03.05.2013 Views

Pedodontic treatment triangle - Universitas Mahasaraswati Denpasar

Pedodontic treatment triangle - Universitas Mahasaraswati Denpasar

Pedodontic treatment triangle - Universitas Mahasaraswati Denpasar

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Pedodontic</strong> <strong>treatment</strong> <strong>triangle</strong> berperan dalam<br />

proses keberhasilan perawatan gigi anak<br />

Soesilo Soeparmin<br />

Fakultas Kedokteran Gigi <strong>Universitas</strong> <strong>Mahasaraswati</strong> <strong>Denpasar</strong><br />

ABSTRAK<br />

Dalam melakukan perawatan gigi dan mulut pada pasien anak-anak diperlukan<br />

konsep ”<strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle”, kerjasama antar komponennya mutlak diperlukan.<br />

Dalam konsep tersebut dokter gigi diharapkan dapat memahami dan menerapkan konsep<br />

tersebut sebagai faktor yang menentukan keberhasilan pada perawatan gigi anak. Tujuan<br />

dari penulisan ini ialah untuk mengetahui bagaimana penerapan konsep “<strong>Pedodontic</strong><br />

Treatment Triangle” sebagai faktor penentu keberhasilan perawatan gigi anak. Metode<br />

yang digunakan adalah dengan menciptakan komunikasi efektif antar komponen pasien anak,<br />

orangtuanya dan dokter gigi. Perawatan gigi dan mulut sejak dini pada anak penting untuk<br />

pertumbuhan anak secara umum, usia anak dan faktor kepribadian orangtua juga berperan<br />

dalam membangun komunikasi efektif dengan dokter gigi. Pada bermacam kondisi psikologis<br />

anak konsep “<strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle” mutlak diperlukan agar perawatan yang<br />

dilakukan berhasil.<br />

Kata Kunci : <strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle, Keberhasilan Perawatan.<br />

Korespondensi : Drg. Soesilo Soeparmin, SU. Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas<br />

Kedokteran Gigi <strong>Universitas</strong> <strong>Mahasaraswati</strong> <strong>Denpasar</strong>, Jl.Kamboja 11A <strong>Denpasar</strong>, Telp.<br />

(0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278<br />

PENDAHULUAN<br />

Perawatan kesehatan gigi anak secara dini sangat berguna bagi anak yang masih<br />

dalam taraf tumbuh kembang. Kerusakan gigi merupakan masalah yang paling umum terjadi<br />

pada anak-anak dibandingkan penyakit lainnya. Keberhasilan suatu perawatan dibidang<br />

kesehatan gigi anak ditentukan oleh banyak hal antara lain adanya bimbingan orang tua<br />

terhadap anak yang dipengaruhi oleh motivasi orang tua dalam berperilaku sehat, kerjasama<br />

antara dokter gigi pasien anak dan orang tua juga berperan penting dalam keberhasilan<br />

perawatan gigi anak oleh karena masih banyak para orang tua yang beranggapan bahwa<br />

masalah penanganan kesehatan gigi dan mulut anak merupakan tanggung jawab dokter gigi<br />

sehingga dianggap peran orang tua hanya sebatas pengantar ketempat praktik atau rumah<br />

sakit tanpa ingin terlibat lebih jauh dalam edukasi kesehatan gigi anak. Peran serta orang tua<br />

sangat diperlukan di dalam membimbing, memberikan perhatian, mengingatkan, dan<br />

menyediakan fasilitas kepada anak agar dapat memelihara kebersihan gigi dan mulut.<br />

Pengetahuan orang tua merupakan modal penting dalam membentuk prilaku yang<br />

mendukung atau tidak mendukung perawatan gigi dan mulut pada anak. Dokter gigi juga<br />

sebaiknya memahami betul bahwa pasien anak merupakan keseluruhan pribadi manusia yang<br />

ingin diperlakukan seharusnya seperti ingin didengarkan, diperhatikan dan diperdulikan<br />

dalam porsinya sebagai anak-anak yang berbeda dengan orang dewasa. 1,2<br />

Prilaku merupakan suatu aktifitas manusia yang sangat mempengaruhi pola hidup<br />

yang akan dijalaninya. Proses pembentukan perilaku yang diharapkan memerlukan waktu<br />

serta kemampuan dari orangtua dalam mengajarkan anak. Rasa takut merupakan penyebab<br />

1


utama perilaku nonkooperatif anak terhadap perawatan gigi, faktor penyebabnya bisa berasal<br />

atau ditimbulkan dari anak itu sendiri, keluarga, maupun dokter gigi. 1<br />

Untuk dicapai keberhasilan dalam perawatan gigi maka hendaknya dokter gigi<br />

terutama memahami konsep “<strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle”. Dengan latar belakang<br />

tersebut maka tulisan ini bertujuan agar dokter gigi dapat memahami dan menerapkan konsep<br />

tersebut sebagai faktor yang menentukan keberhasilan pada perawatan gigi anak.<br />

Maka yang menjadi masalah bagaimanakah penerapan konsep “<strong>Pedodontic</strong> Treatment<br />

Triangle” sebagai faktor penentu keberhasilan perawatan gigi anak dan mulai dari kapan dan<br />

sampai kapan konsep tersebut dilakukan. Kajian pustaka ini bertujuan untuk menelaah<br />

bagaimana penerapan konsep “<strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle” sebagai faktor penentu<br />

keberhasilan perawatan gigi anak.<br />

PEDODONTIC TREATMENT TRIANGLE<br />

Komunikasi dokter gigi dengan pasien anak merupakan hubungan yang berlangsung<br />

antara dokter gigi , pasien anak dan orang tua pasien selama proses pemeriksaan atau<br />

pengobatan. Komunikasi sangatlah diperlukan terutama saat menangani pasien anak. Dalam<br />

hal ini seorang dokter gigi harus terus meningkatkan profesionalismenya dengan terus<br />

menganut konsep belajar sepanjang hayat. 3<br />

Kesehatan gigi dan mulut pada anak mempunyai peranan yang sangat penting karena<br />

merupakan bagian integral dari seluruh kesehatan dan pertumbuhan. Karena itu komunikasi<br />

yang efektif antara dokter gigi, anak dan orang tua pasien merupakan komponen yang penting<br />

agar dapat menumbuhkan kepercayaan pasien. Hubungan yang efektif antar ketiganya dapat<br />

mengurangi keraguan akan perawatan gigi pada anak. Bila dokter gigi tanggap pada respon<br />

anak dan orang tua atas informasi yang disampaikannya maka anak dan orang tua akan lebih<br />

terbuka dalam mendengar dan belajar. <strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle adalah gambaran<br />

hubungan antar komponen dalam segitiga perawatan pedodontik dimana setiap komponen<br />

saling berhubungan erat, posisi anak pada puncak segitiga dan posisi orang tua serta dokter<br />

gigi pada masing-masing sudut kaki segitiga. Garis menunjukan komunikasi berjalan dua<br />

arah antar masing komponen dan merupakan hubungan timbal balik. 4,5,<br />

Anak<br />

`<br />

Dokter gigi Orangtua<br />

(The <strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle given by Wright 1975)<br />

Textbook of Community Dentistry, Fig.1.6<br />

<strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1) Anak, perbedaan<br />

umum antara perawatan pasien dewasa dan anak terletak pada teknik komunikasi. Teknik<br />

komunikasi antara pasien anak dan dokter gigi dalam kasusnya merupakan hubungan satu<br />

untuk dua, yang berarti anak menjadi fokus perhatian dokter gigi dan orang tua. Ini<br />

digambarkan pada penempatan anak pada segitiga dimana anak menempati puncak dari<br />

segitiga dan menjadi fokus dari perhatian dokter gigi dan orangtua. 6<br />

Efek dari kematangan emosional pada tingkah laku anak dalam perawatan gigi adalah<br />

semua anak melewati masa tingkatan tertentu dari perkembangan mental dan emosi.<br />

Berdasarkan tingkatan usia ini tingkah laku anak dan psikologis anak yang terpola secara<br />

terus-menerus menjadi berubah. Penting untuk mengidentifikasi tingkatan usia psikologis<br />

2


sebagai panduan untuk mensukseskan perawatan gigi pada anak. skema tingkatan usia<br />

membantu untuk menghubungkan level dari kematangan emosional dengan rentang usia anak<br />

dalam perawatan gigi. Kematangan anak bisa dikelompokan mengikuti kronologis tingkatan<br />

usia sebagai berikut ini: 1) Usia dua tahun : dalam usia ini kosakata dari anak bervariasi dari<br />

15 sampai 1000 kata. Anak pada periode ini takut pada gerakan mendadak yang tidak<br />

terduga. Pergerakan mendadak pada kursi gigi (dental chair) tanpa peringatan akan<br />

menimbulkan rasa takut, cahaya yang terang juga terasa menakutkan bagi anak. Memisahkan<br />

anak pada usia ini dari orang tuanya sangat sulit. Sebisa mungkin anak pada periode usia dua<br />

tahun ditemani oleh orang tua atau pendamping selama berada di ruang perawatan. 2) Usia<br />

tiga tahun : anak memiliki keinginan untuk berbicara dan mendengarkan, pada usia ini, sikap<br />

kooperatif muncul dan dokter gigi bisa mulai menggunakan pendekatan positif dengan anak<br />

tersebut . 3) Usia empat tahun : seorang anak usia empat tahun umumnya mendengarkan dan<br />

tertarik untuk menjelaskan, jika tidak diatur dengan baik pada beberapa situasi anak usia<br />

empat tahun bisa menjadi tidak patuh dan menentang. 4)Usia lima tahun : ini merupakan<br />

periode dari penggabungan, dimana anak pada usia lima tahun senang melakukan aktifitas<br />

berkelompok dan siap berpartisipasi didalamnya dan mereka juga memiliki sedikit rasa<br />

khawatir bila terpisah dari orangtuanya saat melakukan perawatan gigi. 5) Usia enam sampai<br />

duabelas tahun : biasanya anak pada usia ini bisa menangani ketakutan terhadap prosedur<br />

perawatan gigi karena dokter gigi bisa menjelaskan apa yang akan dilakukan dan alasan<br />

kenapa perawatan tersebut dilakukan. 4,6<br />

Posisi dokter gigi pada <strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle berada di sudut kiri bawah. Agar<br />

dapat tercipta komunikasi antar personal oleh dokter gigi dengan pasien anak dan<br />

orangtuanya, terdapat syarat yang harus dipenuhi yaitu: 1. Positiveness (sikap positif) dokter<br />

gigi diharapkan mau menunjukan sikap positif pada pesan yang disampaikan oleh pasien<br />

anak atau orangtuanya seperti keluhan, usulan, pendapat, pertanyaan. 2) Supportiveness (<br />

sikap mendukung) ketika pasien atau orang tua pasien anak nampak ragu untuk memutuskan<br />

sebuah pilihan tindakan, maka dokter gigi diharapkan memberikan dukungan agar keraguan<br />

tersebut berkurang atau bahkan hilang. 3) Equality (keseimbangan antar pelaku komunikasi)<br />

yang dimaksud dengan kesamaan atau kesetaraan adalah bahwa diantara dokter gigi , pasien,<br />

dan orang tua pasien tidak boleh ada kedudukan yang sangat berbeda misalnya dokter yang<br />

menguasai semua keadaan dan pasien yang tidak berdaya. 4) Openess (sikap dan keinginan<br />

untuk terbuka) dokter gigi bila perlu juga mengatakan kesulitan yang dihadapinya saat<br />

menangani masalah pasien. Dengan keterbukaan komunikasi ini maka akan terbangun<br />

kepercayaan dari pasien anak dan orang tuanya. 2,5<br />

Anak-anak memiliki cara pendekatan tersendiri yang berbeda dengan orang dewasa<br />

dan memiliki cara berkomunikasi yang berbeda juga. 4<br />

Kerjasama antar komponen <strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle yaitu: pasien anak, dokter<br />

gigi dan orangtua mutlak diperlukan. Tingkah laku orangtua merupakan hal yang penting<br />

antara hubungan interpersonal anak yang mempengaruhi respon tingkah laku anak tersebut<br />

terhadap perawatan gigi. Pada berbagai motif dan situasi, orangtua mengambil sikap ekstrim<br />

yang berbeda-beda terhadap anaknya, sikap itu antara lain : 1) Terlalu melindungi (<br />

overprotection), sikap terlalu melindungi ditunjukan dengan terlalu mencampuri dan<br />

mendominasi anak oleh orangtuanya. 2) Penolakan ( rejection), anak yang sedikit terabaikan<br />

oleh orang tuanya merasa rendah diri, dilupakan, pesimis dan memiliki rasa percaya diri yang<br />

rendah. Pada perawatan gigi anak seperti ini bisa menjadi tidak kooperatif, menyulitkan, dan<br />

susah diatur. 3) Terlalu Cemas (overanxiety) sikap dari orangtua dengan perhatian yang<br />

berlebihan dan tidak semestinya pada anak, hal ini selalu diiringi dengan sikap terlalu<br />

memanjakan anak, terlalu melindungi, atau terlalu ikut campur. 4) Terlalu Mengidentifikasi<br />

(overidentification), jika si anak tidak mau mengikuti keinginannya, orangtua anak tersebut<br />

3


merasa dikecewakan. Umumnya tingkah laku anak tercermin dalam perasaan malu-malu,<br />

mengucilkan diri sendiri, pesimis dan tidak percaya diri. 7<br />

Relasi antar tiga komponen <strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle dalam penanganan pasien<br />

anak sangat berhubungan dengan interaksi ketiganya. Karena masing-masing komponen<br />

saling berinteraksi dan memiliki posisi tertentu dalam <strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle . Anak<br />

menjadi fokus dari dokter gigi dan dibantu oleh orang tua. Perawatan gigi anak akan<br />

dipusatkan pada orientasi anak sebagai pasien dan orangtuanya, dokter gigi akan bertindak<br />

untuk mengarahkan orangtua pada perawatan yang diindikasikan kepada anaknya. 7,8<br />

Kunjungan pertama untuk anak dan orangtuanya pergi kedokter gigi sering kali<br />

hanyalah merupakan kunjungan perkenalan, yaitu memperkenalkan anak kepada dokter<br />

giginya dan lingkungan klinik. Hal ini penting agar anak merasa familiar dengan suasana<br />

praktek dokter gigi. Apabila anak merasa takut, tidak nyaman, atau tidak kooperatif, maka<br />

mungkin perlu dilakukan penjadwalan ulang. Kesabaran dan ketenangan orang tua dan<br />

komunikasi yang baik dengan anak sangatlah penting pada kunjungan ini. Kunjungan yang<br />

singkat dan berkelanjutan ditujukan untuk membangun kepercayaan anak pada dokter gigi<br />

dan lingkungan klinik, dan hal ini terbukti sangat berharga apabila anak nantinya<br />

membutuhkan perawatan. 7<br />

PARAMETER KEBERHASILAN PERAWATAN GIGI ANAK<br />

Perawatan kesehatan gigi anak secara dini sangat berguna bagi anak yang masih<br />

dalam taraf tumbuh kembang. Penerapan instruksi pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut<br />

anak sebaiknya telah dimulai sejak anak masih dalam kandungan. Untuk membantu pasienpasien<br />

seperti di atas, dokter gigi harus melibatkan orang tua (atau pengasuh) yang harus<br />

didorong untuk lebih kooperatif memerhatikan kesehatan gigi dan mulut anak. 5<br />

Keberhasilan dalam melakukan komunikasi efektif dengan konsep <strong>Pedodontic</strong><br />

Treatment Triangle dalam menentukan keberhasilan melakukan perawatan pada gigi anak<br />

juga ditentukan oleh perubahan persepsi rasa takut anak yang berkembang seiring<br />

pertumbuhannya. Persepsi rasa takut berubah seiring usia anak, ungkapan dan intensitas dari<br />

ketakutan anak bervariasi oleh perasaan, keadaan fisik anak dan usia. Perkembangan rasa<br />

takut anak pada perawatan gigi dan mulut yang dijabarkan sesuai tingkatan usia ialah sebagai<br />

berikut :1) Pada usia 2-3 tahun adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan anak pada<br />

perawatan gigi dan mulut. 2)Pada usia 3-4 tahun anak merasa bahwa pergi ke dokter gigi<br />

merupakan ancaman dari orangtua. Ini membuat peran orangtua menjadi lebih dominan<br />

dalam mendampingi anak selama ada di ruang perawatan. 3) Pada usia 4-6 usia empat sampai<br />

enam tahun rasa takut tersebut secara berangsur-angsur berkurang bila perawatan gigi tidak<br />

menumbulkan rasa sakit atau kegaduhan yang ditimbulkan alat-alat kedokteran gigi. 3)Pada<br />

usia 7 tahun anak bisa mempertimbangkan dan menyampaikan pada dokter gigi saat muncul<br />

rasa sakit dengan gerak isyarat atau bahasa non verbal.4) Pada usia 8-14 tahun anak belajar<br />

untuk mentoleransi situasi tidak menyenangkan dan memiliki keinginan untuk menjadi pasien<br />

yang patuh. 5) Pada anak remaja dorongan dari dokter gigi dan orangtua menambah motivasi<br />

anak untuk merawat giginya. Anak akan merasa tidak percaya diri bila estetika giginya<br />

kurang baik. 4,5,6<br />

Parameter bahwa perawatan gigi dan mulut pada anak telah berhasil dilakukan antara<br />

lain: anak tidak mengalami keluhan fisik setelah perawatan, perawatan yang diberikan efektif<br />

dan tepat, anak memahami cara merawat gigi dan pencegahan dari penyakit serta kerusakan<br />

pada gigi, anak tidak merasa takut pada perawatan gigi, menjadi pasien yang kooperatif dan<br />

dapat diajak bekerjasama, secara umum keadaan gigi geligi anak menjadi sehat, gigi terawat,<br />

jaringan lunak sehat.<br />

PEMBAHASAN<br />

4


Perawatan gigi dan mulut pada anak tidak mungkin dapat dilakukan bila anak tidak<br />

dapat berperilaku kooperatif. Karena dalam perawatan gigi diperlukan kerjasama dari anak<br />

dalam mencapai keberhasilan perawatan. Pendekatan dilakukan melalui tindakan<br />

mendengarkan dan berkomunikasi secara empatik dan efektif dengan anak dan orangtuanya<br />

dalam penerapan <strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle. 2<br />

Pasien anak dan orangtuanya datang dengan keluhan dan berbagai macam alasan<br />

sehingga menjalin komunikasi antara dokter gigi, anak dan orangtua mutlak diperlukan.<br />

Penerapan konsep <strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle saat menangani pasien anak-anak sangat<br />

menentukan keberhasilan perawatan. Karena melalui konsep tersebut akan tercipta<br />

komunikasi efektif antar komponennya dalam mencapai tujuan dari perawatan gigi pada<br />

anak. Komunikasi antar komponen <strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle dapat dikatakan efektif<br />

apabila dapat menghasilkan pemahaman anak dan orangtua terhadap kesehatan giginya. 2<br />

Pengetahuan dokter gigi tentang rasa takut anak pada kelompok usia tertentu akan<br />

sangat berguna saat pengaplikasian dalam perawatan gigi anak. Pada usia bayi sampai dengan<br />

18 tahun diperlukan komunikasi dan kerjasama dari dokter gigi dengan anak dan orang tua<br />

dalam perawatan gigi anak. Konsep Pedodontik Treatment Triangle diaplikasikan dalam<br />

tingkat usia ini, karena anak masih tergantung dengan orangtuanya dan belum sepenuhnya<br />

mengerti tentang perawatan gigi. 5<br />

SIMPULAN<br />

Perawatan gigi dan mulut sejak dini pada anak penting untuk pertumbuhan anak<br />

secara umum, usia anak dan faktor kepribadian orangtua juga berperan dalam membangun<br />

komunikasi efektif dengan dokter gigi. Pada bermacam kondisi psikologis anak konsep<br />

<strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle mutlak diperlukan agar perawatan yang dilakukan berhasil.<br />

Pelaksaan konsep <strong>Pedodontic</strong> Treatment Triangle akan berhasil dengan baik bila masingmasing<br />

komponen dapat saling bekerjasama.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Riyanti E. Pengenalan dan perawatan gigi anak sejak dini. Jakarta: Seminar Sehari<br />

Kesehatan-Psikologi Anak; Mei 29, 2005.<br />

2. Rusmana A. Komunikasi. April 3, 2006. Available from: http//www.dentalcare.com.<br />

Accessed Agustus 20, 2009.<br />

3. Erawati S. Polemik pelayanan dokter gigi. Juni 2, 2008. Available from:<br />

http//www.waspada.co.id/index.php?options=com_content&task=view&id=20516&It<br />

emid=44. Accessed Agustus 19, 2009.<br />

4. Chandra S. Textbook of community dentistry. 2 nd ed. Delhi: Lordson Publisher (P)<br />

Ltd.; 2007. p. 78-95.<br />

5. Muthu MS, Sivakumar N. Pediatric dentistry principles & practice. 1 st ed. Elsevier<br />

India Pvt. Limited; 2009. p. 2-6.<br />

6. Rao A. Principles and practice of pedodontics. 2 nd . New Delhi: Jaypee Brother (P)<br />

Ltd.; 2008. p. 5-11.<br />

7. Freemeta N. Januari 8, 2009. Edukasi gigi sejak dini. Homepage of Jurnal Bogor.<br />

Available from: http//www.jurnalbogor.com/?p=8217. Accessed Agustus 19, 2009.<br />

8. Tilakraj TN. Essentials of pedodontics. 1 st ed New Delhi: Jaypee Brother (P) Ltd.;<br />

2003. p. 12-37.<br />

5


Mini-screw implant sebagai penjangkar dalam perawatan ortodontik<br />

ABSTRACT<br />

Wiwekowati<br />

Fakultas Kedokteran Gigi <strong>Universitas</strong> <strong>Mahasaraswati</strong> <strong>Denpasar</strong><br />

Orthodontic <strong>treatment</strong> is always associated with control anchorage.<br />

Choosing right anchorage device and maximum anchorage control will be the key<br />

of success in orthodontic <strong>treatment</strong>. Mini-screw implant based anchorage was<br />

introduced as an alternative device to replace intra-oral and extra-oral based<br />

anchorage. Mini-screw implant has small titanium-made body and capable of<br />

producing maximum anchorage. Mini-screw implant can be placed at various of<br />

mouth chamber sites, such as median hard palate and buccal labial alveolar bone<br />

site and also can be used as an anchorage for various type of orthodontics<br />

problems.<br />

Keywords : mini-screw implant, anchorage, orthodontic <strong>treatment</strong><br />

Korespondensi : Drg. Wiwekowati, M.Kes. Bagian Orthodonsia Fakultas<br />

Kedokteran Gigi <strong>Universitas</strong> <strong>Mahasaraswati</strong> <strong>Denpasar</strong>, Jl.Kamboja 11A <strong>Denpasar</strong>,<br />

Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278<br />

PENDAHULUAN<br />

Saat melakukan perawatan ortodontik, kehilangan penjangkaran saat<br />

menarik gigi sering terjadi. Apabila kehilangan penjangkaran yang terjadi tidak<br />

terdeteksi, maka dapat mengakibatkan perpanjangan masa perawatan atau<br />

terjadinya masalah maloklusi yang baru. Kehilangan penjangkaran biasanya<br />

terjadi saat perawatan dengan menggunakan penjangkar intraoral 1,2 . Penjangkaran<br />

ekstraoral sering digunakan untuk mendukung penjangkaran intraoral untuk<br />

mendapatkan penjangkaran yang maksimum. Tetapi, penjangkaran ekstraoral<br />

memiliki kelemahan seperti penggunaan yang lama, mengganggu penampilan dan<br />

menimbulkan luka pada sudut mulut menyebabkan alat ekstraoral kurang diminati<br />

oleh pasien 2,3,4 .<br />

Penjangkaran berbasis mini-screw implant diperkenalkan pertama kali oleh<br />

Kanomi pada tahun 1997. Penjangkaran berbasis mini-screw implant<br />

diperkenalkan sebagai alternatif penjangkaran intraoral dan ekstraoral.<br />

Penjangkaran berbasis mini-screw implant mampu menghasilkan kekuatan<br />

penjangkaran maksimal lebih baik dibandingkan penjangkaran ekstraoral dan<br />

tidak mengganggu penampilan 5 .<br />

MINI-SCREW IMPLANT<br />

Mini-screw implant adalah implan yang khusus digunakan untuk<br />

kepentingan penjangkaran ortodontik. Mini-screw implant berbentuk seperti<br />

sekerup, dengan ukuran panjang antara 4 – 11 mm dan diameter kurang dari 2.5<br />

1


mm 5 . Mini-screw implant berbahan dasar titanium atau titanium campuran.<br />

Dengan ukuran yang kecil, kemudahan pemasangan dan pelepasan serta dapat<br />

dipasang diberbagai tempat di dalam rongga mulut menjadi keuntungan utama.<br />

Mini-screw implant mempunyai 3 bagian utama yaitu kepala, pasak dan<br />

ulir. Kepala mini-screw implant memiliki berbagai variasi bentuk seperti bentuk<br />

braket, memiliki lubang atau berbentuk bola 5 . Ulir yang mengelilingi pasak<br />

berguna untuk memperluas permukaan yang bersentuhan dengan tulang alveolar<br />

sehingga meningkatkan stabilitas implan.<br />

D<br />

B<br />

Gambar 1. Bagian mini-screw implant. A) bagian kepala; B) diameter luar implan;<br />

C) pasak; D) diameter dalam implan; E) bagian ulir 5<br />

Gambar 2. Berbagai jenis mini-screw implant dengan variasi ukuran dan bentuk<br />

kepala 5<br />

INDIKASI PEMASANGAN<br />

Indikasi pemasangan mini-screw implant yaitu 6,7 :<br />

2<br />

A<br />

C<br />

E


1. Pasien yang kehilangan banyak gigi, terutama gigi posterior<br />

2. Kasus saat kekuatan komponen aktif yang akan menghasilkan efek<br />

samping ketika menarik atau mendorong gigi<br />

3. Pasien yang memerlukan pergerakan gigi yang tidak simetris pada<br />

semua bidang<br />

4. Alternatif operasi ortognatik bagi pasien tertentu<br />

3


DAERAH PENANAMAN MINISCREW IMPLANT<br />

Mini-screw implant dapat ditanam di berbagai tempat dalam rongga mulut,<br />

dengan beberapa faktor yang menjadi syarat yaitu 5 : 1) Struktur anatomi daerah<br />

yang ditanam; 2) kualitas tulang alveolar yang menjadi tempat penanaman; 3)<br />

ketebalan ginggiva; 4) faktor kenyamanan pasien. Ketebalan tulang dan struktur<br />

anatomi dapat dilihat dengan foto panoramik.<br />

Mini-screw implant dapat ditanam di rahang atas maupun rahang bawah<br />

tergantung keperluan dan kasus yang ditangani. Daerah penanaman di rahang atas<br />

biasanya di daerah bukal, labial rahang atas, daerah palatal dan tuber maksila.<br />

Daerah penanaman yang paling disarankan untuk penanaman di rahang atas yaitu<br />

daerah palatal bagian median karena ketebalan tulang yang mencukupi dan tidak<br />

banyak pembuluih darah dan saraf. Akan tetapi, daerah palatal kurang disarankan<br />

untuk anak-anak maupun dewasa muda dibawah 20 tahun karena garis tengah<br />

palatal belum menutup sempurna 5 .<br />

Gambar 3. Pemasangan mini-screw implant pada daerah palatal 6,7<br />

Daerah rahang bawah merupakan daerah yang aman untuk menanam miniscrew<br />

implant. Selain tidak memiliki pembuluh darah yang banyak, ketebalan<br />

tulang alveolar juga medukung. Dearah yang menjadi penanaman mini-screw<br />

implant yaitu bagian bukal, labial rahang bawah dan retromolar pad 5 .<br />

Gambar 4. Penanaman mini-screw implant pada daerah retromolar pad 5<br />

4


INSTRUMEN PENANAMAN<br />

Instrumen penanaman dibagi dua jenis yaitu instrumen manual dan<br />

instrumen bermotor. Instrumen manual biasa disebut instrumen tangan merupakan<br />

alat dasar penanaman. Berbentuk menyerupai obeng dan hanya bisa menjangkau<br />

daerah yang terlihat seperti bukal dan labial. Instrumen bermotor berbentuk<br />

menyerupai hand-piece. Instrumen ini memiliki sudut sehingga memudahkan<br />

pemasangan di daerah yang sulit seperti retromolar pad dan palatal. Penggunaan<br />

instrumen bermotor harus berhati-hati dengan kecepatan yang rendah dan tanpa<br />

tekanan yang berlebihan untuk mencegah kerusakan tulang alveolar 5 .<br />

Gambar 5. Instrumen manual dan instrumen bermotor 5<br />

Gambar 6. Instrumen penanaman lengkap 5<br />

5


PROSEDUR PENANAMAN<br />

Prosedur penanaman mini-screw implant secara umum yaitu 5 : 1)<br />

Menentukan daerah penanaman; 2) Foto panoramik; 3) Memasuki daerah insersi;<br />

4) Sterilisasi daerah insersi; 5) Anastesi lokal; 6) Pemberian tanda pada daerah<br />

yang akan dibur; 7) Penentuan sudut penanaman; 8) Pembuatan jalur insersi; 9)<br />

Menembus jaringan lunak; 10) menembus tulang alveolar.<br />

Sterilisasi daerah insersi dilakukan dengan berkumur menggunakan<br />

chlorheksidin. Anastesi lokal menggunakan lidocaine 2 % dengan ephineprine 1 :<br />

50000 dan diinjeksikan seperempat bagian ampul ke setiap daerah insersi.<br />

Pengeburan dilakukan dengan sudut 45 0 ke arah oklusal dan kecepatan perputaran<br />

bur tidak boleh melebihi 30 rpm 6,7 .<br />

Gambar 7. Langkah penanaman mini-screw implant. a) Anastesi lokal b) dan c)<br />

Penandaan daerah vertikal d) Hasil penandaan daerah insersi e) Memulai insersi f)<br />

Mini-screw implant menembus ginggiva g) Mini-screw implant menembus tulang<br />

alveolar h) Hasil penanaman 5<br />

6


PENYEBAB KEGAGALAN PENANAMAN MINI-SCREW IMPLANT<br />

Ada beberapa jenis kegagalan yang dikemukakan berdasarkan pengalaman<br />

dari berbagai dokter gigi. Kegagalan itu berupa kegagalan yang terkait dengan<br />

implan dan kegagalan terkait dengan dokter gigi 3 . Kegagalan yang disebabkan<br />

oleh masalah implan berupa fraktur atau patahnya implan. Pemilihan implan yang<br />

tidak sesuai dengan kekuatan yang akan diaplikasikan akan menyebabkan<br />

terjadinya patahan atau kualitas implan yang dipilih kurang baik. Patahan<br />

ditemukan pada daerah leher dan juga ujung implan. Pemecahan dari masalah ini<br />

adalah dengan menggunakan implan yang memiliki leher yang kuat dengan<br />

diameter yang sesuai dengan kualitas tulang 5 .<br />

Gambar 8. Fraktur pada ujung mini-screw implant<br />

Masalah yang disebabkan oleh kesalahan dokter gigi berupa terlepasnya<br />

implan setelah dipasang karena kesalahan pemasangan atau ketidaktelitian dokter<br />

gigi dalam melihat hasil foto radiografis dan adanya fraktur pada ujung implan<br />

yang disebabkan terlalu kerasnya pemutaran. Masalah terlepasnya implan dapat<br />

terjadi secara langsung dan biasanya terjadi saat fase penyembuhan jaringan lunak<br />

5 . Keseriusan, kehati-hatian dan bekerja sesuai prosedur akan mengurangi resiko<br />

yang akan terjadi.<br />

Gambar 9. Keadaan tulang alveolar yang tidak baik yang digunakan sebagai<br />

tempat menanam mini-screw implant<br />

7


DISKUSI<br />

Kebutuhan akan penjangkaran maksimal telah mendorong para ahli dalam<br />

bidang kedokteran gigi untuk menemukan penjangkar terbaik untuk perawatan<br />

ortodontik. Mini-screw implant merupakan jenis implan yang penggunaannya<br />

secara khusus adalah sebagai penjangkar ortodontik. Mini-screw implant pertama<br />

kali dibuat sebagai penjangkaran alternatif pengganti penjangkaran intra dan<br />

ekstraoral. Hal ini disebabkan penjangkaran yang ada belum mampu<br />

menghasilkan kekuatan penjangkaran yang maksimal, terjadi kehilangan<br />

penjangkaran serta menimbulkan ketidaknyamanan 4,7 . Dalam pemasangan implan,<br />

struktur anatomi, ketebalan tulang alveolar dan jaringan penyangga sekitarnya<br />

sangat penting diperhatikan. Semua ini akan menentukan ukuran implan yang<br />

akan digunakan dan kedalaman penanaman 5 . Selain itu letak pembuluh darah,<br />

saraf, kanalis mandibula dan sinus harus diperhatikan agar tidak terjadi perforasi<br />

atau terjadi luka akibat tertembus implan.<br />

Dari penelitian yang dilakukan oleh Poggio et al (2006) dapat ditentukan<br />

daerah yang aman untuk dilakukan pemasangan miniscrew implan di daerah<br />

maksila dan mandibula, sebagai berikut : daerah penanaman yang aman di<br />

maksila yaitu, 1) Pada sisi palatal, daerah inter-radikular antara molar satu dengan<br />

premolar kedua maksila, 2 sampai 8 mm dari alveolar crest dan antara molar satu<br />

dengan molar kedua maksila, 2 sampai 5 mm dari alveolar crest; 2) Pada sisi<br />

bukal dan palatal antara premolar satu dengan premolar dua dan antara premolar<br />

satu dengan kaninus; 3) Pada sisi bukal, daerah inter-radikular antara molar satu<br />

dan premolar kedua; 4) Pada maksila, semakin anterior dan semakin apikal,<br />

semakin aman untuk lokasi penanaman. Sedangkan daerah penanaman yang aman<br />

di mandibula yaitu daerah inter-radikular antara molar pertama dengan molar<br />

kedua, premolar pertama dengan premolar kedua, molar pertama dengan premolar<br />

kedua pada 11 mm dari alveolar crest dan premolar pertama dengan kaninus pada<br />

pada 11 mm dari alveolar crest<br />

Dari data-data yang dikumpulkan oleh Melsen (2005) dan Fortini (2004)<br />

dapat disimpulkan beberapa indikasi dari penggunaan miniscrew implan yaitu :<br />

(1) digunakan untuk pasien yang kehilangan banyak gigi posterior sehingga tidak<br />

bisa memasang alat intraoral, (2) kasus dimana kekuatan dari komponen aktif<br />

akan menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan, (3) pasien yang<br />

memerlukan pergerakan gigi yang tidak simetris pada semua bidang, (4) alternatif<br />

operasi ortognatik bagi beberapa pasien tertentu. Selain pasien dengan kelainan<br />

diatas, miniscrew implan juga digunakan untuk semua kasus yang memerlukan<br />

penjangkaran maksimal.<br />

KESIMPULAN<br />

Dari data yang telah dikumpulkan maka didapatkan sebuah kesimpulan<br />

yaitu, mini-screw implant mampu menghasilkan kekuatan penjangkaran yang<br />

maksimal dan dapat digunakan untuk berbagai macam kasus. Tetapi, penanaman<br />

mini-screw implant memerlukan persetujuan dari pasien dan tidak perlu<br />

menggunakan mini-screw implant untuk menangani semua kasus apabila kasus<br />

8


tersebut masih mampu ditangani dengan alat ekstraoral sebagai penjangkar. Hal<br />

ini dilakukan karena tidak semua pasien mau melakukan penanaman mini-screw<br />

implant dan untuk memangkas harga.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Jankauskas G, Labanauskaite B, Vasiliauskas A, Haffar N. Implants for<br />

orthodontic anchorage. Meta-analysis, Stomatologija, Baltic Dental and<br />

Maxillofacial Journa 2005; 7(4):128-132.<br />

2. Terada K, Chen F, Hanada K, Saito I. Anchorage effect of osseointegrated<br />

vs nonosseointegrated palatal implants. Angle Orthodontist 2006; 76(4):<br />

660-665.<br />

3. Morais L, Serra GG, Muller CA, Andrade LR, Palermo EFA, Elias CN,<br />

Meyers Marc. Titanium alloy mini-implants for orthodontic anchorage:<br />

immediate loading and metal ion release. [Homepage of Elsevier] 2007.<br />

Available from: http://sciencedirect.com/locate/3/331-339.<br />

4. Tinsley D, O’Dwyer JJ, Benson PE, Doyle PT dan Sandler J. Orhodontics<br />

palatal implants: clinical technique. Journal of Orthodontics 2004;31: 3-8.<br />

5. Park In-Kwon, Paik Cheol-Ho, Woo Youngjoo, Kim Tae-Woo.<br />

Orthodontics miniscrew implants: clinical applications. United Kingdom:<br />

Mosby; 2009. p.8-10, 22-32, 34-57.<br />

6. Fortini A, Cacciafesta V, Sfondrini MF, Cambi S, Lipoli M. Clinical<br />

applications and efficiency of miniscrews for extradental anchorage.<br />

Orthodontics 2004; 1(2):1-12.<br />

7. Melsen B. Mini-implant: where are we ?. JCO [Homepage of JCO, Inc.]<br />

2005. Available from: http://www.jco-online.com/journal/XXXIX/9/539-<br />

547.<br />

9


Pemakaian pelindung mulut jenis Custom Made menimbulkan keluhan subjektif lebih<br />

rendah daripada jenis Boil and Bite<br />

Ria Koesoemawati<br />

Fakultas Kedokteran Gigi <strong>Universitas</strong> <strong>Mahasaraswati</strong> <strong>Denpasar</strong><br />

ABSTRACT<br />

Function of mouthguard will be optimal if that comfort and not cause subjective<br />

complaints on arch for the used. Although in using the boil and bite mouthguard it is unstable<br />

and uncomfortable one, but it was still commonly used by athletes. Meanwhile the custom made<br />

mouthguard actually more fit to the mouth. The aim of this study is to find out the different of the<br />

subjective complaints between custom made and boil and bite mouthguards. Treatment by<br />

subject in two periods of cross overly design was applied in this experimental study. Twelve of<br />

volunteers of boxers were involved in this study and they were divided into two groups. In the<br />

first period (2 days) the group I used custom made and the group II used boil and bite. The<br />

second two days were a washing out period. In the second period (2 days) the use of mouthguard<br />

were cross overly. Wilcoxon signed rank test (α = 0,05) was used in analyzing the mean different<br />

of data early and after using mouthguard. The result show that the use of custom made and boil<br />

and bite mouthguard have comparison mean value are 15.33 ± 0.65 and 22.25 ± 1.85<br />

respectively and significantly different (p


Pelindung mulut boil and bite paling umum digunakan oleh atlet, tersedia dan mudah<br />

didapat di toko-toko alat olahraga serta harganyapun relatif murah. Penyesuaian terhadap geligi<br />

dan rahang dapat dilakukan sendiri oleh sipemakai akibatnya menjadi tidak maksimal dan<br />

menyebabkan mudah lepas. Hal ini yang menimbulkan banyak keluhan apabila dipakai sehingga<br />

menyebabkan tidak nyaman dipakai dan akibatnya menjadi tidak dipakai. Sedangkan pelindung<br />

mulut custom made belum banyak dipakai atlet.<br />

Hanya sekitar 10% atlet menggunakan pelindung mulut custom made, 90% lebih<br />

menggunakan boil and bite. 15 Pelindung mulut boil and bite banyak memberikan keluhan dan<br />

tidak nyaman dipakai sedangkan custom made secara teoritis lebih nyaman karena sesuai ukuran<br />

tetapi mengapa tidak banyak digunakan para atlet ? Hal ini harus dicari penyebabnya sehingga<br />

perlu diteliti, untuk mengetahui perbedaan keluhan subjektif akibat pemakaian pelindung mulut<br />

boil and bite maupun custom made. Penelitian ini juga dimaksudkan sebagai informasi kepada<br />

pemakai pelindung mulut agar bisa memilih jenis yang lebih sedikit atau rendah memberikan<br />

keluhan subjektif agar fungsi proteksi alat pelindung menjadi optimal.<br />

Pelindung Mulut<br />

Pelindung mulut merupakan alat pelindung yang digunakan di dalam rongga mulut<br />

dengan tujuan mengurangi kemungkinan dan keparahan dari cedera orofasial yang diakibatkan<br />

oleh aktivitas olahraga. 21 Fungsi pelindung mulut bekerja sebagai peredam terhadap hantaman<br />

atau benturan. 4,9,11,20 Sedangkan manfaatnya dapat mencegah cedera seperti terjadinya laserasi<br />

pada pipi dan bibir dari bentuk tepi gigi-gigi rahang atas, fraktur tulang wajah terutama rahang<br />

bawah, cedera permanen pada sendi rahang, fraktur gigi terutama geligi anterior, lepasnya gigi<br />

dari soketnya, gegar otak akibat kekuatan hantaman kuat pada rahang bawah, perdarahan<br />

cerebral dan terjadinya laserasi pada bibir dan pipi dikarenakan memakai alat meratakan gigi saat<br />

kena hantaman. 15,18,21<br />

Ada tiga jenis pelindung mulut, yang pertama jenis stock. Tersedia dalam tiga ukuran<br />

(small, medium dan large). Cara penggunaan langsung dipakai tanpa ada tindakan apapun<br />

sebelumnya. Kerugiannya adalah ukurannya tertentu, ketepatannya kurang, bicara dan<br />

pernafasan terhambat, rahang perlu ditutup untuk memegang alat pelindung, tidak nyaman<br />

sehingga atlet tidak mau memakai. 15<br />

Jenis kedua adalah mouth-formed dimana terdapat dua tipe yaitu shell-liner dan boil and<br />

bite. Shell diisi akrilik atau rubber, kemudian ditempatkan di dalam mulut agar mengikuti bentuk<br />

gigi dan dibiarkan sampai mengeras. 15 Sedangkan Boil and bite yang bahannya dari termoplastik<br />

direndam dalam air panas, kemudian dibentuk di dalam mulut dengan menggunakan jari, lidah<br />

dan tekanan gigit. Tersedia dalam ukuran tertentu, sering tidak pas, kurang memberikan<br />

perluasan yang tepat sehingga atlet sering memotong bagian belakang. Akibatnya dapat<br />

mengurangi fungsi perlindungan yang tepat, kesempatan timbulnya cedera meningkat terutama<br />

gegar otak. Cedera seperti ini dapat menyebabkan efek yang abadi. 13,15 Pelindung mulut mouthformed<br />

yang digunakan pada penelitian ini adalah tipe boil and bite, karena jenis ini yang banyak<br />

digunakan atlet tinju dan karate di denpasar.<br />

Jenis ketiga adalah custom made, dibuat oleh dokter gigi dan merupakan jenis yang<br />

paling memuaskan karena memberikan proteksi maksimal. 4,13 Dibuat dengan cara mencetak<br />

rahang atas (umumnya) oleh dokter gigi, menjadi model gips. Di atas model gips diletakkan<br />

bahan termoplastik selanjutnya di pres/tekan dengan alat. Proses pembuatan ada dua cara yaitu<br />

vacuum dan pressure-laminated. Prinsip pembuatan sama hanya bila dengan pressure-laminated<br />

bisa dibuat lebih dari satu lapis bahan termoplastik, proses penyatuan bahan secara kimia, di


awah panas dan tekanan yang tinggi. 13 Pelindung mulut custom-made yang digunakan pada<br />

penelitian ini jenis pressure-laminated dengan dua lapis bahan dengan mesin Biostar buatan<br />

Jerman.<br />

Keluhan Subjektif<br />

Masukan ke dalam sistem saraf dapat timbul karena adanya reseptor sensorik yang akan<br />

mengenali bermacam-macam rangsangan sensorik misalnya raba, tekan, getar, suhu, nyeri dan<br />

cahaya. Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit hampir tidak pernah terangsang oleh perabaan<br />

yang biasa atau rangsang tekan, namun akan sangat aktif terhadap rangsang rasa hebat yang<br />

dapat merusak jaringan. 5,8<br />

Kehadiran benda asing (pelindung mulut) dalam rongga mulut akan menimbulkan<br />

rangsangan yang berlebihan pada sistem sensorimotor. Baik pada propioreseptor maupun<br />

ekteroseptor, yang dapat dipengaruhi oleh besar, bentuk, posisi dan tekanan yang berasal dari<br />

pelindung mulut. 21<br />

Pelindung mulut rahang atas dipasang dan dibiarkan beberapa waktu, untuk menentukan<br />

apakah ada keluhan. Penggunaan pelindung mulut dapat menimbulkan tekanan-tekanan pada<br />

bagian tertentu, yaitu jaringan di rongga mulut yang kontak dengan pelindung mulut. Tekanan<br />

yang terus-menerus dapat menyebabkan iritasi dan rasa sakit pada jaringan lunak. 6<br />

Respon jaringan terhadap penggunaan pelindung mulut sifatnya individual. Bila toleransi<br />

jaringan mukosa dilampaui, kerusakan dan perdangan akan terjadi, akibatnya pelindung mulut<br />

tidak dapat dipakai. Pada rahang atas yang sering mengalami iritasi adalah daerah tuberositas<br />

maxillaris, vestibulum buccalis dan labialis akibat sayap yang terlalu panjang dari pelindung<br />

mulut. 2,6,21<br />

Oleh karena itu, pada penelitian ini, keluhan subjektif yang diukur adalah timbulnya<br />

derajat rasa tekan, mulai dari yang ringan yaitu tidak menekan, agak menekan, menekan dan<br />

sangat menekan.<br />

WAKTU<br />

Keluhan yang sifatnya subjektif dapat timbul segera atau setelah beberapa waktu sejak<br />

adanya rangsang sensoris. Waktu atau lamanya pemakaian pelindung mulut, selain frekuensi dan<br />

intensitas merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan derajat/degradasi perasaan, dalam<br />

hal ini adalah degradasi rasa tekan.<br />

Pada penelitian ini, pelindung mulut digunakan subjek pada rahang atas, dalam posisi<br />

oklusi sentrik dan mulut tertutup selama dua jam. Dilakukan untuk mengetahui adanya keluhan<br />

yang timbul yaitu rasa tekan pada daerah tuberositas, vestibulum buccalis dan labialis, gusi<br />

bukal, labial serta palatal, mukosa pipi juga bibir kemudian gigi.<br />

Pengukuran dilakukan dengan pengisian kuesioner, saat pertama dipakai dan sesudah<br />

perlakuan tentang adanya rasa tekan yang dirasakan. Penilaian terhadap keluhan subjektif pada<br />

rahang atas, dilakukan dengan semakin rendah nilai keluhan subjektif pada rahang atas,<br />

dilakukan dengan semakin rendah nilai keluhan subjektif berarti semakin sedikit keluhan<br />

subjektif yang dirasakan subjek.<br />

Replikasi perlakuan pemakaian pelindung mulut dilakukan satu hari berikutnya. Ini<br />

karena pelindung mulut yang dipakai selama dua jam dalam sehari diperkirakan tidak sampai<br />

menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan, hanya adanya rasa sentuh dan rasa tekan pada<br />

jaringan. Washing out dilakukan selama dua hari, karena untuk menghilangkan efek residu.<br />

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan di sasana tinju Mirah Silver dan Setiabudi <strong>Denpasar</strong> selama satu<br />

minggu. Penentuan sampel dengan metode Acak Sederhana (Simple Random Sampling). Jumlah<br />

sampel didasarkan atas hasil penelitian pendahuluan dan dengan rumus Colton 3 didapat 12.<br />

Kriteria inklusi adalah petinju laki-laki, umur 20-25 tahun,tinggi badan 150-170 cm, kebugaran<br />

fisik minimal baik dan pengalaman memakai pelindung mulut 2-6 tahun.<br />

Rancangan penelitian adalah penelitian eksperimental dengan rancangan silang (Two-<br />

Period Cross Over Design ) 1,6,17, . Sampel yang terpilih langsung dikelompokkan (random<br />

alokasi) menjadi dua kelompok. Kelompok I mendapat perlakuan memakai pelindung mulut Boil<br />

and Bite terlebih dahulu lalu perlakuan memakai Custom Made (kelompok kontrol). Sedang<br />

kelompok II mendapat perlakuan memakai pelindung mulut Custom Made terlebih dahulu lalu<br />

perlakuan memakai Boil and Bite (kelompok perlakuan). Dilakukan selama dua kali dalam dua<br />

hari berturut-turut dan dilakukan washing out selama dua hari sebelum dilakukan perlakuan<br />

berikutnya. Pengukuran dengan menggunakan kuesioner (rasa tekan), rahang atas kiri dan kanan<br />

yang dimodifikasi dari Nordic Body Map dengan skala Likert 1-4.<br />

Prosedur penelitian adalah sehari sebelum penelitian, pelindung boil and bite disesuaikan<br />

pada mulut subjek dan diukur antropometriknya, sedangkan pelindung custom made dicobakan<br />

dan diukur juga antropometriknya. Pada hari saat penelitian, sebelum dimulai dilakukan<br />

pemeriksaan fisik rongga mulut selanjutnya subjek diminta memakai pelindung mulutnya pada<br />

rahang atas dalam keadaan oklusi sentrik dan mulut tertutup selama dua jam. Segera setelah itu,<br />

kuesioner keluhan subjektif diisi. Lima menit menjelang dua jam berakhir, subjek mengisi<br />

kuesioner keluhan subjektif lagi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik rongga mulut kembali.<br />

HASIL PENELITIAN<br />

Karakteristik subjek diuji dengan Uji One-Sample K-S menunjukkan data berdistribusi<br />

normal. Homogenitas diuji dengan Levene’ test, data tidak berbeda bermakna (p>0,05) sehingga<br />

homogen baik pada umur, jenis kelamin, kebugaran fisik dan pengalaman memakai.<br />

Analisis kemaknaan pada penelitian ini dilakukan secara bertahap yang meliputi analisis<br />

efek periode, efek residu, uji komparabilitas berupa uji awal dan uji beda perlakuan. Analisis<br />

efek periode diuji dengan U Mann-Whitney, (tabel 1).<br />

Tabel 1. Efek Periode Keluhan Subjekti Pemakaian Pelindung Mulut<br />

Kelompok<br />

Subjek<br />

Klp I<br />

(BB-CM)<br />

Klp II<br />

(CM-BB)<br />

Rerata Selisih<br />

Beda Keluhan<br />

Subjektif<br />

n = 6<br />

SB<br />

14,25 1,54<br />

12,50 1,38<br />

SB = Simpang Baku; n = Jumlah Sampel<br />

Z P<br />

-1,696 0,090<br />

Hasil menunjukkan tidak berbeda bermakna (p>0,05), berarti bahwa periode dalam<br />

penelitian tidak berpengaruh terhadap keluhan subjektif subjek, baik pada periode pertama dan<br />

kedua. Analisis efek residu diuji dengan U Mann-Whitney, (tabel 2).<br />

Tabel 2. Efek Residu Keluhan Subjektif Pemakaian Pelindung Mulut<br />

Kelompok<br />

Subjek Rerata Jumlah<br />

Beda Keluhan<br />

SB<br />

Z p


Klp I<br />

(BB – CM)<br />

Klp II<br />

(CM – BB)<br />

Subjektif<br />

n = 6<br />

-1,71<br />

-2,25<br />

0,9<br />

5<br />

0,4<br />

2<br />

SB = Simpang Baku; n = Jumlah Sampel<br />

-<br />

0,969<br />

0,332<br />

Hasil menunjukkan tidak berbeda bermakna (p>0,05), berarti bahwa tidak ada pengaruh<br />

sisa perlakuan periode pertama terhadap perlakuan di periode berikutnya. Analisis statistik uji<br />

komparabilitas Uji Awal dengan Wilcoxon Signed Rank Test, (tabel 3).<br />

Tabel 3. Uji Awal Keluhan Subjektif Pemakaian Pelindung Mulut antar Perlakuan<br />

Kelompok<br />

Klp kontrol<br />

(Boil and Bite)<br />

Klp perlakuan<br />

(Custom Made)<br />

Rerata SB<br />

n = 12<br />

17,54 1,34<br />

24,00 0,00<br />

SB = Simpang Baku; n = Jumlah Sampel<br />

Z p<br />

-3,071 0,002<br />

Hasil menunjukkan signifikan berbeda (p


dipengaruhi oleh faktor karakteristik subjek, tetapi akibat adanya perbedaan perlakuan yang<br />

diberikan.<br />

Hasil analisis efek periode yang tidak berbeda bermakna membuktikan bahwa<br />

kemungkinan untuk terjadinya efek periode tidak terjadi. Ini berarti respon sampel terhadap<br />

perlakuan yaitu timbulnya keluhan subjektif, tetap tidak berubah baik pada periode I dan II.<br />

Analisis kemaknaan efek residu yang tidak berbeda bermakna membuktikan tidak terjadi<br />

efek residu. Ini berarti bahwa tidak ada pengaruh dari perlakuan pemakaian boil and bite pada<br />

periode satu terhadap perlakuan pemakaian custom made pada periode dua, begitu juga<br />

sebaliknya.<br />

Analisis kemaknaan hasil uji awal menunjukkan signifikan berbeda (p0.05)<br />

pada kedua perlakuan dengan rerata keluhan subjektif pemakaian custom made lebih rendah atau<br />

lebih sedikit dari boil and bite. Pada akhir pemakaian pelindung mulut custom made, nilai<br />

keluhan subjektif berkurang. Adaptasi merupakan sifat khusus dari semua reseptor sensoris. 8<br />

Badan pacini merupakan reseptor kulit yang mendeteksi adanya tekanan dan getaran. Reseptor<br />

ini termasuk reseptor yang cepat beradaptasi. 19 Ketika tekanan pertama kali datang, reseptor<br />

mula-mula akan berespon terhadap kecepatan impuls yang tinggi, tetapi ketika rangsangan<br />

berlanjut secara progresif respon akan berkurang sampai tidak berespon sama sekali. 8 Penjelasan<br />

ini juga dapat menggambarkan keadaan yang sama dari pemakaian pelindung mulut custom<br />

made. Hal ini hanya dapat terjadi bila pelindung tersebut tidak memberikan intensitas rangsang<br />

tekan terus menerus yang tinggi. Pelindung mulut ini karena bentuknya sesuai dengan jaringan<br />

yang ditutupinya, maka intensitas rangsang tekannya ringan.<br />

Berbeda dengan pemakaian pelindung mulut boil and bite, yang di awal memberikan<br />

keluhan tidak tinggi tetapi di akhir pemakaian keluhan yang terjadi meningkat. Akibat proses<br />

dari penyesuaian pelindung boil and bite, menyebabkan timbul tekanan-tekanan pada bagianbagian<br />

tertentu terhadap jaringan di rongga mulut yang kontak dengannya. Karena intensitas<br />

rangsang tekan tinggi, tekanan yang terus menerus dapat menyebabkan gradasi rasa tekan<br />

meningkat. Ini didukung pendapat yang mengatakan bahwa tekanan yang terus menerus dapat<br />

menyebabkan iritasi dan rasa sakit pada jaringan lunak. 6


Hal di atas dapat dilihat pada gambar berikut ini yang menggambarkan bagaimana<br />

perbandingan pemakaian kedua pelindung pada saat awal dan akhir perlakuan. Tampak<br />

pemakaian pelindung mulut custom made di awal perlakuan lebih tinggi, tetapi kemudian<br />

menurun di akhir perlakuan. Sebaliknya pemakaian pelindung mulut boil and bite di awal<br />

perlakuan lebih rendah, tetapi kemudian meningkat di akhir perlakuan.<br />

Gambar 1. Perubahan Nilai Keluhan Subjektif.<br />

Penelitian yang dilakukan oleh Indah 10 diketahui bahwa pemakaian helm AT lebih<br />

banyak memberikan keluhan dibanding helm BH, karena ukuran helm AT lebih besar dari<br />

ukuran kepala pemakainya. Sedangkan penelitian yang dilakukan Mulyati 12 diketahui bahwa<br />

pemakaian sepatu voli DF lebih banyak memberikan keluhan dibanding sepatu KDC, karena<br />

desain sepatu DF dimensinya kurang sesuai dengan antropometrik kaki pemakainya. Penelitian<br />

lain yaitu oleh Partha 14 tentang pemakaian betel yang dimensinya kurang sesuai dengan<br />

antropometrik tangan menimbulkan keluhan pada tangan pemakainya. Hasil-hasil penelitian<br />

tersebut membuktikan bahwa pemakaian alat bila ukuran tidak sesuai dengan antropometrik<br />

pemakainya akan banyak menimbulkan keluhan. Demikian halnya seperti yang terjadi dengan<br />

pemakaian pelindung mulut boil and bite.<br />

Dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pemakaian<br />

pelindung mulut jenis custom made menimbulkan keluhan subjektif lebih rendah daripada<br />

pelindung mulut boil and bite.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Bakta M. Uji klinik. Majalah Penyakit Dalam Mei 2000; 1(2):99-107.<br />

2. Basker RM.,Davenport JC, Tomlin HR. Perawatan prostodontik bagi pasien tak bergigi.<br />

Soebekti TS, Asril H (penterjemah). Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;1996. p.<br />

9,23,24,54,240,245.<br />

3. Colton T. Inference on means. In : Statistic in medicine. 1 st ed. Boston: Little Brown and<br />

Company;1974. p.142-5.<br />

4. Epstein PD. Response to mouthguards are a must on local hardwood.1998. Available from:<br />

http://www.miaa.net/mouthguardresponse.htm. Accessed April 7, 2004.<br />

5. Ganong WF. Sensasi somatovisera. Dalam : Buku ajar fisiologi kedokteran. Wijayakusuma D,<br />

Irawati D, Siagian M, Moeloek D, Pendit BU (penterjemah). Edisi 20. Jakarta: Penerbit Buku<br />

Kedokteran EGC; 2003. p.135-8.


6. Gunadi AG, Burhan LK, Suryatenggara G, Margo A, Setiabudi I. Pemasangan dan<br />

pemeliharaan geligi tiruan sebagian lepasan. Dalam : Buku ajar ilmu geligi tiruan sebagian<br />

lepasan. Jilid II. Jakarta: Penerbit Hipokrates; 1995. p. 405-6.<br />

7. Gunner R. Do mouthguard prevent concussions?. 2004. Available from: http://www.canadian<br />

sportstherapy.com/Do_mouth_guard_prevent.concussions.htm. Accessed July 30, 2004.<br />

8. Guyton AC, Hall JE. Sensasi somatik : II. Sensasi nyeri, nyeri kepala dan sensasi suhu. Dalam<br />

: Buku ajar fisiologi kedokteran. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A (penterjemah). Jakarta:<br />

Penerbit Buku Kedokteran EGC;1997. p.761-6.<br />

9. Hiller. Mouthguards. 1999. Available from: http//www.drhiller.com./Mouthguards.html.<br />

Accessed Januari 23, 2004.<br />

10. Indah LM. Pemakaian helm BH memberikan kenyamanan yang lebih tinggi dan keluhan<br />

subjektif yang lebih rendah dibandingkan dengan helm AT (tesis). <strong>Denpasar</strong>: <strong>Universitas</strong><br />

Udayana; 2003.<br />

11. Lanzi G. Sports injuries. 2000. Available from: http://espn.go.com./s/2000/0105/271531.html.<br />

Accessed Juni 26, 2004.<br />

12. Mulyati MI. Desain sepatu mempengaruhi keluhan subjektif pada kaki dan kemampuan loncat<br />

tegak. (tesis). <strong>Denpasar</strong>: <strong>Universitas</strong> Udayana; 2002.<br />

13. Padilla R. Overcoming objections : providing professionally made custom mouthguards.<br />

2000. Available from: http//www. informed.es/seod/mouthguard.htm. Accessed Februari 16,<br />

2004.<br />

14. Partha CGI. Penggunaan betel modifikasi menurunkan beban kerja dan keluhan subjektif serta<br />

meningkatkan produktivitas pembobok tembok pemasang pipa instalasi listrik. (tesis).<br />

<strong>Denpasar</strong>: <strong>Universitas</strong> Udayana; 2002.<br />

15. Peterson D. Mouthguards. 2004 Available from: http://www.dentalgentecare.com/<br />

mouthguards1.htm. Accessed Juni 29, 2004.<br />

16. Procock SJ. Crossover trials. In: Clinical trial : a practical approach. Brisbane: John Willey<br />

& Sons; 1986. p.110-122.<br />

17. Sastroasmoro S, Ismael S. Uji Klinis. Dalam : Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi<br />

2. Jakarta: Sagung Seto; 2002. h. 147-9.<br />

18. Scott J, Burke FJT, Watts DC. A review of dental injuries and the use of mouthguards in<br />

contact team sports. Br. Dent. J. 1994;176:310-314.<br />

19. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Pendit BU (penterjemah). Edisi 2. Jakarta:<br />

Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. p. 96, 128-133.<br />

20. Strazds P. Mouthguards. 1999. Available from: http//www.smasa.asn.au/fact_sheets/<br />

fact_mouthguards.html. Accessed Juni 15, 2004.<br />

21. Tala HML. Sport-related dental injuries. 1999. Available from: http://www.rxpinoy.com/<br />

assets/rxFUM/012hazelt/. Accessed April 7, 2004.<br />

22. Zarb GA, Bolender CL, Hickey JC, Carlsson GE. Buku ajar prostodonti untuk pasien tak<br />

bergigi menurut Boucher. Mardjono D, Koesmaningati H (penterjemah). Edisi 10. Jakarta:<br />

Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2002. p. 7,16,38,146.


Penggunaan teknik PCR pada deteksi gen gtf B/C karies gigi anak<br />

Yetty Herdiyati Nonong*, Mieke Hemiawati Satari**<br />

*Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak, **Bagian Oral Biologi<br />

Fakultas Kedokteran Gigi <strong>Universitas</strong> Padjadjaran<br />

ABCTRACT<br />

The gtf B/C are recognized as important factor of dental caries, but not all cariogenic<br />

bacteria contained the gtf B/C gen.The aim of the research is to determined the easy, cheap,<br />

accurate and up to date the etiology of caries, the gtf B/C gen.The research was done by<br />

laboratory experimental, samples consist 7 samples collected from children dental caries. The<br />

result showed many caries bacteria contained gtf B/C gen : Lactobacillus Fermentum,<br />

Lactobacillus Salivarius, Klebsiela Oxcytoca, Streptococcus Mutans, Streptoccocus<br />

Constelatus, Streptococcus Bovis, Streptococcus Anginosus.The conckusion is the PCR<br />

technic can detected of gtf B/C gen more easy in cariogenic bacteria.<br />

Key Words: PCR, Gen gtf B/C, Caries.<br />

Korespondensi: DR. Drg. Yetty Herdiyati, SpKGA (K). Bagian Ilmu Kedokteran Gigi<br />

Anak Fakultas Kedokteran Gigi <strong>Universitas</strong> Padjadjaran, Bandung.<br />

PENDAHULUAN<br />

PCR adalah singkatan dari Polymerase Chain Reaction. Teknik ini merupakan teknik<br />

perbanyakan DNA secara in vitro yang memungkinkan adanya amplikasi antara dua region<br />

DNA yang diketahui, hanya di dalam tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam<br />

sel (in vitro). PCR merupakan suatu teknik yang memiliki beberapa keunggulan. Yaitu sangat<br />

sensitif, karena dapat mengamplifikasi DNA yang jumlahnya tidak banyak. Selin itu,<br />

memiliki spesifitas yang tinggi dan waktu yang diperlukan untuk melakukannya juga cukup<br />

singkat (kurang dari 24 jam), serta sangat ideal untuk mengidentifikasi pathogen dengan<br />

cepat dan akurat.<br />

Dalam system kerjanya, PCR dilandasi oleh struktur DNA. Dalam keadaan nativenya,<br />

DNA merupakan double helix, yang terdiri dari dua buah pita yang berpasangan antiparalel<br />

satu dengan yang lain dan berikatan dengan ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terbentuk antara<br />

basa-basa yang komplementer, yaitu antara basa Adenin (A) dengan Thymine (T) dan<br />

Guanine (G) dengan Cytosin (C). Basa-basa ini terikat dengan molekul gula, deosiribosa, dan<br />

setiap satu molekul gula berikatan dengan molekul gula melalui ikatan fosfat. Ada 3 tahap<br />

utama di dalam setiap siklusnya, yaitu :<br />

1. Denaturasi. Selama proses denaturasi, double stranded DNA akan membuka menjadi<br />

single stranded DNA. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi<br />

menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa komplemen. Pada tahap ini,<br />

seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang<br />

sebelumnya.<br />

2. Annealing. Primer akan menuju daerah yang spesifik, dimana daerah tersebut memiliki<br />

komplemen dengan primernya. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk.<br />

Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hydrogen tersebut akan<br />

menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerasisasi<br />

selanjutnya, misalnya pada 72 0 C.<br />

1


3. Reaksi Polimerasisasi (Extention). Umumnya, reaksi polimerasisasi atau perpanjangan<br />

rantai ini, terjadi pada suhu 72 0 C. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami<br />

perpanjangan dengan dNTP yang komplemen pada sisi 3’nya. Jadi, seandainya ada 1 copy<br />

gen sebelum siklus berlangsung, setelah satu siklus, akan menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus<br />

akan menjadi 4, sesudah 3 siklus akan menjadi 8 copy dan seterusnya. Sehingga diperoleh<br />

amplifikasi DNA atara 10 6 -10 9 kali (Wostorn et al, 1992, Retroningrum, 1997).<br />

Pada penelitian ini telah dipilih bakteri yang berasal dari karies gigi anak untuk di<br />

deteksi menggunakan PCR. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi gen gtf B/C pada<br />

bakteri penyebab karies, dengan mengisolasi kromosom bakteri-bakteri yang berasal dari<br />

karies gigi anak. Amplifikasi gen target dengan teknik PCR menggunakan kromosom sebagai<br />

templat, dan produk PCR dideteksi dengan metode elektroforesis aganosa.<br />

BAHAN DAN METODE<br />

Bakteri Identifikasi S. Mutans<br />

Sampel berupa bakteri dari 7 karies gigi anak terlebih dahulu dimurnikan untuk<br />

mengetahui keberadaan S. mutans. Analisis dilakukan melalui uji pada media perbenihan<br />

lempeng agar TYCSB, dan pewarnaan Gram. S. mutans akan tampak mempunyai<br />

karakteristik yang khas baik pada media perbenihan maupun pada pengamatan morfologinya<br />

di bawah mikroskop. Selain itu, analisis terhadap S. mutans juga dilakukan melalui uji<br />

biokimia, dengan mengamati kepekaannya terhadap manitol, sorbitol, eskulin, arginin,<br />

melibiose, dan rafinose. Serta identifikasi 16 srDNA. Untuk mengetahui apakah yang<br />

diperoleh itu benar bakteri sekaligus meneliti ulang S. mutans yang telah di isolasi, setelah<br />

amplifikasi gen 16s rDNA dilakukan sekuensing selanjutnya dilakukan homologi dengan<br />

bakteri yang terdapat di gen Bank menggunakan program DNA Star.<br />

Media dan Bahan Kimia<br />

Blood agar plate, media cair TYCSB, buffer Tris-HC1 10 mM pH 7,6 EDTA 1 mM,<br />

SDS 10%; larutan fenol: kloroform (1:1); natrium asetat 3 M; agarosa (Promega Corporation,<br />

Madison, USA); TAE 50x (242 gr Tris base, 57,1 ml asam asetat glacial, 100 ml 0,5 M<br />

EDTA pH 8 dalam 1 liter aquades); etidium bromida (10 mg/ml); loading buffer (0,25%<br />

bromofenol biru 0,25% xylene cyanol F.F, 15% ficol).<br />

Mutans primer gen rRNA 16 sr DNA<br />

Reverse 5’GGTTC(G/C)TTGTTACGACTT3’<br />

Forward 5’AGAGTTTGATC(A/C)TGGCTAC3’<br />

Mutans primer gen gtf B/C<br />

Reverse 5’ATCATATTGTCGCCATCATC3’<br />

Forward 5’AGAGTTTCCGTCCCTTACTG3’.<br />

Taq DNA polymerase (Pharmacia, Biotech, USA) 5 U/μl; buffer PCR 1x yang diencerkan<br />

dari buffer PCR 10x (KCI 500 mM, Tris HCI 100 mM pH 8,3 pada temperature kamar,<br />

MgC12 15 mM, gelatin 0,1% (b/v)); dNTP 200μM; aquabides steril dan minyak mineral.<br />

Isolasi kromosom Streptococcus mutans. Bakteri dari kultur beku digoreskan pada<br />

permukaan plat agar darah steril, dan diinkubasi pada suhu 37 0 C selama satu malam. Koloni<br />

Streptococus mutans diinokulasi dalam 1,5 ml media cair TYCSB dan diinkubasi selama 6<br />

jam pada suhu 37 0 C tanpa pengocokan. Kultur kemudian dipindahkan ke dalam 15 ml<br />

media cair TSB dan diinkubasi semalam pada supernatan, dan etanol absolut, lalu diinkubasi<br />

pada suhu –20 0 C selama satu malam. Campuran disentrifugasi 6.000 rpm selama 10<br />

menit. Endapan dicuci dengan 1 ml etanol 70%, disentrifugasi 6.000 rpm selama 10 menit,<br />

endapan dikeringkan pada temperatur ruang, kemudian tambahkan 25 µl aquabides.<br />

Larutan DNA 5 µl dielektroforesis pada agarosa 1% yang mengandung larutan etidium bromida<br />

2


dan marker standar λ Hind III.<br />

Persiapan gel agarosa. Agarosa 1% dan 1,5% dibuat dalam bufer 1x TAE, didinginkan<br />

sampai suhu 60 0<br />

C, kemudian ditambahkan 1 µl larutan etidium bromida (10 mg/ml), lalu<br />

diaduk. Larutan agar dituangkan kedalam plat. Kemudian ditambahkan 10 µl sample DNA<br />

dicampur dengan 2 µl loading buffer dimasukkan kedalam sumur. Marker DNA yang<br />

ukurannya diketahui λ n film kecepatan tinggi.<br />

Amplifikasi gen 16s rDNA dilakukan dengan kondisi larutan PCR sebagai<br />

berikut: denaturasi awal 940C selama 2 menit, denaturasi 940C 1 menit, annealing 48 0 C<br />

selama 1 menit, Elongation 72 0 C selama 1 menit, Pasca Elongation 72 0 C selama 10 menit,<br />

siklus amplikasi 30 siklus.<br />

Amplifikasi gen gtf B/C dilakukan dengan kondisi larutan PCR primer sebagai berikut :<br />

denaturasi awal 940C selama 2 menit, denaturasi 940C 1 menit, annealing 50 0 C selama 1<br />

menit, Elongation 72 0 C selama 1 menit, Pasca Elongation 72 0 C selama 10 menit, siklus<br />

amplikasi 35 siklus.<br />

Produk PCR yang didapat dideteksi dengan elektroforesis agarosa. Pita-pita yang<br />

terbentuk pada gel agarosa dideteksi menggunakan transiluminator ultra violet dan<br />

selanjutnya difoto dengan film 3300 ASA.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Identifikasi Bakteri dengan Pendekatan 16s rDNA<br />

Dalam menentukan ukuran produk PCR 16s rDNA digunakan marker DNA yaitu<br />

pUC19 yang direstriksi dengan enzim restriksi HinfI (pUC19/HinfI). Hasil restriksi<br />

memberikan pita DNA dengan ukuran 1419 pb. Produk amplifikasi fragmen 16s rDNA<br />

berukuran 1400 sampai 1500an pb (Gambar 1).<br />

1419 pb<br />

1 2 3 4 5 6 7 8<br />

3<br />

1400-an pb<br />

Gambar 1. Hasil amplifikasi gen 16s rDNA dengan<br />

Panjang Pita 1400-an pb. Keterangan Produk PCR: 1. Penanda berat molekul pUC-<br />

Hinf I; 2.Isolat K1; 3. Isolat K2; 4. Isolat K3; 5. Isolat K4; 6. Isolat K5; 7. Isolat K6;<br />

8. Isolat K7.<br />

Hasil sekuensing menunjukkan bahwa bakteri yang berhasil diidentifikasi dari karies<br />

gigi anak adalah Lactobacilus Fermentum, Lactobacilus Salivarius, Klebsiela Oxytoca,<br />

Streptococcus Mutans, Streptococcus Constelatus, Streptococcus Bovis, Streptococcus<br />

Anginosus.<br />

Tabel 1. Hasil Identifikasi Bakteri dengan Pendekatan 16s rDNA<br />

No Sampel<br />

Kategori<br />

sampel<br />

Nama Bakteri Homologi (%)<br />

1 K1 Karies Lactobacillus fermentum 93%


2 K2 Gigi Lactobacillus Salivarius 94 %<br />

3 K3 Klebsiella oxytoca 96%<br />

4 K4 Streptococcus mutans 97%<br />

5 K5 Streptococcus constellatus 85%<br />

6 K6 Streptococcus Bovis 96%<br />

7 K7<br />

Streptococcus anginosus 85%<br />

Keterangan: Bakteri-bakteri yang teridentifikasi dihomologikan dengan data bakteri<br />

yang ada pada Gen Bank, persentasi (%) menunjukkan tingkat homologinya.<br />

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1 di atas, teridentifikasi ke 7 sampel bakteri<br />

yang tingkat homologinya antara 85% sampai 97%, berarti yang ditemukan benar-benar<br />

bakteri.<br />

Identifikasi Bakteri Kariogenik melalui Amplifikasi Fragmen Gen gtf B/C<br />

Gen gtf S. mutans secara konstitutif akan mengekspresikan GTF yang dikode oleh gen<br />

gtf. Gen gtf ini membentuk suatu operon yang terdiri dari gtf B/C yang masing-masing<br />

operon S. mutans memiliki daerah yang conserve dan variabel dimana masing-masing enzim<br />

GTF dikode oleh gen gtf B/C. Adanya daerah yang variabel tersebut mengharuskan adanya<br />

kesesuaian primer yang dirancang dan digunakan. Gen yang berperan pada proses<br />

pembentukan karies hanyalah gen gtf B/C. Sifat gen B adalah mengekspresikan glukan yang<br />

tidak larut sedangkan gen gtf C mengekspresikan glukan larut dan tidak larut. Panjang gen gtf<br />

B/C secara total berukuran sekitar 600 pb (Gambar 2).<br />

450-500 pb<br />

1 2 3 4 5 6<br />

7 8<br />

Gambar 2. Amplifikasi Fragmen Gen gtf B/C dengan Panjang Pita Kurang dari 600 pb<br />

Tabel 2. Hasil Amplifikasi Fragmen Gen gtf B/C<br />

No Sampel 16s rDNA<br />

Panjang Pita<br />

Teramplifikasi<br />

Kategori<br />

sampel<br />

1 K1 Streptococcus mutans 600 pb<br />

2 K2 Lactobacillus fermentum 700 pb<br />

3 K3 Klebsiella oxytoca 600 pb Rampan<br />

4 K4 Streptococcus anginosus 500 pb karies<br />

5 K5 Streptococcus constellatus 700 pb<br />

6 K6 Streptococcus Bovis 500 pb<br />

7 K7 Streptococcus bovis 600 pb<br />

Keterangan: Panjang pita yang teridentifikasi menunjuikkan gen gtf B/C teramplifikasi.<br />

Keberhasilan untuk menentukan bahwa sampel tersebut adalah suatu bakteri<br />

ditunjukkan dengan teramplifikasinya gen pengkode 16s rDNA menggunakan primer<br />

universal yang akan mengenali semua bakteri. Dalam menentukan ukuran produk PCR 16s<br />

4<br />

1419 pb<br />

517 pb


DNA digunakan marker DNA yaitu pUC 19 yang direstriksi dengan enzim restriksi Hinfl<br />

(pUC 19/Hinfl). Hasil restriksi memberikan pita DNA dengan ukuran 1419 pb. Produk<br />

amplifikasi fragmen 16s rDNA berukuran sekitar 1400 pb.<br />

Produk PCR 16srDNA ini kemudian diambil untuk dilakukan sekuensing, pembacaan<br />

hasil sekuensing digunakan DNA STAR ,dengan primer 16s rDNA . Setelah itu dilakukan<br />

analisis homologi dengan data bakteri yang ada di Gen Bank hasil homologi ternyata<br />

didapatkan bukan hanya S. mutans saja tetapi juga bakteri lain, yaitu Lactobacilus<br />

Fermentum, Lactobacilus Salivarius, Klebsiela Oxytoca, Streptococcus Mutans,<br />

Streptococcus Constelatus, Streptococcus Bovis, Streptococcus Anginosus, Streptococcus<br />

Constelatus.<br />

Hal ini diduga karena banyak bakteri rongga mulut yang telah resisten terhadap<br />

basitrasin, hal ini sesuai dengan pendapat Ruoff 4 yang juga menyatakan bahwa terdapat<br />

beberapa bakteri rongga mulut telah menjadi resisten terhadap basitrasin sehingga sulit untuk<br />

mengisolasi S. mutans, dengan demikian didapatkan tidak hanya koloni S. mutans saja, tetapi<br />

juga koloni bakteri lain.<br />

Meskipun demikian, yang penting dikemukakan adalah bahwa toleransi terhadap<br />

asam merupakan ciri bakteri kariogenik pada gigi. Berdasarkan hasil penelitian, Lactobacilus<br />

Fermentum, Lactobacilus Salivarius, Klebsiela Oxytoca, Streptococcus Mutans,<br />

Streptococcus Constelatus, Streptococcus Bovis, Streptococcus Anginosus adalah bakteri<br />

yang ditemukan dari gigi karies yang sudah tentu merupakan lingkungan cukup asam, maka<br />

diduga bakteri-bakteri tersebut tahan terhadap asam. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa<br />

keberadaan karies tidak identik dengan keberadaan S. mutans.<br />

Pada penelitian ini didapat fragmen gen gtf B/C dengan panjang yang berbeda-beda<br />

bagi setiap spesies bakteri, hal ini disebabkan karena gen gtf B/C ini memiliki selain daerah<br />

yang ”conserve”. Gen ini pula memiliki daerah yang sangat bervariasi sehingga menurut<br />

Yamashita 5 bahwa untuk isolasi gen ini tidak memiliki primer yang spsesifik karena banyak<br />

ditemukan daerah yang bervariasi yang disebabkan karena adanya penyisipan asam amino<br />

pada daerah aktif gen gtf B/C. Bakteri yang memilki gen gtf B/C adalah bakteri yang<br />

memiliki salah satu sifat kariogenik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bakteri yang<br />

mampu mengekspresikan enzim glukosiltransferase dengan teramplifikasinya gen gtf B/C<br />

pada beberapa bakteri hasil isolasi yang berasal dari karies gigi.<br />

SIMPULAN<br />

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknik PCR<br />

memudahkan terdeteksinya gen gft B/C dibuktikan dengan amplifikasi gen 16s rDNA<br />

diperoleh produk PCR dengan panjang pita 1400-an pb. Sedangkan, produk PCR dengan gen<br />

gtf B/C diperoleh panjang pita kurang dari 600 pb. Ukuran panjang ini mendekati dengan<br />

data yang ada pada gen Bank.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Retnoningrum DS. Penerapan polymerase chain reaction (pcr) untuk diagnosa penyakit<br />

infeksi. Bandung: ITB Jurusan Farmasi FMIPA; 1997.<br />

2. Watson JD, Gilman M, Witkowski J, Zaller M. Recombinant DNA. New York: WH<br />

Freeman; 1992.<br />

3. Satari MH. Fenomena molekuler hiperproduksi enzim betalaktamase pada staphilococcus<br />

aureus resisten terhadap Ampisilin-Sulbaktam. (Disertasi). Bandung: Fakultas Kedokteran<br />

<strong>Universitas</strong> Padjadjaran; 2002.<br />

4. Ruoff KL. Streptococcus anginosus (“Streptococcus milleri”): the unrecognized pathogen.<br />

J Clin Microbiol 1988; 1(1):102-10.<br />

5


5. Yamashita Y, Bowen WH, Kuramitsu HK. Molecular analysis of a streptococcus mutans<br />

strain exhibitmg polymorphism in the tandem gtf bang gtf BC genes. Infect Immun 1992;<br />

60(4):1618-16.<br />

6. Munson MA, Banerjee A, Watson TF, Wade WG. Molecular analysis of the microflora<br />

associated with dental caries. J Clin Microbiol 2004: 3023-30.<br />

7. Byun R, Nadkarni MA, Chhour KL, Martin FE. Quantitative analysis of diverse<br />

lactobacillus species present in advanced dental caries. J Clin Microbiol 2004; 42(7):3128-<br />

31.<br />

6


Perawatan dental pada anak dengan kelainan jantung<br />

Willyanti Soewondo Syarif, Syarief Hidayat<br />

Bagian Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi <strong>Universitas</strong> Padjadjaran<br />

ABSTRACT<br />

The aim of this this article is to recognize alternative <strong>treatment</strong> for Heart Diseases in<br />

children.This patient is one of medically compromised patient oftenly become dentist patient.<br />

Heart diseases consist of congenital Heart Diseases and Acquired heart diseases.<br />

Dental Treatment Planning of this patient depend on mild and severity of diseases, the<br />

<strong>treatment</strong> might be conventional in dental practice and hospital setting; interdisciplinary<br />

approach with cardiolog, dental anesthetist and pediatric dentist, using farmacological<br />

approach. The <strong>treatment</strong> suggestion to this patient are preventive dental diseases, due to the<br />

diseases; giving antibiotic prophylactic, and technic avoiding endocarditis bacterialis due to<br />

bacteriaemia.<br />

Conclusion: <strong>treatment</strong> suggestios in managing patient with heart diseases is<br />

preventive procedures, and interdicipllinary approach with other specialistic related due to<br />

pharmacological approach.<br />

Key Words: Congenital heart Diseases, acquired heart diseases, prophylactic antibiotic,<br />

pharmacological approach.<br />

Korespondensi: DR. Drg. Willyanti Soewondo Syarif, SpKGA (K). Bagian Ilmu<br />

Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi <strong>Universitas</strong> Padjadjaran, Bandung.<br />

PENDAHULUAN<br />

Kelainan jantung pada anak yang umumnya terjadi adalah penyakit jantung bawaan<br />

atau Congenital Heart Diseases /CHD. Congenital Heart Diseases adalah kelainan jantung<br />

bawaan yang terjadi pada anak dan merupakan salah satu jenis medically compromised<br />

patient yang sering datang ke praktek dokter gigi. 1,2 .Salah satu peran dari dokter gigi anak<br />

mengkoordinir penanganan anak dengan medically compromised. Sering digunakan istilah<br />

medically compromised untuk mengingatkan klinisi bahwa anak-anak ini mempunyai kondisi<br />

medis juga dapat mempengaruhi perawatan dental atau dapat juga disertai dengan tanda<br />

dental/ oral yang spesifik 1 . Tujuan dari makalah ini adalah agar dokter gigi mengetahui/<br />

mengenal cara penanganan anak dengan kelainan jantung bawaan.<br />

TINJAUAN UMUM KELAINAN JANTUNG PADA ANAK<br />

Penyakit kelainan jantung dibagi 2 kelompok besar yaitu penyakit jantung kongenital<br />

(Congenital Heart Diseases/CHD) yang ada sebelum kelahiran dan penyakit jantung dapatan<br />

yang terjadi setelah lahir. 1,2,3 Keparahannya bervariasi luas, 2/3 penderita menunjukkan gejala<br />

pada tiga tahun pertama kehidupan. 2,3<br />

Congenital Heart Deseases (Chd)<br />

CHD berhubungan dengan abnormalitas struktur jantung dan dapat menjadi salah satu<br />

gejala dari sindrom atau abnormalitas kromosom. 70% pasien dengan sindrom down<br />

mengalami CHD. CHD mengenai 8-10 kasus per 1000 anak lahir hidup dengan gender yang<br />

seimbang. Mayoritas kasus menunjukkan bahwa tidak ada faktor genetik tertentu sebagai<br />

penyebab, tetapi faktor yang berisiko tinggi untuk terjadinya penyakit jantung bawaan ini<br />

diantaranya maternal rubela diabetes, alcoholism, konsumsi obat-obatan selama hamil seperti<br />

1


phenitoin dan warfain. Keparahan penyakit tergantung dari hemodinamik lesi. Gangguan<br />

aliran darah disebabkan oleh abnormalitas struktur atau defek obstruktif yang mengakibatkan<br />

shunting aliran darah. 1<br />

Yang termasuk CHD adalah Ventricular septal defect, (VSD), Atrial septal defect<br />

(ASD), Patent Ducus Arteriosus (PDA) dan tetralogy of fallot (TOF). VSD adalah defek<br />

septum dalam dinding ventrikel yang paling banyak terjadi. Defek kecil biasanya tanpa gejala<br />

dan diketahui saat pemeriksaan rutin. Defek besar dapat menyebabkan sesak nafas, kesulitan<br />

makan dan buruknya pertmbuhan. 30%-50% defek kecil dapat menutup sendiri dan terjadi di<br />

tahun pertama, sedangkan defek besar biasanya ditutup dengan pembedahan. ASD adalah<br />

defek septum dekat foramen ovale, lebih sering pada orang dewasa. PDA merupakan<br />

kegagalan penutupan duktus yang menghubungkan areteri pulmonalis dengan aorta, hal ini<br />

sering terjadi pada bayi lahir dengan prematur. Tetralogy of fallot (TOF) meliputi kelainan<br />

jantung bawaan tipe sianotik yang paling banyak terjadi dengan persentase 7 – 10% dari<br />

seluruh Congenital Heart Defect (CHD), merupakan kasus yang cukup berat, karena terdiri<br />

dari 4 defek yaitu Ventricular) septal defect, pulmonarhy stenosis, dextroposition aorta, right<br />

ventricular hypertrophy. 1,2,3,4 TOF ini merupakan kelainan pertumbuhan jantung dimana<br />

terjadi defek atau lubang dari infundibulum septum intraventrikular dan umumnya TOF<br />

menyebabkan sianosis saat lahir dan saat bayi.<br />

Berdasarkan manifestasi klinis, CHD terdiri dari 2 tipe yaitu tipe sianosis dan<br />

asianosis. Tipe sianosis seperti pulmonary stenosis, tetralogy of fallot (TOF). 3 Manifestasi<br />

klinis tipe sianosis;sianosis sistemik, clubbing finger, dyspnea dan heart murmur. Adapun<br />

prognosisnya tergantung dari berat ringannya malformasi. Pada tipe sianosis aliran adalah<br />

right to leftt shunt. Tidak ada tanda oral spesifik pada pasien dengan CHD, manifestasi klinis<br />

tergantung dari anomaly struktur yang diderita. 4,5 Manifestasi oral dari CHD adalah sianosis<br />

gusi dan stomatitis, glositis, defek email terutama pada gigi sulung, meningkatnya risiko<br />

karies dan penyakit periodontal. 1,2,5<br />

Gambar 1. Sianosis Gusi pada CHD<br />

Gb 2a. Sianosis Bibir pada pasien CHD 2 Gb 2b. Clubbing finger 2<br />

Sianosis pada gusi dan Clubbing finger pada pasien dengan CHD tipe sianosis. 2<br />

Termasuk tipe asianosis adalah ASD, VSD, PDA, Aortic Stenosis, Pulmonary Stenosis. Tipe<br />

asianosis aliran adalah left to right shunt dan mempunyai prognosis lebih baik dari tipe<br />

2


sianosis. Manifestasi klinis tipe asianosis adalah dapat terjadi gagal jantung, respiratory<br />

distress, heart murmur dan cardiomegaly.<br />

ETIOLOGI<br />

Etiologi belum diketahui jelas, diduga multifaktorial sebagai interaksi faktor genetic<br />

dan lingkungan termasuk infeksi yang terjadi, dan adanya faktor teratogen saat trimester 1<br />

kehamilan. 1,2,3,4,5<br />

CHD banyak berhubungan dengan sindrom seperti, atau menjadi salah satu gejala<br />

sindrom seperti pada Sindrom Down, Hurler, Marfan, Turner, gangguan enzyme dan<br />

osteogenesis imperfekta. Defek dapat ringan dan dapat juga berat seperti pada TOF dan defek<br />

vascular. 3,4<br />

Tabel 1. menunjukkan prevalensi macam-macam penyakit CHD. 2,<br />

Ventricular Septal Defect 28<br />

Atrial Septal Defect 10<br />

Pulmonary stenosis 10<br />

Patient Ductus Arteriosus(PDA) 10<br />

Tetralogy of fallot 10<br />

Aortic Stenosis 7<br />

Coartated of thearto 5<br />

Transposition of great arteriol 5<br />

Diverse 15<br />

Penyakit jantung dapatan antara lain, miokarditis, endokarditis bakterialis, dan<br />

rheumatic fever/demam rematik. Penyakit jantung dapatanpun dapat berprognosis buruk. 2,4<br />

Demam Rematik<br />

Demam rematik merupakan penyakit jantung dapatan yang dapat disebabkan infeksi<br />

pernafasan oleh streptokokus hemolitikus grup A dan adanya faktor predisposisi untuk<br />

terjadinya demam rematik. 3 Manifestasi klinis; dapat bersifat mayor dan minor. Mayor yaitu<br />

meliputi adanya carditis, poliartritis, eritema marginatum, chorea. Minor yaitu fever,<br />

poliarthralgia. Diagnosis ditentukan berdasarkan kultur Sterptokokus hemolitikus A Beta dan<br />

adanya peningkatan jumlah antistreptolisisn O. Penyakit ini dapat merusak endokardium dan<br />

mengenai bagian jantung lainnya bahkan organ lainnya. Pencegahan meliputi pemberian<br />

antibiotic profilaksis pada saat awal fase akut. 3<br />

Endokarditis Bekterialis<br />

Endokarditis bakterialis merupakan adanya infeksi dari dinding permukaan<br />

endokardial, dapat terjadi karena adanya defek dari endokardial atau dapat juga disebabkan<br />

oleh septicaemia. 2,3,4,5 Mekanisme terjadinya endokarditis bakterialis tidak jelas tetapi diduga<br />

berhubungan dengan endothelium, bakteri dan respon inang. Infeksi bermula dari kerusakan<br />

permukaan endotel yang menyebabkan kerusakan local yang mengakibatkan terjadinya lesi<br />

pada kardiak. Tanda Endokarditis bakterialis adalah demam,murmur jantung,kultur darah<br />

positif .Komplikasi yang paling buruk adalah terjadinya gagal jantung.<br />

Terdapat 2 tipe yaitu Acute Bacterial Endocarditis (ABE), Sub Acute Bacrerial<br />

Endocarditis (SBE).Acute Bacterial Endocarditis ditandai dengan demam tinggi dan<br />

disebabkan oleh stafilokokus aureus dan organism lainnya dengan patogenitas tinggi. Terapi<br />

adalah dengan pemberian antibiotic secara intravena. Sub Acute bacterial endocarditis juga<br />

ditandai dengan anorexi, penurunan berat badan malaise, demam tinggi. Penyebabnya adalah<br />

streptokokus viridans dan organism lainnya dengan patogenitas rendah. Terapi adalah dengan<br />

3


pemberian antibiotik secara intravena. Dekade sekarang klasifikasi akut dan sub akut bukan<br />

hanya berdasarkan cepat tidaknya serangan tetapi berdasarkan mikroorganisme kausatif dan<br />

katup yang terkena. 4<br />

Heart Murmur<br />

Heart Murmur adalah suatu suara yang ada pada saat sistol atau diastol dapat bersifat<br />

ringan ataupun berat dan patologis tergantung menurut saat durasi, dan intensitas. 1,4<br />

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN SELAMA PERAWATAN DENTAL 2,3<br />

1. Pencegahan endokarditis bakterialis di rumah. Pertimbangan penting dalam<br />

merencanakan perawatan gigi adalah mencegah penyakit gigi dan mulut. Pasien dengan<br />

CHD termasuk ke dalam kelompok yang berisiko terkena karies terutama pada periode<br />

gigi sulung. Drg harus membuat intruksi home care yang baik pada orang tua dan pasien<br />

agar memelihara kesehatan gigi dan mulutnya dengan baik karena bakteriaemia dapat<br />

terjadi/ diperberat oleh kebersihan mulut yang buruk. Demikian juga pada pemakaian<br />

dental floss dan alat bantu kebersihan gigi harus hati-hati karena pemakaian dental floss,<br />

semprot air bertekanan tinggi dapat berisiko bakteriemia.<br />

2. Prosedur preventif. Yang penting dalam perawatan anak dengan CHD adalah<br />

pencegahan penyakit gigi dan mulut yang meliputi pemberian fluor baik sistemik<br />

ataupun lokal, penutupan fisur yang dalam, yang dilanjutkan dengan melibatkan<br />

pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut di rumah (home care). Prosedur ini dapat<br />

mencegah terjadinya endokarditis bakterialis.<br />

3. Pencegahan Endokarditis bakterialis pada perawatan dental. Pencegahan<br />

Endokarditis bakterialis meliputi pemberian profilaksis antibiotic pada prosedur dental<br />

yang dapat mengakibatkan perdarahan mukosa, gusi/pulpa seperti ekstraksi, perawatan<br />

pulpa. Sebaiknya perawatan gigi invasiv seperti ekstraksi, perawatan endodontik<br />

dihindari karena dapat menyebabkan bakteriaemia bila tidak dilakukan dengan hati-hati.<br />

Bila diperlukan sekali perawatan ekstraksi ataupun perawatan endodontic maka harus<br />

dilakukan pemberian profilaksis antibiotik dan pasien sebaiknya kumur dengan mouth<br />

wash.<br />

4. Mouth Preparation. Mouth preparation penting dilakukan apabila akan dilakukan<br />

pembedahan pada anak dengan CHD.<br />

PENANGANAN DENTAL PASIEN DENGAN KELAINAN JANTUNG. 1,2,3,4<br />

Penanganan pasien dengan kelainan jantung harus dilakukan secara interdiciplinary<br />

approach dengan dokter spesialis jantung anak/cardiologist anak dan spesialis lainnya seperti<br />

anesthesis. Pemeriksaan dan konsultasi yang harus dilakukan adalah :<br />

1. Riwayat medis meliputi riwayat kesehatan lampau dan saat sekarang, obat-obatan yang<br />

dikonsumsi, riwayat opname.<br />

2. Pemeriksaan oral dengan terapi komprehensif.<br />

3. Profilaksis antibiotik. Hal ini dilakukan bila defek belum menutup dan pasien akan<br />

dilakukan perawatan saluran akar gigi, ekstraksi dengan pendekatan konvensional.Hal ini<br />

dapat dilakukan bila defek sudah ditutup atau menutup spontan, dengan sebelumnya selalu<br />

berkonsultasi dengan cardiologist anak. Amoxicillin merupakan drug of choice antibiotik<br />

untuk profilaksis antibiotic dalam pencegahan endokarditis bakterialis. 4<br />

4. Pada kasus rampan karies dengan kasus kelainan jantung berat (TOF) maka harus<br />

dilakukan koordinasi perawatan dengan dokter spesialis lain yang terkait (cardiolog anak,<br />

anesthetist, dokter gigi anak ) dan perawatan dental dilakukan dengan pendekatan<br />

farmakologi taitu di bawah anestesi umum, karena perawatan dapat selesei dalam satu<br />

sesi. Dalam hal ini dirujuk ke bagian Special Care Dentistry dan dirawat secara<br />

4


interdisiplin. Selalu berkonsultasi dengan dokter jantung yang merawat, harus diingat<br />

bahwa tipe sianosis merupakan kelompok yang berisiko saat akan dilakukan anestesi<br />

umum.<br />

5. Rencana perawatan pada pasien dengan kelainan jantung dibawah anestesi umum adalah:<br />

premedikasi, profilaksis antibiotic, anesthesia, dan pertimbangan bedah.<br />

6. CHD tipe sianosis tertentu berisiko untuk mengalami hipoksia, polisitemia, koagulasi<br />

intravascular, disfungsi hati, oleh karena itu harus hati-hati agar meminimalisir bahaya. 3<br />

7. Merupakan kontra indikasi prosedur dental elektif pada pasien gangguan jantung tertentu<br />

seperti infark myocardial, aritmia yang tidak terkontrol, dan congesti heart failure .<br />

8. Perawatan dental dapat dilakukan baik dengan pendekatan konvensional/non farmakologi<br />

maupun dengan pendekatan farmakologi tergantung berat ringannya kasus.<br />

SIMPULAN<br />

Perawatan dental pada anak dengan penyakit jantung diutamakan prosedur preventif,<br />

penanganan bervariasi dari pendekatan konvensional sampai pendekatan farmakologi dan<br />

dilakukan secara interdisiplin dengan dokter spesialis terkait lainnya.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Cameron AC, Widmer RP. Handbook of pediatric dentistry. 2 nd ed. Sydney: Cv. Mosby;<br />

2003. p. 234-84.<br />

2. Welbury RP. Paediatric dentistry. 2 nd ed. New York: Oxford University Press; 2001. p.<br />

369-90.<br />

3. Sanger, Roger G, Casammassimo, Belanger, Stewart. Oral manifesstations of systemic<br />

diseases. In: Stewart RE, Barber TK, Troutman KC, Wei SHY. Editors. Pediatric<br />

dentistry, scientific foundation and clinical practice. ST.Louis: The C.V. Mosby Co.;<br />

1982. p. 303-6.<br />

4. Little James W, Falace Donald A, Miler Craig S, Rhodus Nelson L. Dental management<br />

of medically compromised patient. 5 nd . St.Louis, Boston, Sydney, Tokyo: Mosby; 1997. p.<br />

103, 146-9.<br />

5. Moller Palmi. Treatment of the handicapped child. In: Finn Sidney B. Clinical<br />

pedodontics 4 th ed. Philadelphia: WB. Saunders Company; 2003. p. 581-2.<br />

5


ABSTRACT<br />

Mekanisme produksi enzim betalaktamase bakteri gram positif dan gram negatif<br />

Mieke Hemiawati Satari<br />

Bagian Oral Biologi Fakultas Kedokteran Gigi <strong>Universitas</strong> Padjadjaran<br />

Both Gram positive and negative bacteria produce betalactamase enzyme extracellularly.<br />

This betalactamase enzyme production is different between Gram positive bacteria which is<br />

inductive in nature and Gram negative bacteria which is constitutive. The production of<br />

betalactamase enzyme in Gram positive bacteria is very slow with the synthesis peak reached<br />

after 2-2.5 hours of the induction process. The product is then maintained in a certain phase, i.e.<br />

stationary phase, for 1-3 hours. The production of betalactamase enzyme in these bacteria is<br />

four time higher than the betalactamase enzyme produced by Gram negative bacteria that use<br />

constitutive way of production. The betalactamase enzyme production through constitutive way<br />

only reaches basal production. Genetically, this betalactamase enzyme production is mediated<br />

by the the betalactamase enzyme forming genes that form an operon. These genes are coded both<br />

in chromosomes and plasmids of Gram positive and negative bacteria. The betalactamase<br />

enzyme forming genes in Gram positive bacteria include three genes, i.e. blaZ (structural<br />

gene),blaI (repressor gene) and blaRI (regulator gene). These three genes have two promoters.<br />

In Gram negative bacteria, ampG (transmitter gene), ampC (structural gene), amp R, ampD and<br />

ampE (regulator protein). These genes form an operon with one promotor. These genes are the<br />

ones that play a role in betalactamase enzyme formation.<br />

Keywords: betalactamase enzyme, Gram positive bacteria, Gram negative bacteria<br />

.<br />

Korespondensi: DR. Drg. Mieke Hemiawati Satari, MS. Bagian Oral Biologi Fakultas<br />

Kedokteran Gigi <strong>Universitas</strong> Padjadjaran, Bandung.<br />

PENDAHULUAN<br />

Enzim betalaktamase adalah suatu enzim yang dihasilkan secara ektraseluluer bakteri oleh<br />

beberapa bakteri baik Gram positif maupun Gram negative. Enzim ini akan berdifusi disekitar sel<br />

bakteri, sehingga akan menghambat kerja antibiotic yang jauh dari tempat infeksi. Enzim ini<br />

memiliki kemampuan untuk menginaktivasi golongan antibiotik betalaktam yaitu dengan<br />

memecahkan cincin betalaktam sehingga bakteri ini tidak dapat berikatan dengan reseptor pada<br />

membrane bakteri sehingga bakteri ini akan tetap hidup. 1<br />

Secara genetik enzim ini dikode oleh gen yang terletak baik di kromosom maupun di<br />

plasmid. Pada bakteri Gram positif enzim betalaktamase ini dihasilkan secara induksi, proses ini<br />

berlangsung sangat lambat, sintesis betalaktamase mencapai puncaknya setelah 2-2,5jam setelah<br />

induksi dan bertahan pada suatu fase tertentu yaitu stationer selam 1-3jam. Produksi enzim ini<br />

mencapai empat kali lebih banyak dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh bakteri Gram<br />

negatif yang bersifat konstitutif. Produksi enzim betalaktamase yang bersifat konstitutif hanya<br />

menghasilkan produknya secara basal. 2,3


Produksi enzim betalaktamase diatur oleh gen yang terdiri dari gen struktur yang<br />

mengkode enzim betalakamase,gen regulator yang mengkode protein yang meregulasi produksi<br />

enzim betalaktamase dan gen repressor yang menghentikan produksi enzim betalaktamase. 4,5<br />

Pada beberapa bakteri seperti S.aureus, enzim betalaktamase yang dihasilkan tergantung dari<br />

galur, kondisi dan kultur pertumbuhan. Ada kalanya enzim yang dihasilkan hanya 10%-60%<br />

yang di sekresikan ke media sedang sebagian produk terikat pada membran luar dari bakteri<br />

tersebut hingga sukar dipurifikasi, sedangkan enzim betalaktamase yang ada pada media akan<br />

menghambat kerja antibiotik yang terdapat jauh dari tempat infeksi. Dalam kondisi optimal satu<br />

molekul enzim ini akan menginaktifasi 100.000 molekul cincin betalaktam setiap menitnya. 6,7,8<br />

Enzim betalaktamase mempunyai kemampuan menghidrolisis penisilin G, aminopenisilin<br />

seperti ampisilin,amoksilin dan karboksi penisilin, sedangkan untuk golongan isoksazolil seperti<br />

oksasilin,kloksasilin dan nafsilin menjadi tidak efektif demikian pula terhadap cephalosporin. 1,9<br />

Peranan Gen Struktur, Gen Regulator dan Gen Represor pada Produksi Enzim Beta-<br />

laktamase<br />

Secara genetik, enzim betalaktamase pada bakteri Gram positif dikode oleh gen yang<br />

berlokasi baik di kromosom maupun di plasmid. Gen yang berperan pada sintesis enzim<br />

betalaktamase terdiri dari blaZ yang mengekspresikan enzim betalaktamase yang sebagian besar<br />

disekresikan ke media ekstrasmeskipun sepertiganya melekat pada membran bakteri . Produksi<br />

enzim betalaktamase pada bakteri Gram positif terjadi karena adanya proses induksi dari<br />

antibiotik betalaktam sedangkan pada bakteri Gram negatif enzim betalaktamase yang dihasilkan<br />

secara terus menerus tanpa adanya induksi dari antibiotik betalaktam. 10<br />

Selain blaZ ada beberapa gen yang akan meregulasi sintesis betalaktamase pada bakteri<br />

Gram positif yang diwakili oleh S. aureus dalam hal ini setidaknya ada tiga gen yang terlibat<br />

dalam pengaturan sintesis betalaktamase pada S. aureus yaitu 1) blaI - gen yang berfungsi<br />

sebagai regulator yang mengatur transkripsi; 2) blaRI - gen yang diperlukan pada proses induksi<br />

yang bertanggung jawab pada penghantaran sinyal; dan 3) bla R2: yang dapat mengatur<br />

penekanan ekspresi gen betalaktamase dan berfungsi meningkatkan fungsi represor. Namun<br />

menurut beberapa peneliti lokasi blaR2 di kromosom belum diketahui dengan pasti dan tidak<br />

berkait dengan blaZ, blaRI dan blaI. 11,12,13,14<br />

Rowland dan Dyke 15 telah berhasil melakukan sekuensing gen gen yang berperan pada<br />

pembentukan enzim betalaktamase pada Tn 552 S. aureus yang mengandung tiga gen yaitu bla Z<br />

, bla RI dan blaI. Ketiga gen ini memiliki dua promotor yaitu promotor yang dimiliki oleh blaZ<br />

dan satu promotor bagi blaRI dan blaI. Ketiga gen ini memiliki spesifitas ekspresi enzim<br />

betalaktamase yang bersifat induksi. Secara skematis gen represor blaI terletak pada ujung 5’<br />

dari bla RI dan saling tumpang tindih. 4 Data genetik menunjukan bahwa blaI memiliki fungsi<br />

kontrol negatif yang mengatur proses transkripsi dari blaZ. BIaI ini merupakan suatu represor


yang berikatan dengan suatu operator yang terletak antara blaI dan blaZ, sedangkan blaRI<br />

berfungsi untuk mentransmisikan sinyal tentang keberadaan suatu molekul betalaktam pada<br />

permukaan membran luar ke komponen gen yang mengatur ekpresi betalaktamase. 5<br />

Proses sintesis enzim betalaktamase pada bakteri Gram positif bersifat induktif, pertama<br />

kali diketahui pada Bacillus licheniformis yang kemudian diasumsikan mempunyai persamaan<br />

dengan yang terjadi pada S. aureus. Bennet dan Chopra 5 menyatakan bahwa proses induksi<br />

antibiotik betalaktam pada S. aureus diperkirakan sama dengan proses induksi antibiotik<br />

betalaktam pada B. licheniformis dan E. coli<br />

Pada bakteri Gram negatif mekanisme proses induksi enzim betalaktamase pada E. coli<br />

terjadi bila senyawa betalaktam sebagai penginduksi berinteraksi dengan protein pengikat<br />

penisilin (PBP) hingga mengakibatkan gangguan tahap akhir sintesis peptidoglikan. Induksi<br />

menstimulasi AmpG (protein penghantar sinyal) sehingga terjadi peningkatan konsentrasi prazat<br />

dinding sel dalam ruang periplasma. Akumulasi pra zat tersebut merupakan sinyal bagi terjadinya<br />

proses transkripsi dari ampC (gen sruktur). Keadaan ini menimbulkan interaksi AmpG dengan<br />

AmpR (protein regulator), sehingga AmpR berfungsi sebagai aktivator yang menstimulasi<br />

ekspresi gen ampC yang mengkode betalaktamase. Dalam keadaan tidak terjadi induksi, maka<br />

AmpD (protein regulator) berikatan dengan AmpE (protein regulator) dan mempertahankan<br />

AmpR sebagai represor yang menghambat ekspresi AmpC, sehingga tidak menghasikan<br />

betalaktamase. Bila fungsi AmpD terganggu karena mutasi pada gennya, maka akan<br />

mengganggu keseimbangan AmpG dan AmpD yang mengakibatkan AmpR tetap sebagai<br />

aktivator yang sifatnya permanen sehingga terjadi ekpresi kontitutif yang tinggi dari ampC.<br />

Dengan demikian maka didapat suatu model yang sederhana sistim pengatur sintesis<br />

betalaktamase pada S. aureus yang bersifat induksi yaitu antibiotik betalaktam berikatan dengan<br />

BlaRI dan suatu sinyal akan ditransmisikan ke BIaI sehingga tidak lagi berikatan dengan<br />

operator, maka terjadilah proses transkripsi dari bla Z. 16<br />

Mekanisme proses induksi pada umumnya bakteri Gram negatif dapat digambarkan pada<br />

skema (gambar 1) dengan menganalisa proses induksi pada E. coli.


Gambar 1. Mekanisme 1: mekanisme induksi betalaktamase pada E. coli. 5<br />

BL (Betalaktamase), PBP(Protein Pengikat Penisilin), ampC (Gen struktur<br />

betalaktamase), ampR (Gen yang berperan sebagai regulator), ampG (Gen<br />

yang bertanggung jawab terhadap transmisi sinyal 0), ampD (Gen yang<br />

meregulasi ekspresi betalaktamase pada proses transkripsi), ampE (Gen<br />

yang berfungsi untuk meningkatkan repressor).<br />

Tentang perbedaan antara proses induksi yang terjadi pada E. coli dengan S. aureus<br />

dinyatakan oleh Smith dan Murray 17 bahwa pada E. coli sinyal induksi baru ditransmisikan<br />

karena adanya prazat yang terkumpul dalam ruang periplasmik, sedangkan yang terjadi pada S.<br />

aureus yaitu rangsangan induksi senyawa betalaktam yang diterima reseptor pada membran luar<br />

akan langsung ditranmisikan.<br />

Pada S. aureus terdapat beberapa protein pengatur sistim induksi, yaitu: BlaI mempunyai<br />

fungsi sama dengan AmpR yaitu sebagai regulator yang mengatur transkripsi. BlaRI mempunyai<br />

fungsi sama dengan AmpG, protein ini diperlukan pada proses induksi, bertanggung jawab<br />

sebagai penghantar signal. BlaR2 berfungsi sebagai AmpD yang menjebabkan penekanan<br />

ekspresi gen betalaktamase dan juga berfungsi sebagai AmpE untuk meningkatkan represor. 18<br />

Seorang peneliti, Kernodle 13 memberikan suatu ilustrasi proses induksi betalaktam pada<br />

S. aureus terhadap produksi enzim betalaktamase yang dikode oleh gen blaZ dan produksi<br />

PBP2a hingga menyebabkan terjadinya metisilin resisten S.aureus (MRSA) yang dikode oleh<br />

gen mecA. Pengaturan proses induksi betalaktamase diawali dengan pengikatan betalaktam<br />

terhadap domain pada membran dari suatu PBP, kemudian ditransduksikan sebagai sinyal dikode<br />

oleh blaRI yang mengarah pada degradasi represor blaI sehingga blaZ dapat ditranskripsi.<br />

Mekanisme BlaRI dapat memberikan sinyal sehingga menimbulkan penurunan stimulasi<br />

terhadap represor belum jelas. Namun ada beberapa pendapat bahwa degradasi terjadi pada<br />

represor disebabkan adanya perubahan konformasi dari BlaRI sebagai akibat pengikatan oleh<br />

betalaktam yang mengaktivasi suatu protease dalam domain yang diduga sebagai suatu ruang<br />

periplasma (mekanisme 1). Alternatif lainya, gen bla R2 akan mengkode suatu protein yang<br />

dapat menyebabkan terjadinya inaktivasi represor dimana kompleks BlaRI dapat mengaktivasi<br />

hingga terjadi induksi (mekanisme 2).<br />

PBP2a dengan afinitas rendah terhadap antibiotik betalaktam yang dikode oleh mecA<br />

diproduksi sesuai dengan mekanisme produksi enzim betalaktamase. Hal ini dapat terjadi karena<br />

terdapat homologi antara mecI dan blaI, mecRI dan blaRI, dan promotor dari blaZ dan mec A.<br />

Homologi ini cukup kuat sehingga blaI dapat berfungsi sebagai represor dalam keadaan induksi<br />

normal maupun menghasilkan sejumlah PBP 2a secara konstitutif karena kerusakan mecI. Mutasi<br />

pada gen regulator (blaI dan mecI) dapat menimbulkan beberapa mutan yang nantinya akan<br />

mempengaruhi sistim regulasi dari yang bersifat indukif menjadi konstitutif. Mekanisme regulasi<br />

induksi betalaktam dapat dilukiskan dengan diagram sebagai berikut:


SIMPULAN<br />

Gambar 2. Mekanisme 2: ekanisme regulasi induksi betalaktam S.aureus. 13<br />

blaZ (gen struktur enzim betalaktamse), blaRI (gen yang mengatur<br />

transmisi sinyal), blaR2 (gen yang menginaktivasi repressor), blaI (gen<br />

yang menekan proses transkripsi blaZ), mecA (gen struktur PBP2a), mecRl<br />

(gen anti repressor), mecl (gen repressor)<br />

Enzim betalaktamase adalah suatu enzim yang diproduksi secara ekstraselluler baik oleh<br />

bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Enzim ini berfungsi untuk menginaktivasi antibiotic<br />

betalaktam dengan memecah cincin betalaktam, sehingga antibiotic ini tidak dapat berikatan<br />

dengan reseptor paoada bakteri. Produksi enzim betalaktamase pada Gram positif bersifat<br />

induksi yaitu bakteri tersebut akan menghasilkan enzim betalaktamase bila adanya induksi dari<br />

antibiotik betalaktam , sedangkan pada Gram negatif produksinya bersifat konstitutif yaitu enzim<br />

ini terus menerus diproduksi pada kadar basal.<br />

Produksi enzim ini diregulasi oleh gen yang berperan sebagai regulator, repressor dan<br />

gen struktur. Mekanisme produksi enzim betalaktamase ini memiliki kemiripan dengan<br />

mekanisme produksi gen mecA yang menyebabkan terjadinya MRSA<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Lamont JR, Burne RA, Lantz MS, Leblanc DJ. Oral microbiology and immunology.<br />

Washington DC: ASM Press; 2006. p. 380-5.<br />

2. Koboyashi M, Zhu Y, Nichols N, Lampen O. A second regulatory encoding a penicillin<br />

binding protein reguired for induction of betalactamase. J of Bacteriology Sep, 1987;169(9):<br />

3873-76.<br />

3. Dyke KGH. Betalactamase of Staphylococcus aureus. In: Hamilton JMT, Miller eds.<br />

Betalactamses. Oxford University Press; 1986. p. 291-307.


4. Smith MC, Murray BE. Sequence analysis of betalactamase repressor fro S aureus and<br />

hybridization studies with two beta-lactamase producing of Enterococcus faecalis.<br />

J.Antimcrobial Agents and Chemotherapy. Oct, 1992; 12(9): 2265-9.<br />

5. Bennet PN, Chopra J. Moleculer basis of betalactamase induction in bacteria. J.<br />

Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Sept, 1993; 13(6) :153-8.<br />

6. Istiantoro YH. Farmakokinetik inhibitor betalaktamase. Simposium perkembangan baru<br />

dalam menanggulangi resistensi bakteri; 1998. p. 1-4.<br />

7. James CE, Mahendran KR, Molitor A, Bolla JM,Besonov AN, Winterhalter M, Pagges JM.<br />

How betalactam enter bacteria. Fatourou (editor). Porthmouth United Kindom; May, 2009.<br />

8. Tenover FC. Mechanisms of antibacterial resistance in bacteria . The American Journal of<br />

Medicine 2006; 119(6A): S3-S10.<br />

9. Brook I. The role of betalactamase producing bacteria in mixed infections. BMC infectious<br />

diseases. Washington DC: BioMed Central Georgetown University School of Medicine;<br />

October, 2009.<br />

10. Leung SFF, Rives JT, Jorgensen. Modeling back bone with Ala-Ala and Ala-Ala-peptides .<br />

Bio Med Chem Lett; Feb, 2009;19(4):1236-9<br />

11. Murray BE . Betalactamase producing Gram positif. J. Antimicrobial Agents and<br />

Chemotherapy, April 2002 ; 873-9.<br />

13. Kernodle DJ. Mechanism of resistance to betalactam antibiotic in gram positive. American<br />

Society for Microbiology; 2002. p. 609-23.<br />

14. Dyke KGH,Cole M. Inhibition of betalactamase. J Antimicobial Agent and Chemotherapy<br />

March, 2000; 9(5): 289-99.<br />

15. Rowland SJ, Dyke KGH. In 552 a novel transposable element from S. aureus. J Molecul<br />

Microbiologi 1999;4:961-75.<br />

16. Gregory PD, Lewis RA, Dyke KGH, Curnock SP. Studies of represor betalactamase<br />

synthesis of S. aureus. Moleculer Microbiology 1997; 24(5):1025-37.<br />

17. Smith MC, Murray BE. Sequence analysis of betalactamase repressor from S aureus and<br />

hybridization studies with two betalactamase producing E. faecalis. J. Antimicrobial Agent<br />

and Chemotherapy 2000;12(9):2265-9.<br />

18. Hamilton JMT. Betalactamase. Oxford: Published by Oxford University Press. p. 1-23.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!