ACEH_03291

ACEH_03291 ACEH_03291

02.06.2013 Views

146 Dr. Baihaqi, A.K. tumbuh kata romantik dan romantis yang berarti cerita roman, seperti roman percintaan, roman detektif, roman masyarakat, roman sejarah, roman picisan (yang berisi hanya percintaan saja) dan sebagainya. Kata individualisme dalam kaitannya dengan Pujangga Baru adalah paham yang menghendaki kebebasan berbuat dan menganut suatu kepercayaan (atau suatu agama) bagi setiap orang dan yang mementingkan hak perseorangan di samping kepentingan masyarakat dan negara. Individualisme Pujangga Baru muncul ke permukaan dalam bentuk dan ciri semacam itu, tidak dalam bentuk dan ciri individualisme yang lainnya, yaitu paham yang menganggap diri sendiri lebih penting daripada yang lain. Di samping pujangga A. Hasjmy terkategori pejuang, baik di bidang peningkatan syi'ar Islami dan dakwah Islamiyah maupun dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi, khususnya di Aceh. Dalam perjuangannya mengisi kemerdekaan A. Hasjmy tampak lebih mengutamakan pembangunan umat dengan karya-karya yang sebagian berciri monumental, seperti pembinaan KOPELMA (Kota Pelajar dan Mahasiswa, terakhir hanya mahasiswa) Darussalam, Banda Aceh dan beberapa tahun yang lalu di (bekas Kerajaan Samudera) Pasai. Kesan-kesan Nama A. Hasjmy sudah saya dengar semenjak di Takengon dan masih duduk di bangku sebuah madrasah di bawah pimpinan Teungku Banta Tjut (almarhum) (tidak jelas tingkat madrasah ini, tetapi saya memasukinya setelah tamat Vervolkschool pada zaman Jepang). Di sana, saya dan temanteman belajar beberapa ilmu agama, sejarah, bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Melalui pelajaran ini, nama A. Hasjmy, termasuk HAMKA, diperkenalkan kepada kami. Puisi-puisi A. Hasjmy banyak yang kami pelajari, bahkan sebagiannya, atas perintah guru, kami hafal. Namun, sejauh itu, roman wajah atau performans A. Hasjmy belum sempat terlihat. Yang tergambar adalah orangnya tinggi, wajahnya mulus, sifatnya perenung, dan macam-macam lagi. Gambaran semacam itu berjalan lama, yaitu dari tahun 1944 sampai tahun 195L ketika saya sudah berada di Kutaradja (sekarang: Banda Aceh) dalam rangka belajar di SGHA (Sekolah Guru dan Hakim Agama). Ada seorang teman, dalam suatu pertemuan, memperkenalkannya kepada saya. Sebagai orang yang masih dalam tingkat pelajar, kami duduk di tempat

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 147 bagian belakang sehingga saya hanya dapat melihatnya saja. Di dalam hati saya terbersit bisikan: "Ini rupanya orangnya yang sebagian sajak-sajaknya saya hafal". Kesan pertama yang merasuk di hati saya adalah bahwa A. Hasjmy itu seorang pendiam, pengkhayal, tidak peramah, malah agak angkuh dan, oleh karenanya, saya kurang berani mendekatinya atau enggan akrab dengannya. Keadaan itu berjalan lama sampai dengan saat ia menjabat Rektor IAIN Ar-Raniry dan menjadi Ketua Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Pada waktu itu, saya masih bertugas sebagai tenaga edukatif di IALN Ar-Raniry dan sebagai Ketua Bidang Dakwah pada majelis ulama yang sama. Kondisi itu dengan sendirinya membuat saya sering bertemu, bekerja sama dalam berbagai kegiatan, bersama-sama dalam kegiatan dakwah serta mendapat petunjuk atau bimbingan darinya, baik sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry maupun sebagai Ketua Majelis Ulama. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan dalam hal ini ialah bahwa Ketua Umum Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada waktu itu adalah Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba (almarhum), salah seorang tokoh ulama besar di Aceh. Setelah berkenalan secara akrab, saya ketahui bahwa A. Hasjmy, secara metaforis, dapat dimisalkan seperti rumah asli Aceh (sekurang-kurangnya menurut saya) yang pintunya kecil, tetapi di dalamnya luas dan lapang serta tidak mempunyai banyak kamar. Bentuk rumah asli Aceh itu menggambarkan bahwa orang Aceh, pada mulanya, tampak sukar berkenalan dan sangat berhati-hati menghadapi setiap orang, termasuk dengan sesamanya. Kondisi semacam itu mungkin sekali disebabkan oleh situasi perang panjang dengan Belanda yang memakan waktu hampir satu generasi. Sifat sukar berkenalan dan kesangat berhati-hatian itu terlambangkan oleh pintu rumah asli Aceh yang kecil. Saya ingat Snouck Hurgrounje memperlihatkan kecenderungan penafsiran semacam itu. Akan tetapi, setelah berhasil berkenalan akan kelihatan bahwa hati orang Aceh itu lapang, terbuka dan tidak banyak menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu, yakni tidak bersikap lain di mulut dan lain di hati. Kondisi ini dilambangkan oleh bagian dalam rumah asli Aceh yang luas/lapang dan tidak mempunyai banyak kamar. Setelah berkenalan, orang Aceh malah senang mengajak kenalannya untuk makan bersama di rumahnya. Memang, salah satu dari isi adat Aceh adalah kahuri (kenduri/makan) bersama tamu atau kenalannya, baik kahuri ie (minum-minum bersama) maupun kahuri bue (makan secara bersama-sama). Dan kalau sudah sampai kepada makan bersama di rumahnya maka perkenalan tersebut telah

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 147<br />

bagian belakang sehingga saya hanya dapat melihatnya saja. Di dalam hati<br />

saya terbersit bisikan: "Ini rupanya orangnya yang sebagian sajak-sajaknya<br />

saya hafal".<br />

Kesan pertama yang merasuk di hati saya adalah bahwa A. Hasjmy itu<br />

seorang pendiam, pengkhayal, tidak peramah, malah agak angkuh dan, oleh<br />

karenanya, saya kurang berani mendekatinya atau enggan akrab dengannya.<br />

Keadaan itu berjalan lama sampai dengan saat ia menjabat Rektor IAIN<br />

Ar-Raniry dan menjadi Ketua Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa<br />

Aceh. Pada waktu itu, saya masih bertugas sebagai tenaga edukatif di IALN<br />

Ar-Raniry dan sebagai Ketua Bidang Dakwah pada majelis ulama yang sama.<br />

Kondisi itu dengan sendirinya membuat saya sering bertemu, bekerja sama<br />

dalam berbagai kegiatan, bersama-sama dalam kegiatan dakwah serta mendapat<br />

petunjuk atau bimbingan darinya, baik sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry<br />

maupun sebagai Ketua Majelis Ulama. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan<br />

dalam hal ini ialah bahwa Ketua Umum Majelis Ulama Propinsi Daerah<br />

Istimewa Aceh pada waktu itu adalah Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba<br />

(almarhum), salah seorang tokoh ulama besar di Aceh.<br />

Setelah berkenalan secara akrab, saya ketahui bahwa A. Hasjmy, secara<br />

metaforis, dapat dimisalkan seperti rumah asli Aceh (sekurang-kurangnya<br />

menurut saya) yang pintunya kecil, tetapi di dalamnya luas dan lapang serta<br />

tidak mempunyai banyak kamar. Bentuk rumah asli Aceh itu menggambarkan<br />

bahwa orang Aceh, pada mulanya, tampak sukar berkenalan dan sangat<br />

berhati-hati menghadapi setiap orang, termasuk dengan sesamanya. Kondisi<br />

semacam itu mungkin sekali disebabkan oleh situasi perang panjang dengan<br />

Belanda yang memakan waktu hampir satu generasi. Sifat sukar berkenalan<br />

dan kesangat berhati-hatian itu terlambangkan oleh pintu rumah asli Aceh<br />

yang kecil. Saya ingat Snouck Hurgrounje memperlihatkan kecenderungan<br />

penafsiran semacam itu.<br />

Akan tetapi, setelah berhasil berkenalan akan kelihatan bahwa hati<br />

orang Aceh itu lapang, terbuka dan tidak banyak menyembunyikan atau<br />

merahasiakan sesuatu, yakni tidak bersikap lain di mulut dan lain di hati.<br />

Kondisi ini dilambangkan oleh bagian dalam rumah asli Aceh yang<br />

luas/lapang dan tidak mempunyai banyak kamar. Setelah berkenalan, orang<br />

Aceh malah senang mengajak kenalannya untuk makan bersama di rumahnya.<br />

Memang, salah satu dari isi adat Aceh adalah kahuri (kenduri/makan)<br />

bersama tamu atau kenalannya, baik kahuri ie (minum-minum bersama)<br />

maupun kahuri bue (makan secara bersama-sama). Dan kalau sudah sampai<br />

kepada makan bersama di rumahnya maka perkenalan tersebut telah

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!