laporan pencapaian millennium development goals indonesia - UNDP
laporan pencapaian millennium development goals indonesia - UNDP
laporan pencapaian millennium development goals indonesia - UNDP
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
y<br />
y<br />
y<br />
y<br />
y<br />
y<br />
y<br />
y<br />
y<br />
y<br />
Ketidaktahuan daerah akan kewajiban mengadopsi MDGs—yang merupakan komitmen<br />
internasional—sebagai komitmen daerah. Ini memerlukan perhatian yang serius dari Pemerintah<br />
pusat. upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan memberikan contoh bahwa di tingkat<br />
nasional mDgs telah dinyatakan dalam rpJm, rkp, maupun apbn. Hal ini perlu diikuti pula dengan<br />
sosialisasi gencar tentang mDgs di daerah.<br />
usulan pembangunan pada musrenbang tingkat desa oleh masyarakat umumnya berupa<br />
pembangunan yang keluarannya dapat dilihat secara langsung seperti jalan, jembatan, bangunan<br />
balai desa, dan kredit bergulir. kegiatan-kegiatan pembangunan tersebut kurang mampu menjawab<br />
permasalahan-permasalahan mendasar yang ada, terutama untuk mencapai tujuan-tujuan yang<br />
terdapat dalam mDgs.<br />
indikator perencanaan dan penganggaran, menurut peraturan yang ada saat ini, hanya mensyaratkan<br />
keluaran (output) sebagai sasaran atau indikator <strong>pencapaian</strong> tanpa mensyaratkan masukan (input),<br />
proses (process), hasil (outcome), dan dampak (impact) sebagai indikator sasaran yang harus dicapai<br />
dalam suatu mekanisme perencanaan dan penganggaran daerah. Hal ini akan mempersulit proses<br />
monitoring dan evaluasi pembangunan daerah, termasuk di dalamnya usaha <strong>pencapaian</strong> mDgs.<br />
adanya ketidakjelasan usulan-usulan pembangunan, baik yang berasal dari musrenbang tingkat desa,<br />
kecamatan, maupun usulan satuan kerja pemerintah daerah mengenai target/sasaran penerima<br />
manfaat dari pembangunan yang diusulkan. akibatnya, hal ini akan mempersulit <strong>pencapaian</strong> mDgs<br />
di daerah. sebagai contoh, usulan-usulan dalam rkpD, kua/ppas, dan apbD menyebutkan bahwa<br />
penerima manfaat tersebar di 18 kecamatan tanpa menyebutkan nama kecamatan dan besaran<br />
alokasi anggaran untuk kecamatan-kecamatan yang menerima manfaat tersebut.<br />
pada umumnya, daerah hanya menjabarkan sasaran/target pelaksanaan pembangunan yang<br />
bersifat kualitatif tanpa menyebutkan kuantitatifnya, misalnya peningkatan minat belajar dan<br />
mengajar (tanpa menjelaskan berapa cakupan murid dan guru yang meningkat minat belajar dan<br />
mengajarnya).<br />
Lemahnya transparansi proses dan hasil pembangunan tahun-tahun sebelumnya serta terbatasnya<br />
informasi permasalahan daerah bagi masyarakat/publik, yang akan menyesatkan usulan perencanaan<br />
dan penganggaran daerah. usulan tersebut tidak akan dapat menjawab permasalahan yang ada,<br />
terutama masalah atau tujuan-tujuan yang harus dicapai daerah dalam upaya <strong>pencapaian</strong> mDgs.<br />
rendahnya keberhasilan pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 39 tahun 2006 tentang<br />
tata cara pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan. ini akan mempersulit<br />
pemerintah provinsi —dalam hal ini Bappeda provinsi— melakukan monitoring dan evaluasi<br />
aliran dana dekonsentrasi serta dana tugas pembantuan ke daerah kabupatan/kota binaan. Hal<br />
tersebut juga menyulitkan identifikasi apakah suatu kabupaten/kota telah mendapatkan alokasi<br />
anggaran yang lebih, cukup, atau kurang pada sektor-sektor tertentu dari apbn (dekonsentrasi<br />
dan tugas pembantuan) yang dipadukan dengan apbD kabupaten/kota bersangkutan. akibatnya,<br />
keterpaduan perencanaan dan penganggaran antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/<br />
kota tidak dapat terjalin dan akan cenderung mempersulit <strong>pencapaian</strong> mDgs.<br />
Lemahnya keterpaduan program/kegiatan satuan kerja perangkat Daerah (skpD). masing-masing<br />
skpD cenderung lebih mementingkan ego sektoralnya saja sehingga akan mempersulit <strong>pencapaian</strong><br />
mDgs.<br />
rendahnya pengetahuan DprD tentang mDgs merupakan tantangan bagi daerah dalam upaya<br />
mewujudkan keterpaduan perencanaan dan penganggaran. akibat ketidaktahuan ini, pemerintah<br />
daerah akan sulit mendapatkan persetujuan DprD dalam pengalokasian apbD yang perencanaannya<br />
sudah mengarusutamakan mDgs.<br />
keterbatasan data/informasi pendukung dan rendahnya pemahaman indikator-indikator yang<br />
digunakan dalam mDgs menjadi tantangan serius bagi daerah, terutama untuk memetakan kondisi<br />
mDgs dan <strong>pencapaian</strong>nya di daerah, seperti indikator untuk sebaran penyakit malaria, tbc, angka<br />
kematian ibu, ukuran sanitasi dan air bersih, dan lain-lain. ukuran yang dipakai oleh bps tidak<br />
mencerminkan ukuran lokal. misalnya, rumah di atas panggung tanpa lantai semen dikategorikan<br />
oleh bps sebagai rumah milik penduduk miskin, padahal kenyataannya adalah sebaliknya.<br />
153