jadwal_festival_salihara_2012_1

22 SEPTEMBER— 

24 OKTOBER 2012 

22 SEPTEMBER— 

24 OKTOBER 2012 

Program 

1

2 

Festival Salihara, yang berlangsung secara dua tahunan, menampilkan 

aneka seni pertunjukan puncak. Berlangsung sebulan penuh, festival ini terisi oleh 

sejumlah kelompok seni dari Indonesia, Australia, Belanda, Finlandia, Kanada, Spanyol, 

yang dalam kombinasinya satu sama lain memberi kita keragaman, kebaruan, serta 

kepiawaian bentuk dan visi seni. 

Festival Salihara juga merupakan persembahan kami kepada para pemirsa 

yang bukan hanya semakin luas cakrawala apresiasinya, namun juga secara aktif 

mengembangkan diri. Kami percaya bahwa eksperimentasi seni yang berhasil 

akan memberikan penghiburan; bahwa kreativitas yang bersungguh-sungguh akan 

meningkatkan mutu kehidupan bersama kita. 

Festival Salihara, kini yang keempat, mengetengahkan karya-karya seni pentas 

mutakhir dari mereka yang punya reputasi tinggi di dunia internasional maupun namanama 

baru yang akan jadi penting di masa mendatang. Kombinasi dari semuanya 

akan memberikan kita lanskap lintas-budaya yang langka, layak dikenang, pun layak 

dijadikan tolok ukur. 

Festival Salihara juga mengetengahkan sejumlah instalasi seni rupa yang 

dibuat secara khusus di ruang-ruang terbuka Komunitas Salihara. Bagi kalangan 

muda, sejumlah band indie akan tampil pada sore hari pada hari-hari tertentu; bagi 

mereka, diadakan juga lomba memotret apa-apa yang berlangsung selama Festival, 

dan art toys baru juga akan digelar di Gerai Salihara. Dilihat dalam keseluruhannya, 

Festival Salihara ialah sebuah pesta bersama untuk merayakan imajinasi. 

Festival Salihara terselenggara berkat dukungan besar dari banyak pihak— 

sponsor, donatur, media-rekanan, para sahabat, dan—tentu saja—para seniman 

penampil. Kepada mereka, kami haturkan terima kasih tak terhingga. 

Festival Salihara adalah cara kita bersama untuk merawat sumber-sumber 

kreatif demi kehidupan publik yang makin sehat, majemuk dan terbuka. Selamat 

datang ke Festival Salihara yang keempat ini—dan selamat menikmati.

Pengantar an introduction 

The Salihara Festival is a biennial event that features some of the best in 

performing arts. For a whole month, the Festival will present works by numerous art 

groups and companies from Indonesia, Australia, the Netherlands, Finland, Canada, and 

Spain. Their presentations provide us with diversity, innovation, and virtuosity in forms 

and artistic visions. 

Salihara Festival is dedicated to the audiences who, in addition to expanding 

their horizons for appreciation, are also actively developing themselves. We believe that 

a successful art experimentation can be pleasurable; that earnest creativity will elevate 

our quality of life together. 

Salihara Festival, now in its fourth edition, showcases the latest performing art 

works by established names with high reputations on the world stage, as well as new 

names and faces that will only gain more importance in the future. The combination of 

all of these elements provide us with a rare and memorable transcultural landscape 

that is sure to set milestones as well. 

Salihara Festival also proudly presents a number of installation art works 

created especially for the open spaces in Komunitas Salihara. For the youths amongst 

our audience, a number of indie bands will take to the stage on certain evenings; we 

are also holding a photo contest with the Festival as the subject, and newly-made art 

toys will be displayed at Gerai Salihara. Taken in its entirety, Salihara Festival is a party 

gathering to celebrate the imagination. 

Salihara Festival is realized through the generous support from various 

parties—sponsors, donors, media partners, friends of Salihara, and of course, all 

participating artists. We wish to convey our deepest gratitude to each and everyone. 

Salihara Festival is a way for all of us to nurture the founts of creativity, 

to attain a healthier, more open and plural public life. Welcome to the 4th Salihara 

Festival—and we hope you have an enjoyable time celebrating with us. 

3

4 

legenda 

Fringe event 

MusiK 

tari 

teater 

gratis 

s 

Khusus undangan 

htM: rp100.000, pelajar/ 

Mahasiswa: rp50.000 

SelaSa 

25 

Musik, daNces aNd more... 

Sandee/van nieuKerKen 

pianoduo (belanda) 

TeaTer salihara, 20:00 WiB 

rabu 

26 

02 03 

TeaTer, The QueeN aNd The reBels 

(raTu daN para pemBeroNTak) 

Saturday aCting Club (yogyaKarta, 

indoneSia), 

TeaTer salihara,20:00 WiB 

09 

Tari, amour, acide, eT Noix 

daniel léveillé danSe 

(Kanada) 


16 

23 

10 

Musik, from easT To 

WesT, amir-John haddad 

(Spanyol), Galeri 

salihara, 20:00 WiB 

17 

TeaTer, chika: a documeNTary TheaTer, philoSopher’S 

photoS (auStralia), TeaTer salihara, 20:00 WiB 

24 

Tari, TariaN malam, nan Jombang danCe Company 

(padang, indoneSia), TeaTer salihara, 20:00 WiB 

Musik, hiGhTime 

reBellioN, seramBi 

salihara, 22.00 WiB

11 

kamiS 

Jumat 

27 28 

Pembukaan 

TeaTer, Nirasmara, Wayang Climen 

(Solo, indoneSia), dalang: Ki Jlitheng 

Suparman, Galeri salihara, 20:00 WiB 

12 

Sabtu 

22 

Musik, sir daNdy 

seramBi salihara,16:00 WiB 

Musik, kuNokiNi 

seramBi salihara, 18:30 WiB 

seni rupa, iNsTalasi seNi 

rupa, KelompoK hitam maniS, 

Komroden haro, oCtora, 

thereSia aguStina Sitompul 

(tere), kompleks komuNiTas 

salihara 

20 

Jadwal Festival 

minggu 

23 

Musik, Glimpse: music for drums aNd mixed eNsemBle 

aKSan SJuman (JaKarta, indoneSia), 

Galeri salihara, 20:00 WiB 

29 

Musik, ¡fuerza! Kraayenhof 

tango enSemble (belanda) 


06 07 

Musik, homoGeNic, 

seramBi salihara, 16:00 WiB 

peluncuran arT Toys, hyBrid 

rhiNo, Gerai salihara, 18:00 WiB 

Tari, iNG raGa, Sutradara: yudi ahmad taJudin 

(JaKarta, indoneSia), TeaTer salihara, 20:00 WiB 

13 

Tari, Trickle, GreeN oak & aNd The liNe BeGiNs To 

Blur, SuSanna leinonen Company (finlandia) 


Musik, TopoloGy (ausTralia), 


September 

OktOber 

5

Pembukaan 

opening 

7

8 

Instalasi Seni rupa 

/art Installations 

Kelompok Hitam manis 

Komroden Haro 

octora 

Theresia agustina Sitompul (Tere) 

KOMPleKs sAlihARA sAlihARA cOMPlex 

22 September—24 Oktober 2012 september 22—October 24, 2012 

Festival Salihara Keempat adalah juga perayaan seni rupa. Selama Festival, 

sejumlah titik di Komunitas Salihara menjadi tempat pameran karya seni rupa terpilih. 

Kelompok Hitam Manis menampilkan instalasi Flying Success berupa 40 tabung gas 

bersayap yang melayang-layang di udara. Tetabung gas yang melayang ini tentu 

saja sebuah kejenakaan sekaligus sindiran tentang harga gas elpiji (LPG) yang terus 

merangkak naik. Kelompok Hitam Manis adalah himpunan perupa muda yang sebagian 

besar belajar di ISI Yogyakarta dan telah tampil di sejumlah pameran seni rupa di 

Jakarta dan Yogyakarta. 

Komroden Haro menampilkan patung Dalam Hening yang berupa kalong-kalong 

bergelantungan di kanopi sepanjang Gerai Salihara. Koloni kalong berbahan resin 

poliester ini diberi warna sesuai aslinya—kecuali dua ekor berwarna perak. Dengan 

sikap antara tidur dan jaga, 80-an hewan nokturnal itu menawarkan keheningan di 

tengah hibuknya kegiatan Festival. Komroden adalah perupa yang banyak mengolah 

bentuk binatang dan batu. Patung-patung ini sebelumnya adalah peserta Pameran Seni 

Patung Baru “Simpangan”. 

Octora menampilkan instalasi yang merespons posisi Komunitas Salihara sebagai 

pusat kesenian. Tampilannya berupa petikan teks-teks sastra dalam lingkaran dan 

kepompong mahabesar yang melambangkan proses penting dalam kelahiran karya 

seni. Octora adalah pematung yang menamatkan pendidikannya di Fakultas Seni Rupa 

dan Desain, ITB. Ia pernah mengikuti residensi “Landing Soon #10” di Cemeti Art 

House, Yogyakarta (2009) dan “Bamboo Curtain Studio” di Taiwan (2010). 

Adapun Theresia Agustina Sitompul (Tere) menampilkan instalasi berupa bentangan 

kawat-kawat sling dan pipa baja antikarat. Bentangan kawat-kawat yang membentuk 

selubung raksasa itu menyeruak dari dinding depan Galeri Salihara. Sang seniman 

ingin menggambarkan keterkaitan setiap elemen yang ada di sekitar kita. Tere belajar 

seni rupa di ISI Yogyakarta. Pameran tunggalnya yang terakhir adalah “Prints from the 

Book of Genesis: Seeds of Peace”, Lawangwangi, Bandung (2012).

The Fourth Salihara Festival is also a celebration of visual art. For the duration of 

the Festival, scattered around Komunitas Salihara’s premises will be spaces dedicated 

to exhibiting chosen installation art works. Kelompok Hitam Manis presents their 

installation, Flying Success, comprising of 40 winged gas cylinders, floating in the air. 

These flying gas cylinders are playful yet cynical jabs at the climbing prices of LPG 

gas. Kelompok Hitam Manis is a group of young artists, most of whom were students 

at ISI Yogyakarta. They have participated in numerous art exhibitions in Jakarta and 

Yogyakarta. 

Komroden Haro presents Dalam Hening (In Stillness), a colony of bats hanging from 

the canopy alongside Gerai Salihara. The bats are created out of polyester resin and 

are colored according to their natural colors, except for two silver ones. Suspended 

between slumber and wakefulness, the eighty-odd nocturnal animals offer a kind 

of tranquility in the midst of the Festival’s hustle and bustle. Komroden is an artist 

whose works expand upon the forms of animals and rocks. These bats have also been 

featured in a recent New Sculptures Exhibition “Simpangan” (Deviation). 

Octora presents an installation created in response to Komunitas Salihara’s position 

as the hub of art activities. Literary quotes arranged in a circular form and a largescale 

cocoon symbolizes the crucial process in begetting art works. Octora graduated 

from the Faculty of Art and Design, ITB. She has participated in residencies, such as 

“Landing Soon #10”, Cemeti Art House, Yogyakarta (2009) and “Bamboo Curtain Studio” 

in Taiwan (2010). 

Meanwhile, Theresia Agustina Sitompul (Tere) presents her installation of sling wires 

and stainless steel pipes. The expanse of wires forms a sort of giant sheath bursting 

out of Galeri Salihara’s front wall. The artist wishes to describe the connectedness 

between diverse elements outside ourselves. Tere studied art at ISI Yogyakarta. Her 

most recent solo exhibition is “Prints from the Book of Genesis: Seeds of Peace”, 

Lawangwangi, Bandung (2012). 

9

10 

Pentas musik 

/music Stage 

INSTALASI 

Sir Dandy 

seRAMbi sAlihARA 

Sabtu, 22 September 2012, 16:00 WIB saturday, september 22, 2012, 04:00 PM 

KunoKini 


Sabtu, 22 September 2012, 18:30 WIB saturday, september 22, 2012, 06:30 PM 

Pentas musik pembuka Festival kali ini adalah kelompok-kelompok musik yang 

tengah naik daun tetapi tidak termasuk ke dalam arus utama. Dengan pelbagai gaya 

mereka akan memberikan kita sisi lain Festival: muda, segar, penuh semangat, 

juga kritis. Sir Dandy (Harrington) menyajikan musik beraliran folk organic dengan 

sentuhan gitar akustik yang dominan. Dengan vokalis Dandi Achmad Ramdhani band 

ini menghasilkan lagu-lagu yang terasa jujur, spontan, dan berkesan “sersan” alias 

“serius tapi santai”. Akan tetapi, dari balik lirik-lirik lagu yang penuh humor, “ngasal” 

dan urakan itu, mengalir kritik tajam tentang banyak hal. 

Sebelum meluncurkan album Lesson #1 pada tahun lalu, Sir Dandy telah 

mengeluarkan sejumlah single yang sukses, seperti Juara Dunia, Jakarta Motor City, dan 

Kebakaran Hutan. Band ini juga telah tampil di Java Rockin’Land (2011), Beatfest (2011), 

dan Love Garage (2012). 

Sementara KunoKini lebih berkonsentrasi kepada musik etnik-eksperimental. 

Mereka mengandalkan kekuatan aneka bunyi perkusi dari khazanah Nusantara dan 

dunia dan memadukan mereka dengan musik kontemporer. Dan yang juga penting: 

suasana reggae yang terus-menerus. Lirik-liriknya (dalam bahasa Indonesia, Inggris, 

Jawa, dan daerah lainnya) adalah kritik sosial yang membangkitkan semangat. 

Dibentuk pada 2003, KunoKini pada mulanya adalah musik pengiring untuk 

kontingen tari mahasiswa Indonesia di Festival Folklore di Wismar, Jerman. Kelompok 

ini diisi oleh Bhismo, Bebi, Akbar, dan Darman. Mereka juga tampil di sejumlah 

festival di Indonesia, Jerman, Belanda, dan Australia. Album perdana mereka adalah 

Reinkarnasi (2010).

The Fourth Salihara Festival’s opening music acts are some of Indonesia’s upand-coming, 

non-mainstream bands and music groups. With their varied styles, they 

add a different dimension to the Festival: one filled with youthfulness, freshness, an 

indomitable spirit, as well as sharp criticisms. Sir Dandy (Harrington) takes the stage 

with organic folk music of predominantly acoustic guitar sounds. With vocalist Dandi 

Achmad Ramdhani, the songs come across as honest, spontaneous, and serious yet 

laidback. However, behind these humorous, seemingly random and reckless lyrics, 

there are sharp criticisms of various issues. 

Prior to releasing the album Lesson#1 last year, Sir Dandy had released a number 

of successful singles, such as Juara Dunia (World Champion), Jakarta Motor City, and 

Kebakaran Hutan (Forest Fire). This band has appeared in Java Rockin’Land (2011), 

Beatfest (2011), and Love Garage (2012). 

Meanwhile, KunoKini has chosen to concentrate on ethnic-experimental music. They 

take strong sound elements from various percussion instruments from Indonesia and 

abroad and combine them with contemporary music. More importantly though, is the 

continuous flow of reggae beats. Lyrics (in Indonesian, English, Javanese, and other 

regional languages) are social criticisms that rouse the spirit. 

Formed in 2003, KunoKini began as music accompaniment for the student dance 

contingent at the Folklore Festival held in Wismar, Germany. KunoKini consists of 

Bhismo, Bebi, Akbar, and Darman. They have since appeared in various festivals in 

Indonesia, Germany, the Netherlands, and Australia. Their first album is Reinkarnasi 

(2010). 

11

Program 

Utama 

main 

events 

13

14 

musik/music 

(Dur: 50’’) 

glimpse: 

music for Drums and 

mixed Ensemble 

AKSAN SJUMAN 

(JAKArtA, iNDoNeSiA) 

Konser ini khusus dipersiapkan untuk pembukaan Festival Salihara Keempat. Ia 

memadukan permainan drum dengan orkestra, sebuah perpaduan yang terbilang 

langka mengingat perkusi bukanlah alat musik harmonik maupun melodik 

sebagaimana piano, flute, gitar, atau french horn. Akan tetapi upaya ini justru 

menimbulkan suasana musikal yang unik dan memberikan kita pengalaman baru 

dalam menikmati musik yang merupakan adukan antara klasik dan kontemporer. Ia 

mencoba menangkap apa-apa yang tampak hanya sekilas dalam hidup kita, tetapi 

memiliki arti yang sangat penting. 

Konser ini terbagi atas dua. Yang pertama, “String Quintet & 3 Guitars” dimainkan di 

Galeri Salihara dan berisi lagu-lagu terbaru Aksan, di samping petikan musik-musik 

karyanya di sejumlah film nasional, seperti Minggu Pagi di Victoria Park, Rayya, dan 

Sang Penari. Sementara yang kedua, “Drums Concerto: Glimpse”, berlangsung di Teater 

Salihara dan berisi konser drum dalam empat bagian. 

Aksan Sjuman adalah musisi yang belajar piano, sebelum akhirnya memilih 

drum sebagai keahlian utamanya. Sempat bergabung dengan band Dewa 19, Aksan 

kemudian membentuk grup Wong Acid dan Potret. Selain musik pop, ia juga tampil 

di pentas-pentas jazz, baik di dalam maupun luar negeri. Aksan telah merilis album 

solo bersama musisi jazz internasional Joe Rosenberg, Peter Scheer, dan Masako 

Hamamura dalam kelompok Quartet East. Saat ini ia juga telah membuat rekaman 

untuk grup jazz eksperimental yang didirikannya, yaitu “Aksan Sjuman & the 

Committee of the Fest”. Ia juga mendirikan sekolah jazz Ponpin School of Music.

GAleRi sAlihARA 

Sabtu, 22 September 2012 saturday, september 22, 2012 

20:00 WIB 08:00 PM 

Khusus undangan invitation only 

Minggu, 23 September 2012 sunday, september 23, 2012 

20:00 WIB 08:00 PM 

HTM Rp50.000 Tickets Rp50,000 

Pelajar/Mahasiswa Rp25.000 students Rp25,000 

This concert is prepared especially for the opening nights of the 4th Salihara 

Festival. He has interweaved drumset with an orchestra ensemble, something of a rare 

combination as drum percussion is neither a harmonic or melodic musical instrument, 

unlike the piano, flute, guitar or french horn. However, this attempt actually leads to a 

unique musical atmosphere, providing the audience with a new experience in enjoying 

music, combining both classical and contemporary music. He tries to capture things 

that are fleeting in our lives but are nevertheless important. 

This concert is divided into two parts. The first, “String Quartet & 3 Guitars” will be 

performed in Galeri Salihara. It contains Aksan’s newest music pieces, in addition to 

excerpts from his music written for several domestic films, such as Minggu Pagi di 

Victoria Park (Sunday Morning in Victoria Park), Rayya, and Sang Penari (The Dancer). 

The second part, “Drums Concerto: Glimpse” will be staged in Teater Salihara, and will 

contain drum concertos in four parts. 

The musician, Aksan Sjuman was trained in piano, before finally moving on to drums, 

his primary instrument. He was a member of the band, Dewa 19, before founding 

groups, Wong Acid and Potret. In addition to pop music performances, he has appeared 

on many jazz show stages, both domestically and abroad. Aksan has released his solo 

album, in collaboration with international jazz musicians Joe Rosenberg, Peter Scheer, 

and Masako Hamamura, collectively known as Quartet East. Most recently, he recorded 

music for his alternative jazz group, “Aksan Sjuman & the Committee of the Fest.” He is 

founder of jazz school, Ponpin School of Music. 

Didukung oleh 

Supported by: 

15

16 

musik/music 

(Dur: 65’’) 

TeATeR sAlihARA 

Selasa—Rabu Tuesday—Wednesday 

25—26 September 2012 september 25—26, 2012 

20:00 WIB 08:00 PM 



Dances and more... 

SANDee/VAN NieUKerKeN piANoDUo 

(BeLANDA/tHe NetHerLANDS) 

Duo piano ini, sebagaimana namanya, mengandalkan permainan dua grand piano 

untuk memberikan kita kekayaan musik modern abad ke-20, baik yang dihasilkan oleh 

komposer Belanda maupun komposer-komposer kelas dunia lainnya dari luar Belanda. 

Le sacre du printemps (The Rite of Spring, 1913) karya Igor Stravinsky, misalnya, adalah 

musik untuk balet dalam dua bagian yang bersumber pada kehidupan pagan Rusia 

kuna yang mengorbankan seorang perawan untuk dewa musim semi. Suasana murung 

di awal lantas berganti dengan gedoran suara menjelang kehancuran—berkaca pada 

pengalaman bangsa Eropa menjelang Perang Dunia Kesatu. 

Sementara Martijn Padding dengan Legatos (2005) mendekati minimalisme yang 

bermain dengan teknik sambungan nada yang terus-menerus. Adapun Danceworks 

(1993) karya Steve Martland adalah musik yang semula dipesan London Contemporary 

Dance Theatre untuk koreografi Shoes karya Aletta Collins. 

Laura Sandee dan Anna van Nieukerken sama-sama belajar piano di Royal 

Conservatory di Den Haag, Belanda. Sebelum membentuk duo, mereka telah main 

di sejumlah grup berbeda dan tampil sebagai solois. Misalnya, Laura adalah pianis 

ansambel musik kontemporer Insomnio dan tampil bersama Nieuw Ensemble. 

Sementara Anna adalah anggota Rodin Pianotrio. 

Laura dan Anna membentuk duo piano pada 2002. Mereka telah tampil di sejumlah 

festival dan acara musik penting di Belanda. Pada 2009 mereka menjadi semifinalis 

pada International Gaudeamus Interpreters Competition dan finalis Almere Chamber 

Music Competition. Duo ini telah bekerja sama dengan komponis Reza Namavar dan 

Gustavo Trujillo. Album mereka adalah Namavar: Raufarhafnarhreppur fragment (2006).

This piano duo, as the name suggests, performs on two grand pianos that aims 

to provide us with the richness of modern twentieth century music written by Dutch 

and other world-class composers. For instance, Le sacre du printemps (The Rite of 

Spring, 1913) by Igor Stravinsky, is a two-part music for ballet, inspired by the pagan 

rituals of old Russia, regarding the sacrifice of virgins to the god of Spring. The 

lugubrious atmosphere in the beginning culminates into the pounding sounds of neardestruction—mirroring 

the experiences of Europe prior to the First World War. 

Meanwhile, Martijn Padding’s Legatos (2005), draws nearer to minimalism by 

playing with motifs of long, continuous melodies. Steve Martland’s Danceworks (1993) 

was commissioned by London Contemporary Dance Theatre for Aletta Collins’s 

choreography, Shoes. 

Laura Sandee and Anna van Nieukerken studied piano together at the Royal 

Conservatory, The Hague, the Netherlands. Prior to forming this duo, they each played 

with different groups as soloists. For instance, Laura was with the contemporary piano 

ensemble, Insomnio, appearing together with Nieuw Ensemble; while Anna was a 

member of Rodin Pianotrio. 

Laura and Anna formed the pianoduo in 2002. They appeared together in a number 

of important music stages and festivals in the Netherlands. In 2009, they were 

semifinalists of the International Gaudeamus Interpreters Competition and finalists of 

the Almere Chamber Music Competition. This duo has worked with composers such 

as Reza Namavar and Gustavo Trujillo. Their album is Namavar: Raufarhafnarhreppur 

fragment (2006). 

Bekerja sama dengan 

/in cooperation with: 

17

18 

Nirasmara adalah lakon Yunani dalam rasa Jawa. Lakon ini diadaptasi dari Lysistrata 

karya Aristophanes, sebuah lakon Yunani klasik. Lysistrata bercerita tentang ancaman 

perang yang sudah di depan mata antara Athena dan Sparta. Karenanya, para 

perempuan dari kedua negara kota itu mogok seks agar perang batal. Wayang Climen 

memindahkan peristiwa ini ke detik-detik menjelang pecahnya perang Bharatayudha 

yang melibatkan keluarga Pandawa dan Kurawa. Demi mencegah perang saudara, 

Sumbadra dan perempuan-perempuan lain di kerajaan Astina dan Amarta juga mogok 

seks. 

Lewat pementasan ini Wayang Climen telah memperluas khazanah kisah wayang 

purwa yang selama ini bersumber pada wiracarita Mahabharata dan Ramayana. Mereka 

juga pernah memainkan lakon Semar Gugat yang merupakan saduran dari novel 

Semar Mencari Raga karya Sindhunata. Selain saduran dari lakon-lakon klasik, seperti 

Widarakandhang (dari lakon Kangsa Adu Jago) dan Dewaruci. 

Wayang Climen identik dengan pembongkaran tradisi pertunjukan wayang purwa. 

Tujuannya adalah menyajikan pertunjukan wayang yang lebih sederhana bentuknya, 

lebih singkat durasinya, lebih sedikit pemusiknya, tidak memakan tempat terlalu luas, 

dan lebih murah biayanya. Juga, menonjolkan kekuatan pertunjukan wayang purwa 

sebagai sastra lisan yang lebih komunikatif dan menjangkau khalayak penikmat yang 

lebih luas. 

Ki Jlitheng Suparman adalah dalang yang menamatkan pendidikan di Jurusan 

Sastra Jawa, Fakultas Sastra, UNS Surakarta. Saat kuliah ia termasuk 10 besar dalang 

unggulan dalam Festival 50 Dalang di Solo (1995). Pada 2000 ia mendirikan Wayang 

Kampung Sebelah, sebuah kelompok wayang purwa yang menampilkan satire dan 

humor, dengan tokoh-tokoh dari kehidupan kita sehari-hari. Sepuluh tahun kemudian ia 

mendirikan Wayang Climen.

Teater/Theater 

(Dur: 90’’) 


Kamis—Jumat Thursday—Friday 

27—28 September 2012 september 27—28, 2012 

20:00 WIB 08:00 PM 



Nirasmara (Sex Strike) 

wAyANg cLiMeN (SoLo, iNDoNeSiA) 

Dalang/puppet Master: Ki Jlitheng Suparman 

Nirasmara is a Greek play infused with Javanese expressions. This play is an 

adaptation of Aristophanes’s classic Greek play, Lysistrata, that tells the story of the 

looming war between Athens and Sparta. As the story goes, the women in both citystates 

are persuaded to withhold sex as means of dissuading war. Wayang Climen 

transports this string of events into a wayang setting, at the eve of the Bharatayudha 

war brewing between Pandawa and Kurawa families. Hoping to prevent this civil war, 

Sumbadra and the other women in the Kingdom of Astina and of Amarta decide to 

abstain from sex. 

By staging this show, Wayang Climen has expanded the purwa repertoire, which has 

so far derived most—if not all—of its materials from the epic narratives of Mahabharata 

and Ramayana. They have also staged Semar Gugat (Semar Accuses), an adaptation 

of Semar Mencari Raga (Semar in Search of a Body), a novel by Sindhunata; as well as 

adaptations of classical plays, such as Widarakandhang (from the play, Kangsa Adu Jago 

[Kangsa Cockfighting]) and Dewa Ruci. 

Wayang Climen embodies the act of breaking down boundaries of wayang purwa 

plays. They aim to present wayang shows that are formatively simpler, with shorter 

durations and smaller musical ensembles, which do not require large venues, and 

are cheaper to stage. They also place significant emphasis on the strength of wayang 

purwa, as a form of oral tradition that is more communicative and has the potential to 

reach a wider audience. 

Puppet master Ki Jlitheng Suparman graduated from the Javanese Literature 

Department, Faculty of Letters, UNS Surakarta. Even as a student he proved his abilities 

by making the top ten at the 50 Puppeteers Festival in Solo (1995). In 2000, he founded 

Wayang Kampung Sebelah (Wayang from the Neighboring Village), a wayang purwa 

troupe known for its satirical and humorous delivery through characters derived from 

everyday lives. Ten years later, he founded Wayang Climen. 

19

20 

musik/music 

(Dur: 60’’) 


Sabtu saturday 

29 September 2012 september 29, 2012 

20:00 WIB 08:00 PM 



¡Fuerza! 

KrAAyeNHoF tANgo eNSeMBLe 

(BeLANDA/tHe NetHerLANDS) 

Kraayenhof Tango Ensemble (KTE) adalah ansambel terbaru yang dibentuk oleh 

Carel Kraayenhof—setelah Sexteto Canyengue. Ansambel ini menggabungkan 

bandoneon dengan kwartet gesek, kontrabass dan piano. Penggabungan ini 

berangkat dari pengalaman Carel Kraayenhof selaku solois dalam sejumlah orkestra 

internasional, juga dari tango Argentina, di mana bandoneon dan instrumen gesek 

telah berkelindan lebih dari satu abad. Sebuah kombinasi suara yang sangat 

menggoda dan berbeda. 

Dalam setiap pentasnya Kraayenhof memainkan gaya “tango nuevo”—sebuah gaya 

yang ditemukan oleh Astor Piazzolla, komposer Argentina yang secara revolusioner 

melebur genre musik jazz dan klasik ke dalam tango. Musiknya juga menyerap 

pengaruh dari Alberto Ginastera, Leonard Bernstein, Samuel Barber, dan Luis 

Bacalov. Jika karya Piazzolla telah menjadi baku dan klasik dalam khazanah tango, 

karya Kraayenhof mutakhir dan menyihir dengan komposisinya yang terasa intim 

memainkan pelbagai rinci perasaan manusia. 

Carel Kraayenhof pada awalnya belajar piano klasik, di samping tertarik pada musik 

rakyat Inggris, Skotlandia, dan Irlandia. Ia juga belajar akordeon dan concertina Inggris, 

sebelum akhirnya jatuh cinta pada bandoneon dan tango Argentina. Kraayenhof 

menerima penghargaan dari Nederlandse Vereniging van Danslereraren (2002) untuk 

upayanya merangsang orang Belanda belajar tango dan menerima Edison Audience 

Prize untuk albumnya Tango Royal (2003). 

Pada awal Juli tahun ini KTE meluncurkan dua album sekaligus: Puro dan ¡Fuerza!. 

Album terakhir berisi 12 komposisi karya Carel Kraayenhof, Astor Piazzolla dan Luis 

Bacalov. Komposisi-komposisi dalam ¡Fuerza! akan dimainkan di Festival Salihara 

Keempat. 

Carel Kraayenhof akan menyelenggarakan masterclass musik tango sebelum 

pementasan.

The Kraayehof Tango Ensemble (KTE) is the latest ensemble put together by Carel 

Kraayenhof—following the Sexteto Canyengue. KTE combines bandoneon with a string 

quartet, contrabass and piano. This amalgamation is the result of Carel Kraayenhof’s 

experience as a soloist with many international orchestras, as well as through 

inspirations from Argentinian tango, where bandoneon and string instruments have 

intertwined harmoniously for more than a century. The result is an alluring and unique 

soundscape. 

Kraayenhof presents each performance in the “tango nuevo” style—introduced by 

the Argentinian composer Astor Piazzolla, who revolutionized genre by amalgamating 

jazz and classical music with tango. Kraayenhof’s music also draws influence from 

Alberto Ginastera, Leonard Bernstein, Samuel Barber, and Luis Bacalov. If Piazzolla’s 

works are now recognized as standards and classics in tango music repertoire, then, 

Kraayenhof’s works can be considered as the cutting-edge; they are bewitching in their 

compositions that seem to closely play on every detail of human feeling. 

At first, Carel Kraayenhof studied classical piano, in addition to folk music from 

England, Scotland and Ireland. He also learned to play the English concertina and 

accordion, before finally falling in love with bandoneon and Argentinian tango. In 2002, 

Kraayenhof received an award from the Nederlandse Vereniging van Danslereraren (the 

Dutch Society of Dance Teachers), for his contribution in promoting tango dance in the 

Netherlands. In 2003, he received the Edison Audience Prize for his album, Tango Royal. 

Early July this year, KTE released two albums simultaneously: Puro dan ¡Fuerza!. 

The latter comprises of 12 compositions by Carel Kraayenhof, Astor Piazzolla, and Luis 

Bacalov. Compositions from ¡Fuerza! will be performed at the 4th Salihara Festival. 

Carel Kraayenhof will lead a masterclass on tango music prior to the performance. 



21

22 


(Dur: 120’’) 

The Queen and 

the rebels 

(ratu dan Para Pemberontak) 

Jangan percaya siapa pun di samping anda, meski ia seorang kekasih atau ratu. 

Ini tentu saja pikiran yang putus asa dan penuh curiga di tengah revolusi yang karutmarut. 

Tapi itulah yang terjadi di antara Ratu, Argia, seorang pelacur, dan Raim, 

kekasihnya. Mereka adalah gerombolan orang yang akan melarikan diri akibat perang 

saudara. Mendapati Ratu di antara mereka, Argia dan Raim mencoba memerasnya. Tapi 

akhirnya mereka berkolusi untuk meloloskan Ratu, Argia pun memainkan perannya 

sebagai Ratu dan nyawanya pun terancam. Sementara kekasihnya hanyalah seorang 

pengecut yang mementingkan dirinya sendiri. 

The Queen and the Rebels adalah lakon realis tentang tragedi kekerasan cinta dan 

balas dendam. Ditulis oleh Ugo Betti, dramawan Italia, dengan judul La regina e gli 

insorti (1949). Lakon ini menawarkan kerumitan pemanggungan lakon realis, terutama 

dalam menyajikan realisme yang rinci dan psikologi manusia di dalamnya. Bagi 

Saturday Acting Club (SAC) tema revolusi dalam naskah ini seperti peti wayang yang 

dibuka untuk memunculkan karakter-karakter yang harus memainkan peperangan 

paling rumit, di mana berbagai macam pikiran dan emosi tidak selalu muncul dalam 

wajah yang sesungguhnya. 

SAC adalah kelompok teater yang berdiri sejak 2002 di lingkungan ISI Yogyakarta. 

Mereka telah mementaskan lakon, antara lain, Children First (2007), Catastrophe/ 

Bencana (2009), Holocaust Rising (2009), Kandasmara (2010) dan Lithuania (2011). 

Adapun Rukman Rosadi memperdalam pendidikan S1 dan S2 teater di ISI Yogyakarta. 

Di samping menyutradarai, ia juga bermain sebagai aktor teater dan film.



02—03 Oktober 2012 October 02—03, 2012 

20:00 WIB 08:00 PM 



SAtUrDAy ActiNg cLUB (yogyAKArtA, iNDoNeSiA) 

Sutradara/Director: rukman rosadi 

Do not trust anyone next to you, be they a lover or a queen. This is, obviously, a 

desperate and suspicious way of thinking, born in the midst of a revolution and much 

chaos. Nevertheless, this is exactly what happens between the Queen, Argia the 

prostitute, and Raim, Argia’s lover. They are part of a group of people running to escape 

a civil war. Upon discovering the Queen in their midst, Argia and Raim first tries to 

blackmail her. However, they soon find themselves colluding in the Queen’s escape. 

Argia impersonates Queen, thus putting her life in danger. Meanwhile, her lover proves 

to be a self-serving coward. 

The Queen and the Rebels is a realist play, of the tragedy wrought by violent love and 

revenge. It was written, as La regina e gli insorti (1949), by the Italian playwright, Ugo 

Betti. The play offers the kind of complication found in staging realist plays, especially 

in showing detailed realism and expressing human psychology embedded within them. 

For the Saturday Acting Club (SAC), the script’s revolutionary theme seems to become 

a wayang treasury that must be opened to let out various characters that will play their 

roles in the most complicated of battles, where various thoughts and emotions do not 

always show their true faces. 

SAC is a theater company founded in 2002 at ISI Yogyakarta. Since then, they have 

staged plays such as Children First (2007), Catastrophe (2009), Holocaust Rising (2009), 

Kandasmara (2010), and Lithuania (2011). Rukman Rosadi studied for his undergraduate 

and post-graduate degrees in theater at ISI Yogyakarta. In addition to directing, he also 

acts in many theater and film productions. 

23

24 

Tari/Dance 

(Dur: 75’’) 


Sabtu —Minggu saturday—sunday 


20:00 WIB 08:00 PM 



Ing raga (In the Body) 

Sutradara/Director: yudi Ahmad tajudin 

(JAKArtA, iNDoNeSiA) 

Ing Raga adalah teater-tari yang menyajikan jalinan peristiwa dan imaji dari 

tubuh, gerak, bunyi dan komposisi. Sebagai pertunjukan teater ia tak memiliki plot 

yang linear—ia hadir sebagai rangkaian imaji dan suasana yang terus bergerak, 

dan meskipun berakhir ia tak sepenuhnya berhenti. Selaku pentas tari ia tak hanya 

rangkaian gerak dan bentuk, tapi memaparkan momen-momen meditasi atas 

(kuasa) tubuh. Itulah momen-momen yang menghadirkan sejenis kesadaran yang 

mencoba bertanya dan merenungkan kembali ihwal tubuh yang fana; ihwal pusat 

yang tergelincir oleh gerak-gerak sentrifugal perbedaan; ihwal kematian, kepedihan, 

pembusukan, penyucian dan pertanyaan tentang dosa (“Duh, apa dosaning raga?”). 

Semua itu berlangsung dalam balutan musik yang mencoba memaksimalkan bunyi 

erhu (rebab Cina)—menggantikan rebab. Musik pertunjukan ini adalah lapisan-lapisan 

bunyi yang berangkat dari laras pelog dan slendro ditambah sejumlah bunyi lain dari 

instrumen yang ada. Juga, tilas puisi-puisi liris karya Goenawan Mohamad. 

Ing Raga adalah sebuah teater-tari kontemporer yang berangkat dari khazanah 

tradisi tari bedhaya di Keraton Surakarta. Ia mencoba menafsir ulang Panji Sepuh— 

pentas tari yang diciptakan dan disutradarai oleh Sulistyo Tirtokusumo dan sejumlah 

seniman lain pada 1993. 

Karya ini adalah kolaborasi antara Yudi Ahmad Tajudin, Tony Prabowo dan Goenawan 

Mohamad. Yudi berpengalaman mementaskan teater-tari bersama Teater Garasi, 

Yogyakarta. Sementara Tony Prabowo dan Goenawan Mohamad telah berkolaborasi 

dalam sejumlah pertunjukan opera, seperti The King’s Witch (2006) dan Tan Malaka 

(2010). Terakhir, mereka bertiga berkolaborasi dalam pementasan Panji Sepuh (2011).

Ing Raga is a dance-theater performance, weaving events and images of the body, 

movement, sound, and composition. As a theater performance, it does not have a linear 

plot—instead, it appears as a series of continuously moving images and atmospheres that 

does not come to a complete stop even at the end. As a dance performance, it is not limited 

to a series of movements and forms, but delves into meditative moments on (powers of) 

the body. These are moments that situate the kind of awareness that seeks to ask and 

reflect upon the issues of a mortal body; of centers that slips away through centrifugal 

forces of opposition; issues of death, bitterness, decay, sanctification, and questions about 

sins (“Duh, apa dosaning raga?” Oh, what on earth are the sins of the body?) 

All of these are enveloped in music that tries to maximize the erhu (Chinese fiddle), 

as a replacement of the Javanese rebab. The music accompanying this performance 

is comprised of layers of sounds, utilizing the traditional pelog and slendro scales, 

supported by a variety of sounds from other instruments. It will also feature a trail of 

lyrical poetry penned by Goenawan Mohamad. 

Ing Raga is a contemporary dance-theater performance inspired by bedhaya 

traditional dance of the Surakarta royal court. It is a reinterpretation of Panji Sepuh, a 

dance performance created and directed by Sulistyo Tirtokusumo and several other 

artists in 1993. 

This is a collaboration between Yudi Ahmad Tajudin, Tony Prabowo, dan Goenawan 

Mohamad. Yudi nurtures his experience of staging dance-theater through his involvement 

with Teater Garasi, Yogyakarta. Meanwhile, Tony Prabowo and Goenawan Mohamad have 

collaborated in a number of operatic performances, such as The King’s Witch (2006) and 

Tan Malaka (2010). Most recently, the three of them collaborated to present Panji Sepuh 

(2011). 

25

26 

Tari/Dance 

(Dur: 60’’) 

amour, acide, 

et noix (Love, acid, and Nuts) 

DANieL LéVeiLLé DANSe (KANADA/cANADA) 

Koreografer/choreographer: Daniel Léveillé 

Full Body 

Exposure 

Hanya diperbolehkan bagi penonton berusia 21 tahun ke atas 

Penonton wajib membawa tanda bukti diri 

& dilarang memotret dengan alat rekam apa pun 

For 21 years and older 

ID required, no photography allowed 

Amour, acide, et noix (2001) berbicara tentang kesunyian, tetapi yang juga terpenting 

adalah kelembutan sentuhan yang tak habis-habisnya, kekerasan hidup dan hasrat 

untuk menghindari tubuh sebagai modus utama kehadiran manusia. Juga, tentang seni 

rupa yang dibentuk oleh komposisi tubuh para penari, kontras antara warna kulit yang 

putih dan latar panggung yang hitam, di samping permainan cahaya yang hemat dan 

efektif. 

Sementara ketelanjangan ditempatkan sebagai alternatif penting dalam membaca 

kembali tubuh manusia. Ia hendak mempertanyakan kembali apakah kulit adalah 

konstum sejati bagi tubuh manusia. Tubuh di situ telah diekspose sebagai objek klinis: 

jantan dan kokoh tetapi bergetar lembut oleh kekacauan organis di dalamnya. Erotisme 

telah dicopot untuk mendapatkan tubuh yang tertib, sporty, bertenaga, layaknya 

patung-patung Yunani. 

Daniel Léveillé adalah penari, koreografer, guru, dan perupa. Ia mendirikan Daniel 

Léveillé Danse di Québec, Kanada, pada 1991, setelah sebelumnya mendirikan 

kelompok tari dengan nama lain dan bekerja sebagai koreografer independen. Sebagai 

Direktur Artistik Daniel Léveillé Danse ia telah meraih banyak pengakuan internasional 

lewat Amour, acide, et noix. Karya ini meraih 2004 Dora Mavor Moore Award untuk 

kategori “Outstanding New Choreography” dan Public Dance Award pada “Dance Week 

Zagreb” yang diadakan oleh Croatian Institute for Movement and Dance, Kroasia. 

Bersama La pudeur des icebergs (2004) dan Crépuscule des océans (2007) ia telah 

menjadi bagian trilogi “Anatomy of Imperfection” yang ditampilkan di Dance Venice 

Biennale (2010).


Selasa Tuesday 

09 Oktober 2012 October 09, 2012 

20:00 WIB 08:00 PM 


Mahasiswa Rp50.000 students Rp50,000 

Amour, acide, et noix (2001) speaks of solitude, but most importantly of the 

endless tenderness of touch, the harshness of life and the desire to eschew one’s 

body as the main means of human existence. It also speaks of a form of art built by 

the compositions of dancers’ bodies, the contrasts between white skin and black 

background, as well as the sparse and effective plays of light. 

Meanwhile, nudity is placed as an important alternative to re-read the human body. 

It wishes to ask, once again, whether the skin is the only true body costume. Here, the 

body is exposed as a clinical object: masculine and strong, yet softly vibrating through 

the organic chaos within. Eroticism has been stripped away, to get to the energetic, 

sporty, and orderly form, as found in Greek statues. 

Daniel Léveillé is a dancer, choreographer, teacher, and artist. He founded the Daniel 

Léveillé Danse in Québec, Canada in 1991. Prior to it, he had set up another dance 

troupe under a different name, and had worked as an independent choreographer. As 

artistic director of Daniel Léveillé Danse, he has received many international acclaim 

for his work, Amour, acide, et noix. It received the 2004 Dora Mavor Moore Award 

for “Outstanding New Choreography” and the Public Dance Award at Dance Week 

Zagreb, organized by the Croatian Institute for Movement and Dance. With La pudeur 

des icebergs (2004) and Crépuscule des océans (2007), it is presented as part of the 

“Anatomy of Imperfection” trilogy, staged at Dance Venice Biennale (2010). 

Photo: John Morstad 

Didukung oleh 

/Supported by: 

27

28 

musik/music 

(Dur: 60’’) 


Rabu—Kamis Wednesday—Thursday 


20:00 WIB 08:00 PM 



From East to West 

AMir-JoHN HADDAD 

(SpANyoL/SpAiN) 

Amir-John Haddad adalah seorang multi-instrumentalis. Ia yang mampu memainkan 

pelbagai alat musik, terutama yang dipetik: dari yang tradisional semisal oud dari 

Arab Saudi, saz dari Turki, gitar flamenco, hingga gitar elektrik berleher tiga. Dengan 

kemampuannya memainkan aneka alat musik itu ia sebenarnya sedang meramu seni 

tradisional dengan sesuara modern, antara Timur sebagai khazanah tradisi dan Barat 

yang memberikannya pengetahuan dan teknologi modern dalam bermusik. 

Pementasan From East to West tidak sekadar memberikan kita pelbagai suara dari 

instrumen musik yang berbeda, tetapi juga permainan gaya musik yang beragam: 

musik rakyat, oriental, funk, rock, dan lain sebagainya. Begitulah, dari setiap negeri 

yang disinggahinya, sang musisi selalu menyerap tradisi musik setempat dan 

meleburkannya ke dalam musiknya dengan harapan menemukan keluasan dan 

kekayaan musik dunia. Setiap musiknya membuktikan pengaruh yang luas, di samping 

keragaman emosi, suara, atmosfer yang terbentuk ke dalam lanskap musikal. 

Dikenal sebagai komposer yang sangat orisinal dan musisi dengan sensibilitas 

musik yang luar biasa, Amir-John Haddad dilahirkan di Freiburg, Jerman, dari ibu 

berdarah Kolombia dan ayah asal Palestina. Bersama band Radio Tarifa dari Spanyol 

ia pernah tur keliling dunia selama sepuluh tahun dan berkolaborasi dengan tak 

kurang dari 32 musisi dan kelompok musik berbeda. Ia juga telah menerbitkan album 

solo flamenco Pasando Por Tabernas (2006). Pada 1999 ia menjadi juara ke-1 untuk 

komposisi musiknya di VIII Certamen Nacional de Coreografía para Danza Española y 

Flamenco, Spanyol.

Amir-John Haddad is a multi-instrumentalist musician. He plays a wide range of 

musical instruments, especially plucked strings instruments: from traditional ones 

such as the Saudi Arabian oud, the Turkish saz, flamenco guitar, to three-necked 

electric guitars. Through his expertise in these various instruments, he combines 

traditional art with modern sounds, between the East as his traditional repertoire, and 

the West that has provided him with modern technologies and knowledge in making 

music. 

From East to West does not only provide us with a variety of diverse sounds and 

musical instruments, but also with a range of musical styles: folk music, oriental, 

funk, rock, etc. The musician absorbs local music traditions from each place he visits, 

internalizing them with his music, in hopes that he may find the depth and richness of 

world music. Each of his music proves these wide-ranging influences, in addition to the 

diversity of emotions, sounds, and atmosphere created in his musical landscape. 

A very original composer and musician with a great sense of music, Amir-John 

Haddad was born in Freiburg, Germany, from a Colombian mother and a Palestinian 

father. For ten years, he toured the world with the Spanish band Radio Tarifa. He has 

collaborated with at least 32 musicians and music groups. He has also released a 

flamenco solo album, Pasando Por Tabernas (2006). In 1999, his musical composition 

won first prize at the VIII Certamen Nacional de Coreografia para Danza Española y 

Flamenco, in Spain. 

Photo: 

http://www.womex.com 

29

30 

Tari/Dance 

(Dur: 50’’) 

Trickle, green oak & 

and the Line 

Begins to Blur 

SUSANNA LeiNoNeN coMpANy 

(FiNLANDiA/FiNLAND) 

Koreografer/choreographer: Susanna Leinonen 

Susanna Leinonen Company dikenal sebagai kelompok tari yang menampilkan 

koreografi-koreografi dengan bahasa gerak yang unik, kuat, dan personal. Di Festival 

Salihara kali ini mereka akan menampilkan dua karya dari masa yang berbeda.Trickle, 

Green Oak (2003, 18 menit) adalah koreografi dengan empat penari. Mengambil kosagerak 

balet karya ini menyejajarkan kekuatan tubuh manusia dengan kerapuhannya. 

Kostum penari yang berupa tutu putih berbulu menimbulkan kontras yang tinggi 

dengan latar panggung yang hitam sepenuhnya. Dalam beberapa momen gerakangerakannya 

menegaskan estetika Butoh. 

Adapun And The Line Begins to Blur (2009, 30 menit) dimainkan oleh tujuh penari. 

Ini adalah versi baru dari karya Susanna yang sebelumnya dipesan oleh Skånes 

Dansteater pada 2008. Karya ini menampilkan suasana horor pada kostum, gerak, 

cahaya dan musiknya. Ia juga mengaburkan batas antara individu dan masyarakat, 

antara keindahan gerak yang brutal dan sisi gelap manusia. Gerakan-gerakan yang 

menyimbolkan kekuatan masa lalu yang gelap datang dan melebur dengan kekuatan 

dan ikhtiar manusia hari ini. Gerakan-gerakannya memukau karena energik sekaligus 

plastis. 

Susanna Leinonen Company didirikan pada 2001. Dalam setiap pementasannya 

kelompok ini senantiasa memadukan koreografi, musik, dan aspek visual. Pada 

2010 kelompok ini mendapatkan dukungan penuh sebagai “proyek ekspor utama” 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Finlandia. Di samping bekerja dengan 

kelompoknya, Susanna Leinonen juga bekerja sebagai koreografer pada lembaga tari 

dan balet terpenting di Finlandia, seperti Finnish National Ballet, Skånes Dansteater 

dan Danish Dance Theatre.


Jumat—Sabtu Friday—saturday 


20:00 WIB 08:00 PM 



Susanna Leinonen Company is known for their choreographies, presented with 

unique, strong, and personal movement language. At Salihara Festival, they will stage 

two works from two distinct periods of time. Trickle, Green Oak (2003, 18 mins) is 

a choreography of four dancers. Adopting ballet vocabularies, this work aligns the 

strength of human bodies with their fragility. White tutus on the dancers cause sharp 

contrast against dense dark background. Sometimes, their movements highlight Butoh 

dance aesthetics. 

Meanwhile, And the Line Begins to Blur (2009, 30 mins) is presented by seven 

dancers. This is Susanna’s newest version, commissioned by Skånes Dansteater in 

2008. It conveys an atmosphere of horror through its costume, movements, lighting, 

and music. It blurs the line between the individual person and society, between the 

beauty found in brutal gestures and the dark side of humanity. Each movement 

symbolizes how the strength of a dark past has come and coalesces with the strength 

and endeavor of people today. The choreography presents electrifying movements, as 

they are at once energetic and plastic. 

Susanna Leinonen Company was founded in 2001. In each of their performances, this 

dance company perfectly fuses choreography with music and visual aspects. In 2010, 

the Company received full support from the Finnish Ministry of Education as a primary 

cultural export project. In addition to her work with the Company, Susanna Leinonen 

also works as choreographer at some of the most important dance and ballet institutes 

in Finland, such as the Finnish National Ballet, Skånes Dansteater and Danish Dance 

Theatre. 

Photo: Heikki Tuuli 

Didukung oleh 

/Supported by: 

31

32 

Chika Honda adalah tokoh historis yang menginspirasi pementasan ini. Ia seorang 

turis Jepang yang dipenjara di Australia dengan tuduhan menyelundupkan 13 

kg heroin. Selama 10 tahun ia menjalani hukuman, tanpa merasa bersalah telah 

melakukan kejahatan itu. Chika akhirnya dibebaskan pada 2002 dan kini bekerja 

sebagai seorang pelayan di Omiya, Jepang. Kasus ini dikenal dengan sebutan “The 

Melbourne Case”. 

Chika: A Documentary Theater adalah pementasan yang berlapis-lapis dan melintasi 

batas: musik langsung, tarian, narasi, gambar dokumenter, arsip video dan rekaman 

wawancara. Penderitaan Chika selama menjalani hukuman sebagian muncul lewat 

rekaman dokumenter, selebihnya menjelma jadi eksplorasi gerak yang penuh patahan 

dan kesakitan dari penari Yumi Umiumare, ditimpali permainan instrumen musik 

tradisional Jepang: koto, shakuhachi, dan wadaiko. Semua ini menghadirkan dunia 

surealis Chika sebagai pesakitan. 

Diproduksi oleh Mayu Kanamori, pentas ini adalah kolaborasi yang tidak biasa 

untuk mengingatkan kembali penderitaan manusia dan konsekuensi hukum yang 

diterimannya. Mayu Kanamori adalah seniman kelahiran Jepang yang kini menetap di 

Sydney, Australia. Karyanya menggabungkan fotografi, performance art, video, cerita, 

yang melintasi pelbagai genre dan disiplin seni. Pentas ini disutradarai oleh Malcolm 

Blaylock, seniman yang berpengalaman sebagai direktur artistik Darwin Festival dan 

La Boite Theatre, Brisbane. 

Pada mulanya Chika diproduksi untuk sebuah workshop di Melbourne pada 2003, 

kemudian mencapai sukses lewat pementasan di sejumlah festival di Australia dan 

mancanegara.


(Dur: 60’’) 




20:00 WIB 08:00 PM 



Chika: a Documentary 

Theater 

pHiLoSopHer’S pHotoS (AUStrALiA) 

Kreator/creator: Mayu Kanamori 

This performance is inspired by a real-life figure, Chika Honda. A Japanese tourist, 

she was convicted in Australia, accused of smuggling 13 kgs of heroin. She spent 10 

years in prison, although she continually maintained her innocence of the crime. She 

was released on parole in 2002. She currently works as a waitress in Omiya, Japan. 

Her case is now known as “the Melbourne Case”. 

Chika: A Documentary Theater is a multi-layered, boundary-surpassing performance, 

which incorporates live music, dance, narration, documentary footage, archival video, 

and recorded interviews. Chika’s hardships throughout her detention appears partly 

through documentary records, and partly transformed through expressions found in 

broken and tortured movements, as conveyed by dancer Yumi Umiumare, accompanied 

by music created using Japanese traditional instruments: koto, shakuhachi, and 

wadaiko. All of these elements come together to present the surrealistic world of Chika 

as a prisoner. 

Produced by Mayu Kanamori, this stage performance is an unusual, extraordinary 

collaboration, to remind the world of human suffering and the legal consequences one 

can experience. Mayu Kanamori is a Japanese-born artist, currently residing in Sydney, 

Australia. Her work pulls together elements from photography, performance art, video, 

and story-telling, crossing various genres and art disciplines. This performance is 

directed by Malcolm Blaylock, an artist and artistic director of Darwin Festival and La 

Boite Theatre, Brisbane. 

Chika was produced through a workshop in Melbourne in 2003, before finally gaining 

accolades in numerous festivals in Australia and abroad. 

33

34 

Pada mulanya, sepuluh tangan bermain dalam satu grand piano. Kemudian tiap 

musisi tampil dengan instrumen masing-masing. Mereka bekerja sama secara intensif 

menciptakan musik yang mereka turunkan dari tradisi musik kamar, rock progresif, 

dan improvisasi teaterikal seperti dalam jazz dan musik indie. Mereka bermain-main 

antara susunan komposisi yang baku dan improvisasi yang menantang virtuositas. 

Hasilnya adalah sebuah perjalanan emosional yang bertenaga, menyenangkan, lembut, 

meditatif, berani dan riang. 

Dengan fluiditas yang terjaga dan tiap bagian berbeda satu sama lain, nyaris tanpa 

repetisi yang berlebihan, tak pelak, Ten Hands adalah bahasa musik yang istimewa dari 

Topology. Ten Hands tampil perdana di Brisbane Powerhouse, 14 November 2010, dan 

tahun lalu ia mencetak sukses di Ghent Festival, Belgia. 

Topology terdiri dari Christa Powell (violin), John Babbage (saksofon), Bernard Hoey 

(viola), Therese Milanovic (piano), Robert Davidson (kontrabass). Topology mengolah 

karya orisinal dengan melintasi batas aneka genre musik. Berdiri sejak 1997, kwintet 

ini adalah ensemble-in-residence di Brisbane Powerhouse—di samping tampil di 

sejumlah festival bergengsi di Australia dan negeri-negeri lainnya. 

Topology telah bekerja sama dengan sejumlah seniman di bidang teater, musik 

klasik, musik seni kontemporer, balet, jazz kontemporer, musik pop, komedi, musik 

Asia, dan musik pribumi Australia. Juga dengan komposer internasional yang penting: 

Tim Brady (Kanada), Steve Reich (AS), Andrew Poppy (Inggris), dan sejumlah komposer 

Australia. 

Topology akan menyelenggarakan masterclass komposisi musik sebelum 

pementasan.

musik/music 

(Dur: 60’’) 


Sabtu saturday 

20 Oktober 2012 October 20, 2012 

20:00 WIB 08:00 PM 



Ten Hands 

topoLogy (AUStrALiA) 

In the beginning, ten hands play on one grand piano. Then, each musician appears 

with their own instruments. They work intensely together to create music derived from 

diverse traditions, from chamber music, progressive rock, to theatrical improvisations 

such as jazz and indie music. They play around between standard compositional 

constructions and improvisations that challenge one’s virtuosity. The result is a 

powerful emotional journey, joyful, soft, meditative, bold, and playful. 

With measured fluidity, and recognizable stylistic diversity from one part to the next, 

almost without any over-repetitions, it is undeniable that Ten Hands is a distinctive 

kind of musical language presented by Topology. Ten Hands premiered at Brisbane 

Powerhouse on 14 November 2010. Last year, it was successfully received at the Ghent 

Festival in Belgium. 

Topology is made up of Christa Powell (violin), John Babbage (saxophone), Bernard 

Hoey (viola), Therese Milanovic (piano), and Robert Davidson (contrabass). They 

cultivate sounds and original compositions that transcend musical genres. Founded in 

1997, the quintet is Brisbane Powerhouse’s ensemble-in-residence. They also perform 

at various notable festivals, in Australia and other countries around the world. 

Topology has worked together with many artists, in theater, classical music, 

contemporary music, ballet, contemporary jazz, pop music, comedy, Asian music, 

as well as Australian indigenous music. Topology has also worked with important 

international composers: Tim Brady (Canada), Steve Reich (USA), Andrew Poppy (UK), 

as well as a many Australian composers. 

Topology will lead a masterclass on music composition prior to the performance. 



35

36 

Tari/Dance 

(Dur: 75’’) 




20:00 WIB 08:00 PM 



Tarian malam 

(Night Dances) 

NAN JoMBANg DANce coMpANy 

(pADANg, iNDoNeSiA) 

Koreografer/choreographer: ery Mefri 

Ketika Nan Jombang Dance Company tengah berlatih tari di Kota Padang, Sumatera 

Barat, 30 September 2009, gempa berkekuatan 7,6 SR mengguncang kota itu. Bencana 

itu kemudian mendorong Ery Mefri dan para penarinya mengembangkan karya baru 

berjudul Tarian Malam. Sebuah koreografi tentang keteguhan jiwa manusia dalam 

menghadapi efek buruk bencana alam. Suara ratapan perempuan berkelindan dengan 

pukulan tambur dan gerak penari yang penuh tenaga dan menggugah perasaan. 

Tarian Malam mempersoalkan kembali konsep dosa dan posisi perempuan sebagai 

ibu bumi dan penjaga harmoni dunia. Gempa yang merusakkan segalanya itu telah 

dilihat sebagai semacam hukuman atas dosa-dosa manusia dan perempuanlah yang 

bertugas mengembalikannya kepada tata semula. Karya ini adalah produksi bersama 

Brisbane Powerhouse, Darwin Festival, Australia, dan Esplanade-Theaters on the Bay, 

Singapura. 

Ery Mefri mengembangkan kosa-gerak dan suara dari khazanah tradisi 

Minangkabau. Seperti gerakan silat dalam Randai, Tari Piring, dan musikalitas puisi 

dalam Petatah-Petitih. Dengan prinsip “alam terkembang jadi guru” ia telah menyerap 

dan menyegarkan tradisi tari Minangkabau seraya memperkayanya dengan anasir tari 

modern. 

Sejak didirikan pada 1983 Nan Jombang Dance Company telah memproduksi 

pelbagai koreografi dan dipentaskan pada acara kesenian di dalam dan di luar negeri. 

Misalnya, The Big Question di Indonesian Dance Festival (1994), Ratok Piring dan 

Sarikaik di Brisbane Powerhouse, Australia (2007), dan Rantau Berbisik di Haus der 

Kulturen der Welt, Berlin, Jerman (2011). 

David Walters, penata cahaya pertunjukan ini, akan menyelenggarakan lokakarya 

tata cahaya sebelum pementasan.

The Nan Jombang Dance Company was in the middle of a dance rehearsal in Padang, 

West Sumatra, when the city was hit by a 7.6 magnitude earthquake. This disaster 

inspired Ery Mefri and his dancers to develop a new choreography, titled Tarian Malam 

(Night Dances). This work reflects upon the resilience of a human soul in the face of 

disaster’s adverse effects. The haunting wails of women are intertwined with rhythmic 

drumbeats and the dancers’ movements, full of energy and endlessly evocative. 

Tarian Malam re-inquires our concepts of sin and the position of women as “mother 

earth” and as custodian of world harmony. The all-encompassing devastation wrought 

by the earthquake has been seen as a kind of punishment for the sins of mankind; and 

that it is the task of women to restore it [nature] to its original order. This work is a 

joint production by Brisbane Powerhouse, Darwin Festival, Australia and Esplanade- 

Theaters on the Bay, Singapore. 

Ery Mefri develops a rich vocabulary of dance movements and voice works, mined 

from the rich heritage of Minangkabau tradition: Silat gestures in Randai, Tari Piring 

(Plate Dance), and musicalized poetry in Petatah-Petitih (proverbs and sayings). With 

the principle, alam terkembang menjadi guru (nature blossoms to be our teacher), he 

has absorbed and refreshed the Minangkabau dance tradition, while at the same time, 

enriching it with modern dance elements. 

Since its founding in 1983 Nan Jombang Dance Company has produced numerous 

choreographies shown in various arts events at home and abroad, such as: The Big 

Question at the Indonesian Dance Festival (1994); Ratok Piring (Cries of the Plate) and 

Sarikaik (Fellowship) at Brisbane Powerhouse, Australia (2007); and Rantau Berbisik 

(Whisperings of Exile) at Haus der Kulturen der Welt, Berlin, Germany (2011). 

David Walters, lighting designer of this performance, will lead a workshop on lighting 

design prior to the performance. 

37

Program 

Pendamping 

fringe 

events 

39

40 

Pentas musik 

/music Stage 

INSTALASI 

Homogenic 


Sabtu, 06 Oktober 2012, 16:00 WIB saturday, October 06, 2012, 04:00 PM 

Hightime rebellion 


Rabu, 24 Oktober 2012, 22:00 WIB Wednesday, October 24, 2012, 10:00 PM 

Di samping Sir Dandy dan KunoKini, pentas musik pendamping Festival Salihara 

Keempat juga akan menampilkan Homogenic dan Hightime rebellion. Lewat mereka 

kita mendapatkan warna lain musik indie kita yang tengah bertumbuh dan kebetulan 

digerakkan oleh anak muda. Homogenic akan tampil dengan musik mereka yang 

bergenre elektronik pop. Ringan tetapi penuh dengan penjelajahan bunyi-bunyi 

elektronik yang memberikan kita asosiasi bunyi yang beragam. Homogenic juga 

mencoba menyederhanakan musik elektronik dengan menghadirkan suara perempuan 

yang terasa ringan, manis, dan enak di telinga seraya membicarakan dunia anak muda 

dengan kompleksitas masalahnya. 

Homogenic adalah band indie asal Bandung, Jawa Barat, yang berdiri sejak 2002 

dan digawangi oleh Deena Dellyana (synthesizer/programming), Grahadea Kusuf 

(synthesizer/programming) dan Amandia Syachridar (vokal). Album terakhir mereka 

adalah Let’s Talk (2012). 

Hightime Rebellion akan menutup pentas pendamping Festival Salihara Keempat 

dengan musik mereka yang memadukan Brit pop, funk, folk, rock, dan irama yang 

danceable. Meski mengandalkan vokal perempuan, warna folk yang bertumpu pada 

petikan gitar akustik membawa kita kepada lanskap yang luas dan menjelajah, di 

samping bebunyian yang lebih kaya dan bersemangat sebagaimana dalam rock. 

Hightime Rebellion adalah adalah band indie dari Jakarta dengan personel Rendy 

(vokal/piano/gitar/penulis lirik), Pulung (bass), Jason (gitar), dan Reza (drum) yang 

berdiri pada, 2007, ditambah dengan Miyane (vokal) dan Adji (gitar). Hightime Rebellion 

telah tampil di sejumlah pentas musik di Tanah Air, antara lain, Java Rockin’Land 

(2011) dan Beatfest (2011).

In addition to Sir Dandy and KunoKini, the 4th Salihara Festival’s stage for supporting 

music acts will also feature Homogenic and Hightime rebellion. Through them, we 

can also experience a different side of our growing indie scene, incidentally led by the 

youths of today. Homogenic appears with their electro-pop music. Light and breezy, yet 

rich in exploration of various electronica sounds, we are drawn into a sea of diverse 

sound associations. Homogenic also tries to simplify electronica, by introducing the 

voice of a young girl that is light, sweet, and pleasant to the ear, all the while speaking 

of a youth’s world with all its complex issues. 

Founded in 2002, Homogenic is a Bandung-based indie band comprised of Deena 

Dellyana (synthesizer/programming), Grahadea Kusuf (synthesizer/programming), and 

Amandia Syachridar (vocals). Let’s Talk (2010) is their newest album. 

Hightime Rebellion will close the 4th Salihara Festival’s Music Stage performances 

with their unique brand of music, a blend of Brit pop, funk, folk, rock, and immensely 

danceable tunes. Although they rely on female vocals, folksy tunes driven by acoustic 

guitar usher us to a wide and expansive landscape, in addition to the richer and more 

energetic sounds found in rock music. 

This Jakarta-based indie band was founded in 2007 It is composed of Rendy (vocals/ 

piano/guitar/lyricist), Pulung (bass), Jason (guitar), and Reza (drum). They are also 

joined by Miyane (vocals) and Adji (guitar). Hightime Rebellion has appeared on many 

Indonesian music stages, including Java Rockin’Land (2011) and Beatfest (2011). 

41

42 

Lomba Foto 

Photo Contest 

Kirim foto kamu mengenai Festival Salihara Keempat 

& dapatkan kesempatan memamerkan karyamu di 

dunia maya & kompleks Komunitas Salihara. 

send in your photos of the 4th salihara 

festival, and you may be in for a chance 

to exhibit your works online and offline at 

Komunitas salihara. 

Persyaratan UmUm: 

1. Lomba ini terbuka untuk umum. Tidak ada batasan usia atau kewarganegaraan. 

2. Jenis kamera yang digunakan tidak dibatasi, kamera ponsel sekalipun. 

3. Lomba tertutup untuk Dewan Juri dan Panitia. 

Persyaratan KhUsUs 

1. Peserta mendaftar dengan membuat akun di www.kufoto.com. 

2. Foto diambil di kompleks Komunitas Salihara selama Festival Salihara Keempat, 22 

September—24 Oktober 2012. 

3. Kategori subjek foto yang dilombakan terbagi dua, yaitu foto pertunjukan dan foto kegiatan 

Festival. 

a. Foto pertunjukan hanya bisa diambil saat gladi bersih pertunjukan. Peserta yang berminat 

ikut, wajib mendaftar ke foto@salihara.org dalam kurun waktu H-7 hingga H-1 setiap gladi 

bersih. Tempat terbatas. Jadwal tiap gladi bersih akan diumumkan melalui akun twitter 

@salihara dan @ku _foto. 

b. Foto kegiatan Festival bisa berupa foto kejadian, human interest, suasana dan subjek atau 

objek apa pun yang ada dan berlangsung selama Festival di kompleks Komunitas Salihara. 

4. Ukuran file foto maksimal 700 KB per foto dengan format JPG, GIF, PNG. 

5. Lima foto yang dipilih peserta untuk dilombakan dikumpulkan paling lambat 25 Oktober 2012 

ke foto@salihara.org. 

6. Penjurian akan menghasilkan 13 foto terpilih untuk tiap kategori, masing-masing berupa 3 foto 

terpilih utama dan 10 foto terpilih. 

7. Pengumuman foto-foto terpilih: 26 November 2012, melalui www.salihara.org dan www.kufoto. 

com. 

8. Dua puluh enam karya pilihan Dewan Juri akan dipamerkan secara online di www.salihara.org 

dan www.kufoto.com. 

9. Keputusan Dewan Juri adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. 

Dewan Juri: 

1. Oscar Motuloh (Direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara & Fotografer) 

2. Anton Ismael (Fotografer) 

3. Danny Tumbelaka (kufoto.com) 

Hadiah: 

Masing-masing peserta yang karyanya menjadi foto pilihan utama Dewan Juri akan 

mendapatkan paket hadiah senilai Rp 1.000.000,- 

Tiap foto yang dikirim—baik yang untuk dilombakan ataupun bukan—berkesempatan untuk 

dipamerkan dalam bentuk slideshow di kompleks Komunitas Salihara selama Festival berlangsung. 

Pengumpulan foto melalui unggahan ke: 

a. Website www.kufoto.com dengan menyertakan tagar #festivalsalihara #FS2012 dan #kufoto. 

b. Twitter dengan mention @salihara @ku_foto dan menyertakan tagar #festivalsalihara 

#FS2012 dan #kufoto.

General terms: 

1. This contest is open to the public. There are no age or nationality restrictions. 

2. There are no camera restrictions. You are welcome to use the camera on your phones. 

3. This contest is closed to members of the judging panel and Festival organizers. 

sPecial terms: 

1. Entrants must register, by creating an account, at www.kufoto.com 

2. Photos must be taken on Komunitas Salihara premises during the 4th Salihara Festival, 

September 22—October 24, 2012. 

3. There are two subject categories, performance photographs and Festival activities 

photographs. 

a. Performance photographs may only be taken during dress rehearsals. Interested entrants 

must register first through foto@salihara.org, one to seven days prior to each dress 

rehearsal. Spaces are limited. Schedules for each dress rehearsal will be announced 

through @salihara and @ku_foto twitter accounts. 

b. Festival activities photographs may include photos of events, human interest, atmosphere, 

any subject or object encountered during the Festival period on Komunitas Salihara 

premises. 

4. Maximum file size for each image: 700KB, saved in JPG, GIF, or PNG format. 

5. Five photographs chosen by the entrants for competition must be submitted to foto@salihara. 

org, by October 25, 2012 at the latest. 

6. The judging panel will choose 13 photographs for each category, i.e. three best photographs 

and 10 favorites. 

7. Chosen photographs will be announced on November 26, 2012, through www.salihara.org and 

www.kufoto.com 

8. All twenty-six photographs as chosen by the judging panel will be exhibited online, on www. 

salihara.org and www.kufoto.com 

9. Judges’ decisions are final and no correspondence will be entered into. 

Judging panel: 

1. Oscar Motuloh (Photographer and Director of the “Antara” Gallery of Photojournalism) 

2. Anton Ismael (Photographer) 

3. Danny Tumbelaka (kufoto.com) 

prizes: 

Each entrant whose work is chosen as best photograph by the Judging Panel will receive a 

prize package valued at Rp1,000,000. 

Each eligible photograph—either for the contest or not —might be included in a photo slideshow to 

be shown at Komunitas Salihara during the Festival period. 

Photographs/images must be uploaded to: 

a. Www.kufoto.com website, with the hashtags #festivalsalihara #FS2012 and #kufoto 

b. Twitter, by mentioning both @salihara and @ku_foto, withe the hashtags #festivalsalihara 

#FS2012 and #kufoto 



43

44 

Peluncuran art Toys 

/art Toys Launch 

INSTALASI 

Hybrid rhino 

MAriNe rAMDHANi & MArwAN iSLAMi a.k.a AiSH 

(BANDUNg, iNDoNeSiA) 

GeRAi sAlihARA 

Sabtu, 06 Oktober 2012, 18:00 WIB saturday, October 06, 2012, 06:00 PM 

Alkisah, tersebutlah seekor badak bernama Plum yang hidup di sebuah planet 

antah-berantah. Ia diburu oleh penguasa jahat di negerinya. Menghindari buruan itu 

ia terbang dan kapalnya terdampar di Ujung Kulon, Banten. Di hutan itu ia bertemu 

dengan Bismarck, badak bercula satu penghuni suaka alam itu. Mereka akhirnya 

menikah dan lahirlah badak hibrida bernama Jouwe. Bentuk tubuhnya merupakan 

paduan antara tubuh manusia, badak, dan semut. Badak hibrida ini juga bersayap dan 

bisa berubah ke warna apa saja dengan cepat—dan mereka semua adalah adalah art 

toys. 

Jika Jouwe sudah diluncurkan dan dipamerkan di sejumlah tempat, kini Marine 

Ramdhani akan meluncurkan Plum—Bismarck belum. Marine akan berkolaborasi 

dengan Aish yang dikenal sebagai ilustrator komik/manga dan desainer urban toys. 

Aish akan menggambar langsung di tubuh Plum yang berjumlah 10 buah. Plum yang 

sudah digambari dan dinomori itu akan diluncurkan serempak di seluruh blog art toys 

di seluruh dunia. Di samping peluncuran, akan ada juga pameran komik dan pemutaran 

film tentang pameran art toys karya Marine. 

Marine Ramdhani adalah seniman dan wirausahawan muda yang mengembangkan 

gaya hidup indie di Bandung. Setelah menerbitkan majalah gaya hidup indie dan 

perusahaan rekaman indie, ia bersama tiga temannya kemudian mendirikan 

MyTummyToys, sebuah usaha untuk mendesain, memproduksi dan memasarkan 

urban toys. Sebagai salah satu andalan Marine, Jouwe pernah dipamerkan di KÖln 

dan DÜsseldorf, Jerman (2010), Los Angeles, Amerika Serikat (2010) dan Amsterdam, 

Belanda (2010).

Once upon a time, on a planet far, far away, lived a rhino named Plum. The planet’s 

evil rulers were after her. She took to flight to escape her pursuers, and crash landed 

in Ujung Kulon, Banten. In the forest, she met Bismarck, the one-horned rhino who lived 

in that nature reserve. They were finally married. Now, they have a child, a hybrid rhino 

called Jouwe. Its body is an amalgamation of forms—human, rhino, and ant. This hybrid 

rhino has wings, too, and can change colors very quickly. All of them are art toys. 

Jouwe was actually released a while ago, and has been exhibited in many locations. 

Now, Marine Ramdhani will launch Plum—though not Bismarck yet. Here, Marine will 

collaborate with Aish, a manga/comic illustrator and urban toys designer. Aish will 

create illustrations directly onto Plum’s body, ten in all. Illustrated and then numbered, 

Plum will be launched simultaneously in art toys blogs around the world. In addition 

to this launching event, there will be a comic exhibition and a film presentation on 

Marine’s art toys exhibitions. 

Marine Ramdhani is a young artist and entrepreneur who works to help cultivate 

indie lifestyle in Bandung. After publishing an indie lifestyle magazine and setting 

up an indie recording outfit, he and three friends founded MyTummyToys, a company 

that produces, designs, and markets urban toys. One of Marine’s best-known creation, 

Jouwe, has been exhibited in Cologne and DÜsseldorf, Germany (2010), Los Angeles, 

USA (2010), and Amsterdam, the Netherlands (2010). 

45

Informasi Acara & Tiket Pertunjukan 

informasi acara & reservasi tiket (kecuali pameran) 

021-789-1202, 0817-077-1913, 0812-8184-5500 

0857-193-111-50, 0838-9963-0361, 021-9974-5934 

info@salihara.org, tiket@salihara.org 

media@salihara.org (khusus wartawan) 

informasi pameran & galeri Salihara 

0816-557-684, galeri@salihara.org 

informasi gerai Salihara 

0878-210-88369, gerai@salihara.org 

• Pemesanan dapat dilakukan melalui telepon, SMS, dan/atau online di www.salihara.org 

• Pembayaran dapat dilakukan secara langsung di loket Salihara, atau transfer/setor ke: 

Bank BCA No. 450-356-5555 a.n. Yay. Utan Kayu 

Bank BNI No. 0244-08-1437 a.n. Yayasan Utan Kayu 

Bank Mandiri No. 127-00-45464748 a.n. Yayasan Utan Kayu 

Bank Permata No. 4000-678-231, a.n. Yayasan Utan Kayu 

• Pembayaran melalui transfer dianggap sah setelah bukti transfer difaks ke 021-781-8849. Bukti 

transfer asli wajib ditunjukkan saat mengambil tiket. 

• Pemesanan tiket yang tidak dilunasi dalam 3 hari akan dianggap batal. 

• Pemesanan tiket pertunjukan ditutup pada hari H-2 pukul 17:00 WIB. Setelah itu, loket Salihara 

hanya melayani pembelian secara langsung. 

• Pelajar/Mahasiswa yang ingin mendapatkan tiket harga khusus wajib membawa kartu pelajar/ 

mahasiswa. 

• Tiket yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan. 

• Wartawan yang ingin meliput wajib memberi konfirmasi maksimal hari H-1 pukul 17:00 WIB, 

ka rena jumlah tiket untuk wartawan sangat terbatas. 

Waktu Operasional 

Komunikasi & Loket Salihara 

Senin—Jumat, 09:00—17:00 WIB 

Sabtu, 16:00—20:00 WIB 

Minggu dan hari libur nasional tutup. 

Bila ada acara, waktu operasional 

diperpanjang hingga 

pukul 20:00 WIB 

46 

Tiket 

Festival Salihara 

Keempat 

juga tersedia di 

Rajakarcis.com 

pameran 

Senin—Sabtu, 11:00—20:00 WIB 

Minggu: 11:00—15:00 WIB 

Hari libur nasional tutup 

gerai Salihara 

Senin—Sabtu, 12:00—20:00 WIB 

Hari libur nasional tutup

Peraturan untuk Penonton di Teater Salihara 

• Penonton yang datang terlambat tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruang pertunjukan 

karena akan mengganggu jalannya acara. 

• Penonton dilarang keras makan, minum dan merokok di dalam ruang teater. 

• Pemotretan hanya bisa dilakukan oleh fotografer panitia acara dan/atau Komunitas Salihara. 

Cahaya dari layar kamera digital mengganggu penonton sekitar. Bunyi-bunyian yang berasal 

dari kamera tidak hanya mengganggu penonton sekitar, namun juga pengisi acara dan perekaman 

audio yang dilakukan. Apabila membutuhkan gambar, sila hubungi arsip@salihara.org. 

• Gladi Resik terbuka untuk pemotretan oleh pewarta foto, dengan konfirmasi sebelumnya. 

Sewa Ruang 

Ruang-ruang di Komunitas Salihara terbuka untuk disewa. Untuk keterangan lebih lanjut, 

hubungi 021-789-1202 ext. 305, 0838-9963-0361, atau sewa@salihara.org. 

47

48 

.

U 

FaTmawaTi 

POnDOk inDah 

PeJaTen BaraT 

kemang 

anTasari 

Jl. HaRSono RM 

Jl. WaRung JaTi BaRaT Jl. WaRung JaTi BaRaT 

DeParTemen 

PerTanian 

mamPang 

kUningan 

PeJaTen 

ViLLage 

Jl. JaTi MuRni 

Jl. T.B. SiMaTupang 

Jl. JaTi padang 

rePUBLika 

Jl.peJaTen Raya 

Jl. JaTi padang uTaRa 

Jl. Ragunan Raya 

masJiD 

aL ikhLas 

ragUnan 

sman 28 

POmPa 

Bensin 

Jl. SaWo Manila 

kanTOr CamaT 

Pasar minggU 

LegenDa 

TOL Lingkar LUar JakarTa 

GPS: 

6°17'1"S 106°50'17"E 

Jl. Siaga Raya 

Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta 12520, Indonesia 

Parkir terbatas, kami melayani Pemesanan taksi di temPat 

limited Parking, taxi booking on site 

Jl. SaliHaRa 

kOmUniTas 

saLihara 

gedung KanToR dan 

FaSiliTaS puBliK 

HalTe TRanS JaKaRTa 

JaluR KeReTa api 

7-eLeVen 

UniVersiTas 

nasiOnaL 

Jl.peJaTen 

Jl. peRTanian iii 

ViLa 

PeJaTen 

mas 

TerminaL 

Dan Pasar 

minggU 

Jl. peRTanian iii 

LenTeng agUng 

DePOk 

gereJa 

keLUarga 

kUDUs 

Jl. Raya paSaR Minggu 

Jl. Raya paSaR Minggu 

Jl. TanJung BaRaT 

PanCOran 

TeBeT 

sTasiUn 

Pasar 

minggU 

kamPUng ramBUTan 

Pasar reBO 

49

IKLAN SPONSOR 

51

Mengucapkan Selamat atas terselenggaranya 

Festival Salihara 2012 

53

54 

sponsor: 

mitra media: 

mitra LoKet:

Ucapan Terima Kasih acknowledgement 

Komunitas Salihara mengucapkan terima kasih kepada 

Komunitas Salihara wishes to thank 

adaro energy 

anmaro 

anton ismael 

andrew ross 

Bca 

Brisbane powerhouse 

danny tumbelaka 

detikHot 

djarum apresiasi Budaya 

esquire 

green radio 

indopos 

Jawa pos 

departemen pariwisata dan ekonomi Kreatif 

erasmus Huis 

Hendro masto 

Jan eikenboom 

Kedutaan Besar Kerajaan Belanda 

Kioen moe 

Koran tempo 

Kufoto.com 

Leineroebana dance company 

majalah Berita mingguan tempo 

metro tv 

okezone.com 

oscar motuloh 

ps magazine 

rajakarcis.com 

robert van den Bos 

sWa 

t.p. rahmat 

tempo Bahasa inggris 

tempo.co 

the Jakarta post 

travelounge 

Wati gandarum 

55

Pencetakan buku ini didukung oleh 

Djarum Apresiasi Budaya 

56

jadwal_festival_salihara_2012_1

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

Delete template?

Save as template?