ACEH_03291

ACEH_03291 ACEH_03291

02.06.2013 Views

66 Hardi, S.H. Jika Dewan Revolusi NB A-NII Aceh menyatakan kesediaannya untuk: a. Menghentikan pemberontakan bersenjata; b. Kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, yaitu Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; c. Meleburkan semua lembaga-lembaga NBA-NII termasuk Tentara Islam Indonesia-nya dalam aparatur Pemerintah Republik Indonesia dan akan tunduk pada keputusan Pemerintah Republik Indonesia. Maka kebijakan Misi Pemerintah seperti dijelaskan di atas, akan diformalisir dalam Surat Keputusan Ketua Misi yang nilai dan bobotnya sama dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia. Peran Gubernur A. Hasjmy Mengatasi Kemacetan dalam Musyawarah Dalam bagian sebelumnya yang menggambarkan jalannya musyawarah, lebih banyak diceritakan mengenai pendirian Ketua Misi, yang terkandung dalam pidato-pidatonya. Hal itu sama sekali tidak dimaksud untuk meremehkan peran, baik dari para anggota Misi lainnya maupun pejabat-pejabat sipil/militer Aceh. Kongkretnya, strategi yang ditempuh oleh Misi Pemerintah Pusat itu tidak dapat dipisahkan dari masukan-masukan yang diperoleh baik dari para anggota misi, dari Gubernur Aceh maupun dari Kepala Staf Kodam Iskandarmuda, yaitu Overste Teuku Hamzah. Seraya menyampaikan penghargaan penulis khususnya terhadap jasajasa Bapak A. Hasjmy, di bawah ini akan diungkapkan peran penting dari Gubernur Aceh dalam mengatasi situasi kritis yang dihadapi oleh Misi Pemerintah. Jelasnya, musyawarah yang nyaris mengalami kemacetan akhirnya dapat diselamatkan berkat kegiatan lobby oleh Gubernur A. Hasjmy, menugaskan Bupati Aceh Besar Zaini Bakri, agar menyadarkan Dewan Revolusi untuk menyetujui konsepsi Misi Pemerintah sebagai satu-satunya jalan menciptakan perdamaian di Tanah Rencong. Ceriteranya adalah sebagai berikut: Suatu kenyataan yang menimbulkan hambatan terhadap musyawarah ialah karena konsepsi misi mengenai pemberian otonomi luas kepada Daerah

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 67 Swatantra Aceh dan gagasan menyebut Daerah Swatantra Aceh dengan nama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, ditolak mentah-mentah oleh Dewan Revolusi. Sebaliknya, mereka semula mengusulkan agar wilayah Aceh dijadikan negara bagian dari Republik Indonesia dengan catatan bahwa negara bagian itu harus berdasarkan agama Islam. Kemudian, menjelang maghrib, tanggal 25 Mei 1959, Dewan Revolusi mundur selangkah yaitu: mereka mengusulkan agar wilayah Aceh dijadikan "Propinsi Islam" sebagai bagian dari Republik Indonesia. Mengenai peranan Gubernur A. Hasjmy yang amat penting dalam upaya mengatasi kemacetan dalam musyawarah antara Misi Pemerintah Pusat dan Dewan Revolusi telah dikisahkan dalam buku Semangat Merdeka. Ceritanya adalah sebagai berikut: "Malam tanggal 25 Mei 1959 pembicaraan dihentikan. Saya pribadi bersama Saudara Zaini Bakri mengadakan pembicaraan tidak resmi dengan beberapa anggota Delegasi Dewan Revolusi yang memegang kunci. Kami coba memberi pengertian kepada mereka agar usul Misi Pemerintah Pusat diterima. Sampai pukul 11 malam belum mencapai hasil yang diharapkan. Kemudian saya pulang ke Pendopo Gubernur dan saya serahkan kepada Saudara Zaini Bakri untuk berusaha agar mereka dapat menerima usul Misi Pemerintah Pusat. Saya tidak tidur semalam-malaman. Tiap jam, bahkan kadang tiap tiga puluh menit terjadi kontak telpon dengan Saudara Zaini Bakri. Saudara Zaini Bakri terus menjawab pertanyaan saya: "Belum, belum, belum, dan pembicaraan sedang berjalan terus". Saya menanti dengan cemas dan gemas. Kira-kira pukul 3.30 pagi bel telpon berdering; saya lari mendengarnya. Sayup-sayup terdengar suara Saudara Zaini Bakri di ujung sana: "Dewan Revolusi telah menerima usul Misi Pemerintah Pusat, besok pagi akan saya laporkan lengkap". Alhamdulillah, ujar saya sambil lari ke tempat tidur dan tertidur dengan ingatan bahwa Aceh akan menjadi Daerah Istimewa.

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 67<br />

Swatantra Aceh dan gagasan menyebut Daerah Swatantra Aceh dengan nama<br />

Propinsi Daerah Istimewa Aceh, ditolak mentah-mentah oleh Dewan<br />

Revolusi.<br />

Sebaliknya, mereka semula mengusulkan agar wilayah Aceh dijadikan<br />

negara bagian dari Republik Indonesia dengan catatan bahwa negara bagian<br />

itu harus berdasarkan agama Islam.<br />

Kemudian, menjelang maghrib, tanggal 25 Mei 1959, Dewan Revolusi<br />

mundur selangkah yaitu: mereka mengusulkan agar wilayah Aceh dijadikan<br />

"Propinsi Islam" sebagai bagian dari Republik Indonesia.<br />

Mengenai peranan Gubernur A. Hasjmy yang amat penting dalam<br />

upaya mengatasi kemacetan dalam musyawarah antara Misi Pemerintah<br />

Pusat dan Dewan Revolusi telah dikisahkan dalam buku Semangat Merdeka.<br />

Ceritanya adalah sebagai berikut:<br />

"Malam tanggal 25 Mei 1959 pembicaraan dihentikan.<br />

Saya pribadi bersama Saudara Zaini Bakri mengadakan pembicaraan tidak<br />

resmi dengan beberapa anggota Delegasi Dewan Revolusi yang memegang<br />

kunci.<br />

Kami coba memberi pengertian kepada mereka agar usul Misi Pemerintah<br />

Pusat diterima.<br />

Sampai pukul 11 malam belum mencapai hasil yang diharapkan.<br />

Kemudian saya pulang ke Pendopo Gubernur dan saya serahkan kepada<br />

Saudara Zaini Bakri untuk berusaha agar mereka dapat menerima usul Misi<br />

Pemerintah Pusat.<br />

Saya tidak tidur semalam-malaman. Tiap jam, bahkan kadang tiap tiga<br />

puluh menit terjadi kontak telpon dengan Saudara Zaini Bakri. Saudara Zaini<br />

Bakri terus menjawab pertanyaan saya: "Belum, belum, belum, dan<br />

pembicaraan sedang berjalan terus".<br />

Saya menanti dengan cemas dan gemas.<br />

Kira-kira pukul 3.30 pagi bel telpon berdering; saya lari mendengarnya.<br />

Sayup-sayup terdengar suara Saudara Zaini Bakri di ujung sana: "Dewan<br />

Revolusi telah menerima usul Misi Pemerintah Pusat, besok pagi akan saya<br />

laporkan lengkap".<br />

Alhamdulillah, ujar saya sambil lari ke tempat tidur dan tertidur dengan<br />

ingatan bahwa Aceh akan menjadi Daerah Istimewa.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!