ACEH_03291
ACEH_03291 ACEH_03291
Kapankah Kalanya, O Maha Kuasa ...? Widjaja, 17 Agustus 1948 "Akh, sudah pukul 10, belum juga datang lagi," mengeluh Tjintawati, sambil me iepaskan pandangannya ke angkasa luas, melihat kalau-kalau pesawat udara yang dihasrati- nya itu telah mulai menguak awan yang tebal, menyujud ke bumi. Hasrat hendak melihat wajah Presiden yang dicintainya, itulah sebabnya Tjintawati bersama puluhan ribu manusia yang lain, dari tadi pagi dengan harap-harap cemas menanti- nanti terdengarnya derum mesin pesawat yang ditumpangi Presiden. Bagi Tjintawati, bahwa yang mendorong dia bagai tak sabar menanti, bukan saja karena hasratnya yang meng- gunung hendak memandang wajah Bung Karno; tetapi juga lantaran satu lagu asmara yang sedang bersinandung dalam jiwanya. Tjintawati putri dari keluarga orang perjuangan di daerah AcehBesar, yang sejak zaman penjajahan Belanda diia telah mengambil bahagian dalam perjuangan kemerdekaan. Dengan persetujuan kedua belah pihak, pada penghujung zaman penjajahan Belanda Tjinta wati bertunangan dengan Bakti, seorang pemuda perjuangan, yang hanya kenal berbakti kepada tanah air. Tiap-tiap ada usaha dari orang tua kedua belah pihak hendak menikahkan mereka, Bakti selalu menjawab: "Belum masanya ...!" Dalam zaman penindasan Jepang, Tjintawati dan Bakti turut memimpin satu gerakan bawah tanah untuk menumbangkan kekuasaan militerisme Jepang, sehingga hasil dari gerakan itu pernah terjadi beberapa kali pemberontakan. Gerakan bawah tanah ini, setelah Jepang menyerah menjelma menjadi pelopor kemerdekaan dari angkatan muda; sedang Tjintawati dan Bakti tetap menjadi bintang-bintangnya yang bercahaya. Tjintawati dan Bakti gambaran dari jiwa dan semangat pemuda pemudi, lukisan perjuangan putra-putri Indonesia yang sedang menukilkan sejarah kebesaran tanah airnya di atas lembaran riwayat dunia. "Kata orang, Bakti, bahwa cita-cita kita telah sampai," demikian ujar Tjintawati kepada Bakti pada suatu petang, "Apa belumkah waktunya kita mendirikan rumah tangga?" "Apa, cita-cita kita telah sampai?" menyahut Bakti bagai terkejut, "Belum, belum, Wati! Kemerdekaan bagi kita kaum pencinta kemanusiaan, hanya jembatan ke arah cita-cita yang sebenarnya. Bukankah kita berhasrat, supaya seluruh bangsa kita menjadi manusia yang berbahagia?" "Dan apa salahnya, di samping usaha bersama, kita mendirikan rumah tangga sendiri?" Tjintawati menyela. 402
Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 403 "Salahnya besar, Wati," menjahut Bakti dengan pasti. "Mendahului kepentingan diri dari kepentingan bersama, adalah celaan yang sangat besar bagi kaum pencinta kemanusiaan." "Diri kita adalah sebahagian dari manusia," ujar Tjintawati "Bandingkan, Wati, apa artinya setitik air di tengah-tengah samuderayang besar itu." "Dan bukankah satnudera itu asalnya dari jutaan titik air yang tiada berhingga?" Tjintawati mendebat. "Ingat pula, Wati, bahwa samudera tidak akan ada, kalau tiap-tiap titik dari air laut itu hanya mengingat dirinya sendiri." Demikian selalu Tjintawati dan Bakti bertukar pikiran tentang kehidupan ini. Bakti berpendirian, bahwa bahagia seorang terletak dalam bahagia bersama, sedangkan Tjintawati berpendapat bahwa bahagia bersama asalnya dari bahagia seorang. Karena berselisih pendapat inilah, maka sering keduanya bertikai paham tentang waktu pendirian rumah tangga. "Besok saya akan berangkat, Wati," ujar Bakti pada suatu pagi kepada Tjintawati, di waktu mana, keduanya sedang berdiri dipuncak sebuah bukit. "Berangkat kemana?" bertanya Tjintawati dengan takjub. "Sampaikah hatimu Bakti, meninggalkan gelanggang perjuangan kita?" "Ke Jawa, Wati," sahut Bakti dengan tegas, "untuk menyatukan diri dalam gelom bang perjuangan yang lebih besar." "Apabilakah gerangan, engkau kembali, Bakti?" bertanya Tjintawati dengan sayu. "Dan kapankah kalanya kita boleh mendirikan rumah tangga?" dek. "Setelah cita-cita Kaum Pencinta Kemanusiaan sampai," jawab Bakti dengan pen "Kapankah kalanya, Bakti ...?" "Apabila engkau telah melihat, bahwa masyarakat di tanah air kita tidak seperti sekarang lagi, itulah tanda bahwa kalanya telah tiba." "Jelasnya?" mendesak Tjintawati. "Lihat, Wati, ke sana ke tempat yang rendah," Bakti menunjuk dengan telunjuknya ke tanah datar di kaki bukit, "masyarakat manusia sedang diliputi aneka durjana. Di sana masih terdapat kekejaman, kezaliman, kecurangan, kepalsuan, kebohongan, penindasan, perampasan; orang yang kaya masih mempergunakan hartanya untuk memeras orang miskin; orang yang pandai masih mempergunakan kepandaiannya untuk menipu orang yang bodoh; orang yang berpangkat masih mempergunakan pangkatnya untuk menindas rakyat murba; pemimpin-pemimpin masih membuat golongan dalam menghapus golongan." "Dan ..." kerongkongan Tjintawati bagai tersumbat. "Dan bila engkau telah melihat, Wati," Bakti menyambung ceritanya, "bahwa masyarakat manusia telah berubah menjadi lukisan pigura yang baru, yang berjalinkan persamaan hak dan kewajiban; itu tandanya bahwa cita-cita Kaum Pencinta Kemanusiaan telah sampai dan sayapun telah berada di sampingmu untuk mendirikan rumah tangga ..." Sehari kemudian, berangkatlah Bakti dengan cita-cita hendak mémbangun kebahagiaan seluruh bangsa manusia; sedangkan Tjintawati tinggal berjuang sendirian.
- Page 375 and 376: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 351 Q
- Page 377 and 378: Maka pertemuan pun ditutup. Delapan
- Page 379 and 380: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 355 r
- Page 381 and 382: Ny. Nur Jannah Bachtiar Nitura Moza
- Page 383 and 384: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 359 m
- Page 385 and 386: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 361 f
- Page 387 and 388: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 363 f
- Page 389 and 390: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 365 B
- Page 391 and 392: Dari Anak, Menantu, dan Kemenakan P
- Page 393 and 394: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 369 t
- Page 395 and 396: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 371 K
- Page 397 and 398: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 373
- Page 399 and 400: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 375 t
- Page 401 and 402: Perhatian ke Dalam dan ke Luar Berj
- Page 403 and 404: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 379 o
- Page 405: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 381 p
- Page 408 and 409: 384 Sekeping Rasa untuk A, Hasjmy M
- Page 410 and 411: Lukisan Jati Diri A. Hasjmy Sajak d
- Page 412 and 413: TanahIbuku Pujangga Baru, 1938 Di m
- Page 414 and 415: Sctarakah...? Pujangga Baru, 1941 I
- Page 416 and 417: Cut Nyak Dhien Zaman Baru Seruan Be
- Page 418 and 419: Sekaki Kesuma Persembahan kepada ar
- Page 420 and 421: Untuk Bersama Panji Islam, 25 Juli
- Page 422 and 423: 398 Kenalkah Tuan Perempuan? "Biar,
- Page 424 and 425: 400 Kenalkah Tuan Perempuan? dinama
- Page 428 and 429: 404 Kapankah Kalanya, O Maha Kuasa
- Page 430 and 431: 406 Kapankah Kalanya, O Maha Kuasa
- Page 432 and 433: Lilin Tegas, 1950 Berita perceraian
- Page 434 and 435: 410 Lilin ... Aku merasa bahwa caha
- Page 436 and 437: 412 Riwayat Hidup Singkat Prof. A.
- Page 438 and 439: 414 Riwayat Hidup Singkat Prof. A.
- Page 440 and 441: 416 Riwayat Hidup Singkat Prof. A.
- Page 442 and 443: 418 Riwayat Hidup Singkat Prof. A.
- Page 448: PT BULAN BINTANG Penerbit Buku Jala
Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 403<br />
"Salahnya besar, Wati," menjahut Bakti dengan pasti. "Mendahului kepentingan diri<br />
dari kepentingan bersama, adalah celaan yang sangat besar bagi kaum pencinta<br />
kemanusiaan."<br />
"Diri kita adalah sebahagian dari manusia," ujar Tjintawati<br />
"Bandingkan, Wati, apa artinya setitik air di tengah-tengah samuderayang besar itu."<br />
"Dan bukankah satnudera itu asalnya dari jutaan titik air yang tiada berhingga?"<br />
Tjintawati mendebat.<br />
"Ingat pula, Wati, bahwa samudera tidak akan ada, kalau tiap-tiap titik dari air laut<br />
itu hanya mengingat dirinya sendiri."<br />
Demikian selalu Tjintawati dan Bakti bertukar pikiran tentang kehidupan ini. Bakti<br />
berpendirian, bahwa bahagia seorang terletak dalam bahagia bersama, sedangkan Tjintawati<br />
berpendapat bahwa bahagia bersama asalnya dari bahagia seorang. Karena berselisih<br />
pendapat inilah, maka sering keduanya bertikai paham tentang waktu pendirian rumah<br />
tangga.<br />
"Besok saya akan berangkat, Wati," ujar Bakti pada suatu pagi kepada Tjintawati, di<br />
waktu mana, keduanya sedang berdiri dipuncak sebuah bukit.<br />
"Berangkat kemana?" bertanya Tjintawati dengan takjub. "Sampaikah hatimu Bakti,<br />
meninggalkan gelanggang perjuangan kita?"<br />
"Ke Jawa, Wati," sahut Bakti dengan tegas, "untuk menyatukan diri dalam gelom<br />
bang perjuangan yang lebih besar."<br />
"Apabilakah gerangan, engkau kembali, Bakti?" bertanya Tjintawati dengan sayu.<br />
"Dan kapankah kalanya kita boleh mendirikan rumah tangga?"<br />
dek.<br />
"Setelah cita-cita Kaum Pencinta Kemanusiaan sampai," jawab Bakti dengan pen<br />
"Kapankah kalanya, Bakti ...?"<br />
"Apabila engkau telah melihat, bahwa masyarakat di tanah air kita tidak seperti<br />
sekarang lagi, itulah tanda bahwa kalanya telah tiba."<br />
"Jelasnya?" mendesak Tjintawati.<br />
"Lihat, Wati, ke sana ke tempat yang rendah," Bakti menunjuk dengan telunjuknya<br />
ke tanah datar di kaki bukit, "masyarakat manusia sedang diliputi aneka durjana. Di sana<br />
masih terdapat kekejaman, kezaliman, kecurangan, kepalsuan, kebohongan, penindasan,<br />
perampasan; orang yang kaya masih mempergunakan hartanya untuk memeras orang<br />
miskin; orang yang pandai masih mempergunakan kepandaiannya untuk menipu orang yang<br />
bodoh; orang yang berpangkat masih mempergunakan pangkatnya untuk menindas rakyat<br />
murba; pemimpin-pemimpin masih membuat golongan dalam menghapus golongan."<br />
"Dan ..." kerongkongan Tjintawati bagai tersumbat.<br />
"Dan bila engkau telah melihat, Wati," Bakti menyambung ceritanya, "bahwa<br />
masyarakat manusia telah berubah menjadi lukisan pigura yang baru, yang berjalinkan<br />
persamaan hak dan kewajiban; itu tandanya bahwa cita-cita Kaum Pencinta Kemanusiaan<br />
telah sampai dan sayapun telah berada di sampingmu untuk mendirikan rumah tangga ..."<br />
Sehari kemudian, berangkatlah Bakti dengan cita-cita hendak mémbangun<br />
kebahagiaan seluruh bangsa manusia; sedangkan Tjintawati tinggal berjuang sendirian.