02.06.2013 Views

ACEH_03291

ACEH_03291

ACEH_03291

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

404 Kapankah Kalanya, O Maha Kuasa ...?<br />

Berdasarkan keyakinannya dalamperjuangan, Tjintawati senantiasa resah gelisah;<br />

menanti-nanti kapan kalanya Bakti pulang untuk mendirikan rumah tangga.<br />

Setahun setelah Bakti pergi, hari ulang tahun yang kedua dari Republik menjelmalah.<br />

Tjintawati tidak bersama orang ramai merayakan saat sejarah itu. Dia tinggal di rumah<br />

merayakan dalam hatinya sendiri. Denga sedih, Tjintawati mengucapkan:<br />

17 Agustus sekarang ini,<br />

Sayang hatiku sunyi sendiri.<br />

Dengan perasaan sayu berulang-ulang Tjintawati menyanyikan sajak pendek ini, dan<br />

akhirnya terhenti dengan sebab sepucuk surat dari Bakti yang berbunyi:<br />

Wati!<br />

Mungkin suratku ini engkau terima pada tanggal 17 Agustus, dan mudah-<br />

mudahan demikianlah hendaknya. Pada saat surat ini kutulis, telah berlaku delapan<br />

hari Belanda memperkosa kemerdekaan kita dengan bertopengkan aksi kepolisian.<br />

Sebelum penyerangan Belanda itu berlaku, pergolakan antara dasar perjuangan saya<br />

dengan dasar perjuanganmu Wati, telah sedemikian hebatnya.<br />

Akibat dari pergolakan dasar perjuangan ini, Wati, sangat besar.<br />

Anehnya, bahwa orang yang katanya menganut paham saya, dengan sengaja atau<br />

tidak sengaja, telah memperjuangkan pahammu, Wati. Peristiwa yang mengecewa-<br />

kan ini, berakhir dengan pertengkaran golongan, yang masing-masingnya meng-<br />

utamakan diri sendiri, harta perumahan yang sedang dibina itu runtuhlah sebingkah<br />

demi sebingkah. Setelah hancur lantas dibina kembali, dan waktu hampir-hampir<br />

sempurna beramai-ramailah mereka memperebutkan tempat didalamnya, hatta<br />

robohlah macam semula. Demikianlah, Wati, keadaan terus menerus ...<br />

Wati yang berbahagia!<br />

Saya sedang berusaha, supaya lagu "kesayaan" yang sedang berkumandang di<br />

tengah-tengah masyarakat kita, lekas hendaknya lenyap, sehingga gambaran yang<br />

telah saya lukiskan di atas tidak akan berulang lagi. Dan waktu itulah, Wati baru<br />

mungkin kita mendirikan rumah tangga. Tiap-tiap pagi, naiklah ke puncak bukit, di<br />

mana tempat kita berdiri sehari sebelum berpisah, dan lihatlah ke bawah ke tanah<br />

rendah; bila keadaan telah berubah sebagai saya ceritakan dahulu, itu tandanya usaha<br />

saya berhasil.<br />

Sekian dahulu, Wati!<br />

(Bakti)<br />

Setelah menerima surat di atas, hati Tjintawati diliputi kebimbangan. Dia bimbang<br />

akan kebenaran paham yang diyakininya. Dalam kebimbangan itulah, dia terus terapung-<br />

apung di permukaan laut yang tiada berdasar. Nasehat Bakti diturutinya, tiap-tiap pagi ia<br />

menaiki bukit yang dikatakan Bakti itu, dan berdirilah Tjintawati di puncaknya memandang<br />

ke* bawah, menanti kalau-kalau keadaan telah berubah.<br />

Tjintawati bimbang dan terus bimbang, dan dalam kebimbangan itulah dia berdiri di<br />

tengah-tengah lautan manusia pada 15 Juni 1948 untuk menanti kedatangan Presiden,<br />

sebagai terlukis pada awal kisah ini.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!