ACEH_03378

ACEH_03378 ACEH_03378

02.06.2013 Views

Al-Muslim Matang Geulumpang Dua—salah sebuah perguruan yang didirikan oleh ulama "pembaharu" di Aceh—sampai tahun 1937. Setelah ini beliau pergi ke Padang dan melanjutkan sekolahnya pada Normal Islam, selesai tahun 1941. Sepulangnya ke Aceh, beliau dipercayakan memimpin Madrasah Al-Muslim di atas sampai setahun setelah kemerdekaan (1946). beliau berhenti dari jabatan ini karena dipilih menjadi Kepala Negeri (setingkat camat) Peusangan, yang dia pegang sampai tahun 1948. Setelah ini beliau pindah ke Banda Aceh (waktu itu Kutaraja) dan ditugaskan sebagai Kepala Pendidikan Agama pada Jawatan Agama Aceh. Ketika Propinsi Aceh pertama dilebur oleh Pemerintah Pusat, beliau ditunjuk sebagai Kepala Pendidikan Agama Propinsi Sumatera Utara. Jabatan ini hanya sebentar beliau emban (1951-1952) lantas beliau pulang kembali ke Banda Aceh dan menjabat Kepala Bagian Pendidikan Agama Aceh. Ketika Peristiwa Aceh meletus, beliau sempat ditangkap dan di tahan di penjara Binjei (1953), namun setelah empat tahun beliau dibebaskan kembali. Sesudah dibebaskan, beliau terus berkiprah dalam bidang pendidikan agama Departemen Agama—pindah dari satu jabatan ke jabatan lainnyadan terakhir beliau menjadi Kepala PGANegeri 6 tahun Banda Aceh sejak tahun 1963 sampai dengan pensiun tahun 1974. Di samping pekerjaan dan jabatan sebagai pegawai negeri, beliau juga pernah menjadi anggota DPRD Propinsi Aceh dan Sumatera Utara mewakili partai politik Islam MASJUMI, serta imam Masjid Raya Banda Aceh, dosen Luar Biasa pada IAIN Jami'ah Ar-Raniry Banda Aceh serta beberapa jabatan lain dalam organisasi sosial kemasyarakatan. Beliau menulis beberapa buah buku pelajaran dan bacaan untuk murid SRI (sekarang MIN), dalam bidang tafsirdan bahasa Arab (menggunakan bahasa Arab) dan Pelajaran Bahasa Aceh, yang menggunakan huruf Arab-Melayu (Jawoé). Buku- buku ini digunakan di Aceh pada tahun lima puluhan. Beliau juga telah mengarang beberapa hikayat (sya'ir dalam Bahasa Aceh), yang kesemuanya masih berbentuk naskah yang belum diterbitkan. Sebuah naskah lagi tentang riwayat hidup dan kepenyairan orang tuanya yang berjudul Fakir Yusuf: Penulis Hikayat Aceh ditulis tahun 1984 dan diedarkan secara terbatas dalam bentuk stensilan. Mengenai penerjemahan al-Qur'an ke dalam Bahasa Aceh ini, Tgk. H. Mahjiddin Jusuf mulai mengerjakannya tanggal 25 Nopember 1955 ketika beliau berada dalam tahanan, karena Peristiwa Aceh seperti telah disebutkan di atas. Selama dalam tahanan ini beliau menerjemahkan tiga buah surat: yaitu Yasin, al- Kahfi dan al-Insyirah. Terjemahan ini pernah dipublikasikan secara bersambung dalam harian Duta Pantjatjita Banda Aceh bulan Januari dan Pebruari 1965. Setelah terhenti lebih kurang 20 tahun, kegiatan menerjemahkan tadi beliau lanjutkan kembali tahun 1977. Penerjemahan seluruh al-Qur'an beliau selesaikan pada tahun 1988, yaitu bentuk yang disunting dan diterbitkan oleh P3KI ini. Mengenai proses penerjemahan, penyuntingan ataupun penyempurnaan ulang yang dilakukan oleh Tgk. H. Mahjiddin Jusuf, tidak banyak yang kami ketahui. Naskah yang sudah diubah (diperbaiki) tersebut tidak lagi beliau simpan. Tetapi naskah yang pernah diterbitkan dalam harian DUTA PANTJATJITA masih xii

isa ditemukan. Sekiranya naskah terakhir dibandingkan dengan naskah dalam harian tersebut, terlihat bahwa naskah terakhir lebih padat dan ringkas (80 bait). Sedang naskah awal lebih panjang karena kelihatannya lebih bebas dan mengandung lebih banyak tafsir (104 bait). Dalam penjelasannya kepada Team Penyunting, beliau menyatakan bahwa buku rujukan utama yang beliau gunakan adalah kitab tafsir karangan Ibnu Katsir (w. 774 H.) dan kitab tafsir karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H.) dan al-Thabari (w. 310 H.). Sedang sebagai pembanding beliau menggunakan terjemahan al-Qur' an dalam Bahasa Indonesia susunan A. Hassan, Mahmud Yunus, H.B. Jassin dan Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an (Departemen Agama). III Mengenai penyuntingan, Team bertumpu pada pemeriksaan kesahihan arti. Berhubung al-Qur'an merupakan wahyu Allah, dan karena itu bersifat mutlak, maka tidak mungkin diterjemahkan secara sempurna. Tetap ada aspek yang ditonjolkan dan ada aspek yang tertinggal, baik karena disengaja atau tidak disengaja. Ketidak sempurnaan penerjemahan bisa juga terjadi karena arti teks (nash) tersebut belum diketahui atau belum terungkap. Penerjemahan secara puitis, tentu lebih sukar lagi karena harus memenuhi syarat dan kriteria yang tidak ada dalam terjemahan bebas. Ibrahim Zaki Khursyid dalam kitabnya Al-Tarjamat wa Musykilatuha, penerbit Al-Hay'at al-Mashriyyat al-'Ammat li-al-Kitab, Kairo, 1985 halaman 9 menyatakan bahwa penerjemahan sastra (berwajah puisi) lebih sukar dikerjakan dibandingkan dengan terjemahan bebas (prosa). Di antara penyebabnya adalah: pertama, ada penekanan pada pemilihan kata yang mengandung nilai sastra; kedua, perlu menyelami kata-kata sembari meresapi dan menghayati maknanya dalam bahasa asli, agar kemudian dapat dituangkan ke dalam bahasa sasaran dalam bentuk puisi (mengandung keindahan). Ibrahim menambahkan, boleh jadi langkah yang ditempuh untuk menerjemahkan sebuah teks dalam bentuk puisi lebih panjang dari penerjemahan biasa atau bebas. Langkah pertama ialah menerjemahkan kata dari bahasa asli ke dalam bahasa sasaran secara harfiah. Langkah kedua adalah memperhatikan perbedaan struktur bahasa asli dengan bahasa sasaran (dalam hal ini perbedaan bahasa Arab dengan Bahasa Aceh). Kadang-kadang kalimat aktif terpaksa diterjemahkan dalam bentuk kalimat pasif. Langkah ketiga adalah membentuk kalimat yang puitis sesuai dengan pesan yang terdapat dalam bahasa asli; walaupun mungkin harus memindahkan kata dari awal kalimat ke bagian akhir atau sebaliknya. Langkah keempat adalah usaha mensejajarkan pengertian kalimatkalimat dalam bahasa asli ke bahasa sasaran dengan memperhatikan beberapa hal seperti pengertian idiomatik (ushlubiyyah), makna sekunder, metafora dan figuratif, bes"erta struktur lahir dan batin bahasa asli. Makna tidak tersusun dengan cara yang sama seperti urutan lahir tetapi merupakan jaringan satuan semantis dan hubungan antara satuan ini. Dibandingkan dengan struktur gramatikal, struktur semantis lebih mendekati universal, artinya, jenis satuan, ciri dan hubungannya xiii

isa ditemukan. Sekiranya naskah terakhir dibandingkan dengan naskah dalam<br />

harian tersebut, terlihat bahwa naskah terakhir lebih padat dan ringkas (80 bait).<br />

Sedang naskah awal lebih panjang karena kelihatannya lebih bebas dan<br />

mengandung lebih banyak tafsir (104 bait).<br />

Dalam penjelasannya kepada Team Penyunting, beliau menyatakan bahwa<br />

buku rujukan utama yang beliau gunakan adalah kitab tafsir karangan Ibnu Katsir<br />

(w. 774 H.) dan kitab tafsir karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H.) dan al-Thabari<br />

(w. 310 H.). Sedang sebagai pembanding beliau menggunakan terjemahan al-Qur' an<br />

dalam Bahasa Indonesia susunan A. Hassan, Mahmud Yunus, H.B. Jassin dan<br />

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an (Departemen Agama).<br />

III<br />

Mengenai penyuntingan, Team bertumpu pada pemeriksaan kesahihan arti.<br />

Berhubung al-Qur'an merupakan wahyu Allah, dan karena itu bersifat mutlak,<br />

maka tidak mungkin diterjemahkan secara sempurna. Tetap ada aspek yang<br />

ditonjolkan dan ada aspek yang tertinggal, baik karena disengaja atau tidak<br />

disengaja. Ketidak sempurnaan penerjemahan bisa juga terjadi karena arti teks<br />

(nash) tersebut belum diketahui atau belum terungkap. Penerjemahan secara puitis,<br />

tentu lebih sukar lagi karena harus memenuhi syarat dan kriteria yang tidak ada<br />

dalam terjemahan bebas.<br />

Ibrahim Zaki Khursyid dalam kitabnya Al-Tarjamat wa Musykilatuha,<br />

penerbit Al-Hay'at al-Mashriyyat al-'Ammat li-al-Kitab, Kairo, 1985 halaman 9<br />

menyatakan bahwa penerjemahan sastra (berwajah puisi) lebih sukar dikerjakan<br />

dibandingkan dengan terjemahan bebas (prosa). Di antara penyebabnya adalah:<br />

pertama, ada penekanan pada pemilihan kata yang mengandung nilai sastra; kedua,<br />

perlu menyelami kata-kata sembari meresapi dan menghayati maknanya dalam<br />

bahasa asli, agar kemudian dapat dituangkan ke dalam bahasa sasaran dalam bentuk<br />

puisi (mengandung keindahan).<br />

Ibrahim menambahkan, boleh jadi langkah yang ditempuh untuk<br />

menerjemahkan sebuah teks dalam bentuk puisi lebih panjang dari penerjemahan<br />

biasa atau bebas. Langkah pertama ialah menerjemahkan kata dari bahasa asli ke<br />

dalam bahasa sasaran secara harfiah. Langkah kedua adalah memperhatikan<br />

perbedaan struktur bahasa asli dengan bahasa sasaran (dalam hal ini perbedaan<br />

bahasa Arab dengan Bahasa Aceh). Kadang-kadang kalimat aktif terpaksa<br />

diterjemahkan dalam bentuk kalimat pasif. Langkah ketiga adalah membentuk<br />

kalimat yang puitis sesuai dengan pesan yang terdapat dalam bahasa asli; walaupun<br />

mungkin harus memindahkan kata dari awal kalimat ke bagian akhir atau<br />

sebaliknya. Langkah keempat adalah usaha mensejajarkan pengertian kalimatkalimat<br />

dalam bahasa asli ke bahasa sasaran dengan memperhatikan beberapa hal<br />

seperti pengertian idiomatik (ushlubiyyah), makna sekunder, metafora dan figuratif,<br />

bes"erta struktur lahir dan batin bahasa asli. Makna tidak tersusun dengan cara<br />

yang sama seperti urutan lahir tetapi merupakan jaringan satuan semantis dan<br />

hubungan antara satuan ini. Dibandingkan dengan struktur gramatikal, struktur<br />

semantis lebih mendekati universal, artinya, jenis satuan, ciri dan hubungannya<br />

xiii

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!