ACEH_03291
ACEH_03291 ACEH_03291
312 Prof. Dr. Darwis A. Soelaiman sastrawan, tetapi juga sebagai sejarawan, budayawan, cendikiawan, agamawan, wartawan, seniman, sebagai pendidik, dan mungkin juga sebagai negarawan atau sebagai seorang politisi. Sebagai seniman, A. Hasjmy bukan hanya dalam satu bidang seni. Beliau bukan hanya seniman dalam seni sastra, tetapi juga seniman dalam seni fotografi dan seniman dalam seni dokumentaasi. Kedua yang terakhir itu saya pandang bukan saja mengandung nilai-nilai seni didalamnya, tetapi memerlukan bakat dan jiwa seni untuk dapat menghasilkan fotografi dan dokumentasi yang mengagumkan. A. Hasjmy bukan saja suka mengambil foto sendiri, terutama ketika berkunjung keluar negeri, tetapi juga beliau sangat teliti dalam memilih gambar-gambar yang akan dimiliki dan kemudian disusunnya dengan baik dalam album, diberi bingkai, dan sebagainya. Setiap kunjungannya ke luar negeri pasti dihasilkannya koleksi yang amat menarik mengenai gambargambar selama kunjungannya itu. Dan setelah ditata ternyata hasilnya merupakan khasanah tersendiri dalam dunia fotografi yang ada dalam museum A. Hasjmy. Dalam bidang seni dokumentasi, A. Hasjmy telah mengumpulkan berbagai dokumen yang sangat berharga mengenai daerah Aceh, baik dalam bentuk buku, maupun berupa laporan dan guntingan-guntingan surat kabar. Setiap makalah seminar yang pernah diikutinya, semuanya tersimpan dengan baik, bukan hanya kertas-kertas kerja seminar, tetapi juga tas seminar dan tanda-tanda pengenal sebagai peserta seminar tesebut. Tulisan-tulisannya pada media massa yang cukup banyak, semuanya terdokumentasi. Sebagai seorang pemuka masyarakat yang dikenal luas, sudah tentu beliau menerima banyak undangan untuk menghadiri acara perkawinan, acara resmi kenegaraan, dan lain-lain. Bagi banyak orang mungkin undangan-undangan itu akan terbuang atau tidak tersimpan, tetapi bagi A. Hasjmy semuanya itu dipandang sebagai karya seni yang memerlukan pelestariannya dan yang pada suatu ketika nanti akan mengandung nilai dan makna yang sangat tinggi sebagai cacatan sejarah. Semuanya itu dapat dinikmati oleh pengunjung yang berminat di museumnya. Bagi A. Hasjmy, museum bukanlah tempat barangbarang lama yang mengandung semangat dan nilai baru yang bersifat kreatif dan selalu dapat dipergunakan ide-ide kreatif yang terkandung di dalamnya.
II Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 313 A. Hasjmy bukan saja seorang seniman kreatif, tetapi juga seorang dalam hidupnya terus menerus berusaha untuk membina perkembangan kesenian dan kebudayaan di Aceh. Beberapa catatan berikut ini menunjuk kepada peranan beliau dalam hal tersebut. Menetapkan posisi kesenian dalam konteks aqidah merupakan hal yang cukup penting bagi upaya pengembangan kesenian, oleh karena akan sulit untuk dikembangkan kesenian dalam masyarakat selama belum ada kesamaan pandangan para ulama mengenai kedudukan kesenian dalam Islam. Pada tahun 1972, MUI Propinsi Daerah Istimewa Aceh mengeluarkan sebuah buku risalah kesenian yang berjudul "Bagaimana Islam Memandang Kesenian", hasil kerja sebuah panitia yang dipimpin oleh A. Hasjmy, yang dibentuk oleh MUI setelah masalah kesenian itu dibahas dalam Komisi Fatwa. Mengangkat kesenian menjadi salah satu pemikiran MUI pada saat itu tidak terlepas dari pandangan dan perhatian A. Hasjmy dalam pembinaan kesenian di Aceh. Apa yang telah dilakukan oleh MUI itu ternyata kemudian menarik perhatian ulama dan cendekiawan di Malaysia, sehingga untuk beberapa seminar yang menyangkut kesenian di negeri itu telah turut diundang peserta dari Aceh untuk memberikan pandangannya tentang kesenian ditinjau dari sudut agama Islam dan tentang keadaan kegiatan kesenian di Aceh. Pandangan-pandangan dari Aceh, antara lain ketentuan MUI bahwa kesenian adalah mubah hukumnya dalam Islam dan kenyataan bahwa kesenian dapat diterima oleh masyarakat Aceh temyata berkembang gemanya di negeri itu. Jauh sebelum terbentuknya LAKA, tulisan-tulisannya dan anjuran-anjurannya untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa Aceh, tari-tarian tradisional, sastra lisan, hikayat, lagu-lagu, dan adat Aceh sudah sering dikemukakan. Adalah gagasannya pula dalam "Seminar Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan" di Takengon, tentang perlunya dibentuk sebuah lembaga adat dan kebudayaan untuk dapat mengisi keistimewaan daerah Aceh. Gagasan itu menjadi keputusan seminar dan dalam waktu yang tidak lama lembaga itu menjadi kenyataan. Sejak ditetapkan Aceh menjadi daerah yang istimewa dalam bidang agama, adat, dan pendidikan telah dipikirkan tentang adanya lembaga yang akan mengisi keistimewaan tersebut. Dan kini ketiga lembaga itu sudah terwujud, yang saya kira tidak terlepas dari perhatian dan kreatifitas A. Hasjmy, peranannya baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat, adalah cukup besar pula dalam upaya terwujudnya tiga kali Pekan
- Page 286 and 287: 262 Dr. H. Safwan Idris, M.A. konse
- Page 288 and 289: 264 Dr. H. Safwan Idris, M.A. tanda
- Page 290 and 291: 266 Dr. H. Safwan Idris, M.A. mata
- Page 292 and 293: 268 Dr. H. Safwan luns, M.A. Univer
- Page 294 and 295: 270 ' Dr. H. Safwan Idris, M.A. pen
- Page 297 and 298: * Mar iman Djarimin Birokrat yang C
- Page 299 and 300: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 275 k
- Page 301 and 302: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 277 l
- Page 303 and 304: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 279 K
- Page 305: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 281 m
- Page 308 and 309: 284 Drs. Sahlan Saidi persetujuan P
- Page 310 and 311: 286 Drs. Sahlan Saidi utama adalah
- Page 312 and 313: Harinder Singh Brar Dasa Windu Sang
- Page 314 and 315: 290 Harinder Singh Brar Go (Cina).
- Page 316 and 317: 292 Harinder Singh Brar Arifin, SH.
- Page 318 and 319: 294 Harinder Singh Brar Episode: In
- Page 320 and 321: 296 Harinder Singh Brar Kolektor :
- Page 322 and 323: 298 Harinder Singh Brar ini, penuli
- Page 324 and 325: 300 Harinder Singh Brar Ali Hasjmy
- Page 326 and 327: 302 Harinder Singh Brar "Hati Dengk
- Page 328: 304 Harinder Singh Brar Jalur Tauhi
- Page 332 and 333: 308 Prof. Dr. Darwis A. Soelaiman a
- Page 334 and 335: 310 Prof. Dr. Darwis A. Soelaiman s
- Page 338 and 339: 314 Prof. Dr. Darwis A. Soelaiman K
- Page 341 and 342: H.A. Muin Umar Prof. Ali Hasjmy yan
- Page 343 and 344: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 319 p
- Page 345 and 346: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 321 M
- Page 347 and 348: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 323 N
- Page 349: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 325 p
- Page 352 and 353: 328 Drs. H. Abel. Fattah lewat berb
- Page 354 and 355: 330 Drs. H. Abd. Fattah berdampinga
- Page 356 and 357: 332 Drs. H. Abd. Fattah umumnya. Pe
- Page 359 and 360: Sayed Mudhahar Ahmad Ali Hasjmy: An
- Page 361 and 362: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 337 o
- Page 363 and 364: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 339 p
- Page 365 and 366: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 341 S
- Page 367 and 368: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 343 m
- Page 369 and 370: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 345 J
- Page 371 and 372: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 347 m
- Page 373 and 374: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 349 N
- Page 375 and 376: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 351 Q
- Page 377 and 378: Maka pertemuan pun ditutup. Delapan
- Page 379 and 380: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 355 r
- Page 381 and 382: Ny. Nur Jannah Bachtiar Nitura Moza
- Page 383 and 384: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 359 m
- Page 385 and 386: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 361 f
II<br />
Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 313<br />
A. Hasjmy bukan saja seorang seniman kreatif, tetapi juga seorang dalam<br />
hidupnya terus menerus berusaha untuk membina perkembangan kesenian<br />
dan kebudayaan di Aceh. Beberapa catatan berikut ini menunjuk kepada<br />
peranan beliau dalam hal tersebut.<br />
Menetapkan posisi kesenian dalam konteks aqidah merupakan hal<br />
yang cukup penting bagi upaya pengembangan kesenian, oleh karena akan<br />
sulit untuk dikembangkan kesenian dalam masyarakat selama belum ada<br />
kesamaan pandangan para ulama mengenai kedudukan kesenian dalam<br />
Islam. Pada tahun 1972, MUI Propinsi Daerah Istimewa Aceh mengeluarkan<br />
sebuah buku risalah kesenian yang berjudul "Bagaimana Islam Memandang<br />
Kesenian", hasil kerja sebuah panitia yang dipimpin oleh A. Hasjmy, yang<br />
dibentuk oleh MUI setelah masalah kesenian itu dibahas dalam Komisi<br />
Fatwa. Mengangkat kesenian menjadi salah satu pemikiran MUI pada saat<br />
itu tidak terlepas dari pandangan dan perhatian A. Hasjmy dalam pembinaan<br />
kesenian di Aceh. Apa yang telah dilakukan oleh MUI itu ternyata kemudian<br />
menarik perhatian ulama dan cendekiawan di Malaysia, sehingga untuk<br />
beberapa seminar yang menyangkut kesenian di negeri itu telah turut diundang<br />
peserta dari Aceh untuk memberikan pandangannya tentang kesenian<br />
ditinjau dari sudut agama Islam dan tentang keadaan kegiatan kesenian di<br />
Aceh. Pandangan-pandangan dari Aceh, antara lain ketentuan MUI bahwa<br />
kesenian adalah mubah hukumnya dalam Islam dan kenyataan bahwa<br />
kesenian dapat diterima oleh masyarakat Aceh temyata berkembang gemanya<br />
di negeri itu.<br />
Jauh sebelum terbentuknya LAKA, tulisan-tulisannya dan anjuran-anjurannya<br />
untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa Aceh, tari-tarian<br />
tradisional, sastra lisan, hikayat, lagu-lagu, dan adat Aceh sudah sering<br />
dikemukakan. Adalah gagasannya pula dalam "Seminar Ilmu Pengetahuan<br />
dan Kebudayaan" di Takengon, tentang perlunya dibentuk sebuah lembaga<br />
adat dan kebudayaan untuk dapat mengisi keistimewaan daerah Aceh.<br />
Gagasan itu menjadi keputusan seminar dan dalam waktu yang tidak lama<br />
lembaga itu menjadi kenyataan. Sejak ditetapkan Aceh menjadi daerah yang<br />
istimewa dalam bidang agama, adat, dan pendidikan telah dipikirkan tentang<br />
adanya lembaga yang akan mengisi keistimewaan tersebut. Dan kini ketiga<br />
lembaga itu sudah terwujud, yang saya kira tidak terlepas dari perhatian dan<br />
kreatifitas A. Hasjmy, peranannya baik sebagai pribadi maupun sebagai<br />
pejabat, adalah cukup besar pula dalam upaya terwujudnya tiga kali Pekan