ACEH_03291

ACEH_03291 ACEH_03291

02.06.2013 Views

158 Drs. H. Athaillah Abu Lam-U Dari karya-karya tulis tersebut dapat dipahami secara lebih jelas dan mudah kaitan hubungan yang terjadi antara Kerajaan Aceh dengan kerajaankerajaan lain di Nusantara ini, terutama dengan kerajaan-kerajaan jiran di Semenanjung Malaka, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan. Hubunganhubungan yang terjadi tidak hanya dalam rangka mengusir ekspansi kolonialis Barat di Bumi Nusantara, tetapi juga kaitan hubungan penyebaran agama Islam dan hubungan kekeluargaan yang membawa pengaruh besar pada hubungan budaya, bahasa, dan niaga. Ketekunannya menggali sejarah Aceh dalam kaitannya dengan sejarah Melayu telah membuka cakrawala baru dalam hubungan Aceh sekarang ini dengan negara-negara tetangga, khususnya dalam dimensi budaya, bahasa, dan pariwisata. Atas dasar karya-karyanya dalam bidang sastra, budaya, dan sejarah inilah, Prof. Ali Hasjmy pan tas menyandang predikat sastrawan, budayawan, dan sejarawan. Sebagai pakar dalam ketiga bidang ini, beliau sangat diperhitungkan. Diskusi, seminar, dan muzakarah yang dilakukan di dalam negeri maupun di negara-negara tetangga senantiasa beliau hadiri sebagai pembawa makalah utama. Pengakuan terhadap kepakaran beliau dalam ketiga bidang tersebut telah beliau peroleh dalam pelbagai bentuk. Piagam penghargaan dan bintang kehormatan telah dianugerahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, bahkan Presiden Mesir pun menganugerahkan bintang kehormatan atas jasa beliau dalam bidang pengembangan kebudayaan Islam. Selain aktif dalam bidang tulis menulis, A. Hasjmy sejak usia muda telah memperlihatkan kepekaannya terhadap perkembangan masyarakat yang pada waktu itu masih sangat tertinggal di bidang pendidikan. Ketertinggalan tersebut bukan disebabkan kurangnya daya pikir atau daya nalar atau pun tingkat kecerdasan masyarakat, akan tetapi lebih banyak disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan akibat dari sistem politik penjajah Belanda. Politik pendidikan penjajah hanya mengutamakan pendidikan untuk menghasilkan tenaga-tenaga bawahan yang dapat melancarkan administrasi pemerintahan kolonial, dan tenaga terampil yang sangat terbatas jumlah dan jenisnya sesuai dengan kebutuhan tenaga pada perkebunan-perkebunan, tenaga tukang, dan tenaga-tenaga rendahan lainnya. Pendidikan yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam bentuk "dayah" dan "pesantren" serta perguruan lainnya selalu diamati dan diberi penekananpenekanan tertentu dengan maksud jangan sampai lembaga-lembaga pendidikan tersebut menghasilkan manusia-manusia yang membahayakan kedudukan administrasi penjajah Belanda di Indonesia. Namun karena

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 159 kegigihan dan keuletan para ulama dan pemuka masyarakat, lembaga-lembaga pendidikan di Aceh mampu menghasilkan manusia-manusia yang telah terbukti mampu menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang handal baik di masa memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia maupun dalam masa mempertahankan dan mengisi kemerdekaan tersebut. A. Hasjmy sebagai seorang pemuda yang pernah mengenyam pendidikan di Sumatra Barat telah melibatkan dirinya di dalam pelbagai organisasi pemuda Islam baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota. Organisasi-organisasi tersebut pada umumnya bergerak dan berjuang untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terutama kaum muda di Aceh guna mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan. Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII) 1933-1935, Serikat Pemuda Islam Aceh (Sepia) 1935, yang kemudian menjadi Peramiindo (Pergerakan Pemuda Islam Indonesia), anggota pengurus Pemuda PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) 1939, adalah di antara beberapa organisasi pemuda yang menjadi ajang perjuangannya. Dari organisasi-organsasi yang semula berjuang untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pendidikan, lambat laun berkembang menjadi organisasi yang menanamkan rasa kesadaran berbangsa dan anti penjajahan di kalangan anggotanya. Perkembangan ini sejalan dengan pergolakan yang terjadi di kawasan Asia khususnya sesudah Perang Dunia Kedua. Gerakangerakan untuk meiepaskan diri dari belenggu penjajahan Barat di Asia termasuk Indonesia meningkat, diperkuat lagi oleh supremasi Jepang yang mampu menggalau para kolonialis Barat di setiap negara yang didudukinya. Keberhasilan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya lebih banyak ditunjang oleh aktivitas rakyat setempat yang telah memuncak kebenciannya kepada penjajah Barat. Kekuasaan Jepang di tanah air yang pada akhirnya dirasakan lebih kejam daripada penjajah sebelumnya, memarakkan tumbuhnya kesadaran yang lebih tinggi di kalangan pemimpin-pemimpin bangsa untuk meiepaskan diri dari Jepang dan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Organisasi pemuda yang tadinya lebih bercorak sosial kemasyarakatan, berubah menjadi organisasi yang mempersiapkan kader-kader pejuang untuk mencapai kemerdekaan. Pemuda A. Hasjmy berperan aktif melalui organ "Pemuda Pusat" dan "Kepanduan Islam" mengobarkan semangat menentang penjajah di kalangan pemuda-pemuda Aceh khususnya. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Belanda ingin kembali ke Indonesia dengan melalui tentara Sekutu. Hal ini mendapat tantangan kuat dari seluruh rakyat Indo-

158 Drs. H. Athaillah Abu Lam-U<br />

Dari karya-karya tulis tersebut dapat dipahami secara lebih jelas dan<br />

mudah kaitan hubungan yang terjadi antara Kerajaan Aceh dengan kerajaankerajaan<br />

lain di Nusantara ini, terutama dengan kerajaan-kerajaan jiran di<br />

Semenanjung Malaka, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan. Hubunganhubungan<br />

yang terjadi tidak hanya dalam rangka mengusir ekspansi<br />

kolonialis Barat di Bumi Nusantara, tetapi juga kaitan hubungan penyebaran<br />

agama Islam dan hubungan kekeluargaan yang membawa pengaruh besar<br />

pada hubungan budaya, bahasa, dan niaga. Ketekunannya menggali sejarah<br />

Aceh dalam kaitannya dengan sejarah Melayu telah membuka cakrawala<br />

baru dalam hubungan Aceh sekarang ini dengan negara-negara tetangga,<br />

khususnya dalam dimensi budaya, bahasa, dan pariwisata.<br />

Atas dasar karya-karyanya dalam bidang sastra, budaya, dan sejarah<br />

inilah, Prof. Ali Hasjmy pan tas menyandang predikat sastrawan, budayawan,<br />

dan sejarawan. Sebagai pakar dalam ketiga bidang ini, beliau sangat<br />

diperhitungkan. Diskusi, seminar, dan muzakarah yang dilakukan di dalam<br />

negeri maupun di negara-negara tetangga senantiasa beliau hadiri sebagai<br />

pembawa makalah utama. Pengakuan terhadap kepakaran beliau dalam<br />

ketiga bidang tersebut telah beliau peroleh dalam pelbagai bentuk. Piagam<br />

penghargaan dan bintang kehormatan telah dianugerahkan oleh Pemerintah<br />

Republik Indonesia, bahkan Presiden Mesir pun menganugerahkan bintang<br />

kehormatan atas jasa beliau dalam bidang pengembangan kebudayaan Islam.<br />

Selain aktif dalam bidang tulis menulis, A. Hasjmy sejak usia muda<br />

telah memperlihatkan kepekaannya terhadap perkembangan masyarakat<br />

yang pada waktu itu masih sangat tertinggal di bidang pendidikan.<br />

Ketertinggalan tersebut bukan disebabkan kurangnya daya pikir atau daya<br />

nalar atau pun tingkat kecerdasan masyarakat, akan tetapi lebih banyak<br />

disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan akibat dari<br />

sistem politik penjajah Belanda. Politik pendidikan penjajah hanya<br />

mengutamakan pendidikan untuk menghasilkan tenaga-tenaga bawahan<br />

yang dapat melancarkan administrasi pemerintahan kolonial, dan tenaga<br />

terampil yang sangat terbatas jumlah dan jenisnya sesuai dengan kebutuhan<br />

tenaga pada perkebunan-perkebunan, tenaga tukang, dan tenaga-tenaga<br />

rendahan lainnya.<br />

Pendidikan yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam bentuk "dayah"<br />

dan "pesantren" serta perguruan lainnya selalu diamati dan diberi penekananpenekanan<br />

tertentu dengan maksud jangan sampai lembaga-lembaga<br />

pendidikan tersebut menghasilkan manusia-manusia yang membahayakan<br />

kedudukan administrasi penjajah Belanda di Indonesia. Namun karena

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!