ACEH_03291

ACEH_03291 ACEH_03291

02.06.2013 Views

238 Teungku Hj. Ainal Mardhiah Ali III Kalau dalam cerita nostalgia tadi, saya sudah mengagumi Teungku A. Hasjmy, maka saya lebih kagum lagi dengan langkah-langkahnya dalam meniti karir sampai ke puncak menjadi Gubernur Aceh. Sebelumnya tak seorang pun bisa meramalkan bahwa A. Hasjmy yang sastrawan itu akan mencuat namanya menjadi orang kuat dan orang nomor satu di Aceh, sebab waktu itu, masih ada sejumlah nama-nama besar Aceh yang kharismatik. Siapa sangka seorang tokoh muda yang moderat dan hanya mampu menulis sajak, akhirnya mencuat ke atas dan menjadi pribadi yang sangat kokoh di antara dua gelombang besar yang saling menerjang. Begitulah, setelah Aceh bergolak, banyak tokoh kharismatik Aceh yang terlibat dalam peristiwa itu. Ada yang naik gunung, ada juga yang pro pemerintah. A. Hasjmy beruntung tidak melibatkan diri ke dalam dua arus gelombang itu, beliau malah senantiasa berusaha untuk menghentikannya. Beliau meneladani beberapa sahabat Rasulullah, seperti Abdurrahman bin Auf, Ibnu Abbas, Ammar bin Yassir. Ketika Ali bin Abi Thalib bersengketa dengan Mua'awiyah bin Abi Sofyan, mereka malah menyerukan umat supaya tidak melibatkan diri. Mereka yakin, setiap sengketa tak mungkin diselesaikan dengan senjata, tetapi harus diselesaikan dengan musyawarah. Perasaan sastrawan pada diri A. Hasjmy (orang seni lebih banyak berpikir yang bijaksana) memilih menjadi orang penengah. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menjembatani antara orang Darul Islam dengan orang pemerintah. Usaha A. Hasjmy yang suci itu tidak sia-sia, Pemerintah dapat membaca secara positif buah pikirannya. Akhirnya iaditunjuk oleh Pemerin­ tah sebagai Gubernur Aceh. Sebenarnya berat bagi A. Hasjmy menerima tugas ini, sebab Aceh sedang dalam darul harb dan ia harus berhadapan dengan seniornya yang membangkang, seperti Teungku Muhammad Daud Beureueh, Hasan Ali, Hasan Saleh, Teungku Amir Husein al-Mujahid, Ayah Gani, dan lain-lain. Namun karena tugas ini sangat mulia —tugas untuk mengakhiri pertumpahan darah sesama muslim— A. Hasjmy menerimanya. IV Beliau mulai memangku jabatan Gubernur Aceh (1957) dengan niat suci, "Ingin membawa air bukan api", Allah menolongnya. Bersama beberapa tokoh lain, seperti Kolonel Syamaun Gaharu, beliau mencetuskan Ikrar Lamteh yang terkenal itu. Setelah Ikrar Lamteh berhasil, beliau mengadakan

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 239 peristiwa bersejarah pula yakni Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (1961) dan yang sangat penting adalah Misi Hardi (1958) sehingga Aceh diakui sebagai Propinsi Daerah Istimewa Aceh, satu-satunya di Sumatra. Ketika Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh berlangsung di Blang Padang, saya mendapat kepercayaan sebagai satu-stunya peserta yang diberikan waktu untuk berpidato atas nama peserta dan mewakili semua golongan. Karena sukses pada tahap pertama ini, pihak anggota DPRD Aceh, termasuk saya dari Masyumi, sepakat memilih beliau kembali untuk memangku jabatan Gubernur Daerah Istimewa Aceh pertama, periode 1960- 1964). Ketika itu Fraksi Masyumi mengutus saya untuk bertemu Pak Hasjmy meminta kesediaannya. Alhamdulillah, beliau bersedia. Dalam periode kedua inilah A. Hasjmy dan kawan-kawannya berhasil mengembalikan harkat dan martabat rakyat Aceh dengan membuat berbagai macam terobosan yang berarti. Rakyat Aceh pantas mengenangnya sebagai tokoh pendidikan. Beliau adalah putra bangsa terbaik di antara putra-putra yang lain. Beliaulah yang mencetuskan ide pembangunan Kota Pelajar Darussalam termasuk perkampungan-perkampungan pelajar seluruh Aceh, sebab menurutnya, Aceh baru maju dengan pendidikan. Beliau pula yang meminta Presiden Soekarno supaya menambah Kubah Masjid Raya Baitur Rahman dari tiga kubah menjadi lima kubah seperti sekarang. Soekarno langsung membantu memberikan biaya. Kata A. Hasjmy, Pancasila lima, Rukun Islam lima, maka Masjid Raya Baitur Rahman pun sebaiknya lima kubahnya. Soekarno mengiyakannya. Khusus menyangkut pembangunan Kopelma Darussalam, saya sebagai wanita juga banyak terlibat di dalamnya, karena saya dipercayakan sebagai salah seorang panitia. Masih segar dalam ingatan saya, ketika Presiden Soekarno meresmikan Kampus Darussalam, tanggal 2 September 1959. Ketika Soekarno berpidato di depan wanita-wanita Aceh, saya dipercayakan oleh Gubernur A. Hasjmy menjadi protokol. Soekarno senang terhadap penampilan saya waktu itu. Saya tidak ingin mengungkapkan sejarah ini lebih panjang, sebab sudah banyak ditulis orang, tetapi saya ingin memberi nilai lebih kepada kemampuan A. Hasjmy mempersatukan rakyat bergotong royong bersama

238 Teungku Hj. Ainal Mardhiah Ali<br />

III<br />

Kalau dalam cerita nostalgia tadi, saya sudah mengagumi Teungku A.<br />

Hasjmy, maka saya lebih kagum lagi dengan langkah-langkahnya dalam<br />

meniti karir sampai ke puncak menjadi Gubernur Aceh. Sebelumnya tak<br />

seorang pun bisa meramalkan bahwa A. Hasjmy yang sastrawan itu akan<br />

mencuat namanya menjadi orang kuat dan orang nomor satu di Aceh, sebab<br />

waktu itu, masih ada sejumlah nama-nama besar Aceh yang kharismatik.<br />

Siapa sangka seorang tokoh muda yang moderat dan hanya mampu menulis<br />

sajak, akhirnya mencuat ke atas dan menjadi pribadi yang sangat kokoh di<br />

antara dua gelombang besar yang saling menerjang.<br />

Begitulah, setelah Aceh bergolak, banyak tokoh kharismatik Aceh<br />

yang terlibat dalam peristiwa itu. Ada yang naik gunung, ada juga yang pro<br />

pemerintah. A. Hasjmy beruntung tidak melibatkan diri ke dalam dua arus<br />

gelombang itu, beliau malah senantiasa berusaha untuk menghentikannya.<br />

Beliau meneladani beberapa sahabat Rasulullah, seperti Abdurrahman bin<br />

Auf, Ibnu Abbas, Ammar bin Yassir. Ketika Ali bin Abi Thalib bersengketa<br />

dengan Mua'awiyah bin Abi Sofyan, mereka malah menyerukan umat<br />

supaya tidak melibatkan diri. Mereka yakin, setiap sengketa tak mungkin<br />

diselesaikan dengan senjata, tetapi harus diselesaikan dengan musyawarah.<br />

Perasaan sastrawan pada diri A. Hasjmy (orang seni lebih banyak<br />

berpikir yang bijaksana) memilih menjadi orang penengah. Dengan sekuat<br />

tenaga ia mencoba menjembatani antara orang Darul Islam dengan orang<br />

pemerintah. Usaha A. Hasjmy yang suci itu tidak sia-sia, Pemerintah dapat<br />

membaca secara positif buah pikirannya. Akhirnya iaditunjuk oleh Pemerin­<br />

tah sebagai Gubernur Aceh. Sebenarnya berat bagi A. Hasjmy menerima<br />

tugas ini, sebab Aceh sedang dalam darul harb dan ia harus berhadapan<br />

dengan seniornya yang membangkang, seperti Teungku Muhammad Daud<br />

Beureueh, Hasan Ali, Hasan Saleh, Teungku Amir Husein al-Mujahid, Ayah<br />

Gani, dan lain-lain. Namun karena tugas ini sangat mulia —tugas untuk<br />

mengakhiri pertumpahan darah sesama muslim— A. Hasjmy menerimanya.<br />

IV<br />

Beliau mulai memangku jabatan Gubernur Aceh (1957) dengan niat suci,<br />

"Ingin membawa air bukan api", Allah menolongnya. Bersama beberapa<br />

tokoh lain, seperti Kolonel Syamaun Gaharu, beliau mencetuskan Ikrar<br />

Lamteh yang terkenal itu. Setelah Ikrar Lamteh berhasil, beliau mengadakan

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!