02.06.2013 Views

ACEH_03291

ACEH_03291

ACEH_03291

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 405<br />

Tjintawati mengharap, mudah-mudahan dengan memandang wajah Presiden akan<br />

hilanglah kebimbangannya, malahan dia mengharap kalau-kalau Bakti datang pula untuk<br />

meiepaskan dia dari belenggu yang sedang mengikat...<br />

Dari orang baru datang dari Jawa, Tjintawati mendapat berita bahwa Bakti sekarang<br />

telah menjadi Komandan dari Kompi Pengawal Istana. Kalau berita itu benar, Tjintawati<br />

mengharap mudah-mudahan ikut mengawal Presiden dalam perjalanannya ke Sumatra.<br />

Hasrat hati hendak memandang wajah Presiden dan rindu jiwa hendak berjumpa<br />

dengan Bakti, itulah yang membawa Tjintawati ke tengah-tengah lautan manusia sejak dari<br />

pagi buta, sehingga sekalipun telah sekian lama dia menanti, namun tiada merasa lelah.<br />

Tjintawati hendak lepas dari belenggu kebimbangan ...<br />

Alangkah kecewanya Tjintawati demi setelah Presiden dan rombongannya tiba,<br />

karena Bakti tidak ikut serta, Namun demikian, kegagalan yang sedang menyelimuti hatinya<br />

selama ini, terkuak perlahan-lahan ditiup angin sakti yang dibawa Presiden. Penerangan-<br />

penerangan yang diuraikan Presiden dalam beberapa rapat, diikuti Tjintawati dengan penuh<br />

minat, sehingga dengan demikian terlepaslah dia dari belenggu yang mengikatnya selama<br />

ini.<br />

Heran Tjintawati, mengapa Presiden memihak kepada paham atau pendirian Bakti.<br />

"Mungkinkah demikian?" Tjintawati bertanya kepada diri sendiri.<br />

"Tidak, Tidak!" jawab hatinya. "Hanya Presiden mengatakan kebenaran hatinya<br />

sendiri dan kebetulan Bakti salah seorang dari orang-orang yang berada dalam lingkungan<br />

kebenaran itu."<br />

Tjintawati telah bebas dari kebimbangan, dan Bakti baginya masih perlu untuk<br />

memberi tuntunan selanjutnya. Alangkah gemasnya hati Tjintawati, karena kuatir kalau-<br />

kalau setelah Presiden pergi dia terbelenggu kembali dalam kebimbangan. Untunglah,<br />

bahwa pesawat udara yang membawa Presiden turut pula membawa sepucuk surat kepada­<br />

nya dari Bakti, dan dua hari setelah Presiden pergi baru surat itu diterimanya; surat mana<br />

berbunyi:<br />

Wati!<br />

Mungkin suratku yang lalu, menyebabkan engkau bimbang. Kalau benar<br />

demikian, memang telah kuduga dari semula. Kuharap, moga-moga dengan<br />

kedatangan Presiden, engkau akan terlepas dari belenggu. Selanjutnya, suratku ini<br />

dapat pula hendaknya menjadi tempat engkau berpegang.<br />

Lukisan masyarakat yang kugambarkan dalam suratku yang lalu, sekarang masih<br />

tetap merupakan pigura yang sangat membingungkan rakyat murba. Malahan, Wati-<br />

ku, pigura-pigura yang serupa itu kian hari kian bertambah, sekalipun dengan warna<br />

yang lain. Mari, Wati, kugambarkan kepadamu beberapa corak dari pigura-pigura<br />

itu.<br />

Alangkah ganjilnya, Watiku kita melihat segolongan manusia sedang mém­<br />

bangun suatu bangunan yang berguna untuk semua; dan kemudian datang golongan<br />

yang lain merobohkan bangunan itu, seraya membangunkan bangunannya sendiri,<br />

juga yang berguna untuk semua. Bangunan golongan inipun dihancurkan oleh<br />

golongan yang lain lagi, serta membangunkan bangunannya sendiri pula dan<br />

demikianlah terus-menerus. Ini adalah akibat dari irihati satu golongan melihat usaha<br />

golongan yang lain.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!