ACEH_03291

ACEH_03291 ACEH_03291

02.06.2013 Views

18 DR. H. Roeslan Abdulgani kemuslimannya, kemukminannya, dan kemukhsinannya; dan yang menyalanyala jiwa nasionalisme dan patriotismenya. Beliau-lah yang ikut mempengaruhi Pemerintah Pusat untuk meiepaskan Aceh dari "kungkungan" Propinsi Sumatra Utara, dan menjadikan propinsi tersendiri. Ini terjadi pada tanggal 1 Januari 1957 dengan persetujuan sepenuhnya oleh Presiden Soekarno. Dan Saudara Ali Hasjmy-lah yang diminta oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2 untuk menjabat Gubernur Aceh yang pertama. Syukur alhamdulillah, Saudara Ali Hasjmy menerima dengan penuh keikhlasan dan penuh kesadaran, untuk dapat mengatasi pemberontakan Darul Islam. Juga untuk memperkokoh Negara Kesatuan dan Persatuan Indonesia berdasarkan Pancasila, dengan memperhatikan kekhususan dan kekhasan sejarah sosial-budayanya Aceh, serta kekuatan ekonominya. Saudara Ali Hasjmy menyadari pula posisi geostrategis dan geopolitisnya Aceh di ujung barat-laut Tanah Air kita, dan yang terkenal sebagai "serambi muka" Tanah Suci, Mekkah. Semua itu nampak terpatri dalam alam pikiran dan jiwa Saudara Ali Hasjmy. Itulah sekelumit watak Saudara Ali Hasjmy, yang saya kenal dari jauh. Beliau menjadi Gubernur Aceh yang pertama pada tahun 1957. Dan saya pada saat itu sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo, dengan Menteri Dalam Negeri, Saudara Mr. Sunarjo, dari Nahdlatul Ulama, mengikuti perkembangan Aceh dari jarak-jauh, tapi dari hati-dekat. Kesan saya menghadapi penampilan Saudara Ali Hasjmy ialah bahwa beliau seorang yang sangat rendah-hati. Tidak banyak bicara. Tenang, dan kalau mengeluarkan pendapatnya sangat jelas, to the point, kadang-kadang diselingi dengan basa-basi, tetapi selalu mencerminkan hasil pemikiran dan renungan yang dalam dan matang. "Still waters run deep!" Begitulah peribahasa Inggris. Yang mengandung arti, bahwa seorang tenang, menyimpan dalam jiwanya suatu pemikiran yang dalam sekali. Riak gelombang di roman mukanya hampir-hampir tak nampak, tetapi bantingan gelombang maha dahsyat di dalam jiwa dan pikirannya sangat besar sekali. Itulah Saudara Ali Hasjmy, yang kemudian saya lebih mengenalnya dari dekat. Apalagi sewaktu beliau duduk dalam Pengurus Front Nasional Pusat, dan sangat aktif mengimbangi dan membendung pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI).

* * * Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 19 Setiap pribadi ditempa dan dibina oleh beberapa faktor. Ilmu paedagogi dan ilmu psikologi menyebut tiga faktor. Pertama: faktor pembawaan, yang berakar pada orang tua dan leluhurnya. Kedua: faktor lingkungan, baik keadaan alam dan keadaan sosial, yang mengemban dan yang menatap pribadi itu sejak kecil sampai mendewasa. Ketiga: faktor kemauan hati dan ketajaman pikiran pribadi itu sendiri. Pribadi Prof. Ali Hasjmy tentunya juga sedikit banyak hasil interaksi ketiga faktor di atas. Akar kekeluargaannya yang hidup sederhana dan tahan bantingan nampak dalam pribadinya. Sedangkan lingkungan alam serta sosial Aceh, yang penuh dengan sejarah kepahlawanan dalam melawan penjajahan Belanda nampak jelas dalam jiwa keislamannya dan semangat nasionalismenya. Akhirnya faktor didaktisme yang sangat menarik sekali. Yaitu suka membaca, gemar membanding, halus dalam mengutarakan pikiran dan perasaannya. Baik secara lisan maupun dalam tulisan. Baik dalam bentuk novel maupun dalam ungkapan sajak dan puisi. Semua berisi. Ada getaran jiwanya, ada dambaan idealisme-nya, dan ada pesan religiusnya. Tercermin dalam segala ungkapannya itu suatu perpaduan jiwa keislaman dengan semangat kebangsaan. Khususnya di bidang sejarah Islam dan Nasionalisme, baik di Aceh maupun di seluruh Nusantara. Juga yang menyangkut sampai kawasan regional dan internasional. Saya teringat, bagaimana pada tahun 1959, menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dengan dasar Pancasila, beliau berusaha keras untuk mengajak gerakan Darul Islam kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Yaitu dengan mengusahakan adanya status keistimewaan untuk Propinsi Aceh, dalam kerangka Negara Kesatuan, di mana diperpadukan semangat Nasionalisme Indonesia dengan jiwa keislaman yang bersejarah di Aceh. Beliau melihat adanya realita kekhasan budaya dan adat Aceh yang bernafas Islam. Dan karena Pancasila adalah bertolak dari Nasionalisme yang religius-monotheistis, maka bumi Aceh dan rakyatnya mengandung nafas dan nyawa yang sama dengan struktur dan kultur seluruh bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan dan Persatuan Pancasila, yang menyuburkan ke-Bhineka-Tunggal-Ika-an sosiaLbudaya dan sosial-ekonomi.

* * *<br />

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 19<br />

Setiap pribadi ditempa dan dibina oleh beberapa faktor. Ilmu paedagogi dan<br />

ilmu psikologi menyebut tiga faktor.<br />

Pertama: faktor pembawaan, yang berakar pada orang tua dan leluhurnya.<br />

Kedua: faktor lingkungan, baik keadaan alam dan keadaan sosial, yang<br />

mengemban dan yang menatap pribadi itu sejak kecil sampai mendewasa.<br />

Ketiga: faktor kemauan hati dan ketajaman pikiran pribadi itu sendiri.<br />

Pribadi Prof. Ali Hasjmy tentunya juga sedikit banyak hasil interaksi<br />

ketiga faktor di atas. Akar kekeluargaannya yang hidup sederhana dan tahan<br />

bantingan nampak dalam pribadinya. Sedangkan lingkungan alam serta<br />

sosial Aceh, yang penuh dengan sejarah kepahlawanan dalam melawan<br />

penjajahan Belanda nampak jelas dalam jiwa keislamannya dan semangat<br />

nasionalismenya. Akhirnya faktor didaktisme yang sangat menarik sekali.<br />

Yaitu suka membaca, gemar membanding, halus dalam mengutarakan<br />

pikiran dan perasaannya. Baik secara lisan maupun dalam tulisan. Baik<br />

dalam bentuk novel maupun dalam ungkapan sajak dan puisi. Semua berisi.<br />

Ada getaran jiwanya, ada dambaan idealisme-nya, dan ada pesan religiusnya.<br />

Tercermin dalam segala ungkapannya itu suatu perpaduan jiwa<br />

keislaman dengan semangat kebangsaan. Khususnya di bidang sejarah Islam<br />

dan Nasionalisme, baik di Aceh maupun di seluruh Nusantara. Juga yang<br />

menyangkut sampai kawasan regional dan internasional.<br />

Saya teringat, bagaimana pada tahun 1959, menjelang Dekrit Presiden<br />

5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dengan dasar Pancasila, beliau<br />

berusaha keras untuk mengajak gerakan Darul Islam kembali ke pangkuan<br />

Republik Indonesia. Yaitu dengan mengusahakan adanya status keistimewaan<br />

untuk Propinsi Aceh, dalam kerangka Negara Kesatuan, di mana<br />

diperpadukan semangat Nasionalisme Indonesia dengan jiwa keislaman<br />

yang bersejarah di Aceh.<br />

Beliau melihat adanya realita kekhasan budaya dan adat Aceh yang<br />

bernafas Islam. Dan karena Pancasila adalah bertolak dari Nasionalisme yang<br />

religius-monotheistis, maka bumi Aceh dan rakyatnya mengandung nafas<br />

dan nyawa yang sama dengan struktur dan kultur seluruh bangsa Indonesia<br />

dalam wadah Negara Kesatuan dan Persatuan Pancasila, yang menyuburkan<br />

ke-Bhineka-Tunggal-Ika-an sosiaLbudaya dan sosial-ekonomi.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!