ACEH_03291

ACEH_03291 ACEH_03291

02.06.2013 Views

174 Teuku Alibasjah Talsya Sungguhpun insiden lanjut dapat dikekang, namun esok harinya pemuda yang keras dan cerdas itu telah diberhentikan oleh Pemerintah Jepang. Ketika pamitan, A. Hasjmy menasehatinya agar Ibenu terus berkarya sesuai dengan bakatnya sebagai pengarang dan mempersiapkan diri untuk suatu masa, di mana tenaganya diperlukan bagi kepentingan perjuangan. Perjuangan kita bukan sebatas empat buah dinding kantor Atjeh Sinbun ini, kata Hasjmy kepada sejawatnya itu. Tetapi di tengah-tengah arena yang terbentang luas, bahkan tidak bertepi. Tanah air dan masyarakat kita masih terbenam dalam lumpur. Lumpur penjajahan, lumpur kemiskinan, lumpur kebodohan dan berbagai lumpur-lumpur yang lain. Tangannya sedang menggapai-gapai. Kita ini, saya, Saudara Ibnu, bersama-sama rekan-rekan dan pemimpin-pemimpin kita semuanya bertanggung jawab untuk merenggut tangan-tangan yang menggapai itu. Begitu nasehatnya. Pada hari-hari selanjutnya T. Kodera yang merasa telah menang seangin setelah memperhentikan Ibenu Rasjid, kerapkali menunjukan sikap berbaik-baik dengan semua redaktur Atjeh Sinbun. Apalagi dengan A.Hasjmy. Kelihatan ia telah betah berlama-lama di kantor ini. Tiba-tiba pada suatu hari ketika menjelang tengah hari suasana tenang berubah menjadi sibuk sekali, Tukang cetak, pegawai-pegawai bagian zetter, tata usaha, dan anggota redaksi yang sejak tadi santai, kembali ke tempat masing-masing. Tak terkecuali Tuan Kodera. Semuanya menekuni pekerjaan masing-masing tanpa berkata sepatah juapun. Diam semuanya. Seorang "perwira tinggi" Dai Nippon datang di kantor Atjeh Sinbun. Menilik pakaiannya, tak boleh tidak, "Tuan Besar" tersebut pasti datang dari kantor Gunseibu. Mungkin akan melakukan inspeksi mendadak. Dan "beliau" pun memasuki ruangan kerja redaksi. Suasana hening berubah menjadi riuh. Tak disangka tak dinyana, dari mulut opsir tersebut meluncurkan kata-kata makian yang tak terkendali terhadap Kodera: "Hei lonte keparat. Akan kupatahkan lehermu, karena di luar tahuku, kowe main-main dengan perempuan lain". "Apa kowe tak puas dengan apa yang kuberikan tiap-tiap hari dan tiap-tiap malam?" katanya. "Maryati, oh Maryati, jangan ribut-ribut," demikian Kodera menjawab bentakan perempuan itu. "Kau tidak suka lagi sama aku punya, hah?" Kodera dibentak lagi.

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 175 "Maryati, jangan ribut, purangrah, purang," jawabnya dengan sayu. Karena keberingasan Maryati makin menjadi-jadi, Kodera minta bantuan A. Hasjmy. "Adik Maryati, jangan salah sangka kepada Tuan. Dia orang baik. Selalu dikatakannyapada kami, dia sangat sayang sama Adik Maryati, karena Adik Maryati sangat lembut dan cantik serta mengerti kemauan Tuan. Adik pulanglah, jika perlu nanti Tuan akan saya nasehati," bujuk A. Hasjmy. Atas bujukan A. Hasjmy, Maryati, seorang perempuan pendatang ke daerah ini dan telah menjadi gundik T. Kodera selama bertahun-tahun, baru mau meninggalkan tempat tersebut. Ia pergi sambil mulutnya mengoceh. Semua mata memandang Kodera, kemudian melalui jendela menjenguk Maryati yang sedang berlalu melewati gerbangAt/e/i Sinbun. Pakaian opsirnya kelihatan tidak lengkap, karena sepatu yang dipakainya bukan laras tetapi sepatu wanita bertumit tinggi. A. Hasjmy dengan cepat mengatasi suatu kemelut rumah-tangga yang jika kurang bijak, pasti akan menjadi kantor Atjeh Sinbun sebuah gelanggang keributan yang cepat memancing orang ramai karena letaknya di tengah-tengah pasar yang ramai. Ia memilih kalimat-kalimat yang menyentuh hati Maryati. Ia menyebut perempuan itu dengan kata-kata "adik", padahal Maryati lebih tua umur daripadanya. Ia memuji kecantikan orang yang sedang galak itu, berulangulang. Padahal Maryati bukan seorang perempuan cantik. Matanya yang layu, bibimya yang pucat, muka yang mulai menua, pesek lagi, makin dengan jelas menunjukkan bahwa Maryati tidak cantik. Di sini saya melihat pribadi Hasjmy yang sesungguhnya. Baginya, setiap orang yang memerlukan bantuan harus dibantu dengan segera dan ikhlas. Dan baginya, setiap orang tidak ada yang jelek. Akhirnya, setelah Tuan Kodera dipindahkan, kami mendapat sahabat baru, dua orang Jepang yang masing-masing dengan wataknya yang berbeda. Nagamatsu, orangnya tergolong lugu. Sehingga pada suatu hari setelah Jepang menyerah, ia pernah menangis tersedu-sedu di ruangan redaksi Atjeh Sinbun yang disaksikan bukan saja oleh para redaktur tetapi juga oleh pegawai-pegawai bagian percetakan dan bagian zetter. Ia merasa sedih karena Jepang kalah perang. Dan bertambah sedih lagi karena pistol di pinggangnya dilucuti oleh redaksi bangsa Indonesia.

174 Teuku Alibasjah Talsya<br />

Sungguhpun insiden lanjut dapat dikekang, namun esok harinya<br />

pemuda yang keras dan cerdas itu telah diberhentikan oleh Pemerintah<br />

Jepang.<br />

Ketika pamitan, A. Hasjmy menasehatinya agar Ibenu terus berkarya<br />

sesuai dengan bakatnya sebagai pengarang dan mempersiapkan diri untuk<br />

suatu masa, di mana tenaganya diperlukan bagi kepentingan perjuangan.<br />

Perjuangan kita bukan sebatas empat buah dinding kantor Atjeh Sinbun<br />

ini, kata Hasjmy kepada sejawatnya itu. Tetapi di tengah-tengah arena yang<br />

terbentang luas, bahkan tidak bertepi. Tanah air dan masyarakat kita masih<br />

terbenam dalam lumpur. Lumpur penjajahan, lumpur kemiskinan, lumpur<br />

kebodohan dan berbagai lumpur-lumpur yang lain. Tangannya sedang menggapai-gapai.<br />

Kita ini, saya, Saudara Ibnu, bersama-sama rekan-rekan dan<br />

pemimpin-pemimpin kita semuanya bertanggung jawab untuk merenggut<br />

tangan-tangan yang menggapai itu. Begitu nasehatnya.<br />

Pada hari-hari selanjutnya T. Kodera yang merasa telah menang seangin<br />

setelah memperhentikan Ibenu Rasjid, kerapkali menunjukan sikap<br />

berbaik-baik dengan semua redaktur Atjeh Sinbun. Apalagi dengan<br />

A.Hasjmy. Kelihatan ia telah betah berlama-lama di kantor ini.<br />

Tiba-tiba pada suatu hari ketika menjelang tengah hari suasana tenang<br />

berubah menjadi sibuk sekali, Tukang cetak, pegawai-pegawai bagian zetter,<br />

tata usaha, dan anggota redaksi yang sejak tadi santai, kembali ke tempat<br />

masing-masing. Tak terkecuali Tuan Kodera.<br />

Semuanya menekuni pekerjaan masing-masing tanpa berkata sepatah<br />

juapun. Diam semuanya. Seorang "perwira tinggi" Dai Nippon datang di<br />

kantor Atjeh Sinbun. Menilik pakaiannya, tak boleh tidak, "Tuan Besar"<br />

tersebut pasti datang dari kantor Gunseibu. Mungkin akan melakukan<br />

inspeksi mendadak. Dan "beliau" pun memasuki ruangan kerja redaksi.<br />

Suasana hening berubah menjadi riuh. Tak disangka tak dinyana, dari<br />

mulut opsir tersebut meluncurkan kata-kata makian yang tak terkendali<br />

terhadap Kodera: "Hei lonte keparat. Akan kupatahkan lehermu, karena di<br />

luar tahuku, kowe main-main dengan perempuan lain".<br />

"Apa kowe tak puas dengan apa yang kuberikan tiap-tiap hari dan<br />

tiap-tiap malam?" katanya.<br />

"Maryati, oh Maryati, jangan ribut-ribut," demikian Kodera menjawab<br />

bentakan perempuan itu.<br />

"Kau tidak suka lagi sama aku punya, hah?" Kodera dibentak lagi.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!