ACEH_03291

ACEH_03291 ACEH_03291

02.06.2013 Views

150 Dr. Baihaqi, A.K. di kerongkongan, artinya tidak mudah dicerna. Akan sangat lain halnya jika mubaligh tersebut berpidato di depan forum ilmuwan yang sudah dengan sengaja mengundangnya untuk mempresentasikan pidatonya yang ilmiah itu. Sejalan dengan itu, al-Ghazali terasa amat bijak ketika ia mengatakan: Al-mazah fil-kalam kal-milhi fith-tha'am, yang artinya: kelakar dalam percakapan (termasuk pidato) seperti garam dalam makanan. Terlalu banyak garamnya, makanan menjadi "pahit" dan, sebaliknya, terlalu kurang garamnya, makanan menjadi tidak enak. Dengan demikian, memberi garam menjadi "wajib", jika kita ingin bahwa makanan yang kita hidangkan enak dimakan orang. Masalahnya terletak pada bagaimana memberi garam tersebut sehingga pas, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu kurang. Jika dianalogi dengan kelakar dalam perkataan, terutama pidato, maka kelakar itu menjadi "wajib" jika kita ingin agar pidato kita didengar dengan tekun dan dicerna dengan baik. Masalahnya, seperti garam tadi, terletak pada pertanyaan bagaimana memberi kelakar itu dengan pas, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Seni kelakar memang di situ letaknya. Dalam kaitannya dengan A. Hasjmy, pada mulanya saya menyangka bahwa ia memiliki hanya H yang pertama dan, mungkin, H yang kedua, yaitu humanity dan humility. Ia, rasanya, sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk H yang ketiga, humor, yaitu kemampuan membuat beurakah (kelakar), terutama dalam waktu berpidato di depan masyarakat umum. Sayangkan saya itu wajar-wajar saja, sebab sejak awal saya kenal seperti telah saya singgung terdahulu ia kelihatan pendiam dan senang mengkhayal (meskipun mungkin khayal konstruktif). Akan tetapi, pada suatu malam, ketika saya masih di Banda Aceh, kami berdua kebetulan secara bersama-sama diundang oleh masyarakat untuk mengisi acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Lambada, dekat Uleelheue, Aceh Besar. Pembicara pertama adalah saya sendiri. Dalam berpidato, biasanya, saya agak kocak dan dapat membuat pendengar ketawa dan gembira. Di dalam hati saya terbayang bahwa di belakang saya akan tampil seorang mubaligh yang, meskipun besar, tidak bisa kocak seperti saya. Kemudian, tibalah gilirannya. Saya lihat pada awal ia berpidato tampaknya kaku, seperti berat mengucapkan kata-kata. Setelah beberapa belas menit, keadaannya menjadi lain. Saya lantas mengangguk-angguk terheran-heran, karena orang yang namanya A. Hasjmy itu temyata dapat membuat para pendengarnya ketawa, gembira dan ramai. Itulah yang per-

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 151 tama kali saya dengar. Setelah kemudian kami bersama-sama di IALN "Ar-Raniry" dan di Majelis Ulama, keadaan yang sama berulang terus. Kelakar saya bahkan kalah di hadapannya. Kesan lainnya yang cukup menarik adalah kecerdasan A. Hasjmy dalam bergurau. Yang saya maksud dengan bergurau itu di sini adalah saling berbalas kata/ungkapan, disertai dengan upaya saling mengalahkan, tetapi selalu dalam kondisi yang sesuai dan suasana yang menyenangkan. Belum ada saya dengar gurau yang tidak terjawab oleh A. Hasjmy. Dan sepanjang saya ketahui, ia belum pemah kalah. Ia selalu menang (mungkin juga, karena dihormati, dimenangkan) dan lawannya kalah, tetapi tetap senang dan menyenangkan. Kecerdasannya dalam hal itu telah mendorong saya untuk turut mencoba. Ceritanya begini: Setiap kali musim lebaran, fitrah atau haji, kami dari Darussalam selalu berkunjung kepada Pak Hasjmy untuk berlebaran dan mohon maaf lahir dan batin. Pada suatu lebaran fitrah, kami bersama Rektor IAIN (waktu itu: Ahmad Daudy, MA) berkunjung ke rumah Pak Hasjmy di Jalan Mata Ie, Banda Aceh. Saya dengan sengaja, setelah turun dari mobil, bergegas mendekati pintu rumahnya dengan maksud memancing untuk bergurau. Di pintu rumahnya saya mengucap salam dengan suara yang dibesarkan untuk menarik perhatian. Ia menjawabnya dengan baik, tetapi tampak ia sudah tanggap akan situasi. Saya segera berkata : "Yang berjalan di depan adalah orang besar, kira-kira jenderal. Yang berjalan di belakang orang-orang kecil, kira-kira prajurit". Ia dengan spontan menanggapi: "Dalam keadaan sekarang, boleh jadilah. Tetapi dalam perang, prajuriüah di depan. Jenderal yang tukang atur tentu di belakang". Saya ketawa dan gembira, berikut teman-teman yang kebetulan sedang ramai di rumahnya. Burung Elang Rajawali Dalam kunjungannya yang pertama ke Aceh, Soekarno (Presiden RI yang pertama), mengucapkan pidatonya yang berapi-api di dalam gedung bioskop Bireuen, Aceh Utara (waktu itu saya masih belajar di SMI Bireuen). Di antara isi pidatonya yang menarik diungkap di sini adalah: Gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit. Jadilah kamu orang besar. Orang besar itu laksana burung elang rajawali yang terbang tinggi di angkasa. Ia tidak melihat yang kecil-kecil seperti belalang dan cacing. Ia melihat yang besar-besar, mengerjakan yang besar-besar, menghasilkan yang besar-besar.

150 Dr. Baihaqi, A.K.<br />

di kerongkongan, artinya tidak mudah dicerna. Akan sangat lain halnya jika<br />

mubaligh tersebut berpidato di depan forum ilmuwan yang sudah dengan<br />

sengaja mengundangnya untuk mempresentasikan pidatonya yang ilmiah<br />

itu.<br />

Sejalan dengan itu, al-Ghazali terasa amat bijak ketika ia mengatakan:<br />

Al-mazah fil-kalam kal-milhi fith-tha'am, yang artinya: kelakar dalam<br />

percakapan (termasuk pidato) seperti garam dalam makanan. Terlalu banyak<br />

garamnya, makanan menjadi "pahit" dan, sebaliknya, terlalu kurang garamnya,<br />

makanan menjadi tidak enak. Dengan demikian, memberi garam menjadi<br />

"wajib", jika kita ingin bahwa makanan yang kita hidangkan enak<br />

dimakan orang. Masalahnya terletak pada bagaimana memberi garam tersebut<br />

sehingga pas, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu kurang. Jika<br />

dianalogi dengan kelakar dalam perkataan, terutama pidato, maka kelakar itu<br />

menjadi "wajib" jika kita ingin agar pidato kita didengar dengan tekun dan<br />

dicerna dengan baik. Masalahnya, seperti garam tadi, terletak pada pertanyaan<br />

bagaimana memberi kelakar itu dengan pas, tidak terlalu banyak dan tidak<br />

terlalu sedikit. Seni kelakar memang di situ letaknya.<br />

Dalam kaitannya dengan A. Hasjmy, pada mulanya saya menyangka<br />

bahwa ia memiliki hanya H yang pertama dan, mungkin, H yang kedua, yaitu<br />

humanity dan humility. Ia, rasanya, sama sekali tidak mempunyai kemampuan<br />

untuk H yang ketiga, humor, yaitu kemampuan membuat beurakah<br />

(kelakar), terutama dalam waktu berpidato di depan masyarakat umum.<br />

Sayangkan saya itu wajar-wajar saja, sebab sejak awal saya kenal seperti<br />

telah saya singgung terdahulu ia kelihatan pendiam dan senang mengkhayal<br />

(meskipun mungkin khayal konstruktif).<br />

Akan tetapi, pada suatu malam, ketika saya masih di Banda Aceh, kami<br />

berdua kebetulan secara bersama-sama diundang oleh masyarakat untuk<br />

mengisi acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Lambada,<br />

dekat Uleelheue, Aceh Besar. Pembicara pertama adalah saya sendiri.<br />

Dalam berpidato, biasanya, saya agak kocak dan dapat membuat pendengar<br />

ketawa dan gembira. Di dalam hati saya terbayang bahwa di belakang saya<br />

akan tampil seorang mubaligh yang, meskipun besar, tidak bisa kocak seperti<br />

saya.<br />

Kemudian, tibalah gilirannya. Saya lihat pada awal ia berpidato<br />

tampaknya kaku, seperti berat mengucapkan kata-kata. Setelah beberapa<br />

belas menit, keadaannya menjadi lain. Saya lantas mengangguk-angguk<br />

terheran-heran, karena orang yang namanya A. Hasjmy itu temyata dapat<br />

membuat para pendengarnya ketawa, gembira dan ramai. Itulah yang per-

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!