02.06.2013 Views

Bab I - III

Bab I - III

Bab I - III

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

1.1 Latar Belakang<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya dengan<br />

dongeng, cerita rakyat, legenda, babad, mite, adat istiadat, permainan rakyat,<br />

tarian rakyat, nyanyian rakyat dan sebagainya. Kekayaan tersebut diwariskan<br />

secara turun temurun. Khazanah kebudayaan tradisional tersebut, sebagian<br />

terekam dalam naskah-naskah lama dari berbagai daerah, seperti: Aceh, Batak,<br />

Nias, Minangkabau, Lampung, Sunda, Jawa, Bali, dalam berbagai huruf daerah<br />

setempat. Di samping itu, ada yang terekam sebagai tradisi lisan (Wahjono,<br />

1999:105).<br />

Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau tersebut,<br />

sampai sekarang merupakan warisan kebudayaan para leluhur, antara lain terdapat<br />

dalam berbagai cerita rakyat yang masih diturunkan dari mulut ke mulut dan kini<br />

telah banyak direkam di dalam berbagai tulisan (Mulyadi, 1994:1). Kadang—<br />

kadang terdengar ungkapan “warisan budaya”, yang menggambarkan sesuatu<br />

mencakup teks klasik yang diwariskan secara turun—temurun.<br />

Dalam konteks Indonesia, ungkapan ini berdsifat emotif karena orang<br />

teringat dengan mereka yang menurunkan warisan-sesepuh dan nenek moyang<br />

seseorang. Mereka ini pantas dihormati, sehingga generasi sekarang mendapat<br />

tugas moral untuk merawat apa yang telah ditinggalkan mereka untuk ketururunan<br />

mereka yang masih hidup. Namun, seruan untuk memperhatikan nilai objek ini<br />

sebagai pusaka tidaklah cukup. Karya sastra seolah-olah diperlakukan sama<br />

1<br />

1


dengan keris tombak atau bahkan kereta, mencucinya dan memberinya sajian di<br />

depannya tidak akan banyak membantu untuk menghargai roh pembuatnya.<br />

Sebaliknya, menghormati naskah sebagai pusaka mungkin membuat warisan itu<br />

dilestarikan lama sesudah warisan itu tidak digunakan lagi. Pandangan sarjana<br />

Barat menekankan, bahwa teks Indonesia (lisan dan tertulis) berguna karena<br />

mungkin dalam teks terdapat informasi yang berguna bagi ahli sejarah, linguis,<br />

antropolog atau mahasiswa teologia (Robson, 1994:7).<br />

Ada perbedaan cara memaknai sebuah warisan di mata bangsa Indonesia<br />

dan para sarjana Barat. Bangsa Indonesia menganggap warisan budaya yang<br />

berupa teks (lisan dan tertulis), adalah sebuah “pusaka” yang perlu “dilestarikan”<br />

dengan berbagai cara menurut tradisi masing-masing daerah. Sarjana Barat<br />

menganggap teks (lisan dan tertulis) adalah sebuah peristiwa budaya rohani<br />

bangsa Indonesia, di dalamnya terekam berbagai pemikiran, konsep, nilai budaya<br />

manusia Indonesia di masa lampau.<br />

Pemikiran antara Barat dengan Timur bukanlah sesuatu yang harus<br />

disikapi dengan pertentangan atau dikotomi rasa dengan rasio. Namun, yang lebih<br />

penting dilakukan adalah bagaimana kedua pandangan itu dipadukan, sehingga<br />

mampu meneropong konsep atau pemikiran yang tertuang di dalam teks tersebut,<br />

tidak hanya sebatas rasa tetapi juga rasio. Bila demikian, masyarakat telah<br />

“menghargai” arti penting sebuah teks baik lisan maupun tertulis. Kadang—<br />

kadang masyarakat terlena, bahkan melupakan nilai hakiki sebuah teks lisan atau<br />

tertulis. Mereka tidak sampai pada jawaban terhadap pertanyaan apa yang “ada di<br />

balik teks”, mengapa demikian dan sebagainya. Akhirnya mereka terjebak pada<br />

2


sisi fenomenal sebuah teks, tidak menyentuh sisi nomenal. Banyak teks lisan<br />

maupun tulis yang memiliki muatan budaya dan perlu dijelaskan secara lebih<br />

dalam, filosofis atau sufistik, sehingga teks itu menjadi bermakna bagi kehidupan<br />

manusia yang menghasilkannya.<br />

Berbicara masalah teks atau naskah, maka tidak dapat dilepaskan dengan<br />

bahasa sebagai medium penting, di samping aksara (huruf). Dalam kajian<br />

linguistik fungsi bahasa sebagai alat komunikasi menurut Roman Jakobson<br />

memiliki 6 fungsi, yaitu emotive, referential, poetic, phatic, metalingual dan<br />

conative (dalam Teeuw, 1988:53). Poetic function adalah salah satu fungsi bahasa<br />

yang berkaitan dengan bentuk-bentuk ekspresi manusia melalui seni dan logika<br />

berbahasa. Bentuk penyampaian bahasa ada yang tertulis ada juga yang lisan<br />

(tuturan). Konsekuensi dari penyampaian secara lisan adalah munculnya bentuk<br />

ekspresi seni berbahasa lewat nyanyian, ungkapan tradisonal, puisi lisan, pantun,<br />

dan sebagainya. Semua itu termasuk sastra lisan atau kesussastran gantian 1 .<br />

Sastra lisan adalah yang dituturkan secara lisan. Sastra ini di Indonesia pada<br />

umumnya berbentuk prosa, seperti dongeng-dongeng, ada juga yang berbentuk<br />

prosa liris seperti sastra kaba (Minangkabau), sastra pantun (Sunda), sastra<br />

kentrung dan jemblung (Jawa) dan lain-lain (Hutomo, 1991:60). Sastra lisan<br />

dilahirkan di kalangan rakyat yang tidak mengetahui tulisan. Oleh karena itu,<br />

sastra lisan disebut juga sastra rakyat. Sastra rakyat merupakan sebagian budaya<br />

rakyat yang merangkumi semua aspek tentang kehidupan suatu masyarakat. Sastra<br />

1 Bagus, I Gusti Ngurah dan I Ketut Ginarsa, 1978. Kembang Rampe Kasusastran Bali Purwa,<br />

Buku I. Hal:4. Kesusastran Gantian adalah untuk menyebut Sastra Rakyat atau sastra lisan di<br />

Bali. Lihat juga Bagus, I Gusti Ngurah Bagus,1979. “Penerjemahan Karya Sastra Tradisional Ke<br />

Dalam Bahasa Indonesia” Dalam Bahasa dan Sastra. Tahun V. No.5. Ha:13.<br />

3


ini hanya bertumpu pada hasil kesusastraan yang bercorak pertuturan atau verbal<br />

arts yang terdapat dalam suatu bangsa. Sastra lisan ini dapat disampaikan dalam<br />

bentuk puisi seperti: jampi, mantera, pantun, paribhasa, bahasa berirama, dan<br />

teka-teki (Hamid, 1986:1).<br />

Di samping sastra lisan kesusastraan Bali, juga ada sastra tulis, yang telah<br />

memiliki akar sejarah yang panjang. Menurut I Gusti Ngurah Bagus, sejarah<br />

kesusastraan Bali dapat dibagai menjadi dua babak yaitu zaman klasik dan zaman<br />

modern (1990:4). Zaman klasik, bila dilihat dari cara penyampaiannya, dapat<br />

dibedakan menjadi sastra lisan dan sastra tulis. (1) Sastra lisan adalah karya sastra<br />

yang disampaikan secara oral dari mulut ke mulut, dalam bahasa Bali disebut<br />

sastra pegantian. Sastra pegantian ini dapat ditemukan seperti dongeng rakyat<br />

yang di Bali disebut dengan satua berjenis pribahasa, seperti wangsalan dan<br />

seloka. Sastra lisan ini agak telah berkembang sejak masa prasejarah, seiring<br />

dengan berkembangnya bentuk-bentuk kesenian yang lain pada zaman itu. Hanya<br />

saja, jenis sastra yang ada pada saat itu belum diketahui dengan jelas. (2) Sastra<br />

tulis secara historis telah berkembang pada zaman Bali Kuna. Menurut Bagus<br />

diperkirakan sekitar abad ke-9 pada zaman Dinasti Warmadewa. Menurut prasasti<br />

???apa zaman itu telah ada pertunjukan wayang yang disebut perbwayang yang<br />

mempertunjukkan cerita-cerita tertentu yang diambil dari khazanah kesusastraan<br />

Bali pada waktu itu (1990:5—6).<br />

Dalam sejarah kebudayaan Hindu-Jawa, hubungan Bali dengan Jawa telah<br />

terjadi sejak abad ke-10 dengan perkawinan Udayana dengan Gunapriya sampai<br />

akhirnya Bali jatuh ke tangan Gajah Mada 1343 M (Tim penyusun, 1980:56).<br />

4


Sejak saat itu tradisi keraton Jawa yang mengembangkan tradisi tulis atau sastra<br />

dilajutkan di keraton-keraton di Bali. Hal ini terjadi sekitar abad ke-16, yakni pada<br />

zaman Gelgel di bawah Raja Dalem Waturenggong yang memerintah tahun<br />

1460—1550 M. Zaman ini merupakan zaman kesusastraan Bali mencapai masa<br />

puncak keemasan. Zaman ini ditandai dengan datangnya pujangga besar<br />

Danghyang Nirartha tahun 1489 M. Beliau bukan saja ahli agama, namun juga<br />

pujangga besar yang banyak muridnya. Sejak saat itu, kesusastraan Kawi<br />

berkembang dengan pesat, di samping itu munculnya cipta sastra Bali yang subur.<br />

Salah seorang murid Danghyang Nirartha adalah Ki Gusti Dauh Bale Agung.<br />

Sekitar abad ke-17, mulailah diperkenalkan sastra tembang (macepat)<br />

dalam tradisi sastra keraton yang terus berkembang sampai sekarang. Pada<br />

pemerintahan Dalem Bekung 1550—1580 M., ada pengarang yang bernama<br />

Pangeran Telaga. Selanjutnya, pada zaman Dalem Sagening tahun 1580—1605<br />

M terkenal Arya Manguri. Pada zaman Klungkung 1710—1775 pengarang-<br />

pengarang Bali hampir muncul di seluruh pelosok Bali.<br />

Salah satu bentuk sastra tulis adalah geguritan yang merupakan bagian<br />

penting dari ragam kesusastraan Bali itu sendiri. Sastra geguritan (puisi naratif)<br />

memiliki kaidah tersendiri, dan dapat disimak dalam aspek bentuk (form) dan isi<br />

(content). Oleh karena geguritan memiliki dua aspek tersebut, maka kajian<br />

terhadap geguritan menjadi khas. Geguritan karena menggunakan medium bahasa<br />

Bali, maka di dalamnya terdapat simbol budaya dan logika berbahasa Bali<br />

sebagai alat komunikasi. Fenomena menarik pada geguritan Kasmaran adalah<br />

Geguritan ini tidak memiliki unsur naratif. Namun, mengunakan jenis bladbadan.<br />

5


Blabadan adalah salah satu bentuk dari jenis sastra lisan yang dikenal dengan<br />

puisi atau syair. Blabadan disampaikan secara oral, merupakan bahasa kiasan<br />

yang memiliki kaidah bantang, arti paribasa dan arti sejati. Geguritan merupakan<br />

salah satu jenis dan bentuk sastra tulis tradisional, yang mempunyai kaidah sendiri<br />

yang disebut padalingsa. Kemampuan menciptakan bladbadan dan simbol-<br />

simbol budaya yang ada di dalamnya, merupakan sesuatu yang menarik untuk<br />

dianalisis dari sudut pemaknaan antara teks dan konteksnya.<br />

1.2 Rumusan Masalah<br />

Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa permasalahan yang<br />

dibahas diangkat dalam penelitian ini. Adapun masalah yang dimaksud adalah<br />

sebagai berikut :<br />

1. Bagaimana Bladbadan dan Macepat sebagai pembangun struktur<br />

Geguritan Kasmaran ?<br />

2. Bagaimana makna teks dan konteks dalam Geguritan Kasmaran ?<br />

1.3 Tujuan Penelitian<br />

1.3.1 Tujuan Umum<br />

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran logika<br />

berbahasa masyarakat Bali dengan menggunakan ungkapan yang mengandung<br />

simbol dan gaya estetika komunikasinya. Ini berarti, bahwa GK adalah karya<br />

sastra yang tidak hanya memuat kaidah kebahasaan namun juga indeks dan simbol<br />

budaya yang dapat dicermati melalui eksplorasi bahasa yang diungkapkan dalam<br />

nyanyian tembang.<br />

6


1.3.2 Tujuan Khusus<br />

Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut.<br />

1. Mengungkapkan rancang bangun atau struktur Geguritan Kasmaran yang<br />

dibentuk oleh peran penting Bladbadan dan Macepat.<br />

2. Mengungkapan makna teks melalui eksplorasi kebahasaan dikaitkan<br />

dengan simbol sosial-budaya Bali. Ini artinya makna yang dibangun<br />

adalah makna teks dan konteks dalam kehidupan masyarakat Bali.<br />

1.4 Manfaat Penelitian<br />

1.4.1 Manfaat Teoretis<br />

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan<br />

pemikiran untuk pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-<br />

ilmu sastra bidang bladbadan. Dalam konteks penelitian karya sastra tradisional,<br />

kajian ini dapat digunakan sebagai referensi yang terkait dengan karya sastra Bali<br />

yang berbentuk puisi, namun pengungkapanya lebih terfokus pada pemilihan kata.<br />

1.4.2 Manfaat Praktis<br />

Secara praktis diharapkan dapat menjadi alternatif dalam berkomunikasi<br />

yang bersifat santun, indah, dan harmonis, sehingga tidak menimbulkan konflik<br />

dalam kehidupan bermasyarakat. Secara spesifik kajian ini dapat digunakan dalam<br />

berkomunikasi yang tidak vulgar dalam kehidupan masyarakat saat ini.<br />

7


BAB II<br />

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN<br />

2.1 Kajian Pustaka<br />

Penelitian terhadap Geguritan Kasmaran belum banyak dilakukan. Salah<br />

satu penelitian berbentuk skripsi adalah karya Cokorda Istri Sukrawati (1987)<br />

yang berjudul ”Aspek Bladbadan dalam Geguritan Kasmaran: Analisis Struktur<br />

dan Fungsi”. Dalam penelitian ini dipaparkan secara panjang lebar tentang aspek<br />

bahasa (linguistik) yang terdapat dalam Bladbadan. Analisis mulai dari aspek<br />

pembentukan Bladbadan sampai pada aspek isi yang meliputi, tema dan amanat.<br />

Namun, penelitian ini belum menukik pada persoalan logika berbahasa dan<br />

muatan simbol budaya yang terdapat dalam bahasa dan estetika Bladbadan. Untuk<br />

itu, penelitian ini dimaksudkan untuk memperdalam analisis yang telah dilakukan<br />

oleh Sukrawati dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.<br />

Landasan teoretis yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma<br />

poststrukturalisme, khususnya analisis wacana. Analisis ini berangkat dari<br />

pemahaman antara teks dan konteks. Hal yang penting mengenai sifat teks ialah<br />

teks itu bila dituliskan tampak seakan-akan terdiri atas kata-kata dan kalimat-<br />

kalimat, namun sesungguhnya terdiri atas makna-makna yang harus diungkapkan.<br />

Teks adalah hasil lingkungannya, hasil suatu proses pemilihan makna yang terus-<br />

menerus, yang dapat digambarkan sebagai jalan setapak atau jalan kecil melalui<br />

jaringan-jaringan yang membentuk suatu sistem kebahasaan (Halliday dan Hasan,<br />

1994:14—15).<br />

8<br />

8


Menurut Fishman 1985 sebagaimana dikutif Putra Yadnya (2004:4),<br />

bahwa hubungan bahasa dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni:<br />

(1) bahasa sebagai bagian dari budaya; (2) sebagai indeks budaya; dan (3) sebagai<br />

simbol budaya. Sebagai bagian budaya, bahasa merupakan pengejewantahan<br />

perilaku manusia. Misalnya, upacara, ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan<br />

tindak tutur atau peristiwa wicara. Semua yang ingin terlibat dan memahami<br />

budaya tersebut harus menguasai bahasa, karena dengan cara itu barulah mereka<br />

bisa berpartisipasi. Sebagai indeks budaya, bahasa mengungkapkan cara berpikir<br />

dan menata pengalaman penuturnya yang dalam bidang tertentu muncul dalam<br />

item leksikal. Sebagai simbolik budaya, bahasa menunjukkan identitas budaya<br />

etnis.<br />

2.2 Konsep<br />

2.2.1 Teks dan Konteks<br />

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesi (2006:1230), teks adalah (a)<br />

kata-kata asli dari pengarangnya; (b) kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran<br />

atau alasan ; (c) sesuatu yang tertulis untuk dasar memberi pelajaran, berpidato<br />

dan lain sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1159), teks<br />

diartikan sebagai (1) a) naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang; b)<br />

kutipan kitab suci atau pangkal ajaran atau alasan ; c) latihan tertulis untuk dasar<br />

memberi pelajaran, berpidato. (2) teks wacana tertulis ; diskursif adalah teks yang<br />

mengaitkan fakta secara bernalar; ekspresif teks yaitu mengungkapkan perasaan-<br />

perasaan dan pertimbangan dalam diri pengarang; evaluatif adalah teks untuk<br />

mempengaruhi pendapat dan perasaan pembaca; film adalah penerjemahan<br />

9


percakapan, uraian, dan sebagainya kedalam bahasa lain dan diproyeksikan pada<br />

bagian bawah layar putih; informatif adalah teks yang hanya menyajikan berita<br />

faktual tanpa kontemporer; naratif adalah teks yang tidak bersifat dialog, dan<br />

isinya merupakan suatu kisah sejarah, deretan peristiwa dan lain sebagainya;<br />

persuasif adalah teks yang fungsi utamanya mempengaruhi pendapat, perasaan<br />

dan perbuatan pembaca. Sedangkan konteks menurut Kamus Umum Bahasa<br />

Indonesia Edisi Ketiga (2006:613) adalah apa yang ada di depan atau di belakang<br />

( kata, kalimat, ucapan) yang membantu menentukan makna (kata, kalimat,<br />

ucapan, dan lain sebagainya). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga<br />

(2005:591) mengartikan konteks adalah: 1) bagian suatu uraian atau kalimat yang<br />

dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada<br />

hubungannya dengan suatu kejadian : orang itu harus dilihat sebagai manusia<br />

yang utuh dan lain-lain, konteks kehidupan pribadi dan masyarakat. Konteks<br />

budaya keseluruhan budaya atau situasi non linguistis tempat komunikasi terjadi;<br />

konteks linguistis konteks yang memberikan makna yang paling cocok pada unsur<br />

bahasa; konteks semotaktis adalah linguisti semantis yang ada di sekitar suatu<br />

unsur bahasa; makna unsur-unsur bahasa; konteks sintaksis adalah linguistik<br />

gramatikal dari suatu unsur bahasa yang menentukan kelas-kelas dan fungsi unsur<br />

tersebut.<br />

2.2.2 Geguritan Kasmaran<br />

Membaca geguritan berbeda dengan membaca karya sastra Bali yang lain.<br />

Menurut Granoka, dalam tulisannya yang berjudul Sastra Paletan Tembang,<br />

geguritan memiliki tiga unsur pokok, yaitu unsur bunyi, unsur lambang dan unsur<br />

10


isi, yang nantinya unsur bunyi dan unsur lambang dimasukkan ke dalam aspek<br />

(konvensi) bentuk dan unsur isi dimasukkan ke dalam aspek (konvensi) isi<br />

(Granoka dalam Sukrawati, 1987:77).<br />

Geguritan dalam pembacaan maupun penciptaannya diikat oleh suatu<br />

aturan yang disebut dengan padalingsa di satu pihak, dan di pihak lain karena<br />

geguritan itu terikat dengan isinya, sehingga sering tidak tepat pemilihan dan<br />

pemakaian katanya untuk memenuhi aturan padalingsa tersebut (Ginarsa,<br />

1980:v). Oleh sebab itu, antara konvensi bentuk dan isi secara bersama-sama atau<br />

sendiri-sendiri mempengaruhi pemilihan kata atau diksi dalam karya sastra<br />

geguritan.<br />

Sebagaimana diketahui, pupuh diikat oleh padalingsa, yaitu banyaknya<br />

baris dalam tiap bait, banyaknya suku kata dalam tiap baris dan bunyi akhir setiap<br />

baris dan setiap pupuh mempunyai aturannya sendiri-sendiri. Geguritan<br />

Kasmaran, sebagaimana dikemukakan dalam pendahuluan menggunakan satu<br />

jenis pupuh, yaitu pupuh sinom, dengan aturan sebagai berikut<br />

i--------a, ii--------I, iii--------a, iv--------I, v--------I, vi--------u, vii--------a, viii-----<br />

---I, ix----u, x--------a.<br />

Maksud dari padalingsa di atas adalah, bahwa pupuh sinom itu terdiri atas<br />

sepuluh baris, masing-masing baris memiliki jumlah suku kata yang beragam.<br />

Baris pertama terdiri atas delapan suku kata, baris keduan terdiri atas delapan suku<br />

kata, baris ketiga terdiri atas delapan suku kata pula, sampai baris kedelapan<br />

umumnya terdiri dari delapan suku kata. Baris kesembilan terdiri atas empat suku<br />

kata, dan baris kesepuluh terdiri atas delapan suku kata. Kemudian, bunyi akhir<br />

11


pada setiap baris dalam geguritan disebut guru suara. Pupuh sinom memiliki guru<br />

suara yang beragam di setiap barisnya. Baris pertama diakhiri dengan guru suara,<br />

a, baris kedua, i, baris ketiga, a, baris keempat, i, baris kelima, i, baris keenam, u,<br />

baris ketujuh, a, baris kedelapan, i, baris kesembilan, u, dan baris kesepuluh<br />

diakhiri dengan guru suara, a.<br />

Baik pembacaan maupun penciptaan geguritan pemakaian padalingsanya<br />

ketat. Selain itu, dalam pembacaan juga diikat oleh metode belajar menyanyikan<br />

geguritan yang disebut dengan macapat. Pembaca harus mahir metode ini yang<br />

akan diolah sesuai dengan kemauannya, untuk menepati guru basa atau ucapan<br />

yang bisa dimaknai, sehingga pengartos atau penerjemah lebih mudah memahami<br />

dan menerjemahkan maksud dalam geguritan tersebut.<br />

Dalam rangka pemenuhan padalingsa ini, dituntut penguasaan<br />

pembendaharaan kata yang luas dan daya kreativitas pengarang, sehingga<br />

karyanya mengalir ketika dibaca.<br />

2.2.3 Bbladbadan<br />

Bladbadan secara umum dimasukkan ke dalam bahasa kias, termasuk asa<br />

kias. Menurut Ketut Ginarsa seperti yang dikutip oleh Sukrawati (1987:53),<br />

bladbadan berasal dari kata dasar badbad yang berarti ulur atau mulur. Kemudian,<br />

mendapat sisipan (infix) -el-, dengan akhiran –an, sehingga menjadi beladbadan<br />

atau bladbadan yang artinya peribahasa yang terdiri atas kalimat yang dimulurkan<br />

atau dipanjangkan, sehingga dapat melukiskan sesuatu yang jitu sesuai dengan<br />

maksud pembicara.<br />

12


Namun, menurut Simpen A.B. (1982) lebih suka menggunakan istilah<br />

beblabadan daripada bladbadan. Menurut Simpen beblabadan berasal dari kata<br />

babad (bukan badbad), yang berarti tutur jati sane sampun kalampahin riin (suatu<br />

cerita yang dianggap betul-betul terjadi pada zaman dahulu). Kata babad<br />

kemudian mendapat sisipan (infik) -el- sehingga menjadi belabad atau blabad,<br />

kemudian mendapat akhiran -an, menjadi blabadan. Setelah itu kata balabadan<br />

mengalami proses reduplikasi sehingga menjadi beblabadan yang berarti kata-<br />

kata dalam bahasa kias dan mengandung persamaan bunyi atau bersajak ( Simpen,<br />

1982:39).<br />

Menurut Tim Peneliti Balai Penelitian Bahasa Singaraja (1980),<br />

sependapat dengan etimologi kata bladbadan sebagaimana dikemukakan oleh<br />

Ketut Ginarsa, yang disampaikan dalam kesusastraan Bali. Bentuk ini pada<br />

umumnya disampaikan dalam pemakainnya lewat permainan kata-kata yang<br />

terselubung.<br />

Dengan kata lain, amanat yang ingin disampaikan oleh bladbadan selalu<br />

dilontarkan dalam bentuk kias atau dalam bentuk untaian kalimat yang tidak<br />

lengkap. Menurut Sukrawati, kalimat tersebut dipanjangkan, sehingga dapat<br />

melukiskan kata-kata yang jitu (tepat) sesuai dengan maksud pembicara. Cara<br />

memainkan persamaan bunyi dan permainan kata-kata yang terselubung yang<br />

berlainan artinya.<br />

Menurut Simpen, A.B (1982), beblabadan dibangun tiga untaian kata.<br />

Kata pertama disebut giing atau bantang, kata kedua adalah arti yang sebenarnya,<br />

ketiga arti peribahasanya atau makna kiasnya. Dalam memainkan bladbadan atau<br />

13


mabeblabadan, setiap orang dianggap mengerti arti sesungguhnya, sehingga<br />

mudah mengasosiasikan dengan pengertian yang dimaksudkan. Dalam<br />

mengasosiasikan pengertian tersebut unsur kesamaan bunyi sangat membantu atau<br />

menentukan.<br />

Pemakaian blabadan dalam masyarakat maupun dalam karya sastra<br />

tersebut biasanya disampaikan dalam untaian kalimat atau untaian kalimat tidak<br />

lengkap. Misalnya, ngudyang cening masok gedenan dini?, ngodag-odag dini?<br />

atau jika diucapkan lebih singkat ngudyang cening masok gedenan dini? Jika<br />

kalimat tersebut tidak mengandung unsur kiasan atau bladbadan, maka<br />

kalimatnya akan berbentuk: ngudyang cening ngodag-odag dini? Untuk<br />

menjadikannya kalimat yang mengandung unsur kiasan atau bladbadan, bagian<br />

tertentu dari kalimat tersebut, dipanjangkan (dibabad). Maksud diperpanjang<br />

bukanlah kata-katanya ditambahkan, akan tetapi terdapat perpanjangan arti dan<br />

makna kiasan sebagai bagian dari respon komunikasi. Bladbadan memiliki arti<br />

yang berlapis antara denotasi dengan konotasi. Pada contoh kalimat di atas, sok<br />

gedenan adalah bantang, bodag itu arti sejatinya dan ngodag-odag itulah makna<br />

kiasannya. Jadi, kata sok gedenan itu dipanjangkan (dimulurkan), sehingga<br />

menjadi ngodag-odag. Dalam proses terbentuknya bisa saja arti paribasanya yang<br />

timbul pertama-tama, kemudian barulah dicari giingnya, sehingga jika dilihat<br />

secara keseluruhan dari ketiga tahapan tersebut dapat dikenali sebagai bladbadan<br />

(Sukrawati, 1987: 59).<br />

Bebladbadan sebagai seni permainan kata yang mementingkan<br />

persamaan bunyi. Proses terbentuknya dengan cara memodifikasi bentuk<br />

14


dasarnya, penggantian fonem awal sehingga menjadi kata dasar baru yang<br />

bermakna. Penghilangan fonem awal, adalah proses yang dijumpai alam<br />

pembentukan bebladbadan yang ada dalam geguritan kasmaran. Dalam konteks<br />

ini, bladbadan adalah sebuah bentuk paribhasa Bali yang memiliki tata susun<br />

yang kompleks. Di dalamnya terdapat unsur lagu, permainan bunyi, permainan<br />

arti, lapis arti denotatif, serta konotatif dan pilihan kata yang sesuai dengan<br />

tututan arti dan pola persajakannya.<br />

2.3 Landasan Teori<br />

Teori bukan saja diperlukan dalam menyimpulkan generalisasi-<br />

generalisasi yang dapat diambil berdasarkan fakta-fakta hasil pengamatan, tetapi<br />

juga dalam memberi kerangka orientasi untuk mengklasifikasi dan menganalisis<br />

fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian. Kecuali itu, teori mampu<br />

memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi dan mengisi<br />

lowongan-lowongan dalam pengetahuan tentang gejala-gejala yang telah dan akan<br />

terjadi (Ratna, 2005). Shelbegker (Dalam Moleong, 2002:34) menyatakan, bahwa<br />

teori merupakan seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis<br />

(mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan yang<br />

lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana<br />

untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.<br />

Berdasarkan prinsip dasar penggunaan teori sebagaimana disebut di atas,<br />

maka pada penelitian ini digunakan satu teori yaitu teori semiotika. Argumentasi<br />

penggunaan satu teori ini didasarkan oleh pertimbangan: (1) karakteristik data<br />

dalam penelitian ini adalah teks yang satuan bahasa terkecil adalah kata, tembang,<br />

15


permainan bunyi, makna memerlukan analisis teori semiotika; (2) analisis data<br />

memiliki kecenderungan untuk mengekplorasi makna di balik pilihan kata yang<br />

digunakan dalam membangun karya sastra bersangkutan; (3) semiotika<br />

sesungguhnya sudah dipandang cukup untuk menganalisis topik penelitian ini.<br />

Lebih lanjut uraian tentang teori semiotika adalah sebagai berikut.<br />

2.3.1 Teori Semiotika<br />

Analisis makna geguritan Kasmaran, dalam penelitian menggunakan teori<br />

semiotik. Secara etimologi, semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata<br />

semion "tanda"maka semiotika berarti ilmu tanda (Van Zoest, 1993:1). Istilah lain<br />

untuk semiotika adalah semiologi, seperti yang dipergunakan oleh Ferdinan de<br />

Saussure yang mengacu pada dikotomi language parole, signifian dan signifie,<br />

sintagmatik dan paradigmatik sebagai tataran linguistik umum, akan diacu dalam<br />

pengungkapan makna dalam Geguritan Kasmaran. Dilengkapi dengan Charles<br />

Sander Peirce yang mengkaji semiotik pada tataran logika.<br />

Menurut Peirce, pada prinsipnya dalam hal semantik, semiotik ada tiga<br />

hubungan berkaitan dengan tanda dan acuannya yaitu: (1) hubungan antara tanda<br />

dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan; tanda itu disebut ikon; (2)<br />

hubungan itu timbul karena ada kedekatan eksistensi; tanda itu disebut indeks; (3)<br />

akhirnya hubungan itu dapat pula merupakan hubungan yang sudah terbentuk<br />

secara konvensional; tanda itu disebut simbol. Sebuah peta geografis, potret<br />

adalah ikon, sebuah tiang petunjuk jalan dan sebuah petunjuk arah angin adalah<br />

indeks dan anggukan kepala menandakan persetujuan adalah simbol (Van Zoest,<br />

1992: 5—6).<br />

16


Untuk memudahkan pemaknaan sebuah karya, pertama kali dilakukan<br />

pembacaan heuristik sebagai pembacaan berdasarkan struktur<br />

kebahasaannya/berdasarkan sistem konvensi tingkat pertama dan konvensi sastra<br />

(Pradopo, 1994:109). Kemudian, dianalisis dan ditafsirkan secara hermeneutika,<br />

yaitu melakukan tafsiran dengan analogi-analogi melalui perbandingan-<br />

perbandingan atas sesuatu yang sudah diketahui. Namun, tidak kalah pentingnya<br />

adalah pragmatik semiotik sebagai hubungan antara tanda atas pengiriman dan<br />

penerimanya sudah menyangkut tataran kegunaan dari kebahasaan yang<br />

mengandung makna dalam komunikasi praktis. Dalam hal ini, yang diperhatikan<br />

bagaimana suatu tanda disampaikan oleh pengirim dan bagaimana seorang dapat<br />

menerima tanda tersebut dengan baik, merupakan hal yang penting diperhatikan<br />

dalam penelitian ini.<br />

Menurut Goldmann dalam Teeuw (1984:153), bahwa struktur kemaknaan<br />

itu mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu,<br />

tetapi sebagai wakil golongan masyarakatnya. Dalam hal ini Goldmann seorang<br />

Marxis yang tipikal; katanya, individu berbicara sebagai juru bicara klasnya,<br />

ditentukan oleh situasi sosialnya sebagai manusia, dan situasi itu dalam karya<br />

pengarang yang agung secara optimal dan jelas terbayang dalam karya seninya.<br />

Tentu yang paling penting dalam hal ini adalah bagaimana mendapatkan<br />

makna dari karya-karya yang dibaca. Sebab menurut Mukarovsky dalam Teeuw<br />

(1984:64—65), semiotika dikembangkan lagi berdasarkan analisis situasi karya<br />

sastra, menyangkut multidimensional, karena tegangan karya sastra dalam<br />

hubungannya dengan penulis, pembaca dan kenyataan. Dalam tegangan antara<br />

17


ikatan dan kelonggaran sistem bahasa dan konvensi sastra. Kemudian, dalam<br />

tegangan antara struktur dan variasi, dalam keadaan pembaca sebagai variabel<br />

segi sosial, waktu dan kebudayaan, dan tegangan bagi si peneliti sendiri dalam<br />

peranan rangkapnya sebagai pembaca dan peneliti. Justru dinamika itulah yang<br />

dianggap mengakibatkan nilai keindahan, sesuai dengan keadaan kebudayaan<br />

pembaca yang bersangkutan.<br />

Dalam masyarakat modern terdapat, kecendrungan untuk menghapuskan<br />

yang konkrit dan individual. Sastra dan seni mengambil hak utama dari<br />

kekonkritannya, dari kepribadian seorang manusia yang terungkap di dalamnya.<br />

Akhirnya, yang penting bukanlah fokalisator atau instansi naratif atau implied<br />

author, seperti yang ditonjolkan oleh aliran strukturalis tertentu, melainkan<br />

manusia yang hidup, yaitu penulis dan keunikannya.<br />

Sejalan dengan karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai medium,<br />

maka unsur bahasa itu dipandang sebagai tanda yang dapat ditafsirkan dan proses<br />

penafsirannya itu dapat terjadi berkali-kali (Hoed dalam Suarka, 2003:58). Dalam<br />

konteks ini, teks GK merupakan sebuah tanda bahasa, sehingga memungkinkan<br />

untuk ditafsirkan. Segala sesuatu yang ada dalam geguritan ini adalah sebuah<br />

tanda yang mewakili sesuatu.<br />

Menurut Sumaryono (1996:12), Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani<br />

hermeneuin yang berarti menafsirkan. Kata hermeneia yang merupakan kata<br />

benda berarti penafsiran atau interpretasi. Untuk memahami suatu teks, bantuan<br />

teori hermeneutika memegang peranan penting. Hermeneutik merupakan ilmu<br />

tafsiran dengan analogi melalui perbandingan-perbandingan atas sesuatu yang<br />

18


sudah diketahui. Hermeneutik berkaitan dengan kitab suci dan dipergunakan<br />

untuk menafsirkan komentar-komentar aktual atas teks kitab suci (Irmayani dalam<br />

Suniti, 2007:20).<br />

2.4 Model Penelitian<br />

Unsur Kabudayaan Bali<br />

Bahasa Bali dan Seni<br />

Seni Sastra<br />

Sastra Tradisional Sastra Modern<br />

Sastra Lisan /<br />

Tertulis<br />

Bladbadan dan Geguritan<br />

Sebagai Pembangun<br />

Struktur GK<br />

Geguritan Kasmaran<br />

Komunikasi dan<br />

logika dalam<br />

Harmoni<br />

Sastra Tulis<br />

Makna Teks dan<br />

Konteks GK<br />

19


Keterangan Tanda:<br />

: Hubungan antara unsur dalam kerangka analisis<br />

Kebudayaan Bali terdiri tujuh unsur, namun dalam hal ini dilihat dua unsur<br />

budaya, yaitu bahasa dan seni. Kedua unsur budaya ini di Bali berpadu menjadi<br />

seni sastra. Seni sastra ini menurut zamannya dibagi penjenisannya menjadi sastra<br />

tradisional dan sastra modern. Sastra tradisional berdasarkan cara<br />

penyampaiannya dibagi dua, yaitu sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan<br />

termasuk blabadan dan sastra tulisan salah satunya adalah geguritan barpadu<br />

dalam kemasan sastra yang memuat teks budaya, disebut Geguritan Kasmaran.<br />

Ada dua yang ingin dicapai jawabannya dari geguritan ini, yaiyu bagaimana<br />

bladbadan sebagai pembangun struktur Geguritan Kasmaran dan bagaimana<br />

pengungkapan makna teks dan konteks melalui ranah estetika, sehingga sesuai<br />

dengan kaidah komunikasi dan logika menuju pada suatu keharmonisan hidup<br />

bermasyarakat.<br />

20


3.1 Rancangan Penelitian<br />

BAB <strong>III</strong><br />

METODE PENELITIAN<br />

Penelitian ini mengacu kepada penelitian kualitatif, yaitu suatu strategi<br />

penelitian yang menghasilkan data atau keterangan yang dapat mendeskripsikan<br />

realita sosial dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam kehidupan masyarakat.<br />

Proses Penelitian ini bersifat siklus, bukan linier seperti pada penelitian kuantitatif<br />

(Sugiyono, 1992:2).<br />

Ciri penting metode kualitatif adalah: (1) memberikan perhatian utama<br />

pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural;<br />

(2) lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian, sehingga<br />

makna selalu berubah; (3) tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek<br />

penelitian, subjek sebagai instrumen utama, sehingga terjadi interaksi langsung di<br />

antaranya; (4) desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian<br />

bersifat terbuka; (5) penelitian bersifat alamiah; terjadi dalam konteks sosial<br />

budayanya masing-masing (Ratna, 2004:48).<br />

Penelitian kualitatif ditunjang oleh metode analisis isi (conten analysis).<br />

Isi dalam metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi<br />

komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah,<br />

sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat<br />

komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksud oleh penulis,<br />

sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan<br />

naskah dengan konsumen (Vredenbreght, 1983:66—68; Ratna, 2004:48).<br />

21<br />

21


Penerapan metode ini tampaknya lebih mengarah pada aspek komunikasi dan<br />

laten. Penelitian jenis kualitatif dimaksudkan sebagai penelitian yang temuan-<br />

temuanya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya,<br />

tetapi menggunakan prosedur yang menghasilkan temuan yang diperoleh dari<br />

data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan beragam sarana. Sarana itu<br />

meliputi pengamatan, wawancara, namun bisa juga mencakup dokumen, buku,<br />

kaset video, dan sebagainya (Strauss & Juliet Corbin, 2003:5).<br />

3.2 Pendekatan Penelitian<br />

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang<br />

sering digunakan dalam kajian sastra, yaitu pendekatan tematis-filosofis. Suatu<br />

penelitian pada hakikatnya membangun segitiga pemahaman mencakup:<br />

pertanyaan, pernyataan, dan kenyataan. Pertanyaan yang diajukan ini bisa bersifat<br />

deskriptif, ‘bagaimana”, mengenai objek material mencari relasi kausalitas atau<br />

bahkan korelasi, sedemikian rupa sehingga mulai tampak kebulatan sistemnya.<br />

“Ke mana”, yakni mempertanyakan arah normatifnya keajegannya atau hukum-<br />

hukumnya, kemudian berakhir pada pertanyaan esensial, yakni “Apa” hakikatnya.<br />

Suatu pendekatan tematis filosofis tentu saja harus sampai ke akar-akarnya<br />

yang sedalam-dalamnya, yang barangkali justru tidak tampak pada permukaan<br />

fenomenalnya (Supadjar, 2002:43—44). Di samping pendekatan tematis-filosofis,<br />

juga ditunjang oleh pendekatan antropologis. Pendekatan ini didasarkan pada<br />

kenyataan: pertama adanya hubungan antara ilmu antropologi dengan bahasa.<br />

Kedua dikaitkan dengan tradisi lisan, baik antropologi maupun sastra sama-sama<br />

mempermasalahkannya sebagai objek yang penting (Ratna, 2004:44). Kedua<br />

22


pendekatan ini sesungguhnya saling terkait dan sifatnya saling mengisi sehingga<br />

mendapatkan suatu kajian yang holistik. Menurut Mulyana (2001:33—35)<br />

pendekatan subjektif dalam penelitian ilmu sosial mengamsumsikan, bahwa<br />

pengetahuan tidak mempunyai sifat yang objektif dan sifat yang tetap, melainkan<br />

bersifat interpretatif. Realitas sosial dianggap sebagai interaksi-interaksi sosial<br />

yang bersifat komunikatif, tidak seperti kebanyakan hewan, tumbuhan, dan<br />

mineral manusia punya pikiran, kepercayaan, keinginan, niat, maksud, dan tujuan.<br />

Semua ini memberi makna kepada kehidupan dan tindakan mereka, dan membuat<br />

kehidupan dan tindakan mereka dapat dijelaskan.<br />

3.3 Data dan Sumber Data<br />

3.3.1 Data<br />

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data<br />

kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kalimat, kata-kata, ungkapan,<br />

dan gambar atau foto (Sugiyono, 2001:3). Dalam Peneliian ini jenis datanya<br />

berupa kalimat, ungkapan, kata-kata dari berbagai sumber data. Sumber data<br />

adalah sumber primer, yaitu data yang diperoleh Teks GK. Kemudian, di samping<br />

sumber primer juga menggunakan sumber sekunder, yaitu data yang diperoleh<br />

secara tidak langsung dari berbagai buku, hasil penelitian, dokumen, dan<br />

sebagainya.<br />

3.3.2 Sumber Data<br />

Menurut Lofland (dalam Moleong, 1993:112), bahwa sumber data utama<br />

dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data<br />

23


tambahan seperti dokumen dan lain sebagainya. Sumber data dalam penelitian ini<br />

adalah sumber langsung (primer) yang diperoleh teks GK. Sedangkan sumber tak<br />

langsung (sekunder) dapat diperoleh melalui buku-buku, artikel, dokumen tertulis,<br />

dan sebagainya dari perpustakaan atau tempat. Teks sebagai sumber data dapat<br />

diuraikan sebagai berikut.<br />

Geguritan Kasmaran (di singkat GK) seperti diterangkan oleh Sukrawati<br />

(1987) ada tiga naskah yang ditemukan, dalam rangkaian pemilihan naskah<br />

menggunakan ilmu filologi. Filologi yang diterapkan Sukrawati (1987, 19—20),<br />

adalah filologi tradisional dan modern. Filologi tradisional diterapkan dengan<br />

membanding-bandingkan beberapa naskah GK yang didapat. Filologi modern<br />

dipakai untuk memilih dan memilah naskah yang dibandingkan di atas, dengan<br />

lebih menekankan pada naskah yang memiliki syarat kelengkapan dan kejelasan,<br />

yang dipakai objek kajian adalah tiga naskah sebagai berikut.<br />

1. Lontar GK milik Gdong Kirtya, Singaraja<br />

2. GK transkripsi lontar milik Gdong Kirtya<br />

3. GK, teks, terjemahan dan keterangan oleh Ketut Ginarsa<br />

Naskah tersebut di atas adalah naskah yang bersumber dari satu naskah<br />

yaitu berasal dari karya seorang Perbekel Desa Selat, Karangasem bernama Ketut<br />

Rumiasta yang diciptakan sekitar tahun 1940-an dan ditulis dalam sebuah buku.<br />

Kemudian, disalin ke dalam lontar oleh pihak Gdong Kirtya, berjumlah 6 lembar<br />

dengan ukuran lontar 50 x 3,8 cm, disimpan dalam kropak dengan nomor iv d<br />

2196/16. Dengan keterangan Kasmaran druwen Gdong Kirtya, Kasmaran turunan<br />

buku kepunyaan Perbekel Desa Selat, Karangasem (Sukrawati, 1987:31). Dari<br />

24


lontar milik Gdong Kirtya tersebut, ditranskripsikan, diketik atau disalin pada<br />

tanggal 24 Januari 1941 di atas kertas tipis ukuran double folio. Tebal naskah 5<br />

halaman dengan keterangan naskah ini di salin dari lontar no. iv d. 2196, seperti<br />

tersebut di atas (Sukrawati, 1987:31).<br />

Ginarsa (dalam Sukrawati, 1987:35) juga menyatakan, bahwa buku yang<br />

berjudul GK, teks, terjemahan dan keterangan disalin juga dari lontar nomor<br />

2196/IVd milik Gedong Kirtya Singaraja. Keterangan tentang identitas naskah di<br />

atas mengakui, bahwa naskah GK berasal dari Selat Karangasem, karya Ketut<br />

Rumiasta. Namun, setelah Sukrawati membanding-bandingkan ketiga naskah<br />

tersebut terdapat kekurangan dan kelebihan masing- masing naskah. Pada akhirya,<br />

demi mendapat naskah yang memiliki keunggulan baik dari minimnya kesalahan<br />

serta kelengkapan dipergunakan naskah GK terbitan dari Ketut Ginarsa<br />

(Sukrawati, 1987:39—47).<br />

Kajian yang dilakukan Sukrawati terhadap naskah di atas, penulis<br />

mencoba melihat dan mempelajari naskah lampiran dari skripsinya Sukrawati dan<br />

buku GK yang diterbitkan oleh Ginarsa. Dari hasil perbandingan tersebut teks GK<br />

lampiran skripsinya Sukrawati sama dengan teks GK Ginarsa. Hal ini tidak aneh<br />

karena sukrawati memakai teks GK terbitan Ginarsa sebagai objek kajian. Namun,<br />

untuk objek kajian ini, penulis berketetapan untuk memakai terbitan GK dari<br />

Ginarsa dengan tetap memperhatikan kajian aspek blabadan yang dikaji oleh<br />

Sukrawati. Alasan kenapa di pakainya GK terbitan Ginarsa karena di samping ada<br />

teks GK, juga terdapat terjemahan dan keterangan tentang kata yang dijadikan inti<br />

25


(arti-sejati) dalam blabadan, sedangkan teks lampiran dalam penelitian Sukrawati<br />

hanya mencantumkan teks geguritannya saja tanpa terjemahan dan keterangan.<br />

3.3 Penentuan Informan<br />

Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan model snowball.<br />

Teknik ini dimaksudkan, cara menentukan informan dengan mula-mula<br />

jumlahnya kecil (informan kunci), kemudian informan ini diminta untuk memilih<br />

teman lain yang dianggap tahu tentang masalah yang sedang dikaji untuk<br />

dijadikan informan. Begitu seterusnya, sehingga jumlah informan semakin banyak<br />

sampai dianggap sudah mencukupi untuk mendapatkan data yang lengkap, baru<br />

diakhiri (Sugiyono, 1992:56).<br />

3.4 Pengumpulan Data<br />

Data dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni data primer dan<br />

data sekunder. Data primer berupa teks GK. Teks ini masih berbahasa Bali dengan<br />

tulisan latin. Data sekunder adalah berupa insformasi para informan, buku-buku,<br />

majalah dan sebagainya.<br />

Data primernya adalah teks dan data sekundernya adalah berbagai<br />

informasi dari informan, namun secara metodologis ditentukan tata-cara<br />

pengambilan data tersebut. Adapun cara pengambilan data adalah sebagai berikut.<br />

Data ini digunakan untuk mengkroscek data teks dengan sumber-sumber lisan dan<br />

tertulis mengenai nilai-nilai dongeng yang dihayati oleh masyarakat.<br />

Fakta sosial seringkali tersimpan dalam dokumen yang merupakan bahan<br />

utama dalam suatu penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan<br />

26


juga teknik pencatatan dokumen dengan mencatat peristiwa-peristiwa yang berupa<br />

teks, catatan, pendapat-pendapat, temuan-temuan yang dimuat dalam media cetak<br />

yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.<br />

3.4.1 Studi Pustaka<br />

Kepustakaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemilihan<br />

bahan teks atau naskah yang digunakan. Kekhasan metode kepustakaan dalam<br />

penelitian ilmu sastra disebabkan oleh hakikat karya, yaitu sebagai dunia yang<br />

otonom, dan sebagai aktivitas imajinasi. Hakikat karya sastra sebagai dunia<br />

otonom menyebabkan karya sastra berhak untuk dianalisis terlepas dari latar<br />

belakang sosial yang menghasilkannya. Imajinasi karya sastra juga berhak untuk<br />

dianalisis secara ilmiah sama dengan unsur-unsur lain dalam masyarakat yang<br />

sesungguhnya (Ratna, 2004:39).<br />

3.4.2 Wawancara<br />

Wawancara adalah kegiatan dalam penelitian yang bertujuan untuk<br />

mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat<br />

dan pandangan-pandangannya. Wawancara dapat dibagi menjadi dua golongan<br />

yaitu wawancara berencana (standardized interview) dan wawancara tanpa<br />

berencana (unstandardized interview). Pengolongan ini merupakan penggolongan<br />

secara umum (Koentjaraningrat, 1977:126). Wawancara dilakukan secara<br />

mendalam dengan para informan yang berkaitan dengan topik kajian. Jenning<br />

(2001:162) menjelaskan wawancara mendalam (in-depth intervieuw) merupakan<br />

suatu proses tanya jawab antara peneliti dengan subjek tersebut. Dengan<br />

27


demikian, dalam penelitian ini wawancara yang dilakukan adalah wawancara<br />

mendalam, sehingga percakapan yang dilakukan dapat disesuaikan dengan<br />

informan.<br />

3.5 Analisis Data<br />

Data yang dikumpulkan dari hasil penelitian lapangan berwujud kata-kata<br />

dan bukan rangkaian angka, sehingga bentuk analisisnya menggunakan<br />

pendekatan deskripsi kualitatif yang disusun ke dalam teks yang diperluas dan<br />

mendalam. Semua kegiatan analisis ini merupakan analisis pemaknaan yang<br />

mempertimbangkan makna di balik fakta sosial yang ditemukan di lapangan dan<br />

juga kepustakaan. Dengan demikian, langkah-langkah yang digunakan dalam<br />

analisis ini (Muhadjir, 2002:45; Milles & Haberman, 1992:16-19) adalah sebagai<br />

berikut.<br />

(1) Reduksi Data adalah sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada<br />

penyederhanan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar, yang diperoleh<br />

dari berbagai catatan-catatan tertulis di lapangan. Jadi, reduksi data<br />

merupakan suatu bentuk analisis yang mempertajam, menggolongkan,<br />

mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan<br />

cara sedemikian rupa, sehingga diharapkan sampai pada kesimpulan yang<br />

valid.<br />

(2) Penyajian Data merupakan bagian dari analisis untuk merangkai atau<br />

menyusun informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan<br />

kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang digunakan dalam<br />

penelitian ini adalah bentuk naratif yang dilengkapi dengan jaringan kerja<br />

28


yang berkaitan. Setelah itu dilakukan tahap analisis interpretatif terhadap<br />

semua informasi atau data yang telah diperoleh. Interpretasi ini adalah<br />

kegiatan yang mencoba mencari makna di balik fakta, sehingga gejala yang<br />

diamati dapat memiliki, nilai dalam kehidupan masyarakat luas. Dengan<br />

demikian diharapkan dapat menyususn informasi secara runut dan mudah<br />

dimengerti dan bercirikan ilmiah.<br />

(3) Menarik Kesimpulan. Dari permulaan pengumpulan data sudah mulai<br />

mencari arti kata-kata, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab<br />

akibat dan proporsi-proporsi. Setelah mencermati hasil analisis, akhirnya<br />

kegiatan penelitian ini ditutup dengan menarik kesimpulan akhir yang<br />

bersifat utuh.<br />

3.6 Metode Penyajian Hasil Analisis<br />

Penyajian hasil analisis merupakan tahap akhir kegiatan penelitian yang<br />

dilakukan secara informal, berupa uraian kata-kata, kalimat, atau narasi. Namun,<br />

jika dibutuhkan penggunaan data kuantitatif yang disertai oleh teknik formal<br />

berupa bagan, grafik atau tabel sebagai pelengkap narasi.<br />

29

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!