02.06.2013 Views

ACEH_03291

ACEH_03291

ACEH_03291

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 345<br />

Jepang akan lumpuh ketika itu. Perang Cumbok yang berlangsung selama<br />

dua puluh hari di bulan Desember 1942 itu telah menjadikan bentuk perang<br />

gerilya gaya baru. Culik menculik terjadi di mana-mana. Banyak yang mati<br />

dipotong. Peristiwa penyembelihan manusia yang paling tragis yang pernah<br />

dialami Aceh dalam sejarahnya. Peristiwa Cumbok yang disimbolkan dengan<br />

matinya Teuku Daud Cumbok, seorang guncho di Lam Meulo, ini<br />

adalah karena sikapnya yang tidak percaya pada kekuatan rakyat yang<br />

menyambut proklamasi kemerdekaan.<br />

Daud Cumbok secara terang-terangan menyatakan anti-kemerdekaan<br />

RI dan menginginkan Belanda —yang selama ini memberikan kewenangan<br />

dan tunjangan kepada uleebalang— sangat pongah dan membentuk pasukan<br />

sendiri yang diberi nama Barisan Pengawal Kemerdekaan (BPK). BPK pada<br />

hakekatnya mengawal kemerdekaan semu para uleebalang, bukan kemerdekaan<br />

rakyat. BPK ini merekrut pasukan yang berasal dari KNIL Belanda<br />

dan dari tentara bekas Jepang. Bentrokan senjata terjadi ketika keinginan<br />

rakyat dan keinginan para bangsawan saling bertentangan. Ulah Daud Cumbok<br />

membuat rakyat ingin membabat para uleebalang lainnya.<br />

Akhirnya, Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) mengganyang kaum<br />

yang anti revolusi ini dalam satu gelombang pembersihan yang disebut<br />

gerakan pembersihan. Hal ini merupakan lanjutan atas gelombang<br />

pembersihan kaum bangsawan sebelumnya dari golongan raja-raja dan<br />

bangsawan di Sumatra Timur. Hasjmy dalam setting sejarah penting ini<br />

masih terlibat dalam gerakan yang diam-diam menyusun kekuatan, sambil<br />

menunggu saat yang tepat untuk mengusir Jepang.<br />

Hingga suatu hari, selagi Hasjmy mengajar, muncul dua orang utusan<br />

Jepang memintanya supaya bekerja di kantor berita Atjeh Sinbun, Banda<br />

Aceh. Tawaran itu ia terima baik untuk kembali berjuang. Dari sinilah<br />

kemudian Hasjmy dan kawan-kawan menyusun gerakan bawah tanah dengan<br />

jaringan yang lebih luas dan dengan fasilitas komunikasi yang sangat<br />

dibutuhkan saat itu, seperti radio dan surat kabar, bersama-sama kawan yang<br />

bekerja di Domei untuk melawan Jepang yang sudah mulai diketahui<br />

kelicikannya untuk menjajah para pemimpin pergerakan. Di masa-masa<br />

menyusun jaringan gerakan bawah tanah inilah Hasjmy menikah (tahun<br />

1941) di Seulimeum dengan seorang wanita yang tabah, Zuriah Aziz. Satu<br />

romantika unik di masa transisi.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!