laporan pencapaian millennium development goals indonesia - UNDP
laporan pencapaian millennium development goals indonesia - UNDP
laporan pencapaian millennium development goals indonesia - UNDP
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
ali termasuk dalam kategori provinsi yang <strong>pencapaian</strong> rasio apm p/L sD/mi pada tahun 2006, yakni sebesar<br />
99,0 persen, berada sedikit di bawah <strong>pencapaian</strong> nasional. meskipun demikian, berbeda dengan provinsi<br />
lainnya yang cenderung menurun <strong>pencapaian</strong>nya, provinsi bali justru menunjukkan perbaikan seperti yang<br />
terlihat dalam tabel, yakni sebesar 97,7 persen pada tahun 1992 dan sedikit menurun 97,5 persen pada<br />
tahun 2002.<br />
bila di sektor pendidikan <strong>pencapaian</strong> target kesetaraan gender sudah berlangsung baik, maka tidak demikian<br />
halnya dengan sektor produktif non-pertanian. Hal ini dapat dilihat dari rasio p/L rata-rata upah bulanan yang<br />
tercatat pada bulan Februari 2007 sebesar 69,6 persen atau satu peringkat di bawah nusa tenggara barat<br />
dan menempati peringkat keempat terburuk. kesenjangan rata-rata upah bulanan antara perempuan dan<br />
laki-laki di provinsi ini masih cukup lebar.<br />
kasus aiDs di provinsi bali relatif tinggi. sampai tahun 2007, tercatat sebesar 628 kasus terjadi di bali, atau<br />
menduduki peringkat kelima <strong>pencapaian</strong> terparah secara nasional. kenyataan ini lebih dipengaruhi oleh posisi<br />
bali sebagai daerah tujuan pariwisata. sebagai daerah terbuka, sulit bagi masyarakat di bali menghindarkan<br />
diri dari pergaulan dengan cara hidup yang membuka ruang bagi penyebaran penyakit Hiv/aiDs.<br />
15. NUSA tENGGARA BARAt<br />
nusa tenggara barat merupakan provinsi yang tingkat ketergantungan sebagian besar penduduknya pada<br />
curah hujan sangat tinggi. karena itu tidaklah mengherankan apabila<br />
pada musim kemarau daerah ini sering dilanda kelaparan. sebagai<br />
daerah pertanian dengan areal pengairan teknis lebih kecil dan tingkat<br />
penduduk yang padat di Lombok, nusa tenggara barat dikenal sebagai<br />
daerah miskin baik bila mengacu pada indikator ekonomi dan nonekonomis.<br />
provinsi nusa tenggara barat pada tahun 1993 memiliki jumlah persentase penduduk miskin sebesar 19,52<br />
persen atau sekitar 692.400 jiwa (po). angka ini kemudian meningkat menjadi 28,01 persen atau 1.145.800<br />
jiwa pada tahun 2000. Data ini memperlihatkan bahwa krisis nasional berdampak besar pada nusa tenggara<br />
barat. proses pemulihan di provinsi ini berjalan lamban, selain pdipengaruhi oleh iklim panas sebagai<br />
faktor yang menimbulkan kemarau berkepanjangan. pada tahun 2006 persentase penduduk miskin di nusa<br />
tenggara barat mencapai 23,04 persen, yang berarti terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 3<br />
persen selama 6 tahun terakhir.<br />
Dampak kemiskinan dan kondisi iklim ini menjadi penghambat utama <strong>pencapaian</strong> target pengurangan<br />
kelaparan. pada tahun 1989 nusa tenggara barat memiliki jumlah balita kurang gizi atau gizi buruk sebesar<br />
43,98 persen. satu dekade kemudian, yaitu tahun 2000, jumlah balita kurang gizi di nusa tenggara barat<br />
turun cukup tinggi menjadi 27,25 persen.. akan tetapi pada tahun 2006 jumlah ini kembali naik menjadi<br />
33,39 persen. ini lebih tinggi dari angka nasional balita dengan gizi kurang tahun 2006 yang sebesar 28,05<br />
persen.<br />
kinerja <strong>pencapaian</strong> pendidikan dasar provinsi nusa tenggara barat relatif lebih baik, terutama dalam program<br />
“’Wajar 9 tahun” yang <strong>pencapaian</strong>nnya di atas rata-rata nasional. selain karena peran pemerintah yang besar,<br />
keberhasilan ini tidak dapat dipungkiri karena peran pendidikan swasta yang cukup signifikan, baik melalui<br />
pendidikan pesantren (madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah) maupun sekolah umum sD/mi dan sLtp/mts.<br />
akan tetapi dalam hal kesetaraan gender di bidang pendidikan provinsi nusa tenggara barat menghadapi<br />
kendala akibat masih adanya pandangan stereotip, yakni perempuan tidak perlu berpendidikan baik karena<br />
pada akhirnya akan bekerja di rumah. akibat pandangan ini, <strong>pencapaian</strong> rasio perempuan dibandingkan<br />
laki-laki tingkat sLtp/mt berada di bawah angka nasional. pada tahun 1992 rasio APM P/L SLtP/Mts nusa<br />
tenggara barat tercatat 98,8 persen lalu turun pada tahun 2000 menjadi 98,5 persen. baru pada tahun 2006<br />
rasio ini mencapai angka yang cukup signifikan yakni 137,5 persen. Meskipun demikian, persentase ini masih<br />
berada di bawah angka nasional.<br />
129