ACEH_03291
ACEH_03291 ACEH_03291
150 Dr. Baihaqi, A.K. di kerongkongan, artinya tidak mudah dicerna. Akan sangat lain halnya jika mubaligh tersebut berpidato di depan forum ilmuwan yang sudah dengan sengaja mengundangnya untuk mempresentasikan pidatonya yang ilmiah itu. Sejalan dengan itu, al-Ghazali terasa amat bijak ketika ia mengatakan: Al-mazah fil-kalam kal-milhi fith-tha'am, yang artinya: kelakar dalam percakapan (termasuk pidato) seperti garam dalam makanan. Terlalu banyak garamnya, makanan menjadi "pahit" dan, sebaliknya, terlalu kurang garamnya, makanan menjadi tidak enak. Dengan demikian, memberi garam menjadi "wajib", jika kita ingin bahwa makanan yang kita hidangkan enak dimakan orang. Masalahnya terletak pada bagaimana memberi garam tersebut sehingga pas, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu kurang. Jika dianalogi dengan kelakar dalam perkataan, terutama pidato, maka kelakar itu menjadi "wajib" jika kita ingin agar pidato kita didengar dengan tekun dan dicerna dengan baik. Masalahnya, seperti garam tadi, terletak pada pertanyaan bagaimana memberi kelakar itu dengan pas, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Seni kelakar memang di situ letaknya. Dalam kaitannya dengan A. Hasjmy, pada mulanya saya menyangka bahwa ia memiliki hanya H yang pertama dan, mungkin, H yang kedua, yaitu humanity dan humility. Ia, rasanya, sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk H yang ketiga, humor, yaitu kemampuan membuat beurakah (kelakar), terutama dalam waktu berpidato di depan masyarakat umum. Sayangkan saya itu wajar-wajar saja, sebab sejak awal saya kenal seperti telah saya singgung terdahulu ia kelihatan pendiam dan senang mengkhayal (meskipun mungkin khayal konstruktif). Akan tetapi, pada suatu malam, ketika saya masih di Banda Aceh, kami berdua kebetulan secara bersama-sama diundang oleh masyarakat untuk mengisi acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Lambada, dekat Uleelheue, Aceh Besar. Pembicara pertama adalah saya sendiri. Dalam berpidato, biasanya, saya agak kocak dan dapat membuat pendengar ketawa dan gembira. Di dalam hati saya terbayang bahwa di belakang saya akan tampil seorang mubaligh yang, meskipun besar, tidak bisa kocak seperti saya. Kemudian, tibalah gilirannya. Saya lihat pada awal ia berpidato tampaknya kaku, seperti berat mengucapkan kata-kata. Setelah beberapa belas menit, keadaannya menjadi lain. Saya lantas mengangguk-angguk terheran-heran, karena orang yang namanya A. Hasjmy itu temyata dapat membuat para pendengarnya ketawa, gembira dan ramai. Itulah yang per-
Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 151 tama kali saya dengar. Setelah kemudian kami bersama-sama di IALN "Ar-Raniry" dan di Majelis Ulama, keadaan yang sama berulang terus. Kelakar saya bahkan kalah di hadapannya. Kesan lainnya yang cukup menarik adalah kecerdasan A. Hasjmy dalam bergurau. Yang saya maksud dengan bergurau itu di sini adalah saling berbalas kata/ungkapan, disertai dengan upaya saling mengalahkan, tetapi selalu dalam kondisi yang sesuai dan suasana yang menyenangkan. Belum ada saya dengar gurau yang tidak terjawab oleh A. Hasjmy. Dan sepanjang saya ketahui, ia belum pemah kalah. Ia selalu menang (mungkin juga, karena dihormati, dimenangkan) dan lawannya kalah, tetapi tetap senang dan menyenangkan. Kecerdasannya dalam hal itu telah mendorong saya untuk turut mencoba. Ceritanya begini: Setiap kali musim lebaran, fitrah atau haji, kami dari Darussalam selalu berkunjung kepada Pak Hasjmy untuk berlebaran dan mohon maaf lahir dan batin. Pada suatu lebaran fitrah, kami bersama Rektor IAIN (waktu itu: Ahmad Daudy, MA) berkunjung ke rumah Pak Hasjmy di Jalan Mata Ie, Banda Aceh. Saya dengan sengaja, setelah turun dari mobil, bergegas mendekati pintu rumahnya dengan maksud memancing untuk bergurau. Di pintu rumahnya saya mengucap salam dengan suara yang dibesarkan untuk menarik perhatian. Ia menjawabnya dengan baik, tetapi tampak ia sudah tanggap akan situasi. Saya segera berkata : "Yang berjalan di depan adalah orang besar, kira-kira jenderal. Yang berjalan di belakang orang-orang kecil, kira-kira prajurit". Ia dengan spontan menanggapi: "Dalam keadaan sekarang, boleh jadilah. Tetapi dalam perang, prajuriüah di depan. Jenderal yang tukang atur tentu di belakang". Saya ketawa dan gembira, berikut teman-teman yang kebetulan sedang ramai di rumahnya. Burung Elang Rajawali Dalam kunjungannya yang pertama ke Aceh, Soekarno (Presiden RI yang pertama), mengucapkan pidatonya yang berapi-api di dalam gedung bioskop Bireuen, Aceh Utara (waktu itu saya masih belajar di SMI Bireuen). Di antara isi pidatonya yang menarik diungkap di sini adalah: Gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit. Jadilah kamu orang besar. Orang besar itu laksana burung elang rajawali yang terbang tinggi di angkasa. Ia tidak melihat yang kecil-kecil seperti belalang dan cacing. Ia melihat yang besar-besar, mengerjakan yang besar-besar, menghasilkan yang besar-besar.
- Page 123 and 124: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 99 ya
- Page 125 and 126: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 101 P
- Page 127 and 128: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 103 t
- Page 129 and 130: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 105 s
- Page 131 and 132: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 107 D
- Page 133 and 134: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 109 H
- Page 135 and 136: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 111 m
- Page 137 and 138: Asnawi Hasjmy, S.H. Dia Abangku-Aya
- Page 139 and 140: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 115 "
- Page 141 and 142: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 117 C
- Page 143 and 144: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 119 d
- Page 145 and 146: Dr. H. Alibasyah Amin, M.A. Ah' Has
- Page 147 and 148: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 123 a
- Page 149: Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 125 P
- Page 152 and 153: 128 Dr. Siti Zainon Ismail itu. Mel
- Page 154 and 155: 130 Dr. Siti Zainon Ismail "Apa bol
- Page 156 and 157: 132 Dr. Siti Zainon Ismail dimusnah
- Page 158 and 159: 134 Dr. Siti Zainon Ismail Telah Ka
- Page 160 and 161: 136 H.S. Syamsuri Meitoyoso Ketika
- Page 162 and 163: Rachmawati Soekarno "Aku Serdadumu"
- Page 164 and 165: 140 Rachmawati Soekarno Oleh karena
- Page 166 and 167: 142 dr. Robby Tandiari, FICS Beliau
- Page 168 and 169: 144 dr. Robby Tandiari, FICS Walaup
- Page 170 and 171: 146 Dr. Baihaqi, A.K. tumbuh kata r
- Page 172 and 173: 148 Dr. Baihaqi, A.K. meningkat men
- Page 176 and 177: 152 Dr. Baihaqi, A.K. Yang kecil-ke
- Page 178 and 179: 154 Dr. Baihaqi, A.K. meskipun jebo
- Page 180 and 181: 156 Teungku H. Soufyan Hamzah telah
- Page 182 and 183: 158 Drs. H. Athaillah Abu Lam-U Dar
- Page 184 and 185: 160 Drs. H. Athaillah Abu Lam-U nes
- Page 186 and 187: 162 Drs. H. Athaillah Abu Lam-U Kep
- Page 188 and 189: 164 Dis. H. Athaillah Abu Lam-U Ala
- Page 190: 166 Drs. H. Athaillah Abu Lam-U ten
- Page 194 and 195: 170 Teuku Alibasjah Talsya Temyata
- Page 196 and 197: 172 Teuku Alibasjah Talsya Setelah
- Page 198 and 199: 174 Teuku Alibasjah Talsya Sungguhp
- Page 200 and 201: 176 Teuku Alibasjah Talsya Yamada l
- Page 202 and 203: ] 78 Teuku Alibasjah Talsya Saya, y
- Page 204 and 205: 180 Teuku Alibasjah Talsya bertumpu
- Page 206 and 207: 182 Teuku Alibasjah Talsya Pesindo
- Page 208: 184 Teuku Alibasjah Talsya Orangnya
- Page 212 and 213: 188 Ike Soepomo menyelinap ketika b
- Page 214 and 215: 190 Ike Soepomo masuk ke rumah saki
- Page 216 and 217: 192 H. Badruzzaman Ismail, S.H. keh
- Page 218 and 219: 194 H. Badruzzaman Ismail, S.H. Bah
- Page 220 and 221: 196 H. Badruzzaman Ismail, S.H. Ace
- Page 222 and 223: 198 H. Badruzzaman Ismail, S.H. beb
150 Dr. Baihaqi, A.K.<br />
di kerongkongan, artinya tidak mudah dicerna. Akan sangat lain halnya jika<br />
mubaligh tersebut berpidato di depan forum ilmuwan yang sudah dengan<br />
sengaja mengundangnya untuk mempresentasikan pidatonya yang ilmiah<br />
itu.<br />
Sejalan dengan itu, al-Ghazali terasa amat bijak ketika ia mengatakan:<br />
Al-mazah fil-kalam kal-milhi fith-tha'am, yang artinya: kelakar dalam<br />
percakapan (termasuk pidato) seperti garam dalam makanan. Terlalu banyak<br />
garamnya, makanan menjadi "pahit" dan, sebaliknya, terlalu kurang garamnya,<br />
makanan menjadi tidak enak. Dengan demikian, memberi garam menjadi<br />
"wajib", jika kita ingin bahwa makanan yang kita hidangkan enak<br />
dimakan orang. Masalahnya terletak pada bagaimana memberi garam tersebut<br />
sehingga pas, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu kurang. Jika<br />
dianalogi dengan kelakar dalam perkataan, terutama pidato, maka kelakar itu<br />
menjadi "wajib" jika kita ingin agar pidato kita didengar dengan tekun dan<br />
dicerna dengan baik. Masalahnya, seperti garam tadi, terletak pada pertanyaan<br />
bagaimana memberi kelakar itu dengan pas, tidak terlalu banyak dan tidak<br />
terlalu sedikit. Seni kelakar memang di situ letaknya.<br />
Dalam kaitannya dengan A. Hasjmy, pada mulanya saya menyangka<br />
bahwa ia memiliki hanya H yang pertama dan, mungkin, H yang kedua, yaitu<br />
humanity dan humility. Ia, rasanya, sama sekali tidak mempunyai kemampuan<br />
untuk H yang ketiga, humor, yaitu kemampuan membuat beurakah<br />
(kelakar), terutama dalam waktu berpidato di depan masyarakat umum.<br />
Sayangkan saya itu wajar-wajar saja, sebab sejak awal saya kenal seperti<br />
telah saya singgung terdahulu ia kelihatan pendiam dan senang mengkhayal<br />
(meskipun mungkin khayal konstruktif).<br />
Akan tetapi, pada suatu malam, ketika saya masih di Banda Aceh, kami<br />
berdua kebetulan secara bersama-sama diundang oleh masyarakat untuk<br />
mengisi acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Lambada,<br />
dekat Uleelheue, Aceh Besar. Pembicara pertama adalah saya sendiri.<br />
Dalam berpidato, biasanya, saya agak kocak dan dapat membuat pendengar<br />
ketawa dan gembira. Di dalam hati saya terbayang bahwa di belakang saya<br />
akan tampil seorang mubaligh yang, meskipun besar, tidak bisa kocak seperti<br />
saya.<br />
Kemudian, tibalah gilirannya. Saya lihat pada awal ia berpidato<br />
tampaknya kaku, seperti berat mengucapkan kata-kata. Setelah beberapa<br />
belas menit, keadaannya menjadi lain. Saya lantas mengangguk-angguk<br />
terheran-heran, karena orang yang namanya A. Hasjmy itu temyata dapat<br />
membuat para pendengarnya ketawa, gembira dan ramai. Itulah yang per-