02.06.2013 Views

ACEH_03291

ACEH_03291

ACEH_03291

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Delapan Puluh Tahun A. Hasjmy 133<br />

menyatakan, alangkah sedihnya, kalau manusia tidak beragama. Kemudian<br />

dengan suara yang tegas, terdengarlah lafaz Kalimah Syahadah dari bibir<br />

Harry mengiringi suara Prof. Hasjmy. Kemudian dinyatakan juga nama baru.<br />

Hafiz Arif!<br />

Acara agama diiringi dengan acara adat. Hafiz Arif disirami dengan<br />

peuseujeuk atau tepung tawar, diikuti dengan sentuhan nasi kunyit. Puncak<br />

acara ialah menyampai Rencong Sempena memberi gelar "Orang Kaya<br />

Putih". Gelaran ini merupakan gelaran kedua yang pernah disampaikan<br />

kepada "orang kulit putih". Orang pertama yang mendapat gelar ini ialah<br />

seorang Belanda. Sepanjang acara ini saya tidak merasa ianya dilakukan<br />

sekadar ambil hati. Selama ini Harry Aveling atau kini Hafiz Arif memang<br />

telah diketahui tentang kerja-kerjanya terhadap mengenalkan sastra Melayu-<br />

Indonesia ke dunia antar bangsa, tetapi rupanya manusia Aceh lebih peka,<br />

menghargai dan "seperti ingin menjadikannya saudara: orang Aceh melalui<br />

upacara masuk Melayu-Aceh". Hal ini juga menimbulkan keharuan, dengan<br />

tak terduga saya juga dijemput untuk diberi peuseujuek di pelaminan,<br />

kemudian juga dihadiahkan dengan rencong dan gelaran Teungku Nyak<br />

Fakinah, nama yang sudah tidak asing dalam dunia perjuangan dan pendidikan<br />

di Aceh.<br />

Sebagai orang Melayu-Aceh sekali lagi kami diraikan di Istana Gabnor.<br />

"Disandingkan" bersama sebagai simbol kebesaran adat Aceh. Pelaminan<br />

yang bersinar dengan kelip kelap sulaman benang emas, disaksikan oleh<br />

ulama, sahabat sasterawan dan budayawan, betapa Aceh begitu menghargai<br />

dunia ilmu, agama, dan kebudayaan.<br />

Hujan yang mencurah di sebelah petang, suara azan Masjid Ar-Rahman,<br />

suasana berjemaah, bergabung lagi dengan deraian gerimis yang menghantar<br />

kami di Padang Blang menyatukan sebak. Memang ada sinar dari<br />

celah gerbang Masjid Ar-Rahman yang memberikan kecerahan langkah.<br />

Bagai terdengar tepuk Tari Seudati, tiup serune kale berbaur dalam debur<br />

ombak di Ujung Batee, angin dari puncak sare-sare dan azan senja di Masjid<br />

Raya. Segalanya tak mungkin saya dan Hafiz melupakannya: kesan warisan<br />

Nusantara, karena tujuh bulan kemudian, pada tanggal 14 September 1990,<br />

sekali lagi, Masjid Ar-Rahman menjadi saksi. Kami di-ijab-kabul-kan oleh<br />

Ayahanda Prof. Ali Hasjmy. Sesungguhnya bumi Aceh telah merestui kasih<br />

kami! Kepada Ayahanda Ali Hasjmy, semoga Allah terus memberi rahmat<br />

dan hidayah-Nya. Terimalah madah serangkap puisi ini dari anakanda berdua:

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!