02.06.2013 Views

ACEH_03291

ACEH_03291

ACEH_03291

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

340 Drs. Sayed Mudhahar Ahmad<br />

Sekolah Belanda yang dimasukinya ketika itu adalah Goverment Inlandsche<br />

School, sekolah dasar lima tahun. Tapi Hasjmy sebagaimana anakanak<br />

Aceh lainnya yang dalam pikirannya sudah ter-setting bahwa "Belanda<br />

adalah musuh", tidak semata-mata mengambil ilmu dari sekolah Belanda itu<br />

saja, melainkan ketika sorenya belajar agama di dayah —semacam<br />

pesantren. Dayah merupakan institusi tradisional Aceh yang memperlihatkan<br />

betapa jelasnyakekentalan agama ditanamkan lewat jalur pendidikan. Belum<br />

cukup sore belajar di dayah, Hasjmy kecil bersama banyak anak-anak Aceh<br />

lainnya di kampung Montasie itu juga masih ke meunasah pada malam<br />

harinya. Meunasah hampir seperti "musholla", tapi lebih sebagai balai desa<br />

yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan pengajian bersama sampai<br />

setelah shalat Isya. Institusi ini menunjukan sulitnya pemisah antara nilainilai<br />

agama dan administrasi pemerintahan. Pembauran dua bentuk nilai<br />

yang berbeda ini dalam institusi meunasah melahirkan bentuk baru<br />

liberalisme kaum muda untuk terlibat langsung dalam dua niilai secara<br />

sekaligus. Hasjmy mc-refer ke pengalaman ini ketika harus mengambil<br />

posisi antara Daud Beureueh dan Bung Karno.<br />

Setamat dari sekolah dasar lima tahun itu, Hasjmy melanjutkan belajar<br />

ke Padang, Thawalib School Tingkat Menengah, sekolah Islam setingkat<br />

SLTA di Padang Panjang, Sumatra Barat. Seharusnya ia melanjutkan ke HIS,<br />

tapi Nenek melarangnya. Alasannya, supaya Hasjmy tidak menjadi orang<br />

Belanda. Ia tetap ingat dua kakeknya adalah musuh orang Belanda. Lulus<br />

dari sekolah agama ini, Hasjmy kembali ke Seulimeum, mengajar tiga tahun<br />

di Tsanawiyah. Rencana studinya ke perguruan tinggi adalah juga berkat<br />

dorongan dan "perintah" dari Neneknya. Kembali ke Padang, studi di Al-<br />

Jami'ah Al-Islamiyah Qism Adaabul Lughah wa Taarikh al-Islamiyah<br />

(Perguruan Tinggi Islam Jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam), selama tiga<br />

tahun.<br />

Setelah menyelesaikan tahun pertama kuliah, tiba-tiba terjadi resesi<br />

yang terkenal dengan istilah "melaise 1930" yang mengancam dunia baru<br />

merambat ke wilayah Indonesia. Usaha Ayahnya bangkrut dan hanya dikirimi<br />

uang terakhir untuk pulang. Tapi Hasjmy tetap bertekad bertahan di<br />

Padang. Belajar dari cari uang sendiri dengan menulis, membuat puisi, cerita<br />

pendek, dan novel. Masa-masa inilah merupakan masa produktifnya di<br />

bidang sastra. Sampai pada proklamasi kemerdekaan, semua buku yang<br />

dihasilkannya adalah sastra. Berjumlah delapan buku. Hasil ini merupakan<br />

imbasan masa lalu yang sarat dengaan "ideologi" yang diperolehnya dari<br />

Sang Nenek. Masa kecil yang senantiasa mendengarkan Hikayat Perang

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!