ACEH_03291

ACEH_03291 ACEH_03291

02.06.2013 Views

200 H. Badruzzaman Ismail, S.H. makalah, dengan judul "Kerjasama Kerajaan-Kerajaan Islam Melayu Selat Malaka, untuk Melawan Kaum Penjajah Nasrani Barat" pada "Seminar Dunia Melayu Dunia Islam" yang berlangsung di Malaka, tanggal 24-26 November 1992, dan merupakan satu rangkaian kelanjutan perjalanan menghadiri "Simposium Serantau Sastra Islam", yang berlangsung tanggal 16-18 November 1992 di University Brunai Darussalam, dengan judul presentasi makalah Prof. A. Hasjmy "Karya Sastra Hikayat Prang Sabi Membangkitkan Semangat Jihad Rakyat Aceh". Uraian di atas semata-mata, ingin menunjukkan, betapa kesetiaan dan kentalnya promosi keacehan, yang melekat pada diri beliau, sebagai mengajarkan kepada umum, wahai putra-putra bangsa, bangkit dan bangunlah dengan berbagai budaya daerah, untuk memperkaya khazanah Taman Budaya pada bumi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Tak perlu minder dan kerdil jiwa, bila action dan bergaya atas nilai-nilai kepribadian bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika. Lihatlah, promosi budaya Bali, dikenal di seantero dunia. Nilai-nilai kepribadian, adalah identitas bangsa, malahan nilai-nilai itu pula, yang memberikan arus balik, sebagai salah satu komoditi ekonomi bangsa, dan kini itulah promosi utama untuk menggalakkan dunia pariwisata. Mungkinkah di balik pakaian adat Aceh itu, A. Hasjmy merasa bangga, bahwa nilai-nilai adat Aceh sepanjang sejarahnya tak pernah menghambat kemajuan bangsa, bahkan di masa dulu, pernah melambungkan kedudukan Aceh sebagai lima besar di dunia? Lima besar itu adalah Kerajaan Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Turki Usmaniyah di Asia Kecil, Kerajaan Isfahan di Timur Tengah, Kerajaan Islam Acra di India, dan Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara. Alangkah bahagianya, kalau sejagat seluruh tanah air, turut menggali dan mengembangkan nilai-nilai adat budaya tanah airnya, dengan berbagai perangkat fasilitas dan tehnologi modern, lewat berbagai media canggih (tv, radio, rekaman, majalah, suratkabar, dan lain-lain), tentunya hal ini sebagai salah satu kreasi pembangunan bangsa, kemungkinan besar, harkat, martabat dan citra diri masyarakat bangsa Indonesia, akan lebih berjaya dalam peran di tengah-tengah masyarakat dunia internasional lainnya. Analisa ini, janganlah berasumsi, bahwa masyarakat harus mengisolasi diri dari proses kultural modernisasi (asal tidak kultur westernisasi), tetapi harus diingat, bahwa masyarakat bangsa Indonesia berhak,untuk mempertahankan nilai-nilai kepribadian bangsanya, sama halnya dengan bangsabangsa lain juga berhak mempertahankan nilai-nilai budayanya. Dalam kaitan adat budaya Aceh, yang dimottokan dengan: Hukoom ngon adat lage

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 201 zat ngon sifeut (Adat dengan Agama seperti zat dengan sifat), malahan dikonsepsikan dalam fïlosofis tata kehidupan masyarakat Aceh, dengan "Adat bak poteu meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana" maka penerapan adat istiadat budaya Aceh (aplikasinya), mengandung nilai-nilai kecanggihan, bila dikaitkan dengan kehidupan global yang material dan banyak insan stres (desakan/ter - tekan) sekarang ini. Dasar utama adat istiadat Aceh, mengandung tiga unsur (hasil proses kajian), yaitu: Pertama, mengandung unsur ritual. Setiap/o/tow up daripada tata adat, misal, mauludan, menempati rumah baru, membuka kebun, dan sebagainya, tetap selalu dimasukkan nilai-nilai agama (baca doa, zikir, shalawat, dan lain-lain). Kedua, mengandung unsur ekonomi. Banyak hal yang diadatkan, seperti penetapan hari peukan (pasar), kunjung mengunjung silaturrahmi antara sesama keluarga, bersalin, sakit, sunat rasul, acara perkawinan, dan lain-lain, selalu dibarengi dengan acara khanduri (makan bersama), bawaan bungkusan, sehingga masyarakat didorong untuk melakukan kegiatan ekonomi (desa-desa), seperti menanam mangga, sauh, jeruk bali, nenas, tebu, kelapa di sekitar rumah, dan pohon sayur-sayuran. Setidak-tidaknya menciptakan berbagai kebutuhan (ziarah, berkunjung), dengan demikian menciptakan keadaan masyarakat untuk bekerja menghasilkan benda-benda ekonomi. Bukankah dengan promosi pakaian adat, kue-kue adat, motif/relif, dan ornamen-ornamen adat Aceh, sehingga telah tumbuh suatu marketing tersendiri yang sangat mendukung bagi kehidupan rakyat di desa-desa? Ketiga, pembinaan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Bukankah dengan melakukan berbagai kegiatan ekonomi sebagai diuraikan dalam unsur kedua tersebut di atas, berarti mereka turnt serta melestarikan lingkungan hidup? Usaha-usaha yang dilakukan oleh Prof. A. Hasjmy dalam masalah adat budaya Aceh, adalah tidak lepas dari keberadaan Daerah Istimewa Aceh, hasil Keputusan Pemerintah Pusat, No. l/Missi/1959 (Misi Hardi), di mana A. Hasjmy termasuk salah seorang arsitek penyelesaian perdamaian Peristiwa Aceh Berdarah 1953, dalam kedudukan beliau selaku Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tk. I Aceh, waktu itu. Status istimewa yang diberikan itu, adalah dalam bidang Agama, Pendidikan, dan Adat Istiadat.

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 201<br />

zat ngon sifeut (Adat dengan Agama seperti zat dengan sifat), malahan<br />

dikonsepsikan dalam fïlosofis tata kehidupan masyarakat Aceh, dengan<br />

"Adat bak poteu meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe<br />

Phang, Reusam bak Lakseumana" maka penerapan adat istiadat budaya<br />

Aceh (aplikasinya), mengandung nilai-nilai kecanggihan, bila dikaitkan<br />

dengan kehidupan global yang material dan banyak insan stres (desakan/ter -<br />

tekan) sekarang ini. Dasar utama adat istiadat Aceh, mengandung tiga unsur<br />

(hasil proses kajian), yaitu:<br />

Pertama, mengandung unsur ritual.<br />

Setiap/o/tow up daripada tata adat, misal, mauludan, menempati rumah<br />

baru, membuka kebun, dan sebagainya, tetap selalu dimasukkan nilai-nilai<br />

agama (baca doa, zikir, shalawat, dan lain-lain).<br />

Kedua, mengandung unsur ekonomi.<br />

Banyak hal yang diadatkan, seperti penetapan hari peukan (pasar),<br />

kunjung mengunjung silaturrahmi antara sesama keluarga, bersalin, sakit,<br />

sunat rasul, acara perkawinan, dan lain-lain, selalu dibarengi dengan acara<br />

khanduri (makan bersama), bawaan bungkusan, sehingga masyarakat didorong<br />

untuk melakukan kegiatan ekonomi (desa-desa), seperti menanam<br />

mangga, sauh, jeruk bali, nenas, tebu, kelapa di sekitar rumah, dan pohon<br />

sayur-sayuran. Setidak-tidaknya menciptakan berbagai kebutuhan (ziarah,<br />

berkunjung), dengan demikian menciptakan keadaan masyarakat untuk<br />

bekerja menghasilkan benda-benda ekonomi. Bukankah dengan promosi<br />

pakaian adat, kue-kue adat, motif/relif, dan ornamen-ornamen adat Aceh,<br />

sehingga telah tumbuh suatu marketing tersendiri yang sangat mendukung<br />

bagi kehidupan rakyat di desa-desa?<br />

Ketiga, pembinaan dan pemeliharaan lingkungan hidup.<br />

Bukankah dengan melakukan berbagai kegiatan ekonomi sebagai<br />

diuraikan dalam unsur kedua tersebut di atas, berarti mereka turnt serta<br />

melestarikan lingkungan hidup?<br />

Usaha-usaha yang dilakukan oleh Prof. A. Hasjmy dalam masalah adat<br />

budaya Aceh, adalah tidak lepas dari keberadaan Daerah Istimewa Aceh,<br />

hasil Keputusan Pemerintah Pusat, No. l/Missi/1959 (Misi Hardi), di mana<br />

A. Hasjmy termasuk salah seorang arsitek penyelesaian perdamaian Peristiwa<br />

Aceh Berdarah 1953, dalam kedudukan beliau selaku Gubernur Kepala<br />

Daerah Swatantra Tk. I Aceh, waktu itu. Status istimewa yang diberikan itu,<br />

adalah dalam bidang Agama, Pendidikan, dan Adat Istiadat.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!