otot-otot bagian<br />
tubuh, yang melibatkan segmen-segmen otot lengan dalam suatu rangkain gerakan<br />
memukul yang utuh.<br />
Daya ledak merupakan kemampuan otot untuk mengerahkan kekuatan<br />
maksimal dalam waktu yang sangat cepat. Menurut Harsono (1988), cabang-cabang<br />
olahraga yang gerakannya didominasi gerakan meloncat seperti dalam bola voli,<br />
bulutangkis serta olahraga sejenisnya. Setiap individu yang memiliki daya ledak<br />
seyogyanya memiliki derajat kekuatan otot, derajat kecepatan, dan derajat<br />
keterampilan yang tinggi dalam keterampilan. Bentuk pelatihan daya ledak ditandai<br />
adanya gerakan atau perubahan tiba-tiba yang cepat, seperti tubuh terdorong ke<br />
atas, terdorong ke depan, atau melempar, memukul atau menyemes bola serta<br />
menendang (Nala, 2002). Dalam kenyataan di lapangan atau sering ditemukan di<br />
tempat pelatihan yang sering dilakukan seperti push up, angkat barbell dengan<br />
gerakan naik turun dengan arah vertikal serta pelatihan weight trainning seperti<br />
incline press, standing press up righ row, triceps extension, revers curl,bench press<br />
kebanyakan pelaksanaan dilakukan dalam posisi duduk, berbaring, padahal dalam<br />
4
permainan bulutangkis dilakukan posisi berdiri. Tipe pelatihan hendaknya<br />
menyerupai gerakan memukul atas (overhead) pada olahraga bulutangkis sehingga<br />
komponen biomotorik yang dilatih (spesifikasinya) tepat sasaran yaitu<br />
meningkatkan daya ledak otot lengan. Tetapi akibat yang ditimbulkan otot lengan<br />
semakin besar dan kuat sehingga hasilnya otot lengan yg besar bukan untuk<br />
melakukan pukulan yg cepat dan tepat tetapi untuk mengangkat barang atau hanya<br />
untuk sekedar keindahan. Sinkronisasi unit motorik, kelompok otot antagonis dan<br />
sinergis pada lengan bahu dan dada serta kelompok tubuh lainnya belum terbina<br />
(Nala, 2002), sehingga perlu dikembangkan tipe pelatihan yang posisinya<br />
disesuaikan dengan karakteristik permainan bulutangkis pada saat melakukan<br />
pukulan atas (overhead).<br />
Berdasarkan dari kenyataan di atas timbul keinginan untuk mengadakan<br />
penelitian yang berkaitan dengan meningkatkan daya ledak otot lengan khusus bagi<br />
pemain bulutangkis melalui pelatihan menarik katrol beban yang posisi gerakannya<br />
mirip dalam keadaan memukul overhead pada pukulan bulutangkis. Pelatihan<br />
menarik beban berulang-ulang dengan sikap dan arah gerakan lengan seperti sikap<br />
menyemes bola sesungguhnya merupakan cara yang tepat untuk melatih kekuatan<br />
otot lengan (Nala, 2002). Pukulan smash dalam bulutangkis merupakan bagian dari<br />
pukulan atas (overhead). Bentuk pelatihan menarik katrol merupakan salah satu<br />
bentuk pelatihan beban dengan memberikan tahanan eksternal, berupa karung pasir<br />
berbeban yang ditarik dengan menggunakan katrol. Cara pelatihan dengan menarik<br />
lengan dari belakang, atas kepala setinggi jangkauan tangan dengan arah gerakan<br />
dari atas ke bawah, posisi tubuh berdiri.<br />
5
Untuk pelatihan menarik katrol melibatkan beberapa jenis otot. biseps braki,<br />
otot brakialis, otot karoko brakiali, otot pectoralis major, otot deltoid, otot supra<br />
spinatus, otot infra spinatus, otot teres major, otot muskulas triceps braki, muskulas<br />
ekstensor karpi radialis longus, muskulas ekstensor karpi radialis brevis, muskulas<br />
ekstensor karpi ulnaris, digitonum karpi radialis, muskulas ekstensor policis longus<br />
yang sesuai dengan pukulan overhead pada permainan bulutangkis (Syaifuddin,<br />
1996).<br />
Alat yang digunakan dirancang sesuai dengan posisi dan arah gerakan.<br />
Bentuk alat sederhana dapat dibuat sendiri, diharapkan dapat menghemat waktu dan<br />
biaya karena bisa dilakukan di rumah. Takaran pelatihan untuk meningkatkan daya<br />
ledak otot lengan dengan beban bervariasi, kontraksi cepat, dalam repetisi kalau<br />
kecepatan berkurang pengulangan dihentikan (Satriya, dkk., 2007). Repetisi<br />
merupakan bentuk pengulangan. Dalam teori takaran beban dalam pelatihan daya<br />
ledak 40%-80% dari kemampuan maksimal (Satriya, dkk., 2007), sedangkan<br />
repetisi 12-15 dan set 3-5 (Harsono, 1988). Pelatihan dengan frekuensi tiga kali<br />
seminggu sesuai untuk pemula yang akan menghasilkan peningkatan yang berarti<br />
(Fox, 1983). Pelatihan yang diterapkan pada penelitian ini menggunakan menarik<br />
katrol beban yang menekankan pada perbedaan jumlah repetisi dan set dengan<br />
beban yang sama. Pengulangan yang tinggi (Nala, 2002), akan menjadikan suatu<br />
pelatihan sangat efektif dan hal ini sangat baik dalam mengembangkan tipe serabut<br />
otot, terutama tipe otot putih yang sangat dibutuhkan dalam anggota gerak atas.<br />
Dari penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran dan hasil yang diperoleh<br />
mampu melakukan menarik beban dari belakang, atas kepala samping ke bawah<br />
6
sebanyak 12 repetisi dengan beban maksimal yang mampu ditarik duabelas kg.<br />
Hasil maksimal beban duabelas kg dari beban ini diambil 40 % dari kemampuan<br />
maksimal yaitu lima kg. Sedangkan repetisi dan set diperoleh antara 12-15 kali<br />
dengan tiga set, karena pelatihan ini diberikan kepada pemula sehingga takaran<br />
diambil dari yang terendah supaya semua sampel yang terpilih dapat melakukan<br />
pelatihan. Berdasarkan hasil ini diperoleh repetisi, set, dan beban dalam pelatihan<br />
menarik katrol dengan beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set, dan sembilan<br />
repetisi, empat set dalam meningkatkan daya ledak otot lengan yang jumlah<br />
totalnya tigapuluhenam kali.<br />
Penelitian dilakukan terhadap siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK<br />
dengan beberapa pertimbangan seperti siswa menguasai tehnik dasar bermain<br />
bulutangkis, ditinjau dari umurnya berada pada masa remaja (adolescence), dimana<br />
pada masa tersebut keterampilan secara maksimal dapat tercapai. Pertimbangan<br />
lainnya siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK kurang bermunculan dilihat dari<br />
prestasi tingkat PORJAR Denpasar sehingga perlu diberikan pelatihan menarik<br />
katrol beban yang digunakan untuk meningkatkan daya ledak otot lengan dengan<br />
beban yang sama tetapi set dan repetisi yang berbeda.<br />
1.2 Rumusan masalah<br />
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang<br />
disampaikan sebagai berikut:<br />
1. Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, dan<br />
tiga set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu dapat<br />
7
meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler<br />
bulutangkis SMK-1?<br />
2. Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, dan<br />
empat set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu<br />
dapat meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler<br />
bulutangkis SMK-1?<br />
3. Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, dan<br />
tiga set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu lebih<br />
baik dari pada pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan<br />
repetisi, dan empat set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama<br />
enam minggu dalam meningkatkan daya ledak otot lengan<br />
ekstrakurikuler bulutangkis siswa SMK-1?<br />
1.3 Tujuan Penelitian<br />
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:<br />
1.3.1 Tujuan Umum<br />
Mendapatkan tipe pelatihan menarik katrol beban serta takaran pelatihan<br />
yang lebih baik dalam meningkatkan daya ledak otot lengan.<br />
1.3.2 Tujuan Khusus<br />
1. Untuk mengetahui peningkatan daya ledak otot lengan pada pelatihan<br />
menarik katrol beban lima kg, dengan duabelas repetisi, tiga set dalam<br />
meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler<br />
bulutangkis SMK-1.<br />
8
2. Untuk mengetahui peningkatan daya ledak otot lengan menarik katrol beban<br />
lima kg, dengan sembilan repetisi, empat set dalam meningkatkan daya<br />
ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.<br />
3. Untuk mengetahui bahwa pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan<br />
duabelas repetisi, tiga set lebih baik dibandingkan dengan pelatihan menarik<br />
katrol beban lima kg, dengan sembilan repetisi, empat set dalam<br />
meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler<br />
bulutangkis SMK-1.<br />
1.4 Manfaat Penelitian<br />
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:<br />
1. Memperoleh data empirik tentang tipe dan takaran pelatihan untuk<br />
meningkatkan daya ledak otot lengan demi perkembangan kasana ilmu<br />
pengetahuan di bidang olahraga.<br />
2. Sebagai pedoman bagi pelatih, guru dan pembina olahraga dalam upaya<br />
meningkatkan prestasi cabang olahraga khususnya yang memerlukan daya<br />
ledak otot lengan.<br />
9
2.1 Pelatihan Olahraga<br />
BAB II<br />
KAJIAN PUSTAKA<br />
Pelatihan adalah suatu proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja yang<br />
dilakukan secara berulang-ulang dengan kian hari meningkatkan jumlah beban<br />
latihan atau pekerjaan, dan salah satu yang paling penting dari latihan harus<br />
dilakukan secara berulang-ulang dan meningkatkan beban atau tahanan untuk<br />
meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot yang diperlukan untuk pekerjaannya<br />
(Hairy, Junusul, 1989). Pelatihan dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang<br />
(repetitive) dalam jangka waktu lama, dengan pembebanan yang meningkat secara<br />
progressive, memiliki tujuan untuk memperbaiki sistema serta fungsi fisiologi dan<br />
psikologi tubuh agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai<br />
penampilan yang optimal (Nala, 1998).<br />
Menurut Nossek (1982) pelatihan adalah suatu proses atau dinyatakan<br />
dengan kata lain periode waktu yang berlangsung selama beberapa tahun sampai<br />
atlet tersebut mencapai standar penampilan yang tertinggi. Nossek (1982)<br />
menyatakan pelatihan adalah suatu proses penyempurnaan olahraga yang diatur<br />
dengan prinsip-prinsip yang bersifat ilmiah, khususnya prinsip-prinsip paedagogis.<br />
Proses ini direncanakan dan sistematis, yang meningkatkan kesiapan untuk<br />
melakukan dan kepastian penampilan atlet.<br />
10
Pelatihan adalah sebuah aktivitas olahraga yang sistematik dalam waktu<br />
yang lama ditingkatkan secara progresif dan individual, yang mana mengarah<br />
kepada ciri-ciri fungsi fisiologis dan psikologis manusia untuk mencapai sasaran<br />
yang telah ditentukan (Bompa, 1999). Pelatihan juga merupakan aktivitas fisik<br />
yang dilakukan secara berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip<br />
pelatihan yang benar.<br />
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat beberapa kesamaan dalam<br />
mendefinisikan pelatihan antara lain:<br />
1. Aktivitas yang dilakukan secara sistematis.<br />
2. Bentuk suatu proses<br />
3. Dilaksanakan dengan waktu yang relatif lama.<br />
4. Berkesinambungan.<br />
5. Adanya pembebanan secara bertahap<br />
6. Untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga.<br />
Dengan demikian pengertian pelatihan dapat disimpulkan sebagai suatu proses<br />
penyempurnaan kemampuan olahraga, yang dilakukan secara sistematis dan<br />
berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelatihan yang benar,<br />
untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga.<br />
2.1.1 Tujuan Pelatihan<br />
Tujuan pelatihan dalam bidang olahraga adalah untuk memperbaiki<br />
kemampuan teknik (keterampilan) atau penampilan atlet sesuai dengan kebutuhan<br />
dalam bidang olahraga spesialisasi atau yang digeluti, dan bertujuan untuk<br />
meningkatkan kebugaran, jasmani dan menjaga kesehatan (Nala, 1998).<br />
11
Berdasarkan atas hal ini maka pelatihan ditujukan untuk meningkatkan<br />
pengembangan fisik baik menyeluruh maupun khusus perbaikan terhadap teknik,<br />
pematangan strategi, dan teknik permainan sesuai dengan kebutuhan cabang<br />
olahraga, menanamkan kemauan dan disiplin yang tinggi, pengoptimalan persiapan<br />
tim dan olahraga beregu, meningkatkan serta memelihara kebugaran jasmani dan<br />
kesehatan serta mencegah kemungkinan cedera.<br />
Menurut Bompa (1999), untuk mencapai tujuan dalam latihan, yaitu<br />
memperbaiki prestasi tingkat terampil maupun unjuk kerja dari atlet, diarahkan oleh<br />
pelatihnya untuk mencapai tujuan umum latihan. Adapun tujuan-tujuan latihan<br />
sebagai berikut:<br />
1. Untuk mencapai dan memperluas perkembangan fisik secara menyeluruh.<br />
2. Untuk menjamin dan memperbaiki perkembangan fisik khusus sebagai<br />
suatu kebutuhan yang telah ditentukan di dalam praktik olahraga.<br />
3. Untuk memoles atau menyempurnakan teknik olahraga yang dipilih.<br />
4. Memperbaiki dan menyempurnakan strategi yang penting yang dapat<br />
diperoleh dari belajar teknik lawan berikutnya.<br />
5. Menanamkan kualitas kemauan melalui latihan yang mencukupi serta<br />
disiplin untuk tingkah laku, ketekunan, dan keingginan untuk<br />
menanggulangi kerasnya latihan dan menjamin persiapan psikologis.<br />
6. Menjamin dan mengamankan persiapan tim secara optimal.<br />
7. Untuk mempertahankan keadaan sehat setiap atlet.<br />
12
8. Untuk mencegah cedera melalui pengamanan terhadap penyebabnya dan<br />
juga meningkatkan fleksibelitas di atas tingkat ketentuan untuk melakukan<br />
gerakan yang penting.<br />
9. Untuk menambah pengetahuan seorang atlet dengan sejumlah pengetahuan<br />
teoritis yang berkaitan dengan dasar-dasar fisiologis dan psikologis latihan,<br />
pencernaan gizi, dan regenerasi.<br />
Beberapa kesimpulan tersebut tidak menyarankan untuk dipakai secara kaku<br />
dalam upaya latihan yang dilakukan, hal tersebut harus disesuaikan dengan ciri-ciri<br />
khusus pada kecabangan olahraga yang dilakukan dan juga memperhatikan kondisi<br />
atlet itu sendiri. Pendekatan yang perlu mendapat perhatian untuk mencapai tujuan<br />
pelatihan utama adalah mengembangkan dasar-dasar latihan secara fungsional<br />
yang diarahkan untuk mencapai tujuan khusus sesuai dengan kebutuhan cabang<br />
olahraga itu sendiri. Pada cabang olahraga bulutangkis kebutuhan yang digunakan<br />
kekuatan, kecepatan, dayatahan disesuaikan dengan kebutuhan cabang olahraganya.<br />
Jenis Pelatihan menarik katrol berbeban merupakan salah satu tipe pelatihan yang<br />
digunakan dalam penelitian ini. Menurut Nala (2002) cara pelatihan yang paling<br />
tepat untuk melatih kekuatan otot agar smesannya kuat atau pukulannya keras yang<br />
dilakukan dengan pelatihan menarik beban berulang-ulang dengan sikap dan arah<br />
gerakan lengan seperti melakukan smash atau melakukan pukulan overhead.<br />
Apabila diberi pelatihan, efek pada otot terjadi pada unit motorik (saraf dan otot),<br />
ko-kontraksi otot antagonis, sinkronisasi. Adaptasi neural akan meningkatkan<br />
kekuatan dan meningkatkan koordinasi.<br />
2.1.2 Prinsip-Prinsip Pelatihan<br />
13
Pelatihan yang modern harus direncanakan secara berhati-hati. Sebuah<br />
rancangan pelatihan mencakup semua tindakan yang diperlukan untuk mencapai<br />
sasaran-sasaran latihan (Nossek, 1982). Tujuan pelatihan yang telah dijelaskan akan<br />
memberikan arah dari suatu pelatihan olahraga, dan untuk mencapai tujuan tersebut<br />
secara maksimal, suatu pelatihan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip<br />
dasar pelatihan. Adapun prinsip-prinsip pelatihan adalah:<br />
a. Prinsip Pelatihan beraturan (the principle of arrange ment of exercise).<br />
Dalam setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus<br />
dilakukan yaitu; pemanasan, latihan inti serta pendinginan. Latihan<br />
hendaknya dimulai dari kelompok otot besar, kemudian dilanjutkan pada<br />
kelompok otot kecil (Fox, dkk., 1993). Pemanasan bertujuan menyiapkan<br />
kondisi fisik dan psikis sebelum latihan atau pertandingan/ perlombaan.<br />
Pemanasan juga bertujuan meningkatkan suhu tubuh dan aliran darah pada<br />
otot sekelet yang aktif (Nala, 1998). Dalam pelaksanaannya pemanasan<br />
tidak harus selalu lama dilakukan, pemanasan yang berkisar lima sampai<br />
limabelas menit sudah cukup untuk membuat tubuh berkeringat dan<br />
bernafas dalam, sebagai tanda metabolisme meningkat dan tubuh siap untuk<br />
mengikuti latihan berikutrnya. Selanjutnya latihan inti, gerakan inti olahraga<br />
merupakan gerakan atau aktivitas yang pokok dalam suatu pelatihan atau<br />
kecabangan olahraga. Kegiatan ini merupakan utama untuk mencapai tujuan<br />
dari pelatihan. Pendinginan bertujuan untuk mengembalikan kondisi fisik<br />
dan psikis pada keadaan semula. Pendinginan dilakukan setelah aktivitas<br />
fisik atau pelatihan selesai dilaksanakan. Pendinginan akan bermanfaat<br />
14
untuk pulih asal (recovery) setelah aktivitas fisik yang berat. Latihan-latihan<br />
pendinginan mengikuti urutan yang sebaliknya dari urutan latihan<br />
pemanasan (yaitu latihan aerobik ringan, kalistenik dinamis, dan peregangan<br />
statis) (Giam dan Teh, 1993). Lamanya pendinginan tergantung pada tingkat<br />
kelelahan yang diperoleh dari latihan inti atau tergantung pada cepatnya<br />
asam laktat dirubah, lama pendinginan bisa dari 10 sampai 30 menit.<br />
b. Prinsip Kekhususan (the principle of speciafity).<br />
Adalah latihan untuk cabang olahraga mengarah pada perubahan<br />
morphologis dan fungsional yang berkaitan dengan kekhususan cabang<br />
olahraga tersebut (Bompa, 1999). Untuk itu, sebagai bahan pertimbangan<br />
dalam menerapkan prinsip kekhususan, antara lain ditentukan oleh:(a)<br />
spesifikasi kebutuhan energi, (b) spesifikasi bentuk dan model latihan, (c)<br />
spesifikasi ciri gerak dan kelompok otot yang digunakan, dan (d) waktu<br />
periodisasinya.<br />
c. Prinsip Individualisasi (the principle of individuality).<br />
Pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan atlet<br />
untuk mencapai hasil yang baik. Menurut Bompa (1999) faktor individu<br />
harus diperhatikan, karena pada dasarnya setiap individu mempunyai<br />
karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara psikologis.<br />
Sukadiyanto (2005) menjelaskan, hal yang harus diperhatikan dalam prinsip<br />
individualisasi adalah faktor keturunan, kematangan, status gizi, waktu<br />
istirahat dan tidur, tingkat kebugaran, pengaruh lingkungan, cidera, dan<br />
motivasi.<br />
15
d. Prinsip Beban Bertambah (the principle of progressive resistance).<br />
Adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan<br />
disesuaikan dengan kemampuan fisiologis dan psikologis setiap individu<br />
olahragawan. Pelatihan dengan penambahaan beban secara bertahap<br />
merupakan suatu keharusan, untuk mencapai hasil dari pelatihan tersebut.<br />
Menurut Bompa (1999) untuk menyiapkan fungsi dan reaksi sistem-sistem<br />
syaraf, koordinasi neuromuskular, dan kapasitas psikologi untuk<br />
menanggulangi stres peningkatan beban latihan, atlet membutuhkan waktu,<br />
dan pendapat Astrand (1986) bahwa; “Peningkatan kinerja olahragawan<br />
memerlukan latihan dan penyesuaian dalam waktu yang panjang, disamping<br />
itu peningkatan kemampuan organisme secara morphologis, fisiologis dan<br />
psikologis bergantung pada peningkatan beban latihan. Dalam pembebanan<br />
latihan, tuntutan ini adalah bahwa beban latihan harus berkelanjutan jika<br />
harus ditingkatkan secara regular (progressive overload). Dalam mendisain<br />
pelatihan overload, Bompa (1999) menyarankan untuk memakai the step<br />
type approach system atau sistem tangga yang tampak pada gambar 1.<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
Gambar 2.1 The Step Type Approach System ( Bompa, 1999).<br />
Setiap garis vertikal menunjukan perubahan (penambahan) beban,<br />
sedangkan garis horisontal adalah fase adaptasi terhadap beban yang baru.<br />
7<br />
8<br />
9<br />
PRESTASI<br />
10<br />
11<br />
16
Beban latihan tiga tangga (cycle) pertama ditingkatkan secara bertahap.<br />
Pada cycle ke empat beban diturunkan (ini adalah yang dimaksud unloading<br />
fase) yang maksudnya adalah untuk memberi kesempatan kepada organ-<br />
organ tubuh untuk melakukan regenerasi (Harsono, 1988). The step type<br />
approach atau sistem tangga berlaku untuk pelatihan olahraga yang<br />
bertujuan untuk prestasi maupun kesehatan.<br />
e. Prinsip Beban Berlebih (the overload principle).<br />
Pelatihan untuk komponen kebugaran membutuhkan berkali-kali<br />
kondisi-kondisi overload yang diikuti dengan kesempatan untuk istirahat<br />
untuk mendapatkan efek pelatihan (Rushall dan Pyke, 1992). Menurut<br />
Sukadiyanto (2005), beban latihan harus mencapai atau melampaui sedikit<br />
di atas batas ambang rangsang. Sebab beban yang terlalu berat akan<br />
mengakibatkan tidak mampu diadaptasi oleh tubuh, sedangkan bila terlalu<br />
ringan tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas, sehingga<br />
beban latihan harus memenuhi prinsip moderat. Untuk pembebanan<br />
dilakukan secara progresif dan diubah sesuai dengan tingkat perubahan<br />
yang terjadi pada olahragawan. Apabila tubuh sudah mampu mengatasi<br />
beban latihan yang diberikan, maka beban berikutnya harus ditingkatkan<br />
secara bertahap. Irianto (2002) mengatakan apabila tubuh ditantang dengan<br />
beban latihan maka terjadi proses penyesuaian. Penyesuaian tersebut tidak<br />
saja seperti pada kondisi awal namun secara bertahap mengarah pada<br />
tingkat yang lebih tinggi yang disebut overkompensasi. Overkompensasi<br />
(peningkatan prestasi) akan terjadi bila pembebanan yang diberikan pada<br />
17
latihan tepat di atas ambang rangsang (threshold), disertai dengan<br />
pemulihan (recovery).<br />
Menurut Martens dalam Sukadiyanto (2005) tingkat penambahan<br />
beban latihan berkaitan dengan tiga faktor, yaitu frekuensi, intensitas, dan<br />
durasi. Penambahan frekuensi dapat dilakukan dengan cara menambah sesi<br />
latihan. Untuk intensitas latihan dapat dengan cara meningkatkan kualitas<br />
pembebanan. Sedangkan durasi dapat dilakukan dengan cara menambah<br />
jam latihan atau bila jam latihan tetap dapat dengan cara memperpendek<br />
waktu recovery dan interval, sehingga kualitas latihan menjadi meningkat.<br />
f. Prinsip Beragam (variety principle).<br />
Latihan memerlukan proses panjang yang dilakukan berulang-ulang,<br />
hal ini sering menimbulkan kebosanan. Untuk mengatasi kebosanan pelatih<br />
menciptakan suasana yang menyenangkan serta membuat aneka macam<br />
bentuk latihan (Bompa, 1999).<br />
g. Prinsip Pulih Asal (revercible principle)<br />
Kualitas yang diperoleh dari latihan dapat menurun kembali apabila<br />
tidak melakukan latihan dalam waktu tertentu. Proses adaptasi yang terjadi<br />
sebagai hasil dari latihan akan menurun bahkan hilang bila tidak<br />
dipraktekkan dan dipelihara melalui latihan yang kontinyu. Dengan<br />
demikian latihan harus berkesinambungan.<br />
2.1.3 Volume Pelatihan<br />
Sebagai komponen utama latihan, volume adalah prasarat yang sangat<br />
penting untuk mendapatkan teknik yang tinggi, taktik dan khususnya pencapaian<br />
18
fisik. Volume latihan disebut juga jangka waktu yang dipakai selama sesion latihan,<br />
yang melibatkan beberapa bagian secara integral sebagai berikut: (1) waktu atau<br />
jangka waktu yang dipakai dalam pelatihan, (2) jarak atau jumlah tegangan yang<br />
dapat ditanggulangin atau diangkat per satuan waktu, (3) jumlah pengulangan<br />
bentuk latihan atau elemen teknik yang dilakukan dalam waktu tertentu. Jadi<br />
diperkirakan bahwa volume terdiri jumlah keseluruhan dari kegiatan yang<br />
dilakukan dalam latihan. Volume diartikan sebagai jumlah kerja yang dilakukan<br />
selama satu kali latihan atau selama fase latihan (Bompa, 1999).<br />
Menurut Nala (1998), bahwa volume latihan merupakan jumlah<br />
seluruh aktivitas yang dilakukan selama latihan. Sering secara tidak<br />
tepat, volume latihan ini disamakan dengan durasi atau lama latihan.<br />
Padahal durasi ini merupakan bagian dari volume latihan. Pada umumnya<br />
volume latihan ini terdiri atas:<br />
a. Durasi atau lama waktu pelatihan (dalam detik, menit, jam, hari, minggu<br />
atau bulan).<br />
b. Jarak tempuh (meter), berat beban (kilogram) atau jumlah angkatan<br />
dalam satuan waktu (berapa kilo-gram dapat diangkat dalam waktu satu<br />
menit).<br />
c. Jumlah repetisi, set atau penampilan unsur teknik dalam satu kesatuan waktu<br />
(berapa kali ulangan dapat dilakukan dalam waktu semenit). Penggunaan<br />
repetisi dan set ini amat penting dalam meningkatkan kemampuan komponen<br />
biomotorik. Volume ini juga menunjukkan jumlah kerja atau aktivitas yang<br />
dapat dilakukan selama phase latihan (Bompa, 1999).<br />
19
Sedangkan menurut Sukadiyanto (2005) adalah ukuran yang menunjukkan<br />
kuantitas (jumlah) suatu rangsangan atau pembebanan. Adapun dalam proses<br />
latihan yang digunakan untuk meningkatkan volume latihan dapat dilakukan<br />
dengan cara latihan itu: (1) diperberat, (2) diperlama, (3) dipercepat, atau (4)<br />
diperbanyak. Untuk itu dalam menentukan besarnya volume dapat dilakukan<br />
dengan cara menghitung: (a) jumlah bobot berat per sesi, (b) jumlah ulangan per<br />
sesi, (c) jumlah set per sesi, (d) jumlah pembebanan per sesi, (e) jumlah seri atau<br />
sirkuit per sesi, dan (f) lama-singkatnya pemberian waktu recovery dan interval.<br />
Dalam penelitian ini volume pelatihan terhadap beban dan repetisi ditentukan<br />
berdasarkan pengukuran sampel yang dilakukan pada penelitian pendahuluan. Hasil<br />
penelitian pendahuluan bahwa kemampuan menarik katrol berbeban dengan beban<br />
duabelas kg. Dari beban duabelas kg diambil 40% dari kemampuan maksimal<br />
(Satriya, dkk., 2007) yaitu lima kg. Beban yang diberikan dari terendah karena<br />
melibatkan anak pemula dalam penggunaan beban untuk daya ledak otot lengan.<br />
Untuk menentukan repetisi dan set dilakukan menarik katrol berbeban lima kg hasil<br />
yang diperoleh berkisar 12-15 kali dengan tiga set. Sehingga dalam penelitian daya<br />
ledak otot lengan dengan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi dan tiga<br />
set dengan istirahat lima menit yang ditentukan dari denyut nadi istirahat.<br />
2.1.4 Intensitas Pelatihan<br />
Intensitas pelatihan adalah dosis pelatihan yang harus dilakukan seseorang<br />
menurut program yang telah ditentukan (Sajoto, 1995). Intensitas merupakan salah<br />
satu komponen terpenting dari latihan. Intensitas menunjukan komponen kualitatif<br />
pada penampilan kerja dalam suatu periode. Menurut Bompa (1999) bahwa<br />
20
intensitas adalah fungsi dari kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan<br />
dalam latihan dan kekuatan rangsangan tergantung dari beban kecepatan<br />
gerakannya, variasi interval atau istirahat diantara tiap ulangannya. Intensitas<br />
adalah faktor terpenting dalam pengembangan maksimal pemasukan oksigen<br />
(VO2max), intensitas merefleksikan kebutuhan energi dan kalor energi yang<br />
dikeluarkan (Sherkey, 2003). Intensitas juga merupakan ukuran yang menunjukan<br />
kualitas suatu rangsangan atau pembebanan.<br />
Menurut Harsono (1988) tingkatan intensitas beban pelatihan yang<br />
dianjurkan untuk pelatihan kondisi fisik: rendah: 30-50%, ringan: 51-60%, sedang:<br />
61-75%, submaksimal: 76-85%, maksimal: 86-100% dan super maksimal: 100%.<br />
Sedangkan kondisi fisik untuk daya ledak (Satriya, dkk., 2007) pelatihan dengan<br />
tahanan beban yang digunakan 40-80% kemampuan maksimal, kontraksi cepat,<br />
repetisinya kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan karena dalam daya<br />
ledak ada kekuatan terdapat pula kecepatan (Harsono, 1988). Derajat intensitas<br />
dapat diukur berdasarkan kepada bentuk latihan yang dilakukan untuk pelatihan<br />
yang melibatkan kecepatan diukur dalam satuan meter/detik, atau intensitas untuk<br />
kekuatan diukur dengan satuan kg, sedangkan untuk jarak contohnya jauh dan<br />
tinggi diukur dalam satuan meter (Bompa, 1999).<br />
Dalam meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan kecepatan, pembebanannya<br />
submaksimal dengan lama waktu berkontraksi 7-10 detik. Pembebanan berkisar 60-<br />
90% dari kekuatan maksimal berdasarkan Oshea (1976). Sedangkan meningkatkan<br />
kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan, intensitas pembebanannya berskala ringan<br />
dan sedang dari kemampuan maksimal, demikian pula waktu rangsangan saraf dan<br />
21
kontraksi diperpendek (Jensen dan Fisher, 1983). Manfaat dari pemberian beban<br />
untuk melatih kecepatan atau kemampuan maksimal dapat dipertahankan karena<br />
penyediaan energi dari sistem phospagen berlangsung cepat atau dua kali lipat<br />
kecepatan dalam sistem asam laktat (Guyton dan Hall, 2007).<br />
2.1.5 Repetisi dan Set<br />
Repetisi adalah jumlah ulangan pada waktu pelatihan sedangkan set adalah<br />
suatu rangkaian kegiatan dari suatu repetisi. Menurut Widana (1983) mensitir<br />
pelatihan dari De Lorme dan Watkins, bahwa pelatihan meningkatkan kekuatan<br />
otot dapat terujud melaui program dengan menggunakan 1-3 repetisi untuk 3-4 set<br />
dengan menggunakan beban maksimum. Sedangkan pelatihan yang menggunakan<br />
daya tahan otot hendaknya menggunakan program 10-12 repetisi dan 3-4 set.<br />
Dalam Harsono (1988) untuk meningkatkan daya ledak menggunakan 12–15<br />
repetisi, 3-5 set. Menurut Oshea, (1976) dalam meningkatkan daya ledak antara<br />
repetisi 8-10 repetisi dan 3-4 set. Menurut Fox (1984) manfaat pengulangan yang<br />
tinggi untuk mengembangkan serabut otot tipe cepat yang sangat dibutuhkan dalam<br />
kecepatan.<br />
2.1.6 Densitas dan Frekuensi Pelatihan<br />
Suatu frekuensi dimana atlet dihadapkan pada sejumlah rangsangan per<br />
satuan waktu disebut densitas latihan. Jadi densitas latihan berkaitan dengan suatu<br />
hubungan yang dinyatakan dalam waktu kerja dan pemulihan latihan. Suatu<br />
densitas yang seimbang akan mengarah kepada pencapaian rasio optimal antara<br />
rangsangan latihan dan pemulihan (Bompa, 1999). Berdasarkan hal tersebut, padat<br />
atau tidaknya densitas ini sangat tergantung oleh lamanya pemberian waktu<br />
22
pemulihan yang diberikan. Semakin pendek waktu pemulihan maka densitas latihan<br />
makin tinggi, sebaliknya semakin lama waktu pemulihan maka densitas pelatihan<br />
semakin rendah (kurang padat). Menurut Harre (Bompa, 1999) untuk membangun<br />
komponen biomotorik dalam daya tahan otot misalnya densitas pelatihan yang<br />
optimal antara waktu kerja dan waktu istirahat perbandingannya berkisar antara<br />
1:½, atau 1:1. Sedangkan untuk rangsangan yang itensif, perbandingannya 1:3 atau<br />
1:6. Sehingga dalam melakukan aktivitas menyemes bola atau memukul shuttle<br />
terus menerus untuk meningkatkan daya tahan otot lengan dan otot bahu bagi<br />
pemain bulutangkis diperlukan selama satu menit maka waktu yang digunakan<br />
selama 3-6 menit ( selama 3 x 1 menit =3 menit sampai 6 x 1 menit= 6 menit).<br />
Setelah itu dilanjutkan kembali dengan gerakan menyemes atau memukul selama 1<br />
menit. Untuk komponen kekuatan kekuatan otot waktu istirahat selama 2-5 menit,<br />
bukan ½-1 menit. Lama istirahat untuk meningkatkan kekuatan tergantung pada<br />
berat ringannya beban, jumlah repetisi, banyak set dan kecepatan irama<br />
angkatannya. Bila beban ringan waktu istirahat cukup 2 menit tapi bila bebannya<br />
berat, waktu istirahat sampai 5 menit.<br />
Densitas latihan menunjukkan kepadatan (densitas) atau kekerapan<br />
(frekuensi) dari suatu seri rangsangan per satuan waktu yang terjadi pada atlet<br />
ketika sedang berlatih sedangkan Frekuensi adalah kekerapan atau kerapnya latihan<br />
per-minggu. Menetapkan frekuensi latihan amat tergantung pada tipe olahraganya<br />
dan jenis komponen biomotorik yang akan dikembangkan. Frekuensi latihan untuk<br />
mengembangkan komponen kekuatan otot, jika dilakukan sebanyak tujuh kali<br />
23
dalam seminggu dianggap densitasnya terlalu tinggi. Bila dilakukan sekali<br />
seminggu dianggap densitasnya terlalu rendah.<br />
Frekuensi latihan merupakan jumlah latihan yang dilakukan dalam periode<br />
waktu tertentu. Pada umunya periode waktu yang digunakan untuk menghitung<br />
jumlah frekuensi tersebut adalah dalam satu minggu. Frekuensi latihan bertujuan<br />
untuk menunjukkan jumlah tatap muka latihan pada setiap minggunya. Frekuensi<br />
latihan misalnya:<br />
a. Untuk meningkatkan kekuatan otot dianggap cukup baik bila<br />
dilakukan sebanyak 2-3 kali seminggu.<br />
b. Sebaliknya untuk meningkatkan komponen daya tahan<br />
kardiovaskular atau kesegaran jasmani (physical fitness), maka<br />
frekuensi latihannya sebanyak 4-5 kali seminggu, dengan selingan<br />
istirahat maksimal selama 48 jam atau tidak lebih dari dua hari<br />
berturutan.<br />
c. Sedangkan untuk daya tahan perenang dan pelari jarak jauh<br />
frekuensi latihannya lebih kerap, tidak cukup sebanyak 3-4<br />
kali seminggu, tetapi sebanyak 6-7 kali seminggu.<br />
d. Frekuensi latihan bagi atlet non-daya tahan aerobik (non-<br />
endurance) atau anaerobik, cukup sebanyak 3 kali per minggu,<br />
dengan durasi latihan selama 8-10 minggu (Nala, 1998).<br />
Frekuensi tergantung dari jenis komponen yang akan dikembangkan,<br />
untuk menjalankan program latihan tiga kali setiap minggu, agar tidak terjadi<br />
kelelahan yang kronis dan lama latihan diperlukan selama enam minggu atau<br />
24
lebih (Sajoto, 1995). Dalam penelitian ini menggunakan frekuensi pelatihan<br />
tiga kali setiap minggu dan dilaksanakan selama enam minggu. Manfaat<br />
gerakan pelatihan yang dilakukan berulang-ulang selama enam minggu akan<br />
terpola pada sistem saraf sebagai pengalaman sensoris (Guyton dan Hall,<br />
2007).<br />
2.2 Pelatihan Fisik<br />
Kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang<br />
tidak dapat dipisahkan begitu saja, baik peningkatan maupun pemeliharaannya.<br />
Artinya bahwa didalam usaha peningkatan kondisi fisik maka seluruh komponen<br />
tersebut harus dikembangkan. Walaupun dilakukan dengan sistem prioritas tiap<br />
komponen dan untuk keperluan apa keadaan atau status yang dibutuhkan. (Sajoto,<br />
1988). Kondisi fisik adalah satu prasyarat yang sangat diperlukan dalam usaha<br />
peningkatan prestasi seorang atlet, bahkan dapat dikatakan sebagai keperluan dasar<br />
yang tidak dapat ditunda atau ditawar-tawar lagi. Menurut Harsono (1988), jika<br />
kondisi fisik baik maka: (1) akan ada peningkatan dalam kemampuan sistem<br />
sirkulasi dan kerja jantung. (2) akan ada peningkatan dalam kekuatan, kelentukan,<br />
stamina, kecepatan dan lain-lain komponen kondisi fisik. (3) akan ada ekonomi<br />
gerak yang lebih baik pada waktu latihan. (4) akan ada pemulihan yang lebih cepat<br />
dalam organ-organ tubuh setelah latihan. (5) akan ada respon yang cepat dari<br />
organisme tubuh apabila sewaktu-waktu respon demikian diperlukan. Proses latihan<br />
kondisi fisik dalam olahraga, adalah suatu proses yang harus dilakukan dengan hati-<br />
hati, dengan sabar dan dengan penuh kewaspadaan terhadap atlet. Melalui latihan<br />
yang berulang-ulang dilakukan, yang intensitas dan kompleksitasnya sedikit demi<br />
25
sedikit bertambah, lama kelamaan atlet akan berubah menjadi seseorang yang lebih<br />
pegas, lebih lincah, lebih terampil dan lebih berhasil menurut Harsono (1988).<br />
Kondisi fisik memegang peranan yang sangat penting. Program latihan kondisi fisik<br />
haruslah direncanakan secara sistematis yang ditunjukkan untuk meningkatkan<br />
kondisi fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan<br />
demikian dapat mencapai prestasi yang lebih baik haruslah direncanakan secara<br />
sistematis yang ditujukan untuk meningkatkan kondisi fisik dan kemampuan<br />
fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan demikian dapat mencapai prestasi<br />
yang lebih baik.<br />
2.3 Komponen Biomotorik<br />
Komponen biomotorik merupakan kemampuan dasar gerak fisik atau<br />
aktivitas fisik dari tubuh manusia (Nala, 2002). Menurut Sajoto (1995) komponen<br />
kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang tidak dapat<br />
dipisahkan baik peningkatan maupun pemeliharanya. Komponen biomotorik yakni<br />
kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, kelincahan, ketepatan,<br />
waktu reaksi, keseimbangan, dan koordinasi (Nala, 2002). Menurut Jensen dan<br />
Fisher (1983) daya ledak merupakan unsur biomotorik yang sangat penting untuk<br />
melakukan berbagai aktivitas dan menentukan seberapa cepat dapat berlari dan<br />
berenang, seberapa tinggi dapat melompat, seberapa jauh dapat melempar, dan<br />
seberapa keras seseorang dapat memukul. Dari kesepuluh komponen biomotorik<br />
ini salah satu komponen biomotorik yaitu daya ledak yang akan digunakan dalam<br />
pelatihan bulutangkis.<br />
2.4 Daya Ledak<br />
26
Daya ledak merupakan komponen biomotorik. Daya ledak adalah<br />
kemampuan otot untuk menggerahkan kekuatan maksimal dalam waktu yang<br />
sangat cepat (Juliantine, dkk., 2007). Daya ledak sering disebut eksplosif<br />
atau daya otot. Menurut Sajoto (1995) daya otot (muscular power) adalah<br />
kemampuan seseorang untuk mempergunakan kekuatan maksimum yang<br />
dikerahkan dalam waktu yang sependek-pendeknya. Daya ledak sangat<br />
penting untuk cabang-cabang olahraga yang memerlukan eksplosif, seperti<br />
lari sprint, nomor-nomor lempar dalam atletik, atau cabang-cabang olahraga<br />
yang gerakannya didominasi oleh meloncat, dalam olahraga voli dan juga<br />
pada bulutangkis serta olahraga sejenisnya. Otot yang kuat otot yang<br />
mempunyai daya ledak yang besar, sebaliknya otot yang mempunyai daya<br />
ledak yang besar hampir dapat dipastikan mempunyai nilai kekuatan yang<br />
besar (Boosey, 1980). Daya ledak ialah kemampuan sebuah otot atau sekelompok<br />
otot untuk mengatasi tahanan beban dengan kekuatan dan kecepatan tinggi dalam<br />
satu gerakan yang utuh (Suharno, 1993).<br />
Daya ledak merupakan hasil dari kekuatan maksimum dan kecepatan<br />
maksimum (Bompa,1999, Bosco, dan Gustafson, 1983). Daya ledak adalah<br />
kemampuan seseorang mengatasi tahanan dengan kecepatan yang tinggi<br />
dalam gerak yang utuh (Harre, 1982). Bosco dan Gustafson (1983)<br />
menyatakan bahwa, daya ledak adalah kemampuan melakukan gerakan<br />
secepat mungkin dengan kekuatan maksimum. Jensen (1983) menyatakan<br />
bahwa daya ledak merupakan komponen yang penting untuk melakukan<br />
aktivitas yang berat seperti meloncat, melempar, memukul dan sebagainya.<br />
27
Bompa (1999), daya ledak merupakan hasil dari kekuatan dalam waktu yang<br />
singkat. Menurut Bucher (Harsono, 1988) dikatakan bahwa seorang individu<br />
yang mempunyai power adalah orang yang memiliki (a) derajat kekuatan otot<br />
yang tinggi, (b) derajat kecepatan yang tinggi, dan (c) derajat yang tinggi<br />
dalam keterampilan menggabungkan kecepatan dan kekuatan otot. Menurut<br />
Suharno (1993), beberapa faktor yang menentukan daya ledak otot adalah: 1)<br />
banyak sedikitnya fibril otot putih dalam tubuh atlet, 2) tergantung banyak<br />
sedikitnya zat kimia dalam otot (ATP), 3) kekuatan dan kecepatan, 4) waktu<br />
rangsangan dibatasi secara konkrit lamanya, 5) Koordinasi gerakan yang harmonis.<br />
Menurut Brandon (2004) daya ledak adalah kemampuan untuk menghasilkan<br />
kekuatan dengan cepat, diistilahkan dalam matematis sebagai kekuatan<br />
dikalikan kecepatan. Berdasar pada definisi-definisi di atas dapat disimpulkan<br />
bahwa dua unsur penting yang menentukan kualitas daya ledak adalah kekuatan<br />
dan kecepatan.<br />
2.4.1 Jenis Daya Ledak<br />
Bompa (1999) membagi daya ledak berdasarkan gerakan olahraga yang<br />
dilakukan yaitu:<br />
a. Daya ledak asiklik, biasanya dilakukan pada olahraga yang gerakannya<br />
tidak sama. Contoh olahraga atletik, lompat, lempar. Pada olahraga<br />
permainan bolavoli, sepakbola, bola basket, bulutangkis dll.<br />
b. Daya ledak siklik, ini biasanya digunakan pada olahraga yang<br />
gerakannya sama dan berulang-ulang. Contoh pada olahraga lari cepat,<br />
berenang, balap sepeda, dan olahraga yang memerlukan kecepatan<br />
28
tinggi.<br />
Nossek (1982) membagi daya ledak menjadi dua bagian berdasarkan<br />
aktivitas yang dilakukan yaitu:<br />
a. Kekuatan eksplosif ini diterapkan untuk mengatasi atau menanggulangi<br />
perlawanan yang lebih rendah dari pada perlawanan yang maksimum,<br />
tetapi dengan kekuatan akselarasi maksimum.<br />
b. Kekuatan Kecepatan, ini dilakukan melawan perlawanan dengan<br />
akselarasi di bawah maksimum.<br />
Penggunaan tenaga oleh otot atau sekelompok otot secara eksplosif<br />
berlangsung dalam kondisi dinamis. Ini terjadi pada melemparkan benda,<br />
pemindahan tempat sebagian atau seluruh tubuh, dan sebagainya hal ini untuk<br />
gerakan tunggal atau satu pengulangan. Kekuatan maksimum dan eksplosif<br />
atau perkembangan kekuatan kecepatan hendaknya dilatih sejajar (Nossek,<br />
1982).<br />
Faktor yang mempengaruhi daya ledak otot lengan bila dilihat lebih<br />
mendalam potensi daya ledak seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan<br />
faktor ekternal (Berger, 1982).<br />
a. Faktor internal<br />
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet<br />
sendiri diantaranya: jenis kelamin, berat badan, panjang anggota gerak atas,<br />
kebugaran fisik, umur, menunjukkan tingkat kematangan yang dikaitkan<br />
dengan pengalaman. Perbedaan dan penambahan umur sangat menentukan<br />
kekuatan otot, selain itu dimensi anatomis dan diameter otot (Astrand, 1986).<br />
29
Tenaga mencapai puncak pada umur 20 tahun (Sharkey, 2003). Adapun<br />
beberapa faktor internal yaitu:<br />
1. Jenis Kelamin.<br />
Secara biologis laki-laki dan wanita akan berbeda kekuatan<br />
dan kecepatan karena adanya hormone testosterone pada laki-laki<br />
dan wanita. Perbedaan terjadi sangat mencolok setelah mengalami<br />
pubertas karena adanya perbedaan proporsi dan besar otot dalam<br />
tubuh. Pada umur 18 tahun ke atas laki-laki mempunyai kekuatan<br />
dua kali lebih besar daripada wanita (Powers dan Howleys 2004).<br />
2. Berat Badan<br />
Berat badan menentukan penampilan. Persen lemak adalah<br />
presentasi keseluruhan berat badan yang berlemak. Berat badan<br />
seseorang menyebabkan pembesaran massa otot dan juga akan<br />
meningkatkan kekuatan. Makin tebal otot makin kuat otot<br />
tersebut. Sehingga tebal otot mempengaruhi berat badan.<br />
Kekuatan otot erat kaitannya dengan berat badan. Semakin berat<br />
badan seseorang karena otot makin tebal maka kekuatan akan<br />
bertambah. Tetapi otot kuat belum menjamin akan mempunyai<br />
daya ledak tinggi tetapi dengan memiliki otot kuat merupakan<br />
modal utama untuk dapat meraih daya ledak yang tinggi.<br />
3. Tinggi badan<br />
Tinggi badan adalah jarak dari alas kaki sampai titik<br />
30
tertinggi pada posisi kepala dalam posisi berdiri. Tinggi badan<br />
yang lebih tinggi dapat menpengaruhi pertumbuhan organ tubuh<br />
lainnya yaitu panjang lengan dan panjang tungkai (Hadi, 2005)<br />
4. Kesegaran jasmani<br />
b. Faktor Eskternal<br />
Kesegaran jasmani seseorang, merupakan salah satu<br />
parameter dalam memeberikan pembebanan pelatihan, karena<br />
tingkat kesegaran jasmani yang kurang dapat mengakibatkan<br />
kelelahan sehingga tidak dapat melakukan pelatihan secara<br />
maksimal. Semakin baik kapasitas aerobik sesorang akan makin<br />
baik pula kebugaran fisiknya (Soekarman, 1986). Kebugaran<br />
fisik dapat diukur melalui lari 2,4 km diukur menggunakan<br />
stopwatch, yang dinyatakan dalam waktu tempuh, satuan menit<br />
dengan ketelitian 0,01 menit. Penilaian kebugaran fisik<br />
berdasarkan umur dan jenis kelamin dalam tabel (Sajoto, 2002).<br />
1. Suhu lingkungan<br />
Suhu lingkungan yang panas akan berpengaruh<br />
terhadap aktivitas kerja otot karena akan mempercepat terjadinya<br />
pengeluaran keringat. Sebagaian dari volume darah akan dibawa<br />
kekulit untuk mengkompessasi kelebihan panas. Hal ini berarti<br />
bahwa telah terjadi kekurangan kerja otot didalam melakukan<br />
pelatihan. Begitu juga sebaliknya, pada suhu lingkungan yang<br />
dingin tubuh akan bereaksi untuk mengimbangi kosentrasi panas<br />
31
tubuh dengan reaksi menggigil, gerakan mengigil memerlukan<br />
energi tambahan (Manuaba, 1983).<br />
2. Kelembaban relatif<br />
Kelembaban relatif menentukan proses pelatihan karena<br />
perbandingan udara basah dan kering sangat menentukan<br />
kenyamana dalm pelatihan. Apabila kelembaban udara cukup<br />
tinggi atau diatas 90%, maka akan sangat mempengaruhi<br />
kesanggupan pengeluaran panas tubuh akibat aktivitas pelatihan<br />
melalui evaporasi. Apabila kelembaban udara dibawah 80%,<br />
maka akan mempengaruhi keseimbangan panas tubuh,<br />
metabolism meningkat akibat aktivitas tubuh untuk mengimbangi<br />
suhu dingin sehingga tubuh mengeluarkan energi yang lebih besar<br />
untuk menyesuaikan suhu tubuh dan suhu lingkungan.<br />
Kelembaban relatif Indonesia berkisar antara 70-80% (Manuaba,<br />
1983).<br />
2.4.2 Penggunaan Daya ledak dalam olahraga bulutangkis<br />
Bulutangkis merupakan olahraga prestasi yang mampu membawa<br />
bangsa Indonesia ke prestasi tingkat dunia. Untuk mencapai prestasi<br />
seseorang harus menguasai teknik dasar, teknik pukulan dan pola<br />
pukulan dari tingkat kesukaran masing-masing. Teknik dasar merupakan<br />
penguasaan yang pokok yang harus dikuasai oleh setiap pemain.<br />
Adapun teknik pukulan menurut Tohar (1992) terdiri atas (1) pukulan<br />
32
service, (2) pukulan lob, (3) pukulan drive, (4) pukulan dropshot, (5)<br />
pukulan pengembalian service, (6) pukulan smash. Dilihat dari teknik<br />
pukulan dalam bulutangkis seperti dropshot, lob dan smash, gerakannya<br />
diawali dari atas kepala (overhead). Pukulan overhead (atas) yang<br />
diarahkan ke bawah. (Tahir, dkk 2004). Dalam Faktor fisik diperlukan<br />
adalah daya ledak. Gerakan pukulan overhead lebih banyak didominasi<br />
oleh gerakan otot lengan. Oleh karena itu, perlu koordinasi gerak yang<br />
baik dari gerakan pukulan lob secara cepat diubah menjadi pukulan<br />
dropshot dan berubah ke pukulan smash. Dengan demikian semakin<br />
cepat perubahan itu dilakukan maka semakin banyak pula komponen<br />
gerakan yang harus dikoordinasikan. Mekanisasi gerakan tubuh yang<br />
sama, terjadi pada tiga jenis pukulan clear (pukulan bersih), drop<br />
(pukulan jatuh), dan smash (pukulan keras) menurut James (2009). Agar<br />
faktor daya ledak otot lengan dapat berkembang optimal, seorang<br />
pebulutangkis perlu latihan rutin dan mengarah pada kekhususan dengan<br />
memperhatikan pola latihan. Salah satunya dalam pelatihan menarik<br />
beban dengan katrol yang gerakannya sama dengan gerakan bulutangkis<br />
pada saat melakukan pukulan atas (overhead). Gerakan melakukan<br />
pukulan overhead yang sesuai dengan pelatihan menarik katrol berbeban<br />
dalam bulutangkis:<br />
1. Berat badan berpindah dari kaki kanan ke kaki kiri pada saat badan<br />
berputar sehingga menghadap kedaerah sasaran<br />
2. Lengan bergerak keatas mulai dari siku dan lengan bawah serta serta<br />
33
pergelangan tangan berputar ke arah dalam<br />
3. Pada saat raket menyentuh shuttle, pergelangan berubah menjadi lurus<br />
4. Kepala raket mengayun ke bawah dengan pergelangan tangan setinggi<br />
dada, sehingga terjadi suatu putaran ayunan penuh dan gerakan akhir<br />
ayunan raket menyilang sebelah kiri tubuh (James, 2009).<br />
Gambar 2.2 Gerakan Pukulan overhead (James, 2009)<br />
2.4.3 Pengukuran Daya Ledak Otot Lengan<br />
a. Melempar menggunakan bola softball<br />
Alat yang digunakan bola softball dengan 198,45 gr dan lingkaran<br />
30,80 cm. Pada tahap pelaksanaan orang coba berdiri melempar bola<br />
soptball gerakannya seperti gerakan dalam bulutangkis pukulan atas<br />
kepala (overhead). Lemparannya sejauh-jauhnya yang dimulai dari<br />
belakang garis batas. Dalam pelaksanaan diberi kesempatan tiga kali<br />
melempar. Skor lemparan diambil dari lemparan terjauh. Jarak diukur<br />
diukur dengan satuan sentimeter (Nurhasan, 2000).<br />
b. Melempar two hand mendicine ball put.<br />
Alat yang digunakan bola medicine dengan berat 6 pound atau 2,7<br />
kg. dan seutas tali. Pada tahap pelaksanaan orang coba duduk tegak<br />
34
dengan punggung menyentuh dinding, sambil kedua tangannya<br />
memegang bola medicine sehingga bola tersebut menyentuh dada.<br />
Kemudian tangan mendorong bola medicine sejauh-jauhnya. Sebelum<br />
orang coba mendorong bola medicine, badan bersandar pada dinding.<br />
Hal ini untuk mencegah agar orang coba padawaktu mendorong tidak<br />
dibantu oleh badan ke depan. Dalam pelaksanaan diberi kesempatan<br />
melempar tiga kali. Skor jarak tolakan terjauh dari tiga kali percobaan,<br />
yang diukur mulai dinding tembok, tempat bersandar sampai batas<br />
tanda dimana bola tersebut jatuh. Jarak diukur dalam satuan sentimeter<br />
(Nurhasan, 2008).<br />
2.5 Pelatihan Pembebanan<br />
Latihan otot untuk meningkatkan kemampuan fungsionalnya perlu<br />
menggunakan beban yang berupa berat badan sendiri atau beban yang berasal<br />
dari luar. Pemberian beban disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki<br />
dalam menjalani pelatihan, sesuai dengan tujuan pelatihan, dan juga sesuai<br />
dengan cabang olahraganya. (Giriwijoyo, 2008). Pada pelatihan yang<br />
menggunakan beban hendaknya berpedoman pada empat prinsip yaitu prinsip<br />
overload, prinsip penggunaan beban secara progresif, prinsip pengaturan<br />
latihan dan prinsip kekususan program latihan menurut Sajoto (1995). Pada<br />
permainan bulutangkis, untuk pelatihan otot lengan menggunakan beban pada<br />
daerah 1/3 bawah minimal karena kebutuhan akan daya tahan dalam<br />
melakukan pukulan secara beulang-ulang (Giriwijoyo, 2008). Sedangkan<br />
(Satriya, dkk., 2007) penggunaan beban untuk daya ledak otot lengan yaitu<br />
35
40-80% dari kemampuan maksimal.<br />
2.5.1. Alat yang digunakan pada pelatihan menarik katrol berbeban<br />
a. Beban dengan menggunakan karung berpasir<br />
b. Katrol yang digunakan untuk menarik beban<br />
c. Tali<br />
Gambar 2.3 Pelatihan menarik katrol<br />
2.5.2. Pelatihan menarik katrol<br />
Pelaksanaan pelatihan menarik katrol. Posisi berdiri selebar bahu<br />
membelakangi, kaki kiri maju didepan, kedua tungkai sedikit ditekuk<br />
kemudian pelaksanaan tangan kanan lurus vertikal yang berada di atas kepala<br />
samping dan tangan yang melakukan tarikan memegang pegangan tali.<br />
Kemudian menarik katrol/mengayun lengan dengan hentakan sampai di depan<br />
dada. Kemudian diulang lagi. Beban yang digunakan lima kg repetisi<br />
duabelas dan tiga set, istirahat setiap set lima menit. Dan beban lima kg,<br />
36
sembilan repetisi dan empat set.<br />
2.5.3. Struktur angggota gerak atas.<br />
2.5.3.1.Struktur Otot Bahu<br />
Menurut Syaifuddin (1996), otot bahu hanya meliputi sebuah sendi<br />
saja dan membungkus tulang lengan dan tulang belikat akromion yang<br />
teraba dari luar.<br />
1. Muskulus Deltoid (otot segi tiga), otot ini untuk membentuk lengkung<br />
bahu dan berpangkal di sisi tulang selangka ujung bahu, balung tulang<br />
belikat dan diafise tulang pangkal lengan. Fungsinya mengangkat lengan<br />
sampai mendatar.<br />
2. Muskulus Subskapularis (otot depan tulang belikat) otot ini mulai dari<br />
depan tulang belikat menuju taju kecil pangkal lengan. Fungsinya<br />
menengahkan dan memutar tulang humerus ke dalam.<br />
3. Muskulus Suprasuspinatus (otot atas tulang belikat) otot ini berpangkal<br />
dilekuk sebelah atas menuju tulang pangkal lengan fungsinya mengangkat<br />
lengan.<br />
4. Muskulus. Infraspinatus (otot bawah tulang belikat) otot ini berpangkal di<br />
lekuk sebelah bawah tulang belikat dan menuju ke taju besar tulang<br />
pangkal lengan. Fungsinya memutar lengan keluar.<br />
5. Muskulus Teresmayor (otot lengan bulat besar)otot ini berpangkal di siku<br />
bawah tulang belikat dan menuju ke taju kecil tulang pangkal lengan.<br />
Fungsinya memutar lengan ke dalam.<br />
37
6. Muskulus Teres minor (otot lengan belikat kecil) otot ini berpangkal di<br />
siku sebelah luar tulang belikat dan menuju ka taju besar tulang pangkal<br />
lengan. Fungsinya memutar lengan keluar<br />
Gambar 2.4 Anatomi anggota gerak badan (Widiastuti, <strong>2011</strong>)<br />
2.5.3.2. Struktur Otot Lengan Atas<br />
Menurut Syaifuddin (1996), otot-otot lengan atas terdiri dari:<br />
1. Otot-otot ketul (fleksor).<br />
a. Muskulus Biseps braki (otot lengan kepala dua) kepala yang panjang<br />
melekat pada sendi bahu, kepala yang pendek melekat di sebelah luar dan<br />
yang kedua di sebelah dalam. Otot itu kebawah menuju tulang<br />
pengumpil. Di bawah uratnya terdapat kandung lender. Fungsinya<br />
membengkokkan lengan bawah siku, merata hasta dan mengangkat<br />
lengan.<br />
38
. Muskulus Brakialis (otot lengan dalam). Otot ini berpangkal di bawah<br />
otot segitiga di tulang pangkal lengan dan menuju taju di pangkal tulang<br />
hasta. Fungsinya membengkokkan lengan bawah siku.<br />
c. Muskulus korako brakialis. Otot ini berpangkal pada prosesuskorakoid<br />
dan menuju ke tulang pangkal lengan. Fungsinya mengangkat lengan.<br />
2.Otot-otot kedang (ekstensor). Muskulus triseps braki (otot lengan<br />
berkepala tiga).<br />
a. Kepala luar berpangkal di sebelah belakang tulang pangkal dan menuju<br />
ke bawah kemudian bersatu dengan yang lain.<br />
b. Kepala dalam di mulai di sebelah dalam tulang pangkal lengan.<br />
c. Kepala panjang di mulai pada tulang di bawah sendi dan ketiga-tiganya<br />
mempunyai sebuah urat yang melekat di olekrani<br />
2,5.3.3. Struktur Otot Lengan Bawah<br />
1. Otot-otot kedang yang memainkan peranannya dalam pengetulan di atas<br />
sendi siku, sendi-sendi tangan dan sendi-sendi jari dan sebagian dalam<br />
gerak silang hasta.<br />
a. Muskulus ekstensor karpi radialis longus.<br />
b. Muskulus ekstensor karpi radialis brevis.<br />
c. Muskulus ekstensor karpi ulnaris.<br />
d. Digitonum karpi radialis, fungsinya ekstensi dari jari tangan kecuali<br />
ibu jari.<br />
e. Muskulus ekstensor policis longus, fungsinya ekstensi dari ibu jari<br />
D. Gerakan Sendi Bahu<br />
39
Damiri (1994) gerakan-gerakan yang dapat dilakukan pada sendi bahu<br />
adalah sebagai berikut:<br />
1. Mengayun lengan ke depan (swing forward anteflexion/flexion)<br />
2. Mengayun lengan ke belakang (swing backward/flexion)<br />
3. Mengangkat lengan ke samping menjahui badan (abduction)<br />
4. Menarik lengan dari samping mendekati badan (addunction)<br />
5. Memutar lengan ke arah dalam (inward rotation)<br />
6. Memutar lengan ke arah luar (outward rotaion)<br />
7. Sirkumduksi lengan (circumduction)<br />
8. Menarik lengan dari posisi abduksi ke arah depan (horizontal adduction)<br />
9. Menarik lengan dari posisi antefleksi ke posisi abduksi lengan (horizontal<br />
adduction)<br />
Pada saat melakukan overhead merupakan gerakan rotasi yang berpangkal<br />
pada bahu. Sesuai dengan gerakan yang dapat dilakukan pada sendi bahu yaitu<br />
mengayun lengan kebelakang (swing backward atau extention), maka untuk<br />
melakukan gerakan overhead tersebut dibutuhkan ruang gerak sendi bahu yang<br />
luas, serta elastisitas otot-otot disekitarnya.<br />
40
2.6. Sistem Energi Latihan<br />
Gambar 2.5 Anatomi lengan (Anonim. <strong>2011</strong>)<br />
Energi didefinisikan sebagai kapasitas atau kemampuan untuk melakukan<br />
pekerjaan. Kerja kita artikan sebagai penerapan tenaga sehingga tenaga dan kerja<br />
tidak dapat dipisahkan (Foss dan Keteyian, 1998). Energi diperoleh dari pemecahan<br />
glukosa. Karbohidrat glukosa merupakan karbohidrat terpenting dalam kaitannya<br />
dengan penyediaan energi di dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena semua jenis<br />
karbohidrat baik, monosakarida, disakarida maupun polisakarida yang dikonsumsi<br />
oleh manusia akan terkonversi menjadi glukosa di dalam hati.<br />
Banyak energi yang digunakan untuk kerja otot tergantung pada intensitas,<br />
densitas, frekuensi, dam jenis latihan. Energi yang diperlukan untuk suatu kegiatan<br />
41
atau kontarsi otot tidak dapat diserap langsung dari makanan yang kita makan, akan<br />
tetapi melalui proses oksidasi yang terjadi di dalam sel-sel tubuh, karbohidrat<br />
ataupun lemak kemudian akan digunakan untuk mensin<strong>tesis</strong> molekul ATP<br />
(adenosine triphosphate) yang merupakan molekul-molekul dasar penghasil energi<br />
di dalam tubuh.<br />
ATP terdiri dari satu molekul adenosine dan tiga molekul phosphate. Energi<br />
dibutuhkan untuk kontraksi otot diperoleh dari pembebasan dengan merubah ATP<br />
menjadi ADP + Pi (Bompa, 1999).<br />
Persediaan ATP dalam sel otot sangat terbatas, walaupun begitu suplai ATP<br />
harus secara berkesinambungan diganti lagi untuk memudahkan aktivitas fisik<br />
secara berkelanjutan. Jumlah ATP yang terdapat dalam otot, bahkan didalam otot<br />
seorang atlet yang berlatih baik, hanya cukup untuk mempertahankan daya tahan<br />
otot yang maksimal yang baru terus menerus dibentuk (Guyton dan Hall 2008).<br />
ATP diperlukan untuk menyediakan energi kontraksi otot dan daur cross<br />
bridge selama kontraksi. Pemecahan ATP yang disebabkan oleh enzim ATPase<br />
akan menghasilkan sejumlah energi, dimana energi tersebut akan memberikan<br />
kesempatan pada cross bridge yang merupakan kepala dari filamen miosin untuk<br />
berputar dan membentuk sudut baru dimana sebelumnya pada fase eksitasi cross<br />
bridge saling tertarik dengan filamen aktin, sehingga filamen aktin akan meluncur<br />
melewati filamen miosin mengakibatkan kedua filamen tersebut saling tumpang-<br />
tindih dan terjadilah kontraksi otot.<br />
Tanpa ATP filamen aktin tidak akan bisa meluncur melewati filamen<br />
miosin. Tetapi persedian ATP di dalam otot hanya sedikit, cukup untuk kontraksi<br />
42
maksimal otot yang berlangsung dalam satu detik. Untungnya tubuh mampu<br />
mengisi/melengkapi ATP hampir secepat waktu yang dibutuhkan untuk<br />
memecahkannya. Pengisian ATP ini terjadi apabila cadangan molekul bahan bakar<br />
seperti karbohidrat dan lemak dipecah untuk menyediakan energi bebas yang dapat<br />
dipergunakan bersama-sama ADP dan Pi untuk membentuk ATP (Hairy, Junusul,<br />
1989). ATP senantiasa digunakan setiap kali otot berkontraksi, oleh karena itu ATP<br />
harus selalu tersedia. Sedangkan untuk menyediakan ATP saja diperlukan energi.<br />
Untuk itu tiga macam proses menghasilkan ATP (Hairy, Junusul, 1989):<br />
1. ATP-PC atau sistem fosfagen. Dalam sistem ini energi untuk resin<strong>tesis</strong> ATP<br />
berasal dari hanya satu persenyawaan creatin phosphate (PC). Creatin<br />
phosphate akan dipecah yang akan menghasilkan energi untuk mensin<strong>tesis</strong><br />
ADP + P menjadi ATP dan selanjutnya ATP akan dipecah lagi menjadi ADP +<br />
P yang akan menyebabkan pelepasan energi yang akan digunakan untuk<br />
kontraksi otot. Menurut David (1984) sistem ini sangat penting ketika<br />
melakukan latihan yang berat, seperti lari sprint dan angkat berat.<br />
2. Glikolisis anaerobik atau sistem asam laktat (LA) penyediaan ATP berasal dari<br />
glukosa atau glikogen. Sistem ini dilakukan dengan memecahkan glukosa atau<br />
glikogen yang disimpan dalam sel otot dan hati. Sistem ini akan melepaskan<br />
energi untuk meresintesi ADP + P menjadi ATP. Selama glikolisis anaerobik<br />
hanya beberapa mol ATP yang dapat diresin<strong>tesis</strong> dari glikogen, jika<br />
dibandingkan dengan adanya oksigen. Melalui proses glikolisis ini 4 buah<br />
molekul ATP akan dihasilkan serta pada awal tahapan prosesnya akan<br />
43
mengkonsumsi 2 buah molekul ATP sehingga total 2 buah ATP akan dapat<br />
terbentuk.<br />
3. Sistem aerobik (O2). Bila suplai oksigen berlimpah dan otot tidak bekerja berat,<br />
maka pemecahan glikogen atau glukosa dimulai dengan cara yang sama pada<br />
glikolisis anaerobik. Bagaimanapun juga, dalam kondisi aerobik molekul asam<br />
piruvat tidak dikonversi menjadi asam laktat, tetapi melewati sarkoplasma<br />
masuk ke mitokondria, tempat rangkaian reaksi pemecahan. Di dalam<br />
mitokondria asam piruvat hasil proses glikolisis akan teroksidasi menjadi<br />
produk akhir berupa H2O dan CO2 di dalam tahapan proses yang dinamakan<br />
respirasi selular (Cellular respiration). Proses respirasi selular ini terbagi<br />
menjadi 3 tahap utama yaitu produksi Acetyl-CoA, proses oksidasi Acetyl-CoA<br />
dalam siklus asam sitrat (Citric-Acid Cycle) serta Rantai Transpor Elektron<br />
(Electron Transfer Chain/Oxidative Phosphorylation). Sistem aerobik<br />
memerlukan kira-kira dua menit untuk memulai memproduksi energi dalam<br />
meresin<strong>tesis</strong> ATP dari ADP + P. Sistem aerobik memecahkan glikogen<br />
berdasarkan hadirnya oksigen, sehingga denyut jantung dan pernapasan harus<br />
ditingkatkan secara memadai untuk membawa sejumlah oksigen yang<br />
dibutuhkan sel otot. Sistem aerobik merupakan sumber energi utama untuk<br />
aktivitas olahraga yang berjangka waktu 2 menit sampai 2-3 jam. Aktivitas<br />
yang lebih dari 3 jam akan mengakibatkan pemecahan lemak dan protein untuk<br />
menggantikan cadangan glikogen yang mendekati habis.<br />
Secara umum proses metabolisme secara aerobik akan mampu untuk menghasilkan<br />
energi yang lebih besar dibandingkan dengan proses secara anaerobik. Dalam<br />
44
proses metabolisme secara aerobik, ATP akan terbentuk sebanyak 36 buah<br />
sedangkan proses anaerobik hanya akan menghasilkan dua buah ATP. Ikatan yang<br />
terdapat dalam molekul ATP ini akan mampu untuk menghasilkan energi sebesar<br />
7.3 kilokalor per-molnya.<br />
Kebanyakan cabang olahraga dalam kaitannya dengan penggunaan sistem<br />
energi sering secara kombinasi. Kegiatan fisik dalam waktu singkat dan eksplosif<br />
sebagian besar energi diperoleh dari sistem energi anaerobik (ATP-PC dan LA).<br />
Sedangkan kegiatan fisik dalam jangka waktu yang lama, energinya dicukupi dari<br />
sistem aerobik.<br />
Tabel 2.1<br />
Karakteristik Sistem Energi (Fox, Bower, dan Foss, 1993)<br />
Sistem ATP-PC Sistem Asam Laktat (LA) Sistem Oksigen (O2)<br />
• Anaerobik<br />
oksigen)<br />
(tanpa • Anaerobik • Aerobik<br />
• Sangat cepat • Cepat • Lambat<br />
• Bahan bakar dari : • Bahan bakar dari: • Bahan bakar dari:<br />
PC<br />
glikogen<br />
glikogen<br />
• Produksi ATP • Produksi ATP • Produksi ATP bukan<br />
sangat terbatas terbatas<br />
tak terbatas<br />
• Dengan simpanan • Dengan<br />
• Dengan<br />
di otot yang terbatas memproduksi asam memproduksi<br />
laktat, menyebabkan kembali, tidak<br />
kelelahan otot<br />
melelahkan<br />
• Menggunakan • Menggunakan • Menggunakan daya<br />
aktivitas lari cepat aktivitas dengan tahan atau aktivitas<br />
atau berbagai power durasi antara 1-3 dengan durasi yang<br />
yang tinggi dengan<br />
aktivitas pendek<br />
menit<br />
panjang<br />
Pemahaman setiap pelatihan olahraga dalam menggunakan sistem energi<br />
sangat diperlukan. Menurut Nala, (2002) bahwa dalam dunia olahraga kebanyakan<br />
atlet menggunakan kedua sistem tersebut baik aerobik maupun anaerobik.<br />
45
Penelitian ini tentang pelatihan menarik katrol berbeban yang menekankan pada<br />
perbedaan jumlah set dan repetisi (pengulangan). Pengulangan yang tinggi menurut<br />
Nala, (2002) akan menjadikan suatu pelatihan sangat efektif dan sangat baik dalam<br />
mengembangkan tipe serabut otot putih yang sangat diperlukan dalam daya ledak<br />
eksplosif.<br />
46
BAB III<br />
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN<br />
3.1 Kerangka Berpikir<br />
Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka, seperti yang telah<br />
diuraikan sebelumnya, maka dapat dibuat suatu kerangka konsep sebagai berikut:<br />
faktor daya ledak otot lengan sangat diperlukan dalam cabang olahraga bulutangkis.<br />
Daya ledak otot lengan dapat ditingkatkan melalui pelatihan. Program pelatihan<br />
harus dilakukan secara sistematis, terencana, teratur, dan berkelanjutan, salah<br />
satunya dengan pelatihan beban. Tipe pelatihan yang digunakan sebelumnya<br />
memilih komponen biomotorik yang dominan dengan melibatkan semua kelompok<br />
otot yang ingin dilatih dan menyesuaikan dengan cabang olahraga.<br />
Komponen biomotorik yang dominan dalam cabang bulutangkis adalah<br />
daya ledak otot lengan. Daya ledak merupakan kemampuan untuk melakukan<br />
aktivitas secara tiba tiba dan cepat mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu<br />
yang singkat. Daya ledak dalam olahraga bulutangkis adalah daya ledak eksplosif,<br />
yang melibatkan komponen biomotorik yaitu kecepatan dan kekuatan. Dalam<br />
pelatihan daya ledak otot lengan melibatkan beban karung pasir dengan<br />
mengayunkan lengan dari belakang atas kepala ke bawah dengan tangan menarik<br />
katrol.<br />
Daya ledak dipengaruhi baik oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor<br />
internal antara lain umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, dan kesegaran<br />
47
jasmani, sedangkan faktor eksternal, seperti suhu lingkungan dan kelembaban<br />
relatif. Selain itu untuk mendapatkan daya ledak yang baik kekuatan dan kecepatan<br />
harus baik.<br />
Upaya untuk meningkatkan daya ledak otot lengan dengan pelatihan ayunan<br />
lengan beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set, dan sembilan repetisi, empat set.<br />
Pelatihan ini menggunakan frekuensi tiga kali dalam seminggu selama enam<br />
minggu.yang disesuaikan dengan takaran jumlah set dan jumlah repetisi. Mengacu<br />
pada beberapa landasan teori yang digunakan sebagai acuan dalam membuat<br />
kerangka konsep, yaitu: Takaran beban dalam pelatihan daya ledak 40%-80% dari<br />
kemampuan maksimal. Pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu sesuai untuk<br />
pemula akan menghasilkan peningkatan yang berarti. Takaran pelatihan untuk<br />
meningkatkan daya ledak otot lengan dengan bervariasi, kontraksi cepat, dalam<br />
repetisi kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan. Pelatihan daya ledak<br />
menggunakan repetisi 12-15 dan set 3-5. Mekanisasi gerakan tubuh yang sama<br />
terjadi pada tiga jenis pukulan yaitu pukulan clear, drop dan smash. Dengan<br />
melakukan pukulan overhead yang diarahkan ke bawah. Cara yang paling tepat<br />
untuk melatih kekuatan otot agar smesannya kuat dengan menarik beban berulang-<br />
ulang mempergunakan katrol.<br />
48
3.2 Konsep Penelitian<br />
bagan:<br />
Berdasarkan uraian dan pendapat tersebut diatas, maka dapat dibuat<br />
FAKTOR EKSTERNAL<br />
Suhu<br />
Kelembaban<br />
Penonton<br />
Keadaan Lapangan<br />
PELATIHAN<br />
Pelatihan menarik beban katrol<br />
5kg, 12 R, 3 set<br />
Pelatihan menarik beban katrol<br />
5kg, 9 R, 4 set<br />
FAKTOR INTERNAL<br />
Umur<br />
Jenis kelamin<br />
Berat badan<br />
Tinggi badan<br />
Indek massa tubuh<br />
Kebugaran Fisik<br />
3.3. Hipo<strong>tesis</strong> Penelitian<br />
Gambar. 3.1 Konsep<br />
Berdasarkan tinjauan pustaka dan konsep di atas, maka hipo<strong>tesis</strong> dapat<br />
dirumuskan sebagai berikut:<br />
49<br />
Daya Ledak Otot Lengan
1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dua belas repetisi dan tiga set<br />
dalam tiga kali seminggu selama enam minggu meningkatkan daya<br />
ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.<br />
2. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi dan empat set,<br />
dalam tiga kali seminggu selama enam minggu meningkatkan daya<br />
ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.<br />
3. Pelatihan menarik katrol berbeban lima kg, duabelas repetisi dan tiga set<br />
dalam tiga kali seminggu selama enam minggu lebih baik daripada<br />
sembilan repetisi, empat set, tiga kali seminggu selama enam minggu<br />
dalam meningkatkan daya ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler<br />
bulutangkis SMK-1.<br />
50
4.1 Rancangan Penelitian<br />
BAB IV<br />
METODE PENELITIAN<br />
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan The<br />
Randomized Pre and Post Test design (Pocock, 2008).<br />
Rancangan ini memiliki skema sebagai berikut:<br />
P R S<br />
P : Populasi<br />
R : Random<br />
S : Sampling<br />
O : observasi daya ledak otot lengan<br />
P1<br />
O1 O2<br />
P2<br />
O3 O4<br />
Bagan 4.1 Rancangan Penelitian<br />
P1 : Kelompok perlakuan I, pelatihan menarik katrol beban lima kg, 12 repetisi,<br />
tiga set<br />
51
P2 : Kelompok perlakuan II, pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan<br />
repetisi, empat set<br />
O1 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-1 sebelum pelatihan menarik<br />
katrol beban lima kg, 12 repetisi, tiga set<br />
O2 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-1 sesudah pelatihan menarik<br />
katrol beban lima kg, 12 repetisi, tiga set<br />
O3 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-2 sebelum pelatihan menarik<br />
katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set<br />
O4 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-2 setelah pelatihan menarik<br />
katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set<br />
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian<br />
4.2.1 Lokasi penelitian<br />
Penelitian dilakukan di lapangan Lumintang Denpasar, karena aktivitas<br />
olahraga SMK-1 dilakukan dilokasi Lumintang selain tempatnya luas.<br />
4.2.2 Waktu penelitian<br />
Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni <strong>2011</strong>.<br />
Waktu pengambilan data dilakukan selama enam minggu, dilakukan tiga kali<br />
seminggu, mulai pukul 05.30-07.00 Wita.<br />
4.3 Populasi Dan Sampel<br />
4.3.1 Populasi<br />
Populasi penelitian adalah semua siswa kelas I SMK Denpasar yang<br />
memilih kegiatan ekstrakurikuler bulutangkis berjumlah 40 siswa.<br />
4.3.2 Sampel<br />
Sampel dalam penelitian ini dari populasi yang memenuhi kreteria inklusi<br />
dan eksklusi sebagai berikut:<br />
52
4.3.2.1 Kriteria inklusi:<br />
1. Bersedia sebagai subjek penelitian dari awal sampai selesai, dengan<br />
menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel.<br />
2. Berbadan sehat dan tidak cacat, berdasarkan pemeriksaan dokter.<br />
3. Jenis kelamin laki-laki.<br />
4. Umur 15-16 tahun.<br />
5. Siswa kelas I SMK yang memilih ekstrakurikuler bulutangkis.<br />
6. Berat badan 48,1-68,3 kg.<br />
7. Tinggi badan 152,2-173,5 cm.<br />
8. Indeks Masa Tubuh 18,5-24,9.<br />
9. Kebugaran fisik 10,49-12.10.<br />
4.3.2.2 Kriteria eksklusi<br />
Kriteria eksklusi adalah subjek yang berdomisili di luar Kota Denpasar.<br />
4.3.2.3 Kreteria tidak dilanjutkan sebagai subjek<br />
Kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk membatalkan keterlibatan<br />
seseorang sebagai sampel:<br />
a. Jika dalam pengambilan data orang tersebut tidak masuk atau tidak datang<br />
ke lokasi pengambilan data<br />
b. Jika selama penelitian orang tersebut tiba–tiba jatuh sakit atau cedera karena<br />
kecelakaan<br />
c. Jika selama penelitian orang tersebut pindah sekolah<br />
d. Jika selama penelitian orang tersebut mengundurkan diri sebagai subjek<br />
penelitian.<br />
53
4.3.3 Besar Sampel<br />
Besar sampel ditentukan berdasarkan penelitian pendahuluan daya ledak<br />
otot lengan terhadap tujuh siswa kelas SMK yang berumur 15-16 tahun, diperoleh<br />
data dengan rata-rata daya ledak otot lengan sebelum pelatihan adalah 26,16 m<br />
dengan standar deviasi 3,42. Harapan peningkatan daya ledak otot lengan sebesar<br />
2<br />
2δ<br />
% sehingga besar nsampel<br />
=<br />
disubstitusikan f ( α,<br />
β )<br />
2 kedalam rumus Pocock (2008) sebagai<br />
μ1<br />
− μ 2<br />
berikut:<br />
Keterangan:<br />
n= jumlah sampel<br />
δ = standar deviasi (SD) daya ledak otot lengan=3,42<br />
f(α, β)=7,9 table velue<br />
µ1=rata-rata daya ledak otot lengan sebelum pelatihan=26,16 m<br />
µ2=harapan peningkatan daya ledak setelah pelatihan (15%)=30,084 m<br />
Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas, maka diperoleh hasil = 12,<br />
untuk mengantisipasi subjek tidak melanjutkan penelitian ini, maka jumlah sampel<br />
untuk tiap kelompok ditambah 15% dari jumlah (n) sehingga jumlah sampel<br />
menjadi 14 orang untuk masing-masing kelompok. Total keseluruhan sampel<br />
sebanyak 28 (2 kelompok x 14 orang).<br />
4.3.4 Teknik Pengambilan sampel<br />
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut:<br />
1. Mengadakan pemilihan sejumlah sampel dari seluruh populasi berdasarkan<br />
kreteria inklusi dan eksklusi dengan cara acak sederhana (simple random<br />
sampling)<br />
( )<br />
2. Melakukan pembagian kelompok penelitian sebanyak dua kelompok dengan<br />
masing-masing kelompok berjumlah 14 orang. Pembagian kelompok<br />
54
dilakukan dengan cara acak sederhana. Selanjutnya kelompok I akan<br />
menerima perlakuan pelatihan menarik katrol dengan beban lima kg,<br />
duabelas repetisi, tiga set, dan kelompok II akan menerima perlakuan<br />
pelatihan menarik katrol dengan beban lima kg, sembilan repetisi, empat<br />
set.<br />
4.4 Variabel Penelitian<br />
4.4.1 Identifikasi variabel<br />
4.4.1.1 Variabel bebas (independent variable).<br />
Pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set dan<br />
pelatihan lima kg, sembilan repetisi, empat set.<br />
4.4.1.2 Variabel tergantung (dependent variable)<br />
Daya ledak otot lengan<br />
4.4.1.3 Variabel kendali (kontrol) adalah umur, berat badan, tinggi badan dan<br />
indeks masa tubuh( IMT).<br />
4.4.1.4. Variabel Random adalah kondisi lingkungan<br />
4.4.2 Definisi Operasional Variabel<br />
Untuk menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam<br />
pengambilan data, maka berikut diuraikan definisi variabel sebagai berikut:<br />
1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan dua belas repetisi, tiga set.<br />
Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan 12 kali ulangan yang<br />
diselingi dengan istirahat selama lima menit (disebut 1 set), lalu dilanjutkan<br />
dengan duabelas kali ulangan menarik katrol sampai pada tiga set.<br />
55
2. Pelatihan menarik katrol beban lima kg dengan sembilan repetisi, empat set.<br />
Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan sembilan kali ulangan yang<br />
diselingi dengan istirahat selama lima menit (disebut 1 set), lalu dilanjutkan<br />
dengan sembilan kali ulangan menarik katrol sampai pada empat set.<br />
3. Daya ledak otot lengan<br />
Kemampuan otot lengan untuk melakukan gerakan secara sentakan tiba-tiba<br />
dan cepat dengan mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat.<br />
Daya ledak otot lengan diukur dengan melempar menggunakan bola softball<br />
dengan mengukur jauhnya lemparan dalam satuan sentimeter (cm). Alat<br />
yang digunakan bola softball dengan berat 198,45 gr dan lingkaran 30,80<br />
cm yang diukur dari garis batas sampai titik jatuh bola dengan meteran<br />
Kinglon buatan Jepang dalam satuan centimeter. Dengan cara subjek<br />
melemparkan bola softball sejauh jauhnya. Pelaksanaan adalah posisi kaki<br />
berdiri dibelakang garis batas, dengan jarak kaki selebar bahu, kaki kiri di<br />
depan dan kedua tungkai sedikit ditekuk, lengan dan tangan kanan lurus<br />
vertikal di belakang atas kepala memegang bola dengan cara di genggam,<br />
lengan dan tangan kiri dalam keadaan bebas, posisi menghadap bentangan<br />
tali yang apabila disentuh tepat mengenai pergelangan tangan, kalau lengan<br />
kanan diayun ke depan dalam posisi bentuk 30 0 dari sikap semula. Tes<br />
dilakukan selama tiga kali diambil dari jarak terjauh. Hasil yang digunakan<br />
sebagai data penelitian dan dicatat dengan ketelitian 0,1 mm. Pelaksanaan<br />
56
pengukuran sebelum dan sesudah pelatihan. Jarak lemparan bola softball<br />
merupakan hasil yang menunjukkan seberapa besar kemampuan daya ledak<br />
otot lengan.<br />
4. Umur<br />
Umur adalah usia dalam tahun berdasarkan tanggal, bulan kelahiran yang<br />
tercatat dalam data administrasi sesuai dengan akte kelahiran yang berusia<br />
sekitar 15-16 tahun.<br />
5. Jenis kelamin<br />
Jenis kelamin laki-laki yaitu jenis kelamin yang telihat penampakkan luar<br />
(phenotif) dan kesesuaian yang tertulis dalam administrasi sekolah.<br />
6. Berat badan<br />
Berat badan adalah bobot tubuh subjek yang diukur dengan timbangan berat<br />
badan merk Tanita dengan ketelitian 0.1 kg. Saat penimbangan tidak<br />
menggunakan alas kaki.<br />
7. Tinggi badan<br />
Tinggi badan adalah ukuran tinggi badan yang diukur dengan antropometer<br />
merk Super buatan Jepang dengan ketelitian 0.1 cm. Subjek berdiri tegak<br />
membelakangi alat ukur dan pandangan lurus ke depan. Tinggi badan<br />
diukur melalui panjang dari lantai tempat berpijak sampai ubun-ubun<br />
(vertex).<br />
8. Indeks Masa Tubuh ( IMT)<br />
Indeks masa tubuh adalah nilai komposisi tubuh atau berat badan ideal yang<br />
ditentukan dengan berat tubuh (kg) dan kuadrat tinggi badan (m).<br />
57
9. Kebugaran Fisik<br />
Kebugaran fisik adalah kategori kebugaran jasmani subjek yang diperoleh<br />
melalui kemampuan melakukan lari 2,4 km dengan hasil yang dicatat<br />
berdasarkan satuan menit yang dikonversikan dalam skor berdasarkan<br />
penilaian Cooper. Waktu yang digunakan menggunakan stopwatch merk<br />
Q&Q buatan Jepang dengan tingkat ketelitian 0,01 detik.<br />
10. Suhu udara<br />
Suhu adalah suhu kering yang rata-rata yang diukur setiap melakukan<br />
penelitian dengan termometer elektronik. Merek Extech buatan Jerman<br />
dengan tingkat ketelitian 0.1 0 C.<br />
11. Kelembaban Relatif udara<br />
Kelembaban relatif adalah presentase uap air dalam udara yang diukur<br />
dengan hygrometer elektronik digital merek Exctech buatan Jerman dengan<br />
tingkat ketelitian 1%.<br />
4.5 Alat Pengumpul data<br />
Alat ukur atau instrument yang digunakan dalam penelitian:<br />
1. Alat katrol beban yang dirancang khusus untuk pelatihan menarik katrol<br />
berbeban.<br />
2. Alat pelatihan dengan katrol dari bahan besi dengan lebar 200 cm dan<br />
tinggi 200 cm dan bola soft ball.<br />
58
3. Timbangan berat badan merk Tanita untuk mengukur berat badan yang<br />
digunakan pada pelatihan menarik katrol beban dengan ketelitian 0.1 kg.<br />
4. Karung pasir dengan berat lima kg sebagai beban yang ditarik pada<br />
pelatihan menarik katrol beban.<br />
5. Antropometer Super buatan Jepang untuk mengukur tinggi badan dalam<br />
satuan centimeter (cm) dengan ketelitian 0,1 cm.<br />
6. Stop watch digital merk Q&Q untuk mengukur kecepatan lari 2,4 km,<br />
lama waktu istirahat tiap set, dan lamanya pelatihan dalam satu kali<br />
pelatihan, denagn ketelitian1/100 detik.<br />
7. Meteran merk Kinglon buatan Jepang.<br />
8. Metronom merk Nikko buatan Jepang untuk mengukur irama gerakan<br />
menarik katrol dengan arah gerakan dari belakang atas kepala ke bawah<br />
supaya irama gerakan setiap mengangkat beban sama.<br />
9. Norma penilaian tes lari 2,4 km Cooper, untuk mengukur status<br />
kebugaran fisik subjek.<br />
10. Termometer merk Extech buatan Jerman untuk mengukur suhu kering<br />
lingkungan, satuan 0 C, ketelitian 0,1 0 C.<br />
11. Higrometer elektronik digital merk Extech buatan Jerman untuk<br />
mengukur kelembaban relative udara, ketelitian 1%.<br />
12. Alat-alat tulis untuk mencatat data<br />
13. Kamera digital merk Nikon buatan Jepang yang digunakan untuk<br />
mendokumentasikan setiap kegiatan yang berkaitan dengan penelitian<br />
ini.<br />
59
4.6 Prosedur Penelitian<br />
Prosedur penelitian terdiri dari tahap-tahap penelitian, yang dapat dijelaskan<br />
sebagai berikut:<br />
4.6.1 Tahap Persiapan<br />
Tahap persiapan menyangkut :<br />
1. Studi kepustakaan dari buku, jurnal, proseding, internet dan lain-lain<br />
yang relevan dengan topik penelitian ini.<br />
2. Mengurus surat-surat penelitian.<br />
3. Meminta persetujuan penelitian kepada kepala sekolah dan<br />
mengkoordinasikan dengan wali kelas serta guru olahraga yang<br />
menyangkut jadwal penelitian dan persiapan.<br />
4. Membuat jadwal pelaksanaan penelitian.<br />
5. Menyiapkan alat ukur yang baku dan memiliki ketelitian yang dapat<br />
dipercaya dan diakui secara ilmiah.<br />
6. Melakukan uji coba terkait alat yang dirancang khusus yang digunakan<br />
pelatihan menarik katrol. Dalam bentuk beban (berupa karung pasir lima<br />
kg) digantungkan dengan seutas tali melalui tiga buah katrol. Ujung tali<br />
terhubung dengan beban, lengan kanan yang akan menarik. Subjek<br />
berdiri dalam posisi tegak dengan sedikit tungkai ditekuk, kaki kiri maju<br />
kedepan kemudian tangan kanan menarik katrol berbeban lima kg dari<br />
atas kepala di arahkan ke bawah dan kembali ke posisi semula sesuai<br />
dengan takaran pelatihan. Posisi tangan kiri bebas.<br />
4.6.2. Tahap Penelitian Pendahuluan<br />
60
1. Memberikan penjelasan tentang pelaksanaan penelitian<br />
2. Menentukan subjek yang akan dilibatkan<br />
3. Melakukan pengukuran pada beberapa variabel, seperti umur, berat<br />
badan, tinggi badan dan daya ledak otot lengan<br />
4. Mengolah hasil penelitian pendahuluan untuk menentukan besar sampel<br />
dalam penelitian selanjutnya.<br />
5. Pengukuran Kebugaran fisik. Kebugaran fisik diukur dengan tes lari 2.4<br />
km, yaitu subjek berlari dengan menempuh jarak 2.4 km sesuai dengan<br />
kemampuan tanpa henti. Waktu tempuh dikonversikan dengan table<br />
tingkat kebugaran fisik menurut Cooper. Subjek yang dipilih adalah<br />
subjek yang memiliki kategori fisik sedang.<br />
6. Pengukuran berat badan.<br />
7. Pengukuran tinggi badan.<br />
8. Pengukuran daya ledak anggota gerak atas dilakukan dengan bola<br />
softball dengan berat 198,45 gr dan lingkaran 30,80 cm. Pengukuran dari<br />
garis batas sampai titik jatuh bola dengan meteran Kinglon buatan<br />
Jepang dalam satuan sentimeter. Pelaksanaan adalah posisi kaki berdiri<br />
dibelakang garis batas, dengan jarak kaki selebar bahu, kaki kiri didepan<br />
dan kedua tungkai sedikit ditekuk, lengan dan tangan kanan lurus vertikal<br />
di belakang atas kepala memegang bola dengan cara di genggam, lengan<br />
dan tangan kiri dalam keadaan bebas, lengan kanan diayun ke depan<br />
dalam posisi bentuk 30 0 dari sikap semula. Tes dilakukan selama tiga kali<br />
diambil dari jarak terjauh.<br />
61
4.6.3 Tahap Pemilihan dan Penentuan Sampel<br />
Prosedur pemilihan dan penentuan sampel menyangkut:<br />
1. Semua siswa yang memenuhi kreteria inklusi dan eksklusi sebagai<br />
sampel diberikan dengan nomor urut yang berbeda.<br />
2. Selanjutnya sampel dipilih secara acak sederhana dengan menggunakan<br />
teknik undian sebanyak dua kelompok, yaitu masing-masing kelompok<br />
beranggotakan 14 orang.<br />
4.6.4 Tahap Pelaksanaan<br />
Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan penelitian<br />
ini adalah sebagai berikut:<br />
1. Sebelum pelaksanaan subjek di berikan penjelasan tentang tujuan,<br />
manfaat, jadwal, tempat penelitian, tatalaksana penelitian, dan hak-hak<br />
subjek dalam pelaksanaan penelitian.<br />
2. Pengukuran suhu lingkungan dilakukan mulai dari awal pelatihan sampai<br />
akhir dengan termometer elektronik merk Excetch buatan Jerman dengan<br />
ketelitian 0,1 o C. Termometer diaktifkan, kemudian dilihat suhu kering<br />
dalam derajat Celcius. Suhu dicatat awal dan diakhir pelatihan kemudian<br />
dihitung rata-ratanya.<br />
3. Pengukuran kelembaban relatif udara diukur pada awal sampai akhir<br />
dengan menggunakan hygrometer digital. Caranya hygrometer diaktifkan<br />
pada saat pelatihan berlangsung dan hasilnya dicatat dalam satuan %.<br />
62
4. Subjek datang 15 menit ke tempat penelitian sebelum pelatihan dimulai.<br />
Sesudah istirahat selama lima menit kemudian dilakukan pengukuran<br />
denyut nadi dengan metode 1 menit.<br />
5. Subjek dipisahkan menjadi dua kelompok.<br />
6. Melakukan pemanasan selama 15 menit, berupa peregangan, kalistenik<br />
dan gerakan spesifik yang dimulai dari leher, bahu, lengan, tangan,<br />
badan, pinggul dan anggota gerak atas.<br />
7. Subjek pada kedua kelompok melakukan pelatihan dalam waktu yang<br />
sama secara bergantian, selama enam minggu dengan frekuensi tiga kali<br />
seminggu (Senin, Rabu, Jumat).<br />
8. Pada hari Senin kelompok satu (pelatihan menarik katrol beban lima kg,<br />
duabelas repetisi, dan tiga set melakukan pelatihan pertama, kemudian<br />
selanjutnya pelatihan dilakukan oleh kelompok dua (pelatihan menarik<br />
katrol beban lima kg, sembilan repetisi, dan empat set).<br />
9. Pada hari Rabu pelatihan pelatihan pertama dilakukan oleh kelompok II<br />
dan dilanjutkan oleh kelompok I<br />
10. Pada hari Jumat pelatihan pertama dilakukan oleh kelompok I, dan<br />
dilanjutkan oleh kelompok II, demikian seterusnya pelatihan ini sampai<br />
pada enam minggu yang dilakukan secara bergiliran.<br />
11. Selama pelatihan subjek diarahkan oleh rekan-rekan guru olahraga.<br />
12. Setelah enam minggu dilakukan pengukuran daya ledak anggota gerak<br />
atas pada kedua kelompok perlakuan dengan mempergunakan bola<br />
softball. Hasilnya jauhnya lemparan dengan dicatat dalam satuan<br />
63
sentimeter. Pelaksanaan sama seperti pada saat pengambilan data (awal<br />
pretest).<br />
4.7 Prosedur Pengukuran<br />
1. Pengukuran Kebugaran Fisik<br />
Kebugaran fisik diukur dengan tes lari 2,4 km, yaitu subjek berlari<br />
dengan menempuh jarak 2,4 km sesuai dengan kemampuan tanpa henti.<br />
Waktu tempuhnya dicatat kemudian dikonversikan dengan table tingkat<br />
kebugaran fisik menurut Cooper. Subjek yang dipilih adalah subjek yang<br />
memiliki kategori kebugaran fisik sedang.<br />
2. Pengukuran Berat badan<br />
Berat badan diukur dengan timbangan merk Tanita dengan satuan<br />
kilogram (kg) dan ketelitian 0,1 kg. Subjek berdiri tegak diatas timbangan<br />
memakai pakaian tanpa alas kaki.<br />
3. Pengukuran tinggi badan<br />
Pengukuran ini menggunakan antropometer merk Super buatan<br />
Jepang dengan ketelitian 0,1 cm dalam satuan centimeter. Subjek berdiri<br />
tegak membelakangi alat ukur dan pandangan lurus ke depan. Tinggi badan<br />
diukur melalui panjang dari lantai tempat berpijak sampai ubun-ubun<br />
(vertex).<br />
4. Pengukuran suhu lingkungan<br />
Pengukuran suhu lingkungan dilakukan mulai awal sampai akhir<br />
penelitian dengan thermometer elektronik merk Extech buatan Jerman<br />
64
dengan ketelitian 0.1 o C. Termometer diputar selama kurang lebih tiga<br />
menit, kemudian dilihat suhu basah dan kering dalam derajat celcius.<br />
5. Pengukuran daya ledak anggota bagian atas (lengan)<br />
Pengukuran daya ledak otot lengan atau anggota gerak atas dilakukan<br />
dengan menggunakan bola softball. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga<br />
kali dan nilai yang dipakai adalah nilai yang tertinggi.<br />
4.8 Analisis data<br />
berikut:<br />
Berdasarkan data yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai<br />
1. Statistik deskriptif untuk menganalisa umur, tinggi badan, berat badan,<br />
indeks massa tubuh, dan kebugaran fisik, daya ledak otot lengan.<br />
2. Uji Normalitas data (daya ledak otot lengan sebelum perlakuan) dengan<br />
Shapiro-Wilk Test yang bertujuan untuk mengetahui distribusi data masing<br />
masing kelompok perlakuan. Batas kemaknaan 0,05 atau tingkat<br />
kepercayaan yang digunakan adalah 95%.<br />
3. Uji homogenitas data (daya ledak otot lengan sebelum dan sesudah<br />
perlakuan) dengan Lavene Test, bertujuan untuk mengetahui variasi data.<br />
Batas kemaknaan 0,05 atau tingkat kepercayaan yang digunakan adalah<br />
95%.<br />
4. Uji Beda<br />
a. Uji t paired digunakan untuk menganalisis rerata peningkatan daya<br />
ledak otot lengan antara sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-<br />
masing kelompok, untuk data yang berdistribusi normal.<br />
65
. Untuk data yang tidak berdistribusi normal dianalisis menggunakan Uji<br />
Wilcoxon.<br />
c. Data berdistribusi normal menggunakan uji statistik parametrik yaitu<br />
4.9. Alur Penelitian<br />
One Way ANOVA (Analisis Of Varians) pada taraf kemaknaan p = 0,05<br />
untuk membandingkan pengaruh pelatihan pada kelompok kontrol,<br />
pelatihan a, pelatihan b.<br />
Kriteria inklusi<br />
Tes awal<br />
Populasi<br />
Sampel<br />
Alokasi acak sederhana<br />
Kriteria eksklusi<br />
Kelompok I (P1) Kelompok II (P2)<br />
Tes awal<br />
66
Perlakuan selama enam minggu<br />
Pelatihan menarik beban katrol<br />
lima kg, dua belas repetisi, tiga set<br />
Tes akhir<br />
Gambar. 4.2 Alur penelitian<br />
BAB V<br />
HASIL PENELITIAN<br />
Penelitian ini telah dilaksanakan di SMK Negeri-1 Denpasar selama enam<br />
minggu. Subjek penelitian berjumlah 28 orang, yang terdiri dalam dua kelompok<br />
perlakuan dengan masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Kelompok<br />
perlakuan satu diberikan pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi<br />
tiga set, sedangkan kelompok dua diberikan pelatihan menarik katrol beban lima<br />
kg, sembilan repetisi empat set. Hasil penelitian disajikan dalam pembahasan<br />
berikut.<br />
Analisis data<br />
Penyusunan Tesis<br />
5.1 Analisis Deskriptif Karakteristik subjek Penelitian<br />
Karakteristik subjek penelitian yang meliputi: umur, berat badan, tinggi<br />
badan, indeks masa tubuh, dan kebugaran fisik sebelum pelatihan pada kedua<br />
kelompok. Karakteristik dapat dilihat pada Tabel 5.1.<br />
67<br />
Perlakuan selama enam minggu<br />
Pelatihan menarik beban katrol lima<br />
kg, sembilan repetisi, empat set set<br />
Tes akhir
Karakteristik Subjek<br />
Tabel 5.1<br />
Karakteristik Fisik siswa SMK Negeri -1 Denpasar<br />
KLP-1 KLP- 2<br />
Rerata ±SB Rentang Rerata ±SB Rentang<br />
Umur (th) 16,21 ± 0,30 15,66-16,83 16,12 ± 0,41 15,58-16,75<br />
Berat badan (kg) 57,36 ± 13,61 41-82 55,00 ± 9,44 41-76<br />
Tinggi badan (cm) 168,21 ± 6,12 158-180 165,79 ± 8,08 153-178<br />
IMT (kg/m 2 ) 20,62 ± 3,61 17,14-27,86 20,76 ± 2,54 17,31-25,4<br />
Kebugaran Fisik (mnt) 12,07 ± 1,30 10.30-14.56 11,91 ± 1,33 10.10-14.14<br />
Keterangan:<br />
SB = Simpangan Baku<br />
KLP-1= Kelompok-1 (pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas<br />
repetisi, tiga set)<br />
KLP-2= Kelompok-2 (pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi,<br />
empat set)<br />
5.2 Lingkungan Penelitian<br />
Kondisi lingkungan yang diukur selama pelaksanaan penelitian adalah suhu,<br />
dan kelembaban relatif udara. Hasilnya dicantumkan pada Tabel 5.2.<br />
Tabel 5.2<br />
Karakteristik Suhu dan Kelembaban Relatif Udara Lingkungan Pelatihan<br />
Keadaan lingkungan Rerata ± SB Maksimum Minimum<br />
Suhu ( 0 C) 25,89 ± 117 28,40 24,30<br />
Kelembaban (%) 69,78 ± 4,82 79,00 65,00<br />
Berdasarkan Tabel 5.2 maka rentang suhu berkisar antara 24,3-28,4°C sedangkan<br />
kelembaban relatif berada pada 65% sampai 79%. Kondisi lingkungan selama<br />
pelatihan dan pengukuran dapat diadaptasi oleh subjek penelitian karena mereka<br />
bertempat disekitar lokasi tersebut dan juga digunakan sebagai tempat latihan<br />
68
olahraga. Dengan demikian kondisi lingkungan nyaman untuk pelaksanaan<br />
pelatihan.<br />
5.3 Uji Normalitas Data dan Homogenitas Daya Ledak Otot Lengan<br />
Sebagai prayarat untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan maka<br />
dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas data hasil daya ledak otot lengan<br />
dengan menggunakan tes melempar bola softball sebelum dan sesudah pelatihan.<br />
Uji Normalitas dengan menggunakan uji Saphiro Wilk Test, sedangkan uji<br />
homogenitas menggunakan Levene Test, semua variabel bebas dan tergantung.<br />
Berdasarkan hasil uji normalitas (Saphiro Wilk-Test) dan uji homogenitas (Levene-<br />
Test) data daya ledak otot lengan bahwa sebelum dan sesudah pelatihan pada<br />
kedua kelompok menunjukkan bahwa dari kedua uji tersebut memiliki nilai p lebih<br />
besar dari 0,05 yang berarti data ledak otot lengan sebelum dan sesudah pelatihan<br />
berdistribusi normal dan homogen (lampiran XIII), oleh karena itu maka uji yang<br />
dilakukan adalah uji parametrik.<br />
5.4. Data Hasil Daya Ledak Otot Lengan Sebelum dan Sesudah Pelatihan,<br />
Siswa SMK-1 Denpasar<br />
Data hasil daya ledak bertujuan untuk membandingkan rerata daya ledak<br />
otot lengan antar kelompok pelatihan sebelum dan sesudah pelatihan. Dengan hasil<br />
analisis kemaknaan dengan uji t berpasangan, yang disajikan pada Tabel 5.3.<br />
Tabel 5.3<br />
Data Hasil Daya Ledak Otot Lengan Sebelum dan Sesudah Pelatihan siswa<br />
SMK-1 Denpasar<br />
No Kelompok Sebelum Sesudah<br />
Mean SD Mean SD<br />
1 I 29,56 5.37 35,79 5.78<br />
69
2 II 29,52 4.40 31,80 4.19<br />
Tabel 5.. diatas, menunjukkan bahwa data hasil daya ledak otot lengan sebelum<br />
dan sesudah pelatihan kedua kelompok pelatihan memiliki nilai p lebih kecil dari<br />
0,05. Hal ini berarti pada masing-masing kelompok terjadi peningkatan daya ledak<br />
otot lengan secara bermakna. Dengan demikian pelatihan menarik katrol beban<br />
lima kg, duabelas repetisi, tiga set dan pelatihan menarik katrol beban lima kg,<br />
sembilan repetisi, empat set dapat meningkatkan daya ledak otot lengan. Rerata<br />
peningkatan daya ledak otot lengan pada kelompok-1 lebih besar daripada<br />
kelompok-2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelatihan kelompok satu<br />
menghasilkan peningkatan daya ledak otot lengan lebih besar daripada pelatihan<br />
kelompok-2.<br />
5.5. Perbedaan Peningkatan Daya ledak Otot Lengan Sesudah Pelatihan<br />
antara kelompok I dan kelompok II<br />
Perbedaan peningkatan daya ledak otot lengan sesudah pelatihan pada<br />
masing-masing kelompok disajikan pada Tabel 5.4.<br />
Tabel 5.4<br />
Perbedaan Peningkatan Daya Ledak Otot Lengan Sebelum dan Sesudah<br />
Pelatihan antar kelompok-1 dan kelompok-2<br />
Pelatihan I II<br />
Sebelum 29,56 29,52<br />
Sesudah 35,79 31,80<br />
Selisih 6,23 m ( 21,07%) 2,28 m (7,73%)<br />
70
Tabel 5.4 menunjukkan perbedaan peningkatan daya ledak otot lengan sesudah<br />
pelatihan pada masing masing kelompok. Berdasarkan persentase rerata<br />
peningkatan daya ledak otot lengan sesudah pelatihan selama enam minggu<br />
tmenunjukkan bahwa persentase rerata peningkatan daya ledak otot lengan pada<br />
kelompok satu yaitu pelatihan menarik katrol beban lima kg, dua belas repetisi, tiga<br />
set lebih besar daripada kelompok pelatihan menarik katrol beban lima kg,<br />
sembilan repetisi, empat set. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelatihan<br />
menarik katrol beban beban lima kg, dua belas repetisi, tiga set menghasilkan<br />
peningkatan daya ledak otot lengan lebih baik dibandingkan dengan pelatihan<br />
menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set.<br />
5.6 Analisis Efek Perlakuan Antar Kelompok<br />
Analisis perbedaan efek perlakuan diuji berdasarkan gain score (selisih nilai<br />
pretes dan postes) daya ledak otot lengan antar kelompok pelatihan. Hasil analisis<br />
kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada tabel 5.5 berikut.<br />
Tabel 5.5 Hasil Uji perbedaan Gain Score daya ledak otot lengan kelompok 1 dan<br />
kelompok 2<br />
Kelompok Rerata SD t p<br />
Kelompok 1 6,23 2,03<br />
Kelompok 2 2,28 1,16<br />
6,299 0,000<br />
Tabel 5.5 di atas, menunjukkan bahwa rerata gain score daya ledak otot lengan<br />
kelompok 1 sebesar 6,23 dan rerata gain score daya ledak otot lengan kelompok 2<br />
adalah 2,28. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan nilai t =<br />
71
6,299 dan nilai p = 0,000. Hal ini berarti bahwa antara kelompok 1 dan kelompok-<br />
2 setelah diberi perlakuan, rerata daya ledak otot lengannya berbeda secara<br />
bermakna (p
olahraga bulutangkis dapat diberikan pada usia 14-16 tahun (Juliantine, dkk 2007),<br />
sehingga pelatihan yang diterapkan tidak berpengaruh buruk terhadap struktur dan<br />
fungsi tubuh dan aman bagi subjek.<br />
Rerata tinggi badan subjek penelitian adalah rerata 168,21 cm pada<br />
kelompok pelatihan-1 dan rerata 165,79 cm pada kelompok pelatihan-2. Rerata<br />
berat badan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK Negeri-1 Denpasar yang<br />
dipakai sebagai subjek penelitian adalah rerata 57,36 kg pada kelompok pelatihan-1<br />
dan rerata 55,00 kg pada kelompok pelatihan-2. Dari hasil uji homogenitas, terlihat<br />
bahwa tinggi badan dan berat badan siswa pada kedua kelompok pelatihan adalah<br />
homogen (p >0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian<br />
memiliki karakteristik tinggi badan dan berat badan yang tidak berbeda bermakna.<br />
Dengan demikian rerata berat badan ini berada pada mal nutrisi ringan sampai<br />
normal yang diambil pada persentil ke-50 standar WHO (Soetjiningsih, 1995)<br />
sehingga berdasarkan berat badan dan tinggi badan subjek tidak ada kekurangan<br />
gizi yang berarti aktivitas pelatihan dapat dilakukan dengan baik.<br />
Indeks masa tubuh subjek penelitian pada kelompok-1 adalah 20,62 kg/m 2<br />
sedangkan kelompok-2 adalah 20,76. Kg/m 2 . Indeks massa tubuh merupakan rasio<br />
berat dan tinggi badan yang sering digunakan untuk mengukur komposisi tubuh,<br />
khususnya menggunakan skala pada battery fitnesgram. Berdasarkan indeks masa<br />
tubuh pada kedua kelompok, subjek penelitian berada dalam kategori normal yang<br />
berkisar antara 18,5-24,9 (Atmojo, 2007). Rentang waktu tempuh tes lari 2,4 km<br />
subjek penelitian pada kelompok-1 adalah 12,07.dan kelompok-2 adalah 11,91.<br />
Subjek penelitian pada kedua kelompok menunjukkan bahwa kebugaran fisik<br />
73
erada pada kategori sedang untuk usia 15-16 tahun. Berdasarkan Cooper, 1980<br />
ditinjau dari umur termasuk dalam usia 13-19 tahun dengan rentangan waktu 10:45-<br />
12:10 untuk putra. Derajat kesegaran jasmani seseorang sangat menentukkan<br />
kemampuan fisiknya dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, semakin tinggi derajat<br />
kesegaran jasmani seseorang semakin tinggi pula kemampuan kerja fisiknya<br />
(Satriya, dkk 2007). Dengan memiliki kebugaran fisik kategori sedang diasumsikan<br />
subjek mampu melakukan pelatihan yang akan diberikan dengan baik. Selain itu<br />
atlet yang memiliki kesegaran jasmani yang baik akan terhindar dari kemungkinan<br />
cidera yang biasanya terjadi jika melakukan kerja fisik yang berat.<br />
6.2 Karakteristik Lingkungan Penelitian<br />
Pelatihan dilaksanakan di SMK-1 Denpasar pada pukul 05.30-07.00 wita dengan<br />
variasi suhu 24,3-28,4°C, dan kelembaban relatif berada pada 65%-79%.<br />
Berdasarkan data kelembaban relatif tempat pelatihan berlangsung masih dalam<br />
batas nyaman. Daerah yang nyaman bagi orang Indonesia untuk melakukan<br />
aktivitas pelatihan adalah pada kelembaban relatif yang berkisar antara 70-80%<br />
(Manuaba,1983). Dengan demikian subjek penelitian terbiasa dengan lingkungan<br />
tempat pelatihan. Lingkungan yang nyaman akan berdampak mengurangi<br />
pengeluaran keringat berlebihan sehingga subjek dapat melakukan pelatihan dengan<br />
baik.<br />
6.3. Distribusi dan Varians Subjek Penelitian<br />
Distribusi subjek penelitian kedua kelompok sebelum dan sesudah pelatihan,<br />
dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk Test dan uji homogenitas dengan<br />
Levene Test. Data Daya ledak otot lengan sebelum dan sesudah pelatihan pada<br />
74
kedua kelompok menunjukkan nilai p lebih besar dari 0,05. Dengan demikian data<br />
daya ledak otot lengan sebelum dan sesudah pelatihan pada kedua, sehingga uji<br />
selanjutnya digunakan uji parametrik (Dahlan, 2004).<br />
6.4. Perbedaan Daya ledak Otot lengan Sebelum Pelatihan<br />
Perbedaan daya ledak otot lengan sebelum pelatihan diantara kedua<br />
kelompok pelatihan diuji dengan uji t-tidak berpasangan. Hasil uji statistik<br />
menunjukkan nilai p untuk daya ledak otot lengan sebelum pelatihan di antara<br />
kedua kelompok pelatihan lebih besar dari 0,05 tercantum pada lampiran XIV. Hal<br />
ini berarti rerata daya ledak sebelum pelatihan di antara kedua kelompok pelatihan<br />
tidak berbeda bermakna. Dengan demikian daya ledak otot lengan sebelum<br />
pelatihan diantara kelompok-1 dan kelompok-2 adalah sebanding. Oleh karena itu,<br />
apabila terjadi perbedaan daya ledak otot lengan sesudah pelatihan, hal ini<br />
disebabkan oleh pelatihan yang diterapkan.<br />
6.5 Pengaruh Pelatihan terhadap daya ledak otot lengan<br />
Berdasarkan hasil tes daya ledak otot lengan selama pelatihan selama enam<br />
minggu dari tes awal sampai test akhir diperoleh rerata daya ledak otot lengan<br />
sebelum pelatihan 29,56 m dan setelah pelatihan 35,79 m dengan selisih 6,23 m<br />
daya ledak otot lengan pada kelompok-1. Rerata daya ledak otot lengan sebelum<br />
pelatihan pada kelompok-2 adalah 29,52 m dan 31,80 setelah pelatihan 31,80 m<br />
dengan selisih daya ledak 2,28 m.<br />
75
Analisis data tes daya ledak antara tes awal dan tes akhir pada masing<br />
masing kelompok dengan menggunakan paired t test (tabel 5.4), didapatkan bahwa<br />
rerata daya ledak sebelum dan sesudah pelatihan diperoleh nilai p
ini durasi waktu selama 15 detik dengan istirahat lima menit untuk kelompok-1 dan<br />
12 detik untuk kelompok-2 setiap setnya dengan istirahat lima menit. Penggunaan<br />
energi pelatihan ini dalam jumlah besar dan waktu singkat dengan gerakan-gerakan<br />
yang eksplosif (Giriwijoyo, 2007).<br />
Fokus dalam pelatihan ini adalah daya ledak. Daya ledak dominan<br />
menggunakan gerakan-gerakan yang eksplosif. Menurut Harsono dalam Satriya,<br />
dkk (2007), dalam daya ledak terdapat dua komponen biomotorik yaitu kekuatan<br />
dan juga kecepatan, sehingga untuk meningkatkan daya ledak otot maka diberikan<br />
beban tahanan sebesar 40%-80% dari kemampuan maksimal. Latihan beban juga<br />
dikenal dengan istilah weight training, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah<br />
merupakan latihan fisik untuk meningkatkan daya ledak otot lengan. Dengan<br />
pelatihan beban menurut (Nossek, 1982), beban dalam latihan dibagi menjadi dua<br />
yaitu beban luar dan beban dalam. Beban luar adalah komponen-komponen beban<br />
dan latihan yang disusun menjadi urutan metodis yang wajar, sedangkan beban<br />
dalam adalah perangsangan dan efeknya pada sel dengan meningkatkan kualitas<br />
sel, yang berarti meningkatnya kesehatan dan kemampuan fungsional sel berarti<br />
meningkatnya kekuatan sel-sel yang mengalami pelatihan (Giriwijoyo, 2007).<br />
Rangsangan pelatihan yang optimum untuk membangun daya ledak adalah<br />
pelatihan dengan intensitas tinggi dan repetisi yang cepat (Lawrensen, 2008).<br />
Dampak yang terjadi akibat pelatihan tersebut adalah terjadi peningkatan<br />
persentase massa otot, sehingga mengalami hipertropi, bertambah sebanyak 30-60<br />
persen (Guyton dan Hall, 2008). Terjadinya hipertropi karena perubahan otot<br />
rangka atau peningkatan diameter pada kedua serabut (fiber) otot cepat (fast twitch)<br />
77
dan otot lambat (slow twitch) pada vastus lateralis, maka dengan sendirinya juga<br />
terjadi hipertropi, pada kedua macam otot. Semua hipertrofi otot akibat dari suatu<br />
peningkatan jumlah filamen aktin dan miosin dalam setiap serabut otot,<br />
menyebabkan pembesaran masing-masing serabut otot (Guyton dan Hall, 2008).<br />
Untuk latihan ketahanan yang akan menjadi hipertropi, adalah otot lambat,<br />
sedangkan untuk latihan kecepatan yang menjadi hipertropi, adalah otot cepat (<br />
Fox, 1984). Dengan adanya peningkatan jumlah dan ukuran mitokondria pada sel-<br />
sel otot maka akan dapat menyebabkan fungsi dari mitokondria lebih efektif.<br />
Dengan adanya peningkatan jumlah mitokondria dalam sel otot sehingga secara<br />
fisiologis merangsang perbaikan pengambilan oksigen (Nala, 2002) disamping itu<br />
akibat dari pelatihan yang teratur dan maksimal mitokondria melakukan replikasi<br />
sehingga dapat mengerahkan sistem energi dominan untuk selalu siap menyediakan<br />
energi yang diperlukan (Guyton dan Hall, 2008).<br />
Pelatihan menarik katrol dalam meningkatkan daya ledak otot lengan adalah<br />
pelatihan menarik katrol menggunakan tarikan beban melalui tali sebagai penahan<br />
gerakan lengan ke depan sehingga tenaga berada pada otot lengan sebagai<br />
penggerak utama. Dalam mengayun lengan ke depan, otot melakukan usaha/kerja<br />
karena massa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan suatu<br />
percepatan tertentu dan memaksimalkan usaha/kerja untuk otot lengan. Dengan<br />
memaksimalkan kerja otot tersebut maka dapat meningkatkan otot lengan. Dalam<br />
pelatihan ini hipertrofi yang sangat luas terjadi karena otot diberikan beban selama<br />
proses kontraksi (Guyton dan Hall, 2008). Kontraksi yang terjadi pada saat awalan<br />
pelatihan menarik katrol ini menggunakan kontraksi isometrik karena terjadi<br />
78
pemendekkan otot, sedangkan pada proses lanjutan menggunakan kontraksi<br />
eksentrik karena otot memanjang, dan kontraksi alodinamik karena otot yang<br />
digunakan sejak awal sampai akhir berbeda beban nya dan arahnya vertikal serta<br />
melawan gravitasi bumi.<br />
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan yang<br />
dilakukan secara tertata, terancang secara sistematis, dan dilaksanakan dengan baik<br />
akan dapat meningkatkan daya ledak.<br />
6.6. Perbedaan efek pelatihan antar kedua kelompok perlakuan<br />
Pelatihan menarik katrol beban lima kg duabelas repetisi, tiga set yang<br />
dilakukan oleh kelompok-1 menggunakan waktu kurang lebih 15 detik tiap set,<br />
dengan waktu istirahat lima menit tiap set. Sedangkan pelatihan menarik katrol<br />
beban 5 kg, sembilan repetisi, empat set yang diterapkan pada kelompok-2<br />
memerlukan waktu kurang lebih 12 detik tiap set, dengan waktu istirahat lima<br />
menit tiap set. Perbandingan kedua pelatihan menimbulkan efek dalam pelatihan<br />
tersebut menggunakan uji t-tidak berpasangan (t-independent tes) pada lampiran<br />
XV. Berdasarkan uji t-tidak berpasangan menunjukkan bahwa perbedaan pelatihan<br />
kedua kelompok untuk meningkatkan daya ledak otot lengan sesudah pelatihan<br />
pada kelompok-1 berbeda bermakna dibanding kelompok-2 dengan nilai p lebih<br />
kecil dari 0,05. Dimana terdapat peningkatan daya ledak otot lengan kelompok-1<br />
lebih besar daripada kelompok-2 (tabel 5.4). Dengan demikian hipo<strong>tesis</strong> 3 terbukti<br />
yakni pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set lebih baik<br />
daripada menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set.<br />
79
Berdasarkan sistem penggunaan energi yang digunakan dengan<br />
memperhatikan waktu selama pelatihan kedua kelompok berdasarkan lama<br />
pelatihan maka energi yang dipergunakan untuk pelatihan menarik katrol berasal<br />
dari metabolisme anaerobik sistem ATP-PCR (Sports Fitnes Advisor, <strong>2011</strong>) dengan<br />
alasan latihan yang menggunakan waktu 3-15 detik akan mendapatkan potensi daya<br />
ledak secara maksimal atau yang paling besar.<br />
Faktor perbedaan peningkatan dari efeknnya pelatihan tersebut karena<br />
adanya perbedaan beban latihan dalam jumlah repetisi dan jumlah set nya.<br />
Pengulangan yang tinggi akan menjadikan pelatihan menjadi sangat efektif dan hal<br />
ini akan sangat baik untuk mengembangkan serabut otot putih sangat diperlukan<br />
dalam daya ledak eksplosif (Nala, 2002). Serta perbandingan waktu yang<br />
dihabiskan setiap set antar kelompok pelatihan-1 dan kelompok pelatihan-2 yang<br />
tidak sama menimbulkan dampak pemulihan yang tidak adekuat menyebabkan<br />
terjadinya penimbunan asam laktat pada set berikutnya (Valeo, 2009). Hal ini<br />
disamping karena perbedaan repetisi, set juga waktu istirahat yang sama antar set<br />
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara waktu kerja dan istirahat pada<br />
kelompok-1 dan kelompok-2.<br />
Efek pelatihan kelompok-1, memacu bagian tubuh untuk memenuhi<br />
kebutuhan beban kerja tersebut, dengan repetisi yang lebih banyak menimbulkan<br />
kemampuan reflek yang lebih baik dan pengalaman sensoris yang lebih kuat terpola<br />
pada sistem saraf pusat serta memaksimalkan pelepasan berbagai hormon, termasuk<br />
testosteron dan hormon pertumbuhan (Lawrensen, 2008). Dengan demikian<br />
pelatihan kelompok-1 menjadi lebih baik dibandingkan pelatihan kelompok-2.<br />
80
7.1 Simpulan<br />
BAB VII<br />
SIMPULAN DAN SARAN<br />
81
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat disimpulkan<br />
penelitian sebagai berikut:<br />
1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set selama<br />
enam minggu, dapat meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa<br />
ekstrakurikuler bulutangkis SMK Negeri-1 Denpasar.<br />
2. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set selama<br />
enam minggu, dapat meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa<br />
ekstrakurikuler bulutangkis SMK Negeri-1 Denpasar.<br />
3. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set selama<br />
7.2 Saran<br />
enam minggu lebih baik daripada pelatihan menarik katrol beban lima kg,<br />
sembilan repetisi, empat set selama enam minggu, dalam meningkatkan<br />
daya ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK Negeri-1<br />
Denpasar.<br />
Berdasarkan simpulan penelitian, disarankan beberapa hal yang berkaitan<br />
dengan peningkatan daya ledak otot lengan:<br />
1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg dapat digunakan untuk<br />
meningkatkan daya ledak otot lengan sehingga tipe pelatihan ini digunakan<br />
pada cabang olahraga bulutangkis karena cara, posisi, dan arah gerakan<br />
sesuai pada pukulan overhead. Bagi pelaku olahraga (pembina olahrga,<br />
pelatih olahraga dan atlet) disarankan untuk menggunakan tipe pelatihan<br />
menarik katrol dengan beban yang disesuaikan pada kemampuan dan<br />
takaran yang tepat.<br />
82
2. Dilakukan penelitian lanjutan tentang pelatihan menarik katrol dengan<br />
beban yang sama dengan menggunakan repetisi yang maksimal atau yang<br />
paling tinggi dan jumlah set dikurangi.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
83
Anonim. <strong>2011</strong>. Otot lengan. [cited <strong>2011</strong> Februari 23]. Available from:<br />
http://google.co.id/imglanding=otot lengan<br />
Astrand, P.D.,Rodahl, K, 1986. Texbook of Work Physiological Basic of Exercise.<br />
New York: Mc.Graw Hill Brooks Company.<br />
Bob, D. 1995. Pysical Education and The Study of Sport. Second Edition, Bercelona,<br />
Spanyol: Mosby.<br />
Bompa, T. O. 1999. Periodization: Theory and Methodology of Training, 4 th Edition.<br />
Kendall/Hunt: Publishing Company.<br />
Bompa, T. O. 2000. Total Training For Young Champions. Campaign: Human<br />
Kinetics<br />
Boosey, D. 1980. The Jump Conditioning and Technical Trainning. Beatrice Avenal:<br />
Beatrice Publising Ltd.<br />
BWF, World Ranking Top 100. <strong>2011</strong>. Peringkat Atlet Indonesia per 10 Febuari<br />
<strong>2011</strong>.(cited <strong>2011</strong> Februari 23). Available at: http//www. Bulutangkis.com/<br />
indeks.<br />
Cooper, K. 1980. The Aerobics Way. New York: Bantam Books, Inc.<br />
Dahlan, S. M. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta Salemba<br />
Medika.<br />
Damiri, A. 1994. Anatomi Manusia Bandung. Fakultas Pendidikan Olahraga dan<br />
Kesehatan <strong>Universitas</strong> Pendidikan Indonesia.<br />
Djide, T. 2004. Ulang Metode dan Strategi Pelatihan Bulutangkis dengan Pendekatan<br />
IPTEK untuk Bulutangkis Indonesia: FPOK.UPI.<br />
Dresta, I. M. 2010. Pelatihan Loncat Tegak Delapan Repetisi Tiga Set Lebih baik<br />
daripada enam repetisi empat set dalam meningkatkan daya ledak otot<br />
anggota gerak bawah siswa SMP Pancasila Canggu Badung. (<strong>tesis</strong>).<br />
Denpasar. <strong>Universitas</strong> <strong>Udayana</strong>.<br />
Foss, L. M., Steven, J. K. 1998. The Physiological Basis for Exercise and sport 6 th<br />
Edition. Boston: WBC. Mc. Graw Hill Componies Illiones Dubuque Iowa<br />
Madison<br />
Fox, E.L. 1983. Sport physiology. New York : C B S College Publishing.<br />
Fox, E.L. 1984. Sport physiology. 2 th Edition, Philadelphia: Saunders College<br />
Publishers.<br />
84
Fox, E. L., Richard, B, W., dan Merie, L. F. 1993. The Physiological Basic of<br />
Physical Education and Athletics, 5 th Edition. Dubuque: Wm. C. Brown<br />
Communication, Inc.<br />
Giam,Teh. 1993. Ilmu Kedokteran Olahraga. Jakarta: Binapura Aksara.<br />
Giriwijoyo, S., Muchtamaji, H. 2007. Ilmu Faal Olahraga; Fungsi Tubuh manusia<br />
pada olahraga, Bandung: Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan<br />
<strong>Universitas</strong> Pendidikan Indonesia.<br />
Guyton, A.C., Hall, J.E. 1996. Fisiologi Kedokteran (terjemahan). Jakarta: Penerbit<br />
Buku Kedokteran EGC.<br />
Harsono. 1988. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis Dalam Coaching. Jakarta:<br />
Depdiknas Dikti LPTK.<br />
Harsono. 1993. Prinsip-prinsip Pelatihan Fisik . Jakarta: KONI Pusat<br />
Hairy, J. 1989. Fisiologi Olahraga. Jakarta: Dirjendikti.<br />
Harre, D. 1982. Principle of Sport Training. Berlin: Sportverlag.<br />
Irianto, D. P. 2002. Dasar Kepelatihan. Yogyakarta: FIK UNY.<br />
Irawan. A.2007. Metabolisme Energi Tubuh dan Olahraga. [cited <strong>2011</strong> Juni 21].<br />
Vol.01.N0.07. Sports Science Brief. Available from.www.pssplab.com<br />
Juliantine, T., Yudiana, W., Subarjah, H .2007. Teori Latihan. Bandung. Fakultas<br />
Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. UPI.<br />
Jensen, C. R., Fisher. 1983. Scientific Basis of Appied Kinesiology and<br />
Biomechanics. New York: Mc Graw Hill Book.<br />
Kanca. 2006. Pencegahan Penyakit Degeneratif Usia Dini melalui pelatihan<br />
Olahraga: Suatu Kajian Fisiobologis. Makalah Orasi Pengenalan Guru Besar<br />
Tetap Dalam Bidang Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Pada Fakultas Ilmu<br />
Keolahragaan Undiksha Singaraja.<br />
Lamb, D. R. 1984. Physiology Of Exercise Respones and Adaptations, 2 th Edition.<br />
New York: Macmillan Publishing Company.<br />
Lawrensen, D. 2008. The Super Toning Trainning Routine. [cited: <strong>2011</strong> Juni 15].<br />
Available from http://www.muscleanstrength.com.<br />
Manuaba, I. B. A. 1983. Aspek Ergonomi dalam Perencanaan Komplek Olahraga<br />
dan Rekreasi. Naskah lengkap Panel Diskusi Rencana Induk Gelora Jakarta:<br />
21 September 1983<br />
85
Nala, N. 1992. Kumpulan Tulisan Olahraga. Denpasar: Komite Olahraga Nasional<br />
Indonesia Daerah Bali.<br />
Nala, N. 1998. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Denpasar: UNUD Denpasar.<br />
Nala, N. 2002. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Denpasar: Komite Olahraga<br />
Nasional Indonesia Daerah Bali.<br />
Nossek, J. 1982. General Teori Of Training, (Terjemahan M. Furqon H). Surakarta:<br />
Sebelas Maret University Perss.<br />
Nurhasan. 2000. Buku Materi Pokok Tes dan Pengukuran, Jakarta: Depdikbud<br />
<strong>Universitas</strong> Terbuka.<br />
Nurhasan. 2008. Tes Kemampuan Komponen Fisik Dasar Cabang-Cabang Olahraga<br />
Bandung: Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan UPI .<br />
O’Shea, J. P. 1976. Scietific Principles and method of Strength Fitness, 2 th Edition<br />
London : Addison Wesley Publishing Company.<br />
Pasurney, P. 2000. Mengapa Prestasi Olahraga Indonesia Terpuruk. [cited <strong>2011</strong><br />
Maret. 20]. Available at: http//www.Koni.or.id/files/documnts/journal.<br />
Pearce, E. C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta. PT.Gramedia<br />
Pustaka Utama.<br />
Pocock, S. J. 2008. Clinical Trial;A Practical Approach. New York: A Willey<br />
Medical Publication.<br />
Powers, S. K., Howley, E. T. 2004. Exercise Pysiology, Theory and Application to<br />
fitness and Performance. 5 th Edition. New York: Mc. Graw Hill<br />
Companies.Inc.<br />
Poole, J. 2009. Belajar Bulutangkis. Bandung: Pionir Jaya.<br />
Rogers, P. 2009. Basic Streght and Muscle Weigth Trainning Program. [cited: <strong>2011</strong><br />
Juni 15]. Available from http://www..com. weigthtrainning.about.com<br />
Rushall, B. S., an Frank S. P. 1992. Training for Sport and Fitness. Canberra: The<br />
Macmillan Company of Australia PTY LTD.<br />
Sajoto. 1988. Pembinaan Kondisi Fisik Dalam Olahraga. Departemen Pendidikan<br />
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengadaan<br />
Buku pada Lembaga Pengembangan Tenaga Pendidikan. Jakarta.<br />
Sajoto. 1995. Pengembangan dan Pembinaan Kekuatan kondisi Fisik Dalam<br />
Olahraga. Jakarta: Dahara Prize.<br />
Sajoto. 2002. Peningkatan dan Pembinaan Kekuatan kondisi fisik. Semarang:<br />
Effhar dan Dahara Prize.<br />
86
Sarwoto, B. 1992. Materi Pokok Kinesiologi, Jakarta : Depdikbud.<br />
Satriya., Sidik, S., Imanudin, I. 2007. Metodologi Kepelatihan Olahraga. Bandung:<br />
Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan UPI.<br />
Setijono, H. 2001. Instruktur fitnes. ISBN: 979-678-890-9. Surabaya: Unesa<br />
University Press.<br />
Sharkey, B. J. 2003. Kebugaran & Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.<br />
Soekarman. 1986. Energi dan Sistem energi Predominan Pada Olahraga. Pusat<br />
Ilmu Olahraga: Jakarta. Koni Pusat.<br />
Soetjiningsih,1995. Tumbuh kembang Anak Jakarta: Penerbit buku Kedokteran<br />
EGC.<br />
Sports Fitnes Adviser, <strong>2011</strong>. Energi Sytem in Sports and Exercise. [cited <strong>2011</strong> Juni<br />
21]. Available from: http://www.sports-fitnes-adviser.com.<br />
Subiyono, S. H. 2007. Tekhnik Renang Gaya Crawl. Jurnal IPTEK Olahraga.Vol.<br />
9, No. 3. pp. 191-201. September 2007<br />
Suharno, HP. 1993. Ilmu Kepelatihan Olahraga. Bandung. PT. Karya Ilmu.<br />
Sukadiyanto. 2005. Penghantar Teori dan Metodelogi Melatih Fisik. Yogyakarta:<br />
PKO-FIK-UNY.<br />
Syaifudin, 1996. Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat Edisi II .Jakarta. EGC<br />
Kedokteran.<br />
Tangkudung, J. 2006. Profil Tinggi Badan, Berat badan dan Indeks Masa Tubuh<br />
Atlet Piala Thomas dan Uber. Jurnal IPTEK Olahraga. Vol. 8, no 3.<br />
Tohar. 1992. Olahraga Pilihan Bulutangkis. Departemen Pendidikan dan<br />
Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi: Jakarta: Proyek<br />
Pembinaan Tenaga Kependidikan.<br />
Valeo, T. 2009. Weight Trainning. [cited <strong>2011</strong> Juni 21]. Available from:<br />
http://www.brianmac.co.uk.<br />
Widana, K. 1983. Physiology of Trainning Sprinting. Perth: Departement of<br />
Human Movement and Recreation Studies University of Westrn Australia<br />
Widiastuti, P, <strong>2011</strong>. Apa Sih Nyeri Punggung itu. [cited <strong>2011</strong> Februari 23]. Available<br />
at: wordpress.com/apa-sih-nyeri punggung itu.<br />
87
Lampiran VII. Daftar Nama Subjek Penelitian.<br />
Subjek<br />
Pelatihan Menarik Katrol beban 5<br />
kg, 12 repetisi, 3 set<br />
Kelompok 1<br />
1 IWAN IMEA<br />
2 IPAU NW<br />
3 AYS PPJP<br />
4 AAP MNI<br />
5 IGAABP ISN<br />
6 IKBP IKSR<br />
7 IPBDD IMS<br />
8 IKBS IMS<br />
9 IKDW IKS<br />
10 DS PMTJ<br />
11 DAY MYSN<br />
12 IGEPA IGSWD<br />
13 IPED PW<br />
14 IMEP SB<br />
Pelatihan Menarik Katrol<br />
beban 5 kg, 9 repetisi, 4 set<br />
Kelompok 2<br />
88
Lampiran VIII. Karakteristik umur (th), Berat badan (kg), Tinggi badan (cm)<br />
Subjek Penelitian<br />
Subjek Pelatihan menarik katrol beban 5 Pelatihan menarik katrol beban 5<br />
kg, 12 repetisi, 3 set<br />
kg, 9 repetisi, 4 set<br />
umur TB BB Umur TB BB<br />
1 15,98 171 81 16,25 168 57<br />
2 15,91 165 50 16,75 166 46<br />
3 16,41 164 45 16,00 178 64<br />
4 15,83 158 41 15,58 166 51<br />
5 16,16 180 82 16,66 167 48<br />
6 16,41 176 69 16,5 153 41<br />
7 16,25 169 69 16,33 165 58<br />
8 16,25 162 46 15,66 169 51<br />
9 16,25 169 48 16,08 174 63<br />
10 16,83 174 66 16,00 172 62<br />
11 16,41 162 45 16,58 156 45<br />
12 16,16 167 54 15,5 176 76<br />
13 16,41 173 51 15,66 156 49<br />
14 15,66 165 56 16,16 155 59<br />
Keterangan<br />
Th : Tahun (terhitung Mei <strong>2011</strong>)<br />
TB : Tinggi badan dalam satuan centimeter<br />
Kg : Kilogram<br />
BB : Berat badan dalam satuan kilogram<br />
Cm : Centimeter<br />
89
Lampiran IX. Karakteristik IMT (kg/m), dan Kebugaran Fisik (menit) Subjek<br />
Penelitian<br />
Pelatihan menarik katrol beban 5 Pelatihan menarik katrol beban 5<br />
Subjek kg, 12 repetisi, 3 set<br />
kg, 9 repetisi, 4 set<br />
IMT KF IMT KF<br />
1 27,86 12,22 22,69 12,21<br />
2 18,90 11,55 17,31 10,10<br />
3 17,14 10,30 21,15 10,30<br />
4 17,29 13,03 19,20 11,11<br />
5 25,03 14,14 17,96 12,21<br />
6 23,06 11,43 18,14 10,57<br />
7 25,51 10,35 21,96 13,50<br />
8 17,74 11,23 18,86 13,15<br />
9 17,75 11,45 21,29 13,12<br />
10 22,31 14,56 21,20 12,55<br />
11 17,36 11,00 19,23 10,28<br />
12 20,20 12,20 25,40 14,14<br />
13 17,34 12,20 20,94 11,11<br />
14 21,21 13,35 25,37 12,40<br />
Keterangan<br />
IMT : Indeks Masa Tubuh (satuan meter<br />
KF : Kondisi Fisik (satuan menit)<br />
90
Lampiran X. Keadaan Lingkungan Selama Pelatihan<br />
KARAKTERISTIK LINGKUNGAN<br />
NO TANGGAL SUHU (C) KELEMBABAN (%)<br />
1. 18-4-<strong>2011</strong> 25,0 79<br />
2. 20-4-<strong>2011</strong> 24,9 67<br />
3. 22-4-<strong>2011</strong> 25,5 66<br />
4. 25-4-<strong>2011</strong> 26,9 67<br />
5. 27-4-<strong>2011</strong> 26,5 65<br />
6. 29-4-<strong>2011</strong> 24,7 68<br />
7. 02-5-<strong>2011</strong> 26,3 70<br />
8. 04-5-<strong>2011</strong> 24.3 67<br />
9 06-5-<strong>2011</strong> 27,4 68<br />
10. 09-5-<strong>2011</strong> 24,8 73<br />
11. 11-5-<strong>2011</strong> 26.6 79<br />
12. 13-5-<strong>2011</strong> 25,5 65<br />
13. 16-5-<strong>2011</strong> 26,3 70<br />
14. 18-5-<strong>2011</strong> 28,4 67<br />
15. 20-5-<strong>2011</strong> 27,6 73<br />
16. 23-5-<strong>2011</strong> 25,7 67<br />
17. 25-5-<strong>2011</strong> 24,8 66<br />
18. 27-5-<strong>2011</strong> 24,8 79<br />
Keterangan<br />
C : Celcius<br />
91
Lampiran XII. Data Tes<br />
Data tes awal dan Tes akhir (meter) Daya ledak Subjek penelitian<br />
Pelatihan menarik katrol beban 5 Pelatihan menarik katrol beban 5<br />
Subjek kg, 12 repetisi, 3 set<br />
kg, 9 repetisi, 4 set<br />
Tes Awal Tes akhir Tes Awal Tes Akhir<br />
1 31,80 37,70 29,90 34,52<br />
2 29,60 33,15 27,80 30,98<br />
3 29,80 35,50 32,70 35,70<br />
4 25,60 30,50 22,60 26,87<br />
5 26,00 30,15 31,10 32,20<br />
6 40,00 45,00 26,20 27,78<br />
7 30,00 38,70 35,50 36,50<br />
8 24,00 34,40 35,50 36,80<br />
9 23,50 26,60 34,70 36,11<br />
10 37,60 44,81 30,20 32,76<br />
11 25,80 32,25 24,50 25,50<br />
12 24,40 32,20 34,00 35,43<br />
13 28,60 35,55 25,20 26,77<br />
14 37,20 44,60 24,40 27,34<br />
Keterangan<br />
Tes awal : melakukan pengukuran sebelum pelatihan<br />
Tes akhir : melakukan pengukuran setelah pelatihan<br />
92
Lampiran XIII<br />
Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Daya Ledak Otot Lengan Sebelum<br />
Daya ledak otot<br />
lengan<br />
dan Sesudah Pelatihan siswa SMK-1 Denpasar<br />
p Uji Normalitas (Saphiro Wilk) p Uji<br />
Kelompok 1 Kelompok 2<br />
Homogenitas<br />
(Levene Test)<br />
Sebelum pelatihan 0,092 0,273 0,714<br />
Sesudah pelatihan 0,338 0,068 0,385<br />
93
Lampiran XIV<br />
Hasil Uji Beda Rerata Daya Ledak Otot Lengan antar kelompok Pelatihan<br />
Daya ledak Otot<br />
Lengan<br />
siswa SMK-1 Denpasar<br />
Dengan menggunakan uji t tidak berpasangan<br />
N KLP-1<br />
Rerata ± SB<br />
KLP-2<br />
Rerata ± SB<br />
t p<br />
Sebelum pelatihan 14 29,56 ± 5,37 29,52 ± 4,40 0,023 0,982<br />
Setelah pelatihan 14 35,79 ± 5,78 31,80 ± 4,19 2,090 0,048<br />
94
Lampiran XV<br />
Kelompok<br />
Hasil Uji Beda Rerata Daya ledak otot lengan Sebelum dan Sesudah<br />
perkelompok Pelatihan siswa SMK-1 Denpasar<br />
Dengan menggunakan uji t berpasangan<br />
Daya Ledak otot lengan<br />
Sebelum<br />
pelatihan<br />
Rerata ± SB<br />
Sesudah<br />
pelatihan<br />
Rerata ± SB<br />
Beda t p<br />
Kelompok 1 29,59 ± 5,37 35,79 ± 5,78 6,23 -11,454 0,000<br />
Kelompok 2 29,52 ± 4,40 31,80 ± 4,19 1,24 -7,337 0,000<br />
95
1. Karakteristik fisik siswa SMK N 1 Denpasar<br />
KELOMPOK 1<br />
Descriptive Statistics<br />
N Range Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation Variance<br />
BERAT 14 41,00 41,00 82,00 803,00 57,3571 13,6134 185,324<br />
TINGGI 14 22,00 158,00 180,00 2355,00 168,2143 6,1165 37,412<br />
UMUR 14 1,17 15,66 16,83 226,92 16,2085 ,2966 ,8800E-02<br />
IMT 14 10,72 17,14 27,86 288,70 20,6214 3,6075 13,014<br />
KF 14 4,26 10,30 14,56 169,01 12,0721 1,3041 1,701<br />
Valid N<br />
(listwise)<br />
14<br />
KELOMPOK 2<br />
Descriptive Statistics<br />
N Range Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation Variance<br />
BERAT 14 35,00 41,00 76,00 770,00 55,0000 9,4381 89,077<br />
TINGGI 14 25,00 153,00 178,00 2321,00 165,7857 8,0783 65,258<br />
UMUR 14 1,25 15,50 16,75 225,71 16,1221 ,4148 ,172<br />
IMT 14 8,09 17,31 25,40 290,70 20,7643 2,5358 6,431<br />
KF 14 4,04 10,10 14,14 166,75 11,9107 1,3282 1,764<br />
Valid N<br />
(listwise)<br />
14<br />
2. Karakteristik Suhu dan Kelembaban Relatif Udara Lingkungan Pelatihan<br />
Descriptive Statistics<br />
N Range Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation Variance<br />
SUHU 18 4,10 24,30 28,40 466,00 25,8889 1,1722 1,374<br />
KELEMBABAN 18 14,00 65,00 79,00 1256,00 69,7778 4,8210 23,242<br />
Valid N<br />
(listwise)<br />
18<br />
96
3. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Daya ledak Otot Lengan<br />
Sebelum dan Sesudah Pelatihan<br />
Tests of Normality<br />
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk<br />
KLP Statistic Df Sig. Statistic df Sig.<br />
PRE 1,00 ,182 14 ,200 ,892 14 ,092<br />
2,00 ,132 14 ,200 ,917 14 ,273<br />
POS 1,00 ,160 14 ,200 ,926 14 ,338<br />
2,00 ,189 14 ,191 ,882 14 ,068<br />
* This is a lower bound of the true significance.<br />
a Lilliefors Significance Correction<br />
Test of Homogeneity of Variance<br />
Levene<br />
Statistic<br />
df1 df2 Sig.<br />
PRE Based on Mean ,137 1 26 ,714<br />
Based on Median ,168 1 26 ,685<br />
Based on Median<br />
and with adjusted df<br />
Based on trimmed<br />
mean<br />
,168 1 22,788 ,686<br />
,144 1 26 ,708<br />
POS Based on Mean ,780 1 26 ,385<br />
Based on Median ,636 1 26 ,432<br />
Based on Median<br />
and with adjusted df<br />
Based on trimmed<br />
mean<br />
,636 1 20,661 ,434<br />
,793 1 26 ,381<br />
97
4. Hasil Uji Beda Rerata Dayaledak Otot Lengan Sebelum dan Sesudah<br />
Pelatihan Antar Kedua Kelompok Pelatihan<br />
Independent Samples Test<br />
Levene's Test<br />
for Equality of<br />
Variances<br />
t-test for<br />
Equality of<br />
Means<br />
Equal<br />
variances<br />
assumed<br />
98<br />
PRE POS<br />
Equal<br />
variances<br />
not assumed<br />
Equal<br />
variances<br />
assumed<br />
F ,137 ,780<br />
Equal<br />
variances not<br />
assumed<br />
Sig. ,714 ,385<br />
t ,023 ,023 2,090 2,090<br />
df 26 25,039 26 23,711<br />
Sig. (2-tailed) ,982 ,982 ,047 ,048<br />
Mean<br />
Difference<br />
4,286E-02 4,286E-02 3,9893 3,9893<br />
Std. Error<br />
Difference<br />
1,8562 1,8562 1,9089 1,9089<br />
95% Lower -3,7726 -3,7797 6,551E-02 4,698E-02<br />
Confidence Upper<br />
Interval of the<br />
Difference<br />
3,8583 3,8655 7,9131 7,9316<br />
5. Hasil Uji Beda Rerata Power Otot Lengan Sebelum dan Sesudah<br />
Pelatihan<br />
Paired Samples Test<br />
Pair 1 Pair 2<br />
PRE1 - POS1 PRE2 - POS2<br />
Paired Differences Mean -6,2293 -2,2829<br />
Std. Deviation 2,0349 1,1642<br />
Std. Error Mean ,5438 ,3112<br />
95% Confidence Interval of<br />
the Difference<br />
Lower<br />
Upper<br />
-7,4042<br />
-5,0544<br />
-2,9551<br />
-1,6106<br />
t -11,454 -7,337<br />
df 13 13<br />
Sig. (2-tailed) ,000 ,000
Levene's Test for Equality of<br />
Variances<br />
6. Hasil Uji t-independen gain score daya ledak Otot Lengan kelompok 1 dan<br />
kelompok 2<br />
Independent Samples Test<br />
Daya ledak<br />
Equal variances assumed<br />
F 3.403<br />
Sig. .076<br />
99<br />
Equal variances<br />
not assumed<br />
t-test for Equality of Means t 6.299 6.299<br />
df 26 20.688<br />
Sig. (2-tailed) .000 .000<br />
Mean Difference 3.94643 3.94643<br />
Std. Error Difference .62656 .62656<br />
95% Confidence Interval of the<br />
Difference<br />
Lower 2.65852 2.64223<br />
Upper 5.23434 5.25063
Gambar 1. ALAT METRONUM<br />
Gambar 2. ALAT PELATIHAN MENARIK KATROL BEBAN 5 KG<br />
100
GAMBAR 3. PENGUKURAN TINGGI BADAN DAN ALAT BERAT BADAN<br />
GAMBAR 4. SUBJEK MELAKUKAN PEMANASAN<br />
101
GAMBAR 5. SUBJEK MELAKUKAN TES 2,4 KM<br />
GAMBAR 6. MELAKUKAN TES DAYA LEDAK OTOT<br />
LENGANMELEMPAR BOLA SOFTBALL<br />
102
GAMBAR 7. MELAKUKAN TES DAYA LEDAK OTOT LENGAN<br />
MELEMPAR BOLA SOFTBALL<br />
GAMBAR 8.MELAKUKAN TES DAYA LEDAK OTOT LENGAN GERAKAN<br />
LANJUTAN MELEMPAR BOLA SOFTBALL<br />
103
GAMBAR 9. SUBJEK MELAKUKAN PELATIHAN MENARIK KATROL<br />
GAMBAR 10. SUBJEK MELAKUKAN PELATIHAN MENARIK KATROL<br />
104
GAMBAR 11. SUBJEK MELAKUKAN PELATIHAN MENARIK KATROL<br />
GAMBAR 12. SUBJEK MELAKUKAN PELATIHAN MENARIK KATROL<br />
105
Kategori<br />
(Skor)<br />
Tabel 2.1. Norma Penilaian Tes Lari 2,4 km (Coper)<br />
13-19 tahun<br />
menit, detik<br />
20-29 tahun<br />
menit, detik<br />
30-39 tahun<br />
menit, detik<br />
Umur<br />
40-49 tahun<br />
menit, detik<br />
50-59 tahun<br />
menit, detik<br />
106<br />
60 tahun<br />
menit, detik<br />
Pria Kurang >15'13" >16'01" >16'31" >17'31" >19'01" >20'01"<br />
wanita sekali (1) >18'21" >19'01" >19'31" >20'01" >21'31" >21'01<br />
Pria<br />
12'11"-15'30" 14'01"-16'00" 14'44"-16'30" 15'36"-17'30" 17'01"-19'00" 19'01"-20'00"<br />
Kurang (2)<br />
wanita 16'55"-18'30" 18'31"-19'00" 19'01"-19'30" 19'31"-20'00" 20'01"-20'30" 20'31"-21'00"<br />
Pria<br />
10'49"-12'10" 12'01"-14'00" 12'31"-14'45" 13'01"-15'35" 14'31"-17'00" 16'16"-19'00"<br />
Sedang (3)<br />
wanita 11'31"-16'54" 15'55"-18'00" 16'31"-19'00" 17'31"-19'30" 19'0"-20’00" 19'31"-20'30"<br />
Pria<br />
09'41"-10'48" 10'46"-12'00" 11'01"-12'30" 11'31"-13'00" 13'31"-14'30" 14'00"-16'16"<br />
Baik (4)<br />
wanita 12'30"-14'30" 13'31"-15'54" 14'31"-16'30" 15'56"-17'30" 16'31"-19'00" 17'31"-19'30"<br />
Pria Baik Sekali 08'37"-09'40" 09'45"-10'45" 10'00"-11'00" 10'30"-11'30" 11'00"-12'30" 11'15"-13'59"<br />
wanita (5) 11'50"-12'29" 12'30"-13'30" 13'00"-14'30" 13'45"-15'55" 14'30"-16'30" 16'30"-17'30"<br />
Pria Baik Sekali &
Yang bertanda tangan di bawah:<br />
SURAT PERTANYAAN<br />
Nama : Luh Putu Tuti Ariani<br />
NIM : 0990361020<br />
Program Studi : Program Magister Fisiologi Keolahragaan<br />
Instansi Asal : <strong>Universitas</strong> Negeri Singaraja<br />
Tempat dan tanggal lahir : Singaraja, 14 Desember 1978<br />
Alamat : Jln. Gunung Tangkuban Perahu 36 Padangsambian<br />
Telpon/Hp : 08179740973<br />
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tidak menjiplak setengah atau sepenuhnya<br />
<strong>tesis</strong> orang lain.<br />
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan<br />
sebagaimana mestinya, dan apabila ada kemudian hari ternyata tidak benar maka<br />
saya bersedia dituntut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.<br />
107<br />
Denpasar, 28 Juli <strong>2011</strong><br />
Hormat Saya,<br />
Luh Putu Tuti Ariani<br />
NIM. 0990361020
108