ACEH_03291
ACEH_03291 ACEH_03291
12 Ny. Zuriah Hasjmy Waktu terjadi peperangan yang timbul antara Belanda dengan orang Aceh di Seulimeuem, waktu itu saya baru kawin, suami saya beserta pejuang lainnya melakukan perang gerilya dalam hutan-hutan di sekitar Seulimeum, dan setelah tentara Belanda lari dari Aceh dan balatentara Jepang masuk, barulah suami saya turun dari medan gerilya. • Anak kami yang pertama lahir pada tanggal 15 Desember 1942 dan bernama Mahdi Hasjmy. • Surya Hasjmy, lahir tahun 1945, enam bulan sebelum Tanah Air Indonesia merdeka. • Dharma Hasjmy, anak kami ketiga, lahir tahun 1947, pada waktu kami sedang bersiap-siap pulang ke kampung karena dikuatirkan tentera Belanda menyerang Banda Aceh. • Gunawan Hasjmy, anak kami keempat, lahir tahun 1949, hanya berusia satu minggu, meninggal dunia karena infeksi tali pusat, dan besoknya, Ayahnya berangkat ke Tanah Suci sebagai anggota "Misi Haji Republik Indonesia", bertugas di Timur Tengah sampai empat bulan. • Mulya Hasjmy, lahir tahun 1951, dan Bapak sedang tidak berada di Aceh, karena sudah pindah ke Medan berhubung Propinsi Aceh sudah dilebur ke dalam Propinsi Sumatra Utara. • Dahlia, anak kami satu-satunya perempuan, lahir di Medan, 14 Mei 1953, setelah dia berumur satu bulan saya sakit dan masuk rumah sakit di Medan. Masih terus teringat dan terbayang-bayang dalam ingatan saya, tiap-tiap sore Ayahnya (Pak Hasjmy) membawa Dahlia ke rumah sakit karena saya sangat merindukan Dahlia. Waktu saya keluar dari rumah sakit, pemberontakan Darul Islam Aceh pecah, dan suami saya, Pak A. Hasjmy, ditangkap dan dipenjarakan selama delapan bulan. Jadi, Dahlia kecil, setelah mula-mula berpisah dengan ibunya, kemudian berpisah pula dengan Ayahnya. Suami saya ditangkap di Belawan sewaktu menjemput pengungsi dari Aceh yang dibawa ke Sumatra Utara. • Dan anak kami yang bungsu, Kamal Hasjmy, lahir di Jakarta tahun 1955, sewaktu terjadi pemilihan umum pertama, pada saat itu kami tinggal di Jalan Teuku Umar No. 19, bertetangga dengan Pak Leimena (Wakil Perdana Menteri), Kedutaan Besar Irak, dan Jenderal Haris Nasution (Pak Nas).
Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 13 Pak Hasjmy sebagai tokoh politik yang bergerak sejak masa muda. Suatu hal yang tidak dapat saya lupakan sebagai istri ialah, pada waktu itu Nek Puteh meninggal dunia di Medan, karena Almarhumah waktu kami pindah ke Medan ikut kami, dan setelah Almarhumah meninggal lahirlah anak kami Dahlia, padahal Nek Puteh sangat merindukan cicit yang perempuan. Semua anak kami yang telah ada laki-laki, saat lahir yang perempuan beliau tidak dapat melihatnya. Setelah keluar dari penjara, Pak Hasjmy dipindahkan ke Jakarta dan mendapat tugas di Departemen Sosial. Dan saya bersama lima orang anak menyusul kemudian, karena setelah berjumpa dengan Jaksa Agung di Jakarta, Pak Hasjmy untuk sementara dilarang pulang ke Aceh. Dalam memelihara dan mendidik anak, lazimnya sebagai seorang ibu, saya langsung merawat mereka, mengobati, mengasuh di rumah. Di mana perlu barulah minta tolong pada pembantu. Suatu hal yang saya harus waspada yaitu dalam menjaga/memberi obat pada anak-anak yang sedang sakit, karena hampir tiap hari Pak A. Hasjmy menelpon saya dari tempat tugasnya, apakah anak-anak telah diberi obat. Beliau sangat cermat, disiplin, dan waspada. Beliau dalam memberi ingat sesuatu tidak berulang-ulang, menghendaki saya sebagai istri turut waspada. Sebagai sebuah rumah tangga tentu tidaklah sepi dari suka-duka, khilaf, dan sebagainya. Demikian pula sifat-sifat pribadi kami masingmasing, janganlah dikira bahwa pergaulan dalam rumah tangga kami selalu dalam bulan madu dan manis. Karena kadang-kadang kami bertengkar sampai-sampai nggak ngomong satu sama lain sampai dua hari. Tetapi hal yang demikian, menurut filsafat hidup Pak Hasjmy yang kemudian menjadi filsafat hidup saya juga, bahwa kehidupan perkawinan tanpa ada sekali-kali pertengkaran antara suami-istri dianggapnya tidak enak. Menurut filsafat Pak Hasjmy yang kemudian menjadi filsafat saya, adanya sekali-kali pertengkaran. itu merupakan romantikanya perkawinan. Bila beliau disuruh berpidato/berkhutbah pada salah satu upacara perkawinan anak teman-temannya selalu beliau sampaikan sebuah puisi pendek yang berbunyi: Campuran pahit dengan manis, Kopi susu penghilang kantuk.
- Page 1: Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan R
- Page 6 and 7: UNDANG UNDANG HAK CIPTA NO. 7 TAHUN
- Page 8 and 9: Perpustakaan Nasional: Katalog Dala
- Page 10 and 11: vi Daftar Isi Dr. Abu Hassan Sham f
- Page 12 and 13: viii Daftar Isi ft Cincin Suleiman
- Page 14 and 15: x Daftar Foto dan Teks Foto 6. Hala
- Page 16: xii Daftar Foto dan Teks Foto 22. H
- Page 26 and 27: 2 Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy
- Page 28 and 29: 4 Pcnyusun "Bintang Mahaputra" dari
- Page 30 and 31: Gubernur Kepala Daerah Istimewa Ace
- Page 32 and 33: A. Hasjmy 28 Bulan Tiga Hari Jadi A
- Page 34 and 35: 10 A. Hasjmy Hani, cucuku sayang! W
- Page 38: 14 Ny. Zuriah Hasjmy Menurut Pak Ha
- Page 42 and 43: 18 DR. H. Roeslan Abdulgani kemusli
- Page 44 and 45: 20 DR. H. Roeslan Abdulgani Itulah
- Page 46 and 47: 22 DR. H. Roeslan Abdulgani Hadir p
- Page 49 and 50: * H. Bustanil Arifin, S.H. Pemiliha
- Page 51 and 52: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 27 ya
- Page 55 and 56: Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA Memasu
- Page 57 and 58: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 33 Su
- Page 59 and 60: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 35 di
- Page 61 and 62: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 37 ke
- Page 63 and 64: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 39 ke
- Page 65 and 66: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 41 La
- Page 67 and 68: telapan Puluh Tahun A. Hasjmy 43 IA
- Page 69 and 70: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 45 5,
- Page 71 and 72: Tabel 9 Delapan Puluh Tahun A. Hasj
- Page 73 and 74: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 49 ba
- Page 75 and 76: Delapan Puluh Tahun A, Hasjmy 51 "K
- Page 77: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 53 da
- Page 80 and 81: 56 Hardi, S.H. Setelah mempelajari
- Page 82 and 83: 58 Hardi, S.H. Adapun dialog antara
- Page 84 and 85: 60 Hardi, S.H. Singkatnya, pada har
12 Ny. Zuriah Hasjmy<br />
Waktu terjadi peperangan yang timbul antara Belanda dengan orang<br />
Aceh di Seulimeuem, waktu itu saya baru kawin, suami saya beserta pejuang<br />
lainnya melakukan perang gerilya dalam hutan-hutan di sekitar Seulimeum,<br />
dan setelah tentara Belanda lari dari Aceh dan balatentara Jepang masuk,<br />
barulah suami saya turun dari medan gerilya.<br />
• Anak kami yang pertama lahir pada tanggal 15 Desember 1942 dan<br />
bernama Mahdi Hasjmy.<br />
• Surya Hasjmy, lahir tahun 1945, enam bulan sebelum Tanah Air<br />
Indonesia merdeka.<br />
• Dharma Hasjmy, anak kami ketiga, lahir tahun 1947, pada waktu kami<br />
sedang bersiap-siap pulang ke kampung karena dikuatirkan tentera<br />
Belanda menyerang Banda Aceh.<br />
• Gunawan Hasjmy, anak kami keempat, lahir tahun 1949, hanya berusia<br />
satu minggu, meninggal dunia karena infeksi tali pusat, dan besoknya,<br />
Ayahnya berangkat ke Tanah Suci sebagai anggota "Misi Haji<br />
Republik Indonesia", bertugas di Timur Tengah sampai empat bulan.<br />
• Mulya Hasjmy, lahir tahun 1951, dan Bapak sedang tidak berada di<br />
Aceh, karena sudah pindah ke Medan berhubung Propinsi Aceh sudah<br />
dilebur ke dalam Propinsi Sumatra Utara.<br />
• Dahlia, anak kami satu-satunya perempuan, lahir di Medan, 14 Mei<br />
1953, setelah dia berumur satu bulan saya sakit dan masuk rumah sakit<br />
di Medan. Masih terus teringat dan terbayang-bayang dalam ingatan<br />
saya, tiap-tiap sore Ayahnya (Pak Hasjmy) membawa Dahlia ke rumah<br />
sakit karena saya sangat merindukan Dahlia. Waktu saya keluar dari<br />
rumah sakit, pemberontakan Darul Islam Aceh pecah, dan suami saya,<br />
Pak A. Hasjmy, ditangkap dan dipenjarakan selama delapan bulan.<br />
Jadi, Dahlia kecil, setelah mula-mula berpisah dengan ibunya,<br />
kemudian berpisah pula dengan Ayahnya. Suami saya ditangkap di<br />
Belawan sewaktu menjemput pengungsi dari Aceh yang dibawa ke<br />
Sumatra Utara.<br />
• Dan anak kami yang bungsu, Kamal Hasjmy, lahir di Jakarta tahun<br />
1955, sewaktu terjadi pemilihan umum pertama, pada saat itu kami<br />
tinggal di Jalan Teuku Umar No. 19, bertetangga dengan Pak Leimena<br />
(Wakil Perdana Menteri), Kedutaan Besar Irak, dan Jenderal Haris<br />
Nasution (Pak Nas).