02.06.2013 Views

ACEH_03291

ACEH_03291

ACEH_03291

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

406 Kapankah Kalanya, O Maha Kuasa ...?<br />

Alangkah anehnya, Watiku, kita melihat sekumpulan manusia sibuk menggugur<br />

gunung untuk membuat jalan buat dilalui manusia seluruhnya; kemudian datang<br />

kumpulan yang lain, lantas merobah jalan itu di sana-sini dan mengatakan bahwa<br />

jalan itu adalah usahanya semata-mata; kemudian kumpulan yang lain lagi datang<br />

berbuat demikian pula dan terus menerus begitu, akhirnya jalan yang hanya satu itu<br />

tidakd apat digunakan lagi. Ini, Watiku, adalah akibat dari tidak tahu menghargai<br />

jasa, dan segala usaha harus dikatakan adalah usahanya sendiri.<br />

Alangkah takjubnya, Watiku, kalau kita melihat seekor sapi yang jatuh ke dalam<br />

sumur, yang ditolong oleh seorang manusia mendaratkannya, lantas sesampainya di<br />

atas menanduk orang yang melepaskannya itu. Ini, Watiku, adalah akibat dari<br />

kerendahan budi.<br />

Inilah, Watiku, beberapa pigura lukisan masyarakat, yang tergantung didinding<br />

perumahan Suri Ibunda kita. Selain dari itu, masih banyak lagi lukisan-lukisan pigura<br />

yang sangat merugikan cita-cita perjuangan kita malahan yang menyebabkan<br />

terlambatnya datang kemungkinan bagi kita untuk mendirikan rumah tangga ...<br />

Karena itu, Wati, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menempatkan pigura- .<br />

pigura yang telah ada itu dalam gedung area zaman, untuk hanya menjadi kenang-<br />

kenangan bagi keturunan yang akan tiba serta akan berikhtiar untuk mencegah jangan<br />

sampai terlukis lagi pigura-pigura lain yang serupa itu. Saya akan berusaha, Wati,<br />

supaya seluruh manusia pandai harga menghargai, pandai membalas jasa, pandai<br />

membedakan kepentingan bersama dengan kepentingan sendiri.<br />

Apabila dari pucuk bukit itu, Watiku, engkau telah melihat adanya perubahan di<br />

tanah yang rendah, bukan lagi seperti kita bersama-sama dahulu, itu tandanya bahwa<br />

usaha saya telah berhasil, dan pada waktu itu bersiap-siaplah engkau untuk mendiri­<br />

kan rumah tangga ...<br />

Sekian dahulu, Watiku yang manis !<br />

(Bakti)<br />

Dua bulan kemudian.<br />

"Akh, hari ini kembali telah menjelma tanggal 17 Agustus, hari ulang tahun yang<br />

ketiga bagi Republik Indonesia," keluh Tjintawati sendirian di puncak bukit.<br />

Semenjak surat yang kedua dari Bakti diterimanya, Tjintawati telah lebih sering dari<br />

yang sudah-sudah bersunyi diri di puncak bukit. Setiap dia memandang ke bawah, hatinya<br />

terus gusar dan gelisah, karena pigura lukisan masyarakat yang yang dikatakan Bakti bukan<br />

telah hilang, malahan bertambah satu demi satu.<br />

"Ini kiranya hasil dari dasar pahamku," kata hati Tjintawati, sebagai orang yang<br />

menyesal atas kekhilafannya.<br />

Dengan sorot matanya yang kuyu sayu, dia memandang ke bawah, ke tanah rendah,<br />

di mana jutaan manusia sedang resah gelisah menanti berakhirnya pelukis-pelukis<br />

masyarakat melukiskan pigura-pigura yang mengecewakan.<br />

"Akh, karena pertikaianku dengan Bakti," kata hatinya lagi dengan sedih, "maka<br />

kamu hai jutaan manusia yang menderita."

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!