ACEH_03291

ACEH_03291 ACEH_03291

02.06.2013 Views

398 Kenalkah Tuan Perempuan? "Biar, aku tidak perlu kenal jenis manusia yang telah menghancurkan hatiku ..." "Menghancurkan hati tuan?" "Merubuhkan bahagiaku." "Merubuhkan bahagia tuan?" "Mengganggu ketentraman jiwaku." "Jadi, orang yang menghancurkan hati tuan, merubuhkan bahagia tuan dan meng­ ganggu ketenteraman jiwa tuan, itukah yang tuan namakan perempuan? Baik, sungguh meieset filsafat tuan." "Apa perlu kuterangkan bahwa kaum kau yang menyebabkan aku begini, supaya terbukti kepada kau kebenaran perkataanku?" "Terserah pada tuanlah." "Kalau begitu baik," jawab Rusli dengan suara yang sedikit Iembut, sambil ia memandang leretan bukit yang nampak antara ada dengan tiada karena diselubungi awan yang bergumpal berkeliaran, seakan-akan ia membaca di situ riwayatnya yang telah lalu, supaya boleh dipaparkan dengan sejelas-jelasnya, sedangkan gadis itu menatapi wajah Rusli dengan pandangan hiba kasihan; kasihan akan anak muda yang malang itu. Sesaat kemudian Rusli bercerita: Pada masa saya masih bersekolah, waktu saya disebutkan anak muda, bersahabatlah saya dengan seorang anak perempuan yang sekelas dengan saya, persahabatan mana, sangat akrab dan berjalan dengan aman damai, sehingga remajalah kami. Pada suatu hari ia menceritakan pada saya, bahwa ia ingin bersama-sama hidup dengan saya. Di hari itu juga saya nyatakan padanya akan minat saya yang sama dengan dia. Demikianlah dari sehari-hari kasih mesra saya kepadanya bertambah-tambah, kasih yang semacam itu orang menamakan, "Cinta". Diapun sering menyatakan rindu kalbunya kepada saya. Karena itu dengan semupakat kami mohonkan kepada orang tua kami masing- masing supaya kami dipertunangkan. Maksud kami berhasil, maka bertunanganlah kami. Tetapi ... tiga bulan kemudian pecahlah berita, bahwa gedung pertunangan kami sudah rubuh, dia sendiri yang merubuhkannya. Di belakang itu terdengar kabar kepada saya, dia sudah bertunangan dengan seorang pemuda lain yang lebih cakap dan manis dari saya, yang lebih pandai bercumbu-cumbu ... Di kala ituk tepian hati saya yang biasa tenang, berombaklah sejadi-jadinya, di antara deburan riaknya tersemburlah lagu: Oh, perempuan, begini kiranya fi'ilmu ...? "Diakah yang tuan namakan perempuan?" tanya gadis itu. "Sungguh meieset tuan, karena orang yang tuan sebutkan perempuan tiada padanya sebab-sebab yang boleh dinama­ kan perempuan. Satu-satu makhluk yang mudah terpengaruh dengan lahir saja, teristimewa dalam memilih jodoh, belum pantas dia dinamakan perempuan, sebab hikmat Tuhan pada menjadikan binti Hawa bukan demikian. Kalau tuan hendak memberi nama juga kepada dia, sebut sajalah boneka perempuan ..." "Dengar dulu kukisahkan sehabis-habisnya," kata Rusli, "supaya lebih mengerti kau di mana duduknya kaummu dalam pandangan saya." "Itulah yang sebaik-baiknya," sahut gadis itu dengan lemah lembut.

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 399 Sesudah hati saya remuk redam karena tertusuk dengan kejadian di atas pergilah saya ke salah satu kota besar untuk merintang-rintang kalbu yang termanggu. Nasib saya baik, dengan sebentar saja dapat kerja pada sebuah firma dengan gaji yang menyenangkan. Dalam pergaulan kota yang beranekaragam ronanya, lupalah saya akan hal yang lalu. Kepercayaan saya kepada kaum perempuan yang hampir-hampir timbul, tenggelam kem­ bali, hatta berkenalanlah saya dengan seorang gadis. Di celah-celah perkenalan kami terseliplah panah asmara yang membawa kami bertunangan serta berjanji setia sama setia. Tetapi ... sepuluh hari sebelum perkawinan kami berlangsung, sepucuk surat saya terima dari dia, di mana dinyatakan pertunangan kami baik dihabiskan saja ... Sehari kemudian sepucuk surat lagi saya terima dari seorang teman sekerja yang lebih besar gajinya dari saya, yang mana teman itu mengharap saya hadir dalam peralatan kawinnya dengan ... bekas tunangan saja. Luka hati saya kali ini lebih parah dari yang pertama. Maka minta berhentilah saya dengan hormat dari kerja dan pulang ke dusun kembali, ke kampung asli. Daun hati saya sudah gugur ... kepercayaan saya kepada kaum perempuan hilang lenyap, mereka saya pandang sebagai racun ... Setahun dua tahun saya tinggal di kampung meminum udara dusun yang bersih jernih, maka pada tahun yang ketiga ayah dan bunda memastikan saya kawin dengan seorang gadis yang sudah dipilihnya. Meskipun bagaimana juga saya menolak, namun tidak mungkin, hatta saya mengalah, karena memelihara hati keduanya jangan terganggu, biarpun untuk itu saya musti berkorban ... Dengan ringkas, perkawinan kami dilangsungkan dengan amat sederhana. Kendati- pun jiwa saya tiada merasa sedikitpun bahagia dalam perkawinan itu, tetapi seorang manusiapun tiada mengetahuinya, rumah tangga kami hening damai, di luar atau di dalam, laksana pelayaran kapal di musim teduh. Satu dua sampai enam bulan perjalanan kami melalui gurun perkawinan dalam baik. Walakin ... dengan sekonyong-konyong ibu saya meninggal ... ayah saya jatuh miskin ... bintang kami turun ... Semenjak itu ombak rumah tangga kami bergelora sehari demi sehari bertambah tinggilah ombaknya melambung, sehingga leburlah pantai pergaulan kami, dengan kata yang lain kami bercerai ... Beberapa bulan kemudian rumah yang saya tinggalkan itu dikemudikan oleh anak seorang hartawan, kabarnyaperjanjian rahasia sudah lama terjadi. Dengan ini sudah tiga kali sukmaku merana, kalbuku rusak binasa dan jantungku hancur lebur, karena fi'ilnya kaum perempuan ... Mulai waktu itulah saya menyisihkan diri dari pergaulan orang banyak dan dalam lembaran hati saya tertulis: Engkaulah, hai perempuan perusak dunia dan pengganggu kehidupan laki-laki. Biarlah aku menjauhkan orang banyak, menyisihkan diri ke lereng-lereng bukit, di tempat nan hening senyap, supaya tidak terlihat rupamu, tidak terdengar lagi suaramu ... "Adakah lagi yang akan tuan ceritakan?" tanya gadis itu. "Sehingga itulah," jawab Rusli. "Nah, benar tuan belum kenal lagi perempuan. Tuan khilaf, yang tuan namakan perempuan itu, sebenarnya bukan. Mereka tiada menyimpan sifat-sifat keperempuanan

398 Kenalkah Tuan Perempuan?<br />

"Biar, aku tidak perlu kenal jenis manusia yang telah menghancurkan hatiku ..."<br />

"Menghancurkan hati tuan?"<br />

"Merubuhkan bahagiaku."<br />

"Merubuhkan bahagia tuan?"<br />

"Mengganggu ketentraman jiwaku."<br />

"Jadi, orang yang menghancurkan hati tuan, merubuhkan bahagia tuan dan meng­<br />

ganggu ketenteraman jiwa tuan, itukah yang tuan namakan perempuan? Baik, sungguh<br />

meieset filsafat tuan."<br />

"Apa perlu kuterangkan bahwa kaum kau yang menyebabkan aku begini, supaya<br />

terbukti kepada kau kebenaran perkataanku?"<br />

"Terserah pada tuanlah."<br />

"Kalau begitu baik," jawab Rusli dengan suara yang sedikit Iembut, sambil ia<br />

memandang leretan bukit yang nampak antara ada dengan tiada karena diselubungi awan<br />

yang bergumpal berkeliaran, seakan-akan ia membaca di situ riwayatnya yang telah lalu,<br />

supaya boleh dipaparkan dengan sejelas-jelasnya, sedangkan gadis itu menatapi wajah Rusli<br />

dengan pandangan hiba kasihan; kasihan akan anak muda yang malang itu.<br />

Sesaat kemudian Rusli bercerita:<br />

Pada masa saya masih bersekolah, waktu saya disebutkan anak muda, bersahabatlah<br />

saya dengan seorang anak perempuan yang sekelas dengan saya, persahabatan mana, sangat<br />

akrab dan berjalan dengan aman damai, sehingga remajalah kami. Pada suatu hari ia<br />

menceritakan pada saya, bahwa ia ingin bersama-sama hidup dengan saya. Di hari itu juga<br />

saya nyatakan padanya akan minat saya yang sama dengan dia.<br />

Demikianlah dari sehari-hari kasih mesra saya kepadanya bertambah-tambah, kasih<br />

yang semacam itu orang menamakan, "Cinta". Diapun sering menyatakan rindu kalbunya<br />

kepada saya. Karena itu dengan semupakat kami mohonkan kepada orang tua kami masing-<br />

masing supaya kami dipertunangkan. Maksud kami berhasil, maka bertunanganlah kami.<br />

Tetapi ... tiga bulan kemudian pecahlah berita, bahwa gedung pertunangan kami<br />

sudah rubuh, dia sendiri yang merubuhkannya. Di belakang itu terdengar kabar kepada saya,<br />

dia sudah bertunangan dengan seorang pemuda lain yang lebih cakap dan manis dari saya,<br />

yang lebih pandai bercumbu-cumbu ...<br />

Di kala ituk tepian hati saya yang biasa tenang, berombaklah sejadi-jadinya, di antara<br />

deburan riaknya tersemburlah lagu: Oh, perempuan, begini kiranya fi'ilmu ...?<br />

"Diakah yang tuan namakan perempuan?" tanya gadis itu. "Sungguh meieset tuan,<br />

karena orang yang tuan sebutkan perempuan tiada padanya sebab-sebab yang boleh dinama­<br />

kan perempuan. Satu-satu makhluk yang mudah terpengaruh dengan lahir saja, teristimewa<br />

dalam memilih jodoh, belum pantas dia dinamakan perempuan, sebab hikmat Tuhan pada<br />

menjadikan binti Hawa bukan demikian. Kalau tuan hendak memberi nama juga kepada dia,<br />

sebut sajalah boneka perempuan ..."<br />

"Dengar dulu kukisahkan sehabis-habisnya," kata Rusli, "supaya lebih mengerti kau<br />

di mana duduknya kaummu dalam pandangan saya."<br />

"Itulah yang sebaik-baiknya," sahut gadis itu dengan lemah lembut.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!