ACEH_03291

ACEH_03291 ACEH_03291

02.06.2013 Views

188 Ike Soepomo menyelinap ketika beliau menyambut tangan saya dan berucap "Selamat datang Nak". Sederhana ucapannya itu, tetapi ternyata tak sesederhana itu kelanjutannya. Upacara tepung tawar untuk menyambut kedatangan serombongan kami sampai saat ini temyata membekas begitu dalam. Di tahun 1973 saya belum lama menikah. Ketika Ayah kandung saya pergi untuk selama-lamanya menghadap Khalik-nya. Setiap anak gadis di dunia kecuali yang mungkin pernah dikecewakan, pasti memuja ayahnya siapapun dia. Begitu juga saya dan mungkin saya termasuk fanatik akan kebanggaan saya terhadap almarhum. Bertahun saya merasa tetap merindukan kehadiran sosok ayah almarhum yang rasanya tak mungkin digantikan oleh orang lain. Saat di Sigli itu saya merasa saja menemukan kembali sosok ayah saya yang telah lama tiada. Ketika novel saya Kabut Sutra Ungu memperoleh sambutan baik di penerbitan maupun di film, ayah saya tak pernah mengetahui. Dalam waktu yang hanya singkat saya banyak bercerita pada sesepuh di Aceh itu, pada waktu-waktu senggang di antara seminar. Sebetulnya hampir tak pemah saya ceritakan pada siapa pun masalah yang menyambut pribadi seperti suka, duka, karir, bahkan segalanya. Ada rasa damai, percaya, menyelimuti hati. Waktu-waktu shalat beliau itu selalu berada di antara kami. Saya selalu diajak semobil oleh beliau menuju mesjid kampus yang letaknya lumayan jauh dari ruang seminar. Saya kira bukan berlebihan bila sepantasnya beliau itu memang saya kagumi sebagai orang yang dituakan, seorang bapak yang berdada lapang dan penuh kasih serta perhatian dalam menjalani hidupnya. Sikap lakunya, karyanya, ketekunannya, ketabahannya, kebijaksanaannya, semangat kerjanya, memantulkan kebeningan ikatan pada Pencipta-nya. Apakah kekaguman saya hanya karena saya seorang pengarang fiktif penuh emosi?Kenyataannya, sampai kini saya mengakui dan merasa bahwa beliau adalah pengganti ayah saya yang telah tiada dan sampai kini pula beliau menganggap saya sebagai anak angkat walau tanpa prosedur dan tak memerlukan prosedur duniawi. Saya merasa anak-anak beliau adalah saudara saya, istri beliau adalah ibu saya. Kedekatan beliau dengan seluruh keluarga saya termasuk suami dan anak-anak saya menjabarkan itu semua. Suami saya, Soepomo Prono, seorang sarjana farmasi yang sejak kecil tak berayah ikut menikmati kebapakan yang beliau berikan padanya. Ini sungguh dengan tulus kami ucapkan. Saya tak perlu lagi menulis tentang kehebatan-

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 189 kehebatan beliau yang tentunya diakui juga oleh banyak orang karena memang sepantasnyalah beliau dikagumi, dihormati dan diteladani. Beliau yang kami maksudkan itu tidak lain adalah bapak kami, Prof. H. Ali Hasjmy. Ada kesan yang tak bisa kami lupakan sekeluarga. Seniman itu memang dalam seriusnya kadang-kadang ngedugal (badung sedikit), juga beliau (nuwun sewu Bapak) kesan semacam itu tertangkap oleh saya: Saat itu tahun 1992 kondisi kesehatan Bapak menurun. Bapak harus dirawat di Rumah Sakit MMC di Jakarta. Saya sekeluarga dikabari. Dan ketika kami menengok, Bapak segera bangun duduk. Wajah Bapak tetap cerah, sambutan Bapak tetap hangat. Sebuah mesin tik di sebelahnya. Rupanya dalam keadaan sakitpun Bapak masih mau menulis, masih mau bercerita, dan eh, masih mau berfoto-foto bersama. Bapak yang tadinya duduk , ketika seorang perawat telah siap menjepretkan alat fotonya, bapak mengacungkan tangan bak sutradara dan bak aktor pula segera bapak merebahkan diri. "Jangan di foto dulu, sebentar!" katanya sambil membetulkan posisi tidurnya. "Bapak mau diambil gambar begini agar di fotonya nanti kelihatan bahwa Bapak sakit." Anak tertuaku Wisnu yang baru saja di wisuda dan ikut menjenguk di sebelah suamiku berbisik, "Bukan main, Nu kagum. Dalam usia seperti ini semangat hidup yang tetap tinggi, masih penuh humor. Semoga semangat yang ini ditularkan kepada saya." Masih ceirta tentang sakit, pada bulan Juni 1993 kami menikahkan putri kami satu-satunya Tessa. Perhatian seorang yang bagi cucunya itu sungguh mengharukan. Bapak bersama Ibu khusus terbang dari Aceh ke Jakarta menyempatkan datang, dengan niat hadir pada saat akad nikah, walau Bapak dalam kondisi kesehatan yang kurang baik. Selesai itu Bapak dan Ibu cepat kembali lagi terbang ke Aceh karena sudah ada kegiatan lain yang menunggu Bapak di sana. Di Bandara Sukarno-Hatta dalam kondisi badan yang kurang sehat Bapak tak seperti biasa, kali ini dengan berpakaian teluk belanga dan Bapak berakting untuk lebih tampak gagah dan cerah. Setidaknya kurang sehat yang dideritanya tak ingin ditonjolkan. Begitu mungkin pikiran Bapak. Ceritanya pesawat Bapak tertunda berjam-jam, penderitaan bertambah. Petugas bandara yang mengenali Bapak ingin membantu menolong agar bisa istirahat di tempat yang lebih nyaman. Tawaran itu ditolak. Sekali lagi Bapak tak ingin menunjukkan keletihan tubuh Bapak saat itu. Sesampainya di Aceh ternyata dokter pribadinya menyarankan segera

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 189<br />

kehebatan beliau yang tentunya diakui juga oleh banyak orang karena<br />

memang sepantasnyalah beliau dikagumi, dihormati dan diteladani. Beliau<br />

yang kami maksudkan itu tidak lain adalah bapak kami, Prof. H. Ali Hasjmy.<br />

Ada kesan yang tak bisa kami lupakan sekeluarga. Seniman itu<br />

memang dalam seriusnya kadang-kadang ngedugal (badung sedikit), juga<br />

beliau (nuwun sewu Bapak) kesan semacam itu tertangkap oleh saya:<br />

Saat itu tahun 1992 kondisi kesehatan Bapak menurun. Bapak harus<br />

dirawat di Rumah Sakit MMC di Jakarta. Saya sekeluarga dikabari. Dan<br />

ketika kami menengok, Bapak segera bangun duduk. Wajah Bapak tetap<br />

cerah, sambutan Bapak tetap hangat. Sebuah mesin tik di sebelahnya.<br />

Rupanya dalam keadaan sakitpun Bapak masih mau menulis, masih mau<br />

bercerita, dan eh, masih mau berfoto-foto bersama. Bapak yang tadinya<br />

duduk , ketika seorang perawat telah siap menjepretkan alat fotonya, bapak<br />

mengacungkan tangan bak sutradara dan bak aktor pula segera bapak<br />

merebahkan diri.<br />

"Jangan di foto dulu, sebentar!" katanya sambil membetulkan posisi<br />

tidurnya. "Bapak mau diambil gambar begini agar di fotonya nanti kelihatan<br />

bahwa Bapak sakit."<br />

Anak tertuaku Wisnu yang baru saja di wisuda dan ikut menjenguk di<br />

sebelah suamiku berbisik, "Bukan main, Nu kagum. Dalam usia seperti ini<br />

semangat hidup yang tetap tinggi, masih penuh humor. Semoga semangat<br />

yang ini ditularkan kepada saya."<br />

Masih ceirta tentang sakit, pada bulan Juni 1993 kami menikahkan<br />

putri kami satu-satunya Tessa. Perhatian seorang yang bagi cucunya itu<br />

sungguh mengharukan. Bapak bersama Ibu khusus terbang dari Aceh ke<br />

Jakarta menyempatkan datang, dengan niat hadir pada saat akad nikah, walau<br />

Bapak dalam kondisi kesehatan yang kurang baik. Selesai itu Bapak dan Ibu<br />

cepat kembali lagi terbang ke Aceh karena sudah ada kegiatan lain yang<br />

menunggu Bapak di sana. Di Bandara Sukarno-Hatta dalam kondisi badan<br />

yang kurang sehat Bapak tak seperti biasa, kali ini dengan berpakaian teluk<br />

belanga dan Bapak berakting untuk lebih tampak gagah dan cerah. Setidaknya<br />

kurang sehat yang dideritanya tak ingin ditonjolkan. Begitu mungkin<br />

pikiran Bapak. Ceritanya pesawat Bapak tertunda berjam-jam, penderitaan<br />

bertambah. Petugas bandara yang mengenali Bapak ingin membantu<br />

menolong agar bisa istirahat di tempat yang lebih nyaman. Tawaran itu<br />

ditolak. Sekali lagi Bapak tak ingin menunjukkan keletihan tubuh Bapak saat<br />

itu. Sesampainya di Aceh ternyata dokter pribadinya menyarankan segera

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!